Share

05. Taste of Lemon

Berdiam diri saja di rumah bukan keahlian Bian. Dari tadi, kakinya seolah gatal ingin memijak keluar rumah. Deus belum pulang dan Bi Dean pun sudah pergi sejak satu jam lalu. Ia sepenuhnya sendirian di rumah sebesar ini. Untungnya, Deus sudah memberinya duplikat kunci agar dapat leluasa meninggalkan rumah. 

Setelah berganti pakaian menjadi lebih layak, ia pun segera memesan taksol untuk pergi ke supermarket terdekat. Niatnya sih ingin membeli bahan makanan untuk dimasak. Mengintip isi lemari dapur Deus, nampaknya pria itu menjunjung tinggi hidup tanpa ribet. Berpuluh-puluh kemasan mi instan menyesaki lemari. Begitu juga belasan telur serta berbagai bungkus bumbu nasi goreng siap pakai. 

Bian bukan pakar dalam memasak. Namun, hidup bersama Bi Nilam yang bernotabene memiliki keahlian membuat makanan tak kalah enak dari restoran bintang lima selama belasan tahun, mau tak mau Bian jadi banyak belajar.

Setibanya di supermarket, Bian langsung saja meraih troli kecil dan menyusuri rak demi rak. Matanya sibuk mencari, sedangkan tangan kanannya terus mendorong maju troli tersebut. Kecerobohannya itu berakhir tidak baik. Ringisan seseorang membuat Bian sontak mengalihkan matanya, hanya untuk dibuat jantungan kala mengetahui siapa yang baru saja ia tubruk dengan ujung trolinya.

"Maaf, Om!" katanya dengan panik, entah karena terlalu takut dengan reaksi orang itu, atau memang karena ketidak-siapannya bertemu dengan Joshua Anagata dalam kondisi seperti ini. 

"Kamu .. anak yang waktu itu, ya?" Josh menatapnya dengan mata berbinar serta senyum cerah. "Nama kamu .."

Bian tidak tahu harus tersanjung karena Josh masih mengingatnya, atau tersinggung karena bahkan namanya saja tidak diingat oleh pria itu. Bian memaksakan senyum. "Bianca. Om gakpapa, kan? Maaf saya ceroboh."

"Ah, saya gakpapa." Josh tersenyum hangat, membuat sesuatu dalam diri Bian bergelenyar aneh. "Tangan kamu kenapa?" Lantas mata itu menelusuri setiap jengkal tubuh Bian yang masih dihiasi berbagai memar dan luka merah. "You don't look fine."

Bian melirik lengannya yang digips, meringis samar. "Kecelakaan kecil, Om."

"Mana Deus? Kok malah pergi sendiri padahal lagi dalam kondisi begini?"

Bian sudah berusaha menekan perasaan itu kuat-kuat. Namun rasanya sesak sekali. Matanya malah berakhir panas dan pandangannya seketika diburamkan oleh cairan bening. Ia buru-buru menunduk, mengusap cepat ujung matanya dengan punggung tangan. 

"Gakpapa, Om. Saya udah biasa sendiri, kok." Bian terkekeh, mencoba nampak biasa saja di hadapan pria itu. Namun sial seribu sial, Josh sepertinya belum berminat menutup percakapan ini. 

"Kamu mau masak?" Matanya melirik isi troli yang dibawa Bian. "Mau masak apa?"

"Beef Bourguignon."

Melihat wajah tertegun Josh, Bian jadi merasa bodoh sendiri. Tentu saja tidak semua orang tahu makanan khas Prancis itu. Ia baru saja hendak menjelaskan, namun Josh sudah keburu tersenyum tipis dan mengatakan satu kalimat yang berhasil membuat Bian kehilangan kata-kata.

"Aneh. Kita punya makanan favorit yang sama." Josh terkekeh, mengusap hidungnya yang memerah. Dari suaranya yang sedikit bindeng, Bian dapat menebak kalau pria itu tengah dilanda flu. "Keberatan kalau saya menyicipi hasil masakanmu?"

