Share

Kejutan

"Kita mau kemana, Kak? Kenapa menutup mataku segala?" tanya Alana ketika Andra membawanya ke tempat yang tidak dia ketahui.

"Kamu akan tahu, Al. Bukankah aku sudah memberitahumu kalau aku akan mengajakmu ke tempat yang akan kamu sukai," sahut Andra sembari menggandeng tangan Alana.

"Tapi, Kak—."

"Sudah, kamu ikut saja, Al," potong Andra. Adik perempuannya itu terlalu banyak bertanya, hingga Andra gemas sendiri dan ingin mencubit pipi Alana.

Setelah berjalan melewati lorong, Andra menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Lalu, tangannya merogoh kunci di saku celananya dan segera membuka pintu setelah dia berhasil mengambil kunci tersebut.

Andra membawa Alana masuk setelah pintu terbuka. "Kita sudah sampai. Kamu sudah bersiap, Al?" tanya Andra.

Alana menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan dari sang kakak. Hatinya berdebar-debar menanti kejutan yang diberikan oleh kakak lelakinya itu. Entah apa lagi yang akan kakaknya itu berikan padanya, Alana sangat penasaran dibuatnya.

Perlahan Andra melepaskan ikatan sapu tangan yang menutupi mata sang adik. "Bukalah matamu, Al. Lihatlah apa yang aku persiapkan untukmu," titah Andra.

Alana mengerjapkan matanya pelan setelah Andra membuka penutup matanya. Lalu, dia melihat sebuah lukisan besar yang membuat matanya berkaca-kaca. Alana membekap mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.

"Ka-Kak ... i-ini—." Alana seperti kehabisan kata-kata, dia merasa tidak sanggup untuk meneruskan ucapannya.

"Iya, ini lukisan Ibu, Al."

Tak ubahnya dengan Alana, mata Andra juga berkaca-kaca. Dia memandang lukisan tersebut dengan hati sendu. Kerinduan terpancar jelas di wajah Andra ketika menatap lukisan bergambar sang ibu yang sedang tersenyum.

Tangan Alana tergerak menyentuh lukisan tersebut dengan gemetar. Kejutan yang kakaknya buat benar-benar membuatnya terharu. "Ibu ...," bisik Alana. Air matanya telah jatuh, dia sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Andra yang melihat adiknya itu menangis langsung mengusap punggung Alana. Hatinya begitu terenyuh melihat Alana menangis. Mereka berdua memendam kerinduan pada wanita yang telah melahirkan mereka. Wanita yang sangat mereka sayangi, tapi takdir telah merenggutnya dari kakak beradik itu.

Kinanti, harus meregang nyawa karena penyakit ganas yang dideritanya. Dia mengidap penyakit leukimia hingga harus menyerah ketika Alana masih membutuhkan kasih sayangnya. Saat Kinanti meninggal, Alana masih berusia sepuluh tahun. Dia masih sangat butuh sosok ibu untuk menemaninya beranjak dewasa

"Ibu cantik sekali, Kak. Lukisannya terlihat hidup. Terima kasih banyak karena telah melukis ibu dengan begitu indahnya, Kak," puji Alana di sela-sela tangisnya.

Andra langsung meraih tubuh adik perempuannya itu, lalu memeluknya dengan erat. Andra sudah tidak mampu lagi untuk sekedar menanggapi pujian Alana. Dia merasa terharu bisa memberikan kejutan yang membuat adiknya itu bisa melupakan sejenak perjodohan yang dipaksakan oleh ayahnya. Perjodohan yang membuatnya harus mengubur mimpi-mimpinya.

Sementara itu ada sepasang mata yang telah mengamati kakak beradik itu dari balik pintu. Dia tersenyum tipis, usaha sahabat karibnya untuk memberikan kejutan pada adik perempuannya itu berhasil. Tidak sia-sia dia begadang untuk membantu sahabatnya itu.

"Kamu ngapain, Fi?" tanya Vika sembari menepuk pundak Afnan.

Afnan berjengit kaget, lalu segera meletakkan telunjuknya di depan mulut. Memberi isyarat agar Vika tidak membuat suara lagi.

"Ada apa?" tanya Vika setengah berbisik.

