Share

PEONY
PEONY
Penulis: porknoodle

01. Her Name is Peony

Mungkin jet lag kali ini adalah yang terparah bagi seorang Thadeus Nenggala. Sudah seminggu berlalu sejak kunjungannya ke Amerika, tapi bahkan efeknya masih begitu terasa hingga detik ini. Siang bolong begini dan ia diterjang kantuk luar biasa. Selain itu, kepalanya terasa seperti digebuki satu kampung, pusing sekali. Padahal kemarin bukan pertama kalinya ia mengunjungi negeri Paman Sam. Ia baru akan bangkit, berniat membuat secangkir kopi kala bel rumahnya ditekan dengan brutal.

Deus bergerak ogah-ogahan dari kasur, melenggang keluar untuk mengecek lewat interkom. Matanya menyipit saat mendapati sosok tak terduga itu. Tak butuh banyak waktu untuk ia beringsut mendekati pintu dan membukanya.

"Thea? Lo ngapain di sini?!" Itu Theana Nenggala, adik perempuannya yang seharusnya berada di Italia saat ini. 

"Gue punya anak." Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut adiknya. Diucapkan dengan cepat dan tegas.

Butuh beberapa detik untuk Deus mencerna kalimat Thea yang diucapkan dengan cepat dan tegas itu. "W-what?"

"Gue .. punya anak." 

"Ini udah subuh dan candaan lo gak lucu. Oh, wait. Lo kebobolan sama Saka?!"

"Gue punya anak dan dia udah umur enam belas. Dia bukan anak Saka."

"The fuck?!" Mari Deus ingat-ingat. Umur Thea baru tiga puluh tiga. Memang umur yang wajar bagi seorang wanita untuk mempunyai anak pada masa itu. Namun Deus tahu dengan jelas, Thea bahkan belum menikah! Dan apa katanya? Enam belas tahun? "Lo .. adopsi anak?" Itu spekulasi paling logis, kan?

"She is my biological daughter." Thea mendesah frustasi. "Alasan gue selama ini bolak-balik Italia - Jakarta adalah karena itu. Anak gue .. tinggal di sini."

Sebelum Deus semakin gila dan pusing, ia menarik adiknya masuk ke dalam. Keduanya duduk di ruang tamu dengan pencahayaan temaram.

"Wait. Lo bilang, anak lo umur enam belas. So you had her when you were seventeen?!" Deus memekik tak percaya. Yang ia tahu selama ini, Thea itu anak pintar yang ambisius soal prestasi. Adiknya itu selalu membanggakan. Ia bahkan mendapat beasiswa penuh untuk kuliahnya di Italia. Tapi .. kenapa? "Gue gak habis pikir."

"Gue udah hamil dua minggu saat lo, Mama, dan Papa anter gue ke bandara pas itu." Deus dapat mendengar penyesalan itu dalam getar suara Thea. "I was stupid, I know. Gue pikir, dengan gue lari ke Italia, gue bisa kubur semua masa lalu gue di Jakarta. Tapi gue gak sanggup buat bunuh janin itu."

"About your scholarship .. " Deus merasakan tenggorokannya mulai kering.

"It was true. Gue terusin kuliah gue di sana, dengan kondisi hamil. Saat gue lahiran, gue ambil cuti beberapa bulan. Setelah dia cukup besar, I sent her to Jakarta. Dia diasuh sama orang sewaan gue."

"Then, kenapa lo baru kasih tahu gue sekarang? Selama ini lo udah baik-baik aja dengan nutupin itu semua, kan?" Ada sesak yang melingkupi dadanya. Deus bukan pria suci. Ia juga kerap bersenang-senang dengan dunia malam, dikelilingi oleh ratusan wanita yang dengan senang hati menyerahkan diri padanya. Tapi ini adiknya sendiri. Adik perempuan yang selalu berusaha ia lindungi.

Terdengar helaan napas berat. "Lo tau, gue udah pacaran sama Saka selama lima tahun. He proposed me a week ago."

Deus mulai mengerti arah pembicaraan ini. "Saka gak tahu soal ini?"

Thea menggeleng pelan. Tangannya bergerak menutupi wajah. "Help me." 