Emang Joshua brengsek! Bisa-bisanya dia mau bunuh janin gak bersalah! Seolah semesta hendak menariknya ke realita, mendadak saja ucapan Thea kembali terngiang di kepalanya. 

Bian menunduk sedikit, tersenyum sumbang. "Maaf. Saya gak memasak buat orang asing."

Sepercik rasa bersalah merambatinya kalah menyadari perubahan raut wajah Josh. "Ah, I see." Sulit membayangkan sosok ramah nan hangat yang kini berdiri di depannya sama dengan orang yang pernah berniat membunuhnya enam belas tahun silam. "Kalau gitu, keberatan kalau saya antar pulang? Ini sudah malam dan kamu juga sedang dalam keadaan kurang baik."

"Seperti yang Om bilang. Ini udah malam. Anak dan istri Om pasti udah menunggu Om di rumah. Saya bisa pulang sendiri."

"Kamu tahu saya sudah memiliki anak?"

Tentu saja. Nyaris setiap sore ia menyaksikan betapa hebat dan hangatnya seorang Joshua sebagai seorang ayah lewat satu reality show. "Kebetulan, salah satu teman saya hobi memutar acara yang Om bintangi setiap sore." 

Josh tertawa. "Anak saya masih kecil. Baru berumur satu tahun. Kapan-kapan, kamu bisa main dengan Max."

Bian ingin berteriak rasanya, mengatakan kalau ia tidak kepengin tahu soal kehidupan bahagia Josh dan betapa ia menyayangi anak laki-lakinya. Tapi ia tidak bisa. Lidahnya kelu dan sekujur tubuhnya seolah diletakkan di dekat kutub, dingin sekali. 

"Om. Saya pamit dulu. Om De—maksud saya, Papi Deus pasti udah khawatir." Bian sudah hendak melenggang pergi, namun Josh malah menahan trolinya, membuat Bian otomatis mendesah kesal.

"Hati-hati, Bianca. Nice to meet you."

*

Kadang, Bian merasa hidupnya memang sesial itu. Mungkin namanya harus dirubah menjadi Bianca 'Sial' Peony. Pertama; Bian baru sadar, dengan kondisi tangannya yang masih diperban, ia tidak akan bisa membawa kantung plastik seberat itu. Kedua; bahkan tangan kirinya tidak bisa diandalkan di saat seperti ini. Ketiga; dompetnya tertinggal.

Bian menggigit bibir gelisah, mencuri tatap pada Mbak Kasir yang sedang memandangnya penuh penantian. "G-gini, Mbak. Dompet saya ternyata ketinggalan di rumah. Gimana kalo nanti saya balik lagi buat ngambil belanjaan saya?" 

Suara tawa tertahan dari belakangnya membuat Bian mendelik sebal. Ia menoleh sedikit ke belakang, mendapati seorang lelaki jangkung tengah menahan tawanya kuat-kuat. 

"Ketawain apa lo?!" tanya Bian galak.

"Ah, nggak. Lo mau pinjem duit gue dulu?" Lelaki itu malah tersenyum tanpa dosa, yang mana membuat Bian semakin darah tinggi.

"Gak perlu!" Bian kembali menghadap si Mbak Kasir. "Gimana Mbak? Boleh, nggak?"

"Boleh aja, Kak." Bahkan si Mbak Kasir kini sedang menahan senyum penuh ejek! Kalau tidak mengingat sedang berada di mana, Bian mungkin tidak akan berpikir dua kali untuk adu nyolot dengan mbak-mbak itu. "Kalau begitu, Mbaknya boleh kasih orang belakangnya bayar dulu?"

"Emang gue udah mau pergi, kok," jawab Bian sewot. 

"Tolong gabungkan billnya dengan milik saya." Bian menoleh kaget, mendapati Josh sudah berada tepat di sebelahnya. Pria itu baru saja meletakkan dua kaleng soda di atas meja kasir. 

"Gak perlu!" seru Bian spontan. "Saya bisa sendiri."