Afnan menghela napas panjang, lalu segera mengajak Vika pergi. Dia tidak mau jika Andra dan Alana sampai terganggu dengan kehadirannya dan Vika.

"Ada apa sih, Fi?" Vika yang merasa heran dengan tingkah tak biasa Afnan pun kembali bertanya padanya.

"Kamu berisik," tegur Afnan membuat Vika semakin penasaran.

"Kamu nggak jawab aku, Fi."

"Berapa kali aku katakan jangan panggil aku Alfi!" tegas Afnan.

Vika mengerucutkan bibirnya, "Memangnya kenapa? 'Kan Tante Nada manggilnya juga Alfi?"

Afnan memutar bola matanya, dia jengah dengan gadis tomboy yang menjadi tetangganya itu. Afnan tidak suka ada orang lain yang memanggilnya Alfi. Cukup mamanya saja yang memanggilnya seperti itu. Afnan Alfiansyah, nama yang diberikan oleh mendiang nenek Afnan. Tapi Afnan hanya mengijinkan sang mama yang memanggilnya Alfi.

"Sudah jangan banyak bicara, kalau kamu masih mau mendekati Andra. Tapi, jika kamu sudah tidak berminat pada Andra, aku akan dengan senang hati mengenalkannya dengan gadis-gadis cantik di luaran sana," ujar Afnan sembari memasang wajah datar.

"Ja-jangan, Afnan." Vika memilih mengalah pada Afnan, dia tidak bisa mengambil resiko agar menjadi satu-satunya gadis yang dekat dengan Andra. Vika sangat tahu jika Afnan tidak pernah bercanda dengan ucapannya. Lelaki itu pasti akan melakukan apa yang telah dia ucapkan.

"Dasar lelaki dingin!" maki Vika di dalam hati.

Afnan tersenyum miring, dia tahu bagaimana caranya menghadapi gadis tomboy yang tergila-gila pada sahabatnya itu. Sudah menjadi rahasia umum jika Vika menaruh hati pada Andra, hanya Andra saja yang tidak peka terhadap perasaan Vika.

*

*

*

"Dari mana saja kamu? Kenapa bisa pulang sampai larut malam begini?" sentak Reno begitu Alana masuk ke dalam rumah.

Alana berjengit, dia terkejut ketika tiba-tiba Reno bersuara keras padanya. Padahal Alana baru menapakkan kaki di dalam rumah, tapi sang ayah sudah mengejutkannya. Dia pun langsung menghentikan langkahnya dan memandang ke arah Reno yang sedang duduk sembari menatapnya tajam.

Melihat putrinya hanya diam saja, Reno pun berdiri dari posisinya. Lalu, dia melangkah mendekati Alana.

"Dari mana saja kamu? Apa kamu tidak tahu kalau hari sudah larut malam? Gadis macam apa yang pulang di jam seperti ini? Apa kamu ingin membuat malu ayah?" cecar Reno dengan banyak pertanyaan, setelah sampai di depan Alana.

Alana tersenyum miris, hatinya seolah teriris mendengar ayahnya sendiri meragukan kepribadiannya. Padahal Alana tidak pernah berbuat hal yang memalukan ayahnya itu. Tapi Reno tega menyudutkan Alana dengan tuduhan seperti itu.

"Apa aku pernah membuat malu Ayah? Katakan padaku jika pernah, Yah." Alana bergumam pelan, tapi masih mampu didengar Reno.

Reno tersentak, sejauh ingatannya, putrinya itu tidak pernah melakukan hal yang buruk untuk membuatnya malu. Bahkan putrinya itu selalu membanggakannya. Alana selalu mendapat peringkat di kelasnya, dia termasuk anak yang cerdas.

Dulu, saat sang istri masih ada dan kebahagiaan masih menyelimuti keluarganya. Dia dan istrinya selalu membuat perayaan untuk prestasi yang diraih putra putrinya. Tapi, setelah kepergian sang istri, Reno tidak pernah memedulikan anak-anaknya lagi. Dia terlalu sibuk bekerja hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar menanyakan kabar putra putrinya ketika di sekolah. Reno terlalu sibuk dengan dunianya sendiri tanpa tahu jika anak-anaknya masih butuh perhatian dan kasih sayangnya. Dia seolah lupa jika bukan hanya materi yang dibutuhkan oleh anak-anaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status