"Enam belas tahun lo sembunyiin fakta ini?" Sulit dipercaya. Thea memang memilih menetap di Italia semenjak lulus kuliah, memilih berkarier di sana sebagai aktris sekaligus model. Thea memang cukup sering kembali ke Jakarta, namun Deus tak pernah curiga akan hal itu. Ia hanya beranggapan kalau Thea rindu keluarga dan rumah. Seorang anak gadis? Tak pernah sekalipun pikiran itu terlintas di otaknya.

Thea mengangguk terpatah. "I love her. Tapi kehadirannya gak pernah gue ekspektasi dan .. gue gak menginginkannya. Lima tahun sama Saka, gak ada hari tanpa gue merasa khawatir. Gue takut Saka tahu semuanya dan milih buat ninggalin gue." Deus mulai kalut saat Thea malah terisak kecil. "Help me, Kak Deus."

"Gimana bisa gue bantu lo?!" Deus mengerang frustasi. "Lo gak berniat nyuruh gue bunuh anak itu, kan?"

"Gantiin posisi gue sebagai orangtua dia."

"What?! Tunggu, tunggu! Dimana-mana, ada emak ada bapak! Where is her father?!" Deus memutar otak, mencoba mengingat-ingat pacar Thea kala itu. Satu fakta membuatnya tersentak. "Joshua Anagata?!"

Tangisan Thea kian keras. Dan Deus langsung tahu kalau dugaannya benar adanya. "Lo pasti udah denger berita. Josh udah nikah empat tahun lalu. Bahkan dia udah punya anak."

"Apa dia bahkan tahu kalau dia punya anak sama lo?" Diamnya Thea malah semakin membuat Deus frustasi. "Answer me, Theana Nenggala."

"Dia tau. Dia suruh gue gugurin janin itu. Lalu gue pindah ke Italia, habisin berminggu-minggu hanya untuk mikir."

"Dan dia ninggalin lo saat lo milih buat pertahanin janin itu?" 

Thea mengangguk lagi. 

"Son of a b*tch." Sebrengsek-brengseknya Deus, ia tidak pernah tuh sampai menghamili anak orang. Ya, semoga saja kedepannya tetap begitu. "Terus? Lo mau gue yang rawat itu anak? Gitu?"

"Just for a year. Umurnya tujuh belas sebentar lagi. Dia akan dianggap dewasa secara hukum dan gue yakin dia bisa survive sendiri. Bian itu anak yang pintar. Pasti masa depannya akan cerah."

"Her name is .. Bian?"

"Bianca Peony." 

"Peony as a flower?"

"Yep." Thea menarik napas panjang, seperti berusaha mengembalikan kewarasannya. "Dia ada di mobil saat ini."

Deus melotot. "Dia di sini?!"

"Lo bersedia bantu gue?" 

Sekali lagi Deus tegaskan. Dia bukan orang suci yang hobi menebar kebaikan. Tapi ini menyangkut Thea, adik perempuannya yang mungkin selama enam belas tahun ini hidup dalam bayang-bayang ketakutan. "Gue sendiri bahkan gak tahu cara hidup yang baik dan benar gimana. Gue gak yakin gue bisa .. "

"Gue cuma butuh lo buat pastiin hidupnya nyaman sampai tahun depan."

Deus meluruskan kakinya, melempar punggungnya ke belakang hingga berbenturan dengan bantal besar. Jemarinya bergerak memijat kening yang terasa kian berat. "Lo bilang selama ini dia hidup sendiri dengan seorang pengasuh. Kenapa gak dilanjutin aja? Kenapa malah seret-seret gue?"

"Gue sama Saka berniat tinggal di sini setelah kita menikah."

"Terus?"

"Selama ini, Bian gak pernah protes. Walaupun gue cuma nemuin dia enam bulan sekali, dia gak pernah ngeluh sama sekali. She's a nice girl. Tapi tetep aja. Gue takut. Gimana kalau Bian nekat bongkar semuanya di depan Saka? Selama ini gue bisa sedikit tenang karena jarak yang terbentang di antara mereka sangat jauh. Tapi akan beda cerita kalau kami pindah ke sini, kan?"