Josh seolah menulikan telinga, malah menyuruh si mbak kasir bergerak cepat. Tak berselang lama, kantung plastik berwarna putih itu sudah tersodor tepat di depannya. Bian menghela napas, lantas menerimanya. Namun nyeri di telapak tangannya menyerang begitu saja kala bobot dari kantung itu ditarik gravitasi. Kalau saja bukan karena Josh tanggap mengambil alih benda itu, mungkin adegan memalukan lainnya akan kembali terjadi. 

"Are you okay?"

"Gakpapa." Bian berdeham canggung. "Saya bisa bawa sendiri." Tangannya bergerak hendak mengambil kantung itu kembali, namun Josh malah secara mendadak meraih lengannya, memperhatikan telapak tangan Bian dengan pandangan geli. 

"Kamu ini magnet luka, ya?"

Bian menarik tangannya cepat. Tanpa menunggu Josh, ia segera berjalan cepat keluar antrian. Walaupun tidak menengok ke belakang, Bian tahu Josh sedang mengikutinya.

"I'll take you home. Melihat kondisi kamu, kamu nggak akan nolak saya, kan?"

"Why?" Bian memberanikan diri untuk mebalik tubuhnya, menatap wajah Josh dengan sorot tajam. Sialnya, keteduhan yang diberikan pria itu malah membuatnya semakin merasa buruk.

"What do you mean?"

"Kenapa Om baik sama saya? Kita bahkan gak saling kenal." Ada sepercik harapan di sudut hatinya yang terdalam. Harapan yang secara naif menginginkan Josh mengenalinya sebagai darah dagingnya sendiri. 

Josh terdiam sebentar, tersenyum tipis. "Untuk jadi baik gak butuh alasan, kan?"

"Bullshit," desis Bian. Bagaimana bisa pria yang enam belas tahun lalu hendak membunuh anaknya sendiri bisa berkata soal kebaikan dengan begitu lancarnya? "Saya bakal minta Om Deus jemput ke sini. Jadi Om gak perlu repot-repot anter saya. Dan saya gak suka dipaksa." Bian menarik paksa hasil belanjaannya, menghiraukan rasa menyengat pada kulitnya. "Saya gak terbiasa dengan perlakuan baik orang. Itu malah bikin saya merasa buruk. Jadi saya rasa .. berinteraksi sama Om bukan pilihan baik."

"Karakter kamu benar-benar mirip dengan Deus. Itu buat saya ragu kalau kalian tidak memiliki ikatan darah." Kenapa Josh bahkan masih ramah padanya setelah Bian menghujamnya dengan kalimat yang cukup kasar? Pria itu malah tertawa kecil. "Well, then. Saya rasa mood kamu sedang tidak baik malam ini. Mungkin ini bisa memperbaiki suasana hati kamu." Sekaleng soda disodorkan ke hadapannya. "Saya sengaja beli dua."

"Gak—"

"It's just a coke. Saya gak kasih racun atau apa pun itu."

Bian menghela napas. Mungkin dengan menerimanya, Josh akan lebih cepat pergi. Bian menggeser bagian berlubang plastik pada lengannya, lantas menerima kaleng tersebut. "Thanks."

"Not a big deal. Kalau gitu, saya pergi dulu." Josh tersenyum manis, membuat matanya melengkung bak bulan sabit. Baru beberapa langkah menjauh, sosok itu kembali memutar tubuhnya. "Ah, ya. Kamu masih berhutang pada saya. Mungkin hasil masakanmu bisa membayarnya."

Bian mendengus.

*

Seharusnya Bian tidak seperti ini. Hidupnya selama ini baik-baik saja tanpa figur ayah. Ada atau tidaknya Josh dalam lembaran hidupnya tidak akan mempengaruhi apa-apa, kan?

Bodoh. Hidup lo tentu akan jauh lebih baik kalo Mama dan pria itu menginginkan lo. Tapi, sayang. Joshua Anagata menolak kehadiran lo. Bahkan Nyokap lo sendiri malu akan eksistensi lo. Batinnya berkata lain. 