"Let me make it clear." Deus kembali duduk tegak, meletakkan kedua lengannya di atas paha. "Jadi lo mau gue pastiin kalau anak itu gak akan ngusik hidup lo lagi?"

"Gak gitu! Gue bakal tetep support dia secara finansial sampai dia siap buat jalanin hidupnya sendiri dengan bebas. Dia tetep anak gue. Tapi gue gak bisa nerima konsekuensinya kalau sampai fakta ini tersebar. Bukan cuma karier gue yang bisa anjlok. Hidup gue mungkin akan bener-bener hancur."

Deus mengerti. Tapi dia juga enggan dan ragu. Hidupnya sudah terlampau nyaman hingga detik ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ia harus tinggal seatap dengan seorang anak kecil. Apalagi seorang perempuan! 

"Thea. Lo tahu dengan jelas. I'm not a good guy. Hidup gue jauh dari kata lurus dan normal. And she's just a kid for God's sake!" Deus mencoba menekankan. Ia tidak akan pernah bisa jadi figur orangtua yang baik. Tidak akan pernah. Salah satu alasannya enggan menikah ialah rasa takutnya menjadi seorang ayah. Dan kini ia diharuskan bertanggung jawab atas seorang anak berumur enam belas?! Deus tak habis pikir. "I can't. I'm sorry."

"Please." Thea merengek, terlihat hendak menangis lagi. "I promise, Bian gak akan banyak repotin lo. Dia anak yang mandiri."

Deus mengusap wajahnya kasar. Di satu sisi ia tak tega melihat adiknya frustasi seperti itu. Tapi ia juga tidak akan bohong atas perasaannya sendiri. Ia tidak siap melangkah kelur dari zona nyamannya. 

"Please, Kak Deus." Ada yang remuk di hatinya melihat Thea seperti itu. Mungkin pepatah itu memang benar. Selamanya, darah akan lebih kental dari air. Sekalipun kini keduanya sudah menjelma menjadi sosok dewasa yang seharusnya sudah hidup secara mandiri, baginya, Thea masihlah seorang adik kecil yang harus ia lindungi. "Just a year, I promise."

"Lo gak takut, gitu?!"

"Takut apa?"

"Anak lo tinggal sama cowok brengsek kayak gue." 

"You're a good brother to me, Kak. Gue yakin lo akan perlakuin anak gue sama baiknya kayak gimana lo perlakuin gue." 

"Gue gak bisa percaya ini," gumam Deus diiringi dengan dengus frustasi. "Bring her in. Gue mau liat dia."

*

Bian meremas kesepuluh jarinya cemas. Sudah dua puluh menit lebih ia hanya duduk diam ditemani lagu yang mengalun dari tape. Matanya menyisiri setiap penjuru rumah besar minimalis yang berada tak jauh dari tempat mobil Thea terparkir. Ia gugup, tentu saja. Ini pertama kalinya Thea mengajaknya keluar bersama.

Entah Bian harus menghela napas lega atau panik saat melihat Thea kembali. Wanita cantik itu mengetuk kaca jendelanya. Bian membukanya.

"Ayo, turun. Om Deus mau ketemu kamu." Thea sudah memberitahunya tadi pagi. Ia akan 'dititipkan' sementara kepada pamannya. Bian tidak banyak komentar. Sudah syukur Thea tidak membuangnya ke panti asuhan. Diawali helaan napas panjang, Bian pun turun dari mobil, mengikuti langkah Thea memasuki perkarangan rumah.

Rumah ini besar, memiliki desain indah nan unik yang dalam sekali tengok dapat disimpulkan kalau pemiliknya bukan orang sembarangan. Selama ini, Bian tidak pernah bertemu dengan keluarga Thea. Yang ia tau, Thea itu putri konglomerat yang sejak lahir sudah dicekoki sendok emas. Jadilah ia gugup setengah mati. Bagaimana kalau ia ditolak? Bagaimana kalau pamannya itu tidak mau menerimanya?