Ah, sial. Kenapa akhir-akhir ini ia mudah sekali menangis, sih? Bian meletakkan hasil belanjaannya di atas aspal, lantas merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel. Biasanya, ia tidak akan berpikir dua kali untuk menelpon Biskara di saat-saat seperti ini. Tapi kejadian tadi pagi malah kembali terputar di benaknya, membuat Bian menjadi ragu sejenak.

"Ah, bodo. Dia ini yang bakalan malu." Akhirnya ia menekan nomor tersebut. Setelah nada sambung berbunyi hingga tiga kali, suara berat Biskara menyambut telinganya.

"Apa?"

Bian menghela napas berat, melarikan pandangnya ke langit gelap di atas sana. "Lagi suntuk."

"Di mana lo?"

"Jalanan."

"Stupid. Lagi sakit dan malah keluyuran? Gue bangga, Peony." Sarkastik dan tajam.

Bian memutar bola mata. "Jadi lo mau atau nggak ke sini?"

Terdengar jeda cukup lama. "Shareloc. I'll be there in twenty minutes."

Sembari menunggu manusia menyebalkan itu datang, Bian memilih duduk di salah satu bangku di depan Indomaret. Beberapa mas-mas yang duduk tak jauh darinya sibuk bersiul dan menggodanya, namun Bian memilih tak peduli. 

Benar saja. Tak sampai dua puluh menit, sebuah Audi R8 dengan warna hitam mengkilap berhenti tak jauh darinya. Tidak perlu cenayang untuk tahu siapa pengemudinya. Hanya segelintir orang di Jakarta yang akan membawa mobil mahal seperti itu ke depan Indomaret pinggir jalan seperti ini. Bian bangkit, segera membuka pintu mobil yang tidak terkunci dan duduk di kursi penumpang. 

"Bentar," kata Bian, mencegah Biskara untuk menjalankan mobil. Sebelum laki-laki itu sempat melontarkan tanya, Bian sudah lebih dulu membuka kaca dan meneriaki mas-mas keganjenan tadi. "Woi!" Perhatian mereka langsung tersita. Bian mengukir senyum lebar, mengacungkan jari tengahnya. "Fuck you!"

"Sialan!"

"Cewek anjing!"

"Kabur!" pekiknya, segera menutup kaca. Sebelum mas-mas ganas itu berhasil mecapai posisinya, Biskara sudah lebih dulu menekan gas dalam-dalam dan melaju secepat peluru. 

"Hidup lo gak bisa tentram sehari aja, ya?"

Bian mengedik acuh. "Apa serunya kalo gitu?" 

Biskara tidak membalas, membiarkan The Beatles mengisi keheningan dengan suara merdunya.

"Tunggu! Ini jalan ke rumah Om Deus, kan?!"

"Ya."

"Menurut lo gue panggil lo ke sini cuma buat anter gue balik? Gila, ya?!"

Biskara mendengus. "Jangan batu, Peony."

"Gue gak mau!"

"Gak bisa sekali aja nurut?"

"Enggak!" Suara Bian meninggi. Pertemuan dengan Josh memang memberi efek luar biasa baginya. Rasanya semua salah. Thea, Deus, kehadirannya di antara mereka. Dadanya kembali diliputi sesak. Semua orang dewasa itu egois dan menyebalkan. Dan di saat seperti ini, tidak ada tempat baginya untuk pulang. "Lo gak tahu apa-apa."

"Then tell me what the fuck is happening!"

Bian mengalihkan wajah ke jendela di sampingnya, membiarkan pipinya dialiri cairan hangat yang daritadi sudah berusaha ia bendung hingga kerongkongannya sakit. Napasnya memberat. Hanya butuh beberapa saat hingga sesenggukannya mencapai telinga Biskara.

"Peony—"

"Shut up. Gue gak butuh ceramah soal hidup sekarang," kata Bian dengan suara sumbang. Matanya melirik spion, mendapati dua mobil sedan yang daritadi tak henti mengikuti keduanya. Sedan itu tidak terlihat mencolok. Mungkin sengaja agar tidak menarik perhatian khalayak umum. Itu pasti pengawal Biskara. Bukan hal baru. Biskara itu cucu politikus besar. Wajar saja jika hadirnya selalu dibayang-bayangi pengawal suruhan kakeknya. Namun melihat karakter Biskara, laki-laki itu jelas ogah menjadi bahan sorotan. Jadi orang-orang itu biasanya akan mengawasi dari jauh, termasuk saat di sekolah. Ini pertama kalinya Bian memergoki kehadiran mereka.

"Gue mau minum."

Terdengar embusan napas Biskara. "Lo gak keliatan baik-baik aja, Peony. Lo butuh istirahat."

"Berhenti bersikap seolah lo peduli, Limuel. Gue udah terbiasa hidup sendiri tanpa belas kasihan orang lain. Jangan bikin gue berpikir seolah kehadiran gue sepenting itu!" 

"Indeed I care!" Suara Biskara ikutan meninggi. "Apa lo terlalu buta buat liat?"

Didorong sentakan terkejut, Bian otomatis mengalihkan matanya pada Biskara yang ternyata juga sedang menghadapnya. Hanya butuh beberapa detik bagi Bian untuk tersedot ke dalam manik hitam kelam Biskara. Lelaki itu mendesis pelan, kembali fokus pada jalanan di depan sana. 

"Lo .. aneh." Hanya itu satu-satunya tanggapan yang bisa Bian pikirkan saat ini.

Biskara lagi-lagi diam.

Bian menarik napas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang menggila. "Itu, mobil sedan di belakang-"

"Anggep aja gak ada. Kondisi Kakek lagi gak sebaik itu. Dia maksa pengawasan keluarganya ditingkatkan."

"Harusnya lo gak keluyuran kayak gini. Bisa-bisa gue dipenggal Tony Deskagara kalo sampe cucunya kenapa-napa." 

"Sayangnya, gue gak punya kontrol buat satu hal."

"Hah? Maksudnya?"

"Nevermind," jawab Biskara datar sembari membelokkan setir. 

Keduanya kembali dilanda kecanggungan. Pada dasarnya, Bian itu cukup bawel, kok. Apalagi selama ini ia tidak pernah sok-sok jaim di depan Biskara yang bernotabene sebagai tempat pelampiasannya. Tapi kenapa akhir-akhir ini atmosfer di antara mereka seolah berubah? Bian merasa tak nyaman sekaligus bingung. 

Bian baru kembali bersuara kala mobil Biskara berhenti memarkir di pelataran sebuah restoran bintang lima yang sebelumnya hanya sering Bian liat di status I*******m teman-temannya. Bukannya Bian sekere itu sampai tidak mampu makan di tempat berkelas seperti ini. Hanya saja, tidak ada yang bisa ia ajak untuk menyantap Tyrolean Grostl bersama. Makan sendirian di tengah keramaian hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan.

"Ngapain ke sini?"

"Makan."

"Gue gak minta."

"Gue yang mau."

Bian berdecak. "Serah, deh."

Keduanya turun dari mobil, berjalan beriringan memasuki restoran khas Eropa itu. Bian memilih tak peduli sekalipun pakaiannya saat ini membuatnya terlihat seperti gembel yang sedang mengais makanan dari tamu-tamu kelas atas di sini. Salah Biskara, sih. Sudah tahu pakaian keduanya terlalu biasa, malah dibawa ke tempat seperti ini.

Seorang pelayan baru saja mengantar keduanya ke salah satu meja saat mata Bian malah menangkap sosok yang tak ia harapkan sama sekali ditemuinya. Dan sialnya lagi, Deus juga secara mendadak menoleh kepadanya. Pria itu sedang bersama satu sosok asing yang tak Bian kenal.

Bian buru-buru mengalihkan mata, duduk di kursi yang sialnya terletak tak jauh dari Deus. Biskara nampaknya juga sadar akan kehadiran pria itu, namun ia tidak berkomentar apa pun. 

"Selamat malam. Mau pesan apa?" 

"Lo mau apa?" Biskara malah bertanya pada Bian.

"Ng .. apa aja, deh." 

"Gak ada menu 'apa aja, deh' di sini."

Bian memutar bola mata. "Tyrolean Grostl. Minumnya es teh aja." Mau makan di restoran semahal apa pun, es teh memang yang terbaik.