Mereka memasuki area rumah. Ubin dingin yang terbuat dari marbel langsung merayapi telapak kaki Bian yang sudah tidak dilapisi sepatu. Pemandangan seorang pria dengan kaos putih polos dan celana training hitam yang tengah duduk santai di atas sofa menyambutnya. 

Saat Thea mengatakan 'paman', yang Bian bayangkan ialah sosok paruh baya yang memiliki aura kebapakan, bukannya seseorang pria muda dengan tampang songong luar biasa yang kini memberinya sorot penuh selidik.

"Kak, ini Bianca. Bian, ini Om Deus."

Thadeus Nenggala berdiri, berjalan mendekat ke arah keduanya. Bian sudah hampir bergerak mundur saat Deus mendekatinya, namun nyatanya, pria itu hanya menyodorkan telapak tangannya untuk dijabat.

"Deus. Jangan panggil gue 'om' karena gue gak setua itu." See? Persis seperti mukanya yang sengak, cara bicara Deus sangat menyebalkan! 

Bian menahan diri untuk tidak mendengus. Mengingat umur Thea yang sudah menginjak tiga puluh tiga, itu berarti Deus setidaknya satu tahun (atau bahkan lebih dari itu) lebih tua dari Thea. Bagaimana bisa Deus mengatakan kalau ia tidak layak dipanggil om-om? Narsis sekali. 

"Bian." Ia menjabat tangan itu cepat, segera menariknya kembali.

"Great. Sekarang kalian udah saling kenal. Mama harap, kamu bisa tinggal dengan nyaman di sini, ya, Sayang. Mama janji akan sering-sering nengok kamu." Thea mengusap kepala Bian, tersenyum manis. "Jangan ngerepotin Om Deus, ya?"

Bian hanya mengangguk.

"Kalo gitu, Mama tinggal, ya?"

Pertanyaan retoris. Karena sekalipun Bian merengek kepada Thea untuk menetap, wanita yang ia panggil 'mama' itu tetap akan berbalik dan pergi.

*

Tepuk tangan untuk Deus karena berhasil menguasai dirinya sendiri. Ia ogah terlihat canggung dan memalukan di depan bocah SMA yang bernotabene sebagai keponakannya itu. 

"Lo beneran anak kandung adek gue?" Pertanyaan itu sudah telontar tiga kali sejak perjalanan mereka menuju kamar tamu. 

"Om mau saya tes DNA sama Mama?" Pertanyaan itu diutarakan dengan sarkas, membuat Deus refleks memutar bola mata.

"Jangan panggil gue om!"

"Emang udah om-om, toh?" Tadinya, Deus kira Bian adalah anak manis yang tidak suka banyak bicara. Namun sepertinya ia salah menilai. "Kok gak sadar umur?"

"Keturunan siapa sih mulut lo itu? Perasaan adek gue kalem, dah!" 

"Oh? Mungkin Papa saya." Bian menjawab acuh. 

Deus terdiam sebentar, berdeham canggung setelahnya. "Lo tahu siapa bokap lo?" Ia melirik anak itu lewat sudut matanya, mendapati Bian sedang kesusahan mengangkat koper menaiki tangga spiral yang akan membawa mereka ke lantai dua. Tadinya ia berinisiatif membantu, namun urung saat Bian menjawab pertanyaannya.

"Gak penting juga. Saya gak kepengin tau."

"Kenapa? I mean, lo gak niat nuntut hak lo gitu?" Langkah Deus terhenti, membuat Bian ikutan berhenti untuk memberi sorot heran padanya. 

"Kenapa Om pengin banget tau, gitu?" Bian mengikuti nada suara yang Deus gunakan, membuat pria itu mengerut kesal.

"Listen, Kid. Gue gak tahu apa memang semua remaja itu ngeselin kayak lo. Tapi satu peraturan di rumah gue, gue gak suka dibantah atau dilawan. Oke?"

"Atau apa?" tanya Bian dengan nada menantang yang lagi-lagi menyulut emosinya. "Om mau ngusir saya?"

Deus menarik napas panjang. Orang sabar disayang Tuhan. Ya, ia tidak yakin sih Tuhan masih menghitungnya sebagai manusia beradab yang perlu diperhatikan. "Don't get me wrong. Gue nampung lo di sini bukan karena gue manusia baik hati yang rajin doa ke gereja. So, better watch your attitude, Kid."

Bian hanya menjawab dengan dengusan. Keduanya tiba di depan satu kamar yang selama ini tak pernah Deus sentuh. Selama ini, ia selalu tinggal sendiri. Memang beberapa temannya kerap berkunjung, namun tak pernah ada satupun dari mereka yang menetap untuk sekedar menginap. Kamar itu dibuat untuk formalitas saja sebenarnya. Siapa sangka kini akan benar terisi?

"Ini kamar lo. Gue nggak akan bilang hal cheesy semacam 'anggep aja rumah sendiri.' Lo bebas melakukan apa aja, I don't care. Tapi jangan ganggu gue. Paham?"

Bian tersenyum paksa. Anak itu mengacungkan jempol. "Om bisa tenang. Saya gak berniat ngerecokin hidup Om, kok."

"Nice." Deus tak mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan Bian yang langsung menyeret kopernya masuk ke dalam kamar.

Bian melempar diri ke atas permukaan kasur, memejamkan mata. Ia kira ia sudah terbiasa dengan kondisi tidak diinginkan seperti ini. Tapi kenapa kali ini terasa lebih sesak dari hari-hari sebelumnya?

*

Minggu. Biasanya, Bian akan dengan senang hati bergelung di bawah selimut hingga matahari merangkak ke puncak langit teratas. Tapi boro-boro bangun siang, ia bahkan nyaris tidak tidur sejak merebahkan diri di kasur asing ini. Bian menghabiskan hampir seluruh hidupnya di tempat yang sama, membuatnya sukar beradaptasi dengan kondisi baru. 

Bian memilih bangkit, masuk ke kamar mandi dan lagi-lagi dibuat takjub akan desainnya yang unik dan megah. Ya, apartemen lamanya memang termasuk golongan atas, namun desainnya lebih terkesan minimalis dan monoton. Semuanya sudah tersedia lengkap ala hotel. Gosok gigi, odol, shampo berkemasan kecil, serta handuk putih yang tergulung rapi di dalam rak. 

Bian menyikat gigi lebih dulu, lantas menghabiskan satu jam lebih di dalam bathtub berukuran raksasa. Sebuah lilin aroma terapi di pojok ruangan membuat pikirannya tenang seketika. Bian jarang sekali menangis. Mau sesulit apa hidupnya. Mau sesakit apa hatinya. Baginya, menangis itu haram hukumnya. Ia benci terlihat lemah. 

Namun ia juga tidak mau munafik. Ia sakit. Ia lelah. Semua iblis di sekitarnya seolah berlomba-lomba mengatakan bahwa ia tidak dincintai dan tidak ada yang mengharapkan kehadirannya. 

"Tapi apa salahnya? Gue juga mau hidup," gumamnya lirih sebelum turut menarik kepalanya turun ke permukaan air yang dipenuhi busa tebal, berteriak sekeras-kerasnya di dalam sana.

*

Deus sedang menikmati semangkuk mi instan dengan mata berat lantaran masih saja diterkam insomnia saat suara langkah lainnya terdengar. Tadinya Deus sudah nyaris melompat saking terkejutnya, namun napas leganya keluar begitu saja saat matanya menemukan Bian dengan rambut terbungkus oleh handuk. Deus selalu terbiasa ditemani keheningan, jadi aneh rasanya mendapati ada suara lain siang ini yang bukan berasal dari dirinya.

Sepertinya bukan hanya Deus yang gugup dan merasa canggung, nampaknya anak itu juga tidak menduga bahwa ia akan berada di meja makan seorang diri sekarang ini. Ya, ini hari Minggu dan sudah pukul satu siang. Tadinya Deus sudah ada janji temu dengan Sabit, namun batal begitu saja karena sahabatnya itu memilih mengikuti kencan buta yang menurut Deus sangat konyol dan tidak guna.

Deus berdeham canggung, kembali melahap mi instannya, mencoba mengabaikan Bian yang berlaku sama. Anak itu melewatinya, tampak sibuk sendiri entah mencari