"Saya samain aja." Entah Biskara memang terlalu malas untuk membuka menu atau memang laki-laki itu memiliki selera yang sama dengannya, tanggapan enteng Biskara itu berhasil mengundang cibiran dari Bian. 

"Baik. Mohon ditunggu."

Baik Biskara ataupun Bian sibuk dengan ponsel masing-masing. Lebih baik begitu. Bian bukannya hiperbolis. Tapi kecanggungan di antaranya dan Biskara memang tak bisa diabaikan. 

Bian sedang asyik menggulirkan jemarinya menjelajah I*******m kala satu postingan dari akun gosip terkenal tertangkap matanya. Ia bisa merasakan bagaimana jantungnya seolah berhenti berdetak untuk beberapa detik. Wajahnya memucat, namun sekujur tubuhnya mati rasa dan enggan bergerak.

"Kenapa? Mules?"

"M-Mama .." Suaranya tercekat. Dengan gerak cepat, ia segera menghubungi nomor Thea yang berakhir dijawab oleh mbak-mbak operator. Pandangannya sudah diburamkan oleh air mata. "G-gue harus pergi."

"Ada apa?!" Biskara ikut berdiri, menahan langkah Bian yang gemetar. 

"Minggir, Bis!" Jeritan frustasi itu berhasil mengundang perhatian banyak orang, termasuk Deus. 

Biskara mendesah frustasi. "What's going on?!" Tangannya mencengkeram kuat pada bahu Bian, enggan membiarkan gadis itu pergi begitu saja. 

"Rumah sakit. Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Tanpa menoleh sedikit pun pada Deus yang memandangnya penasaran, Bian segera menarik lengan Biskara keluar dari sana. Biskara menyempatkan diri meletakkan lima belas lembar seratus ribuan di atas meja sebelum keduanya diteriaki pelayan karena dituduh kabur tanpa membayar.

Melihat Bian yang kalang kabut dan tidak konsentrasi, Biskara pun harus beberapa kali menarik gadis itu mendekat agar terhindar dari tubrukan orang-orang yang berlalu-lalang. Biskara juga membukakan pintu mobil untuknya, membiarkan Bian sibuk dengan ponselnya entah menghubungi siapa. 

Tapi belum juga Biskara mengitari badan mobil untuk masuk lewat pintu kemudi, Deus sudah lebih dulu tiba dan menahan pundaknya.

"Mau ke mana?"

"Rumah sakit."

"Kenapa? Siapa yang sakit?"

"Peony yang minta."

"Wait a sec." Deus beralih menuju sisi pintu tempat Bian berada. Jemarinya mengetuk jendela tak sabar. 

Bian menoleh terkejut, lantas menekan tombol untuk membuka jendela tersebut. Deus juga sama terkejutnya kala mendapati Bian tengah sesenggukan. 

"Ngapain ke rumah sakit? Lo sakit?" 

"Mama kecelakaan, Om! Masa gak tahu, sih?!"

"Hah?"

"Gak usah hah-hah-hah. Saya mau ke rumah sakit sekarang. Kalo Om gak mau ikut, mending pergi sekarang. Saya buru-buru."

Deus menekan bibirnya menjadi satu garis lurus. Ingin marah, tapi tahu sikonnya sedang tidak pas. "I have no idea at all. Tapi, fine. Gue ikut." Tanpa menunggu persetujuan sang pemilik mobil, Deus langsung mengisi ruang kosong di balik kemudi begitu saja. Mobilnya sendiri ada di kantor, ia tinggal karena Garka mengajaknya makan malam bersama dan memaksa Deus menaiki Lambonya. Bukannya Garka sedermawan itu, tapi memang pada dasarnya pria congkak itu berniat pamer.

Melihat Biskara yang masih mematung, di tempat, Deus pun jadi gregetan. Dibukanya jendela selebar mungkin. "Oi, Bocah Sontoloyo! Lo mau gue tinggal?!"

Biskara sempat mengumpat sebelum akhirnya masuk, menempati kursi belakang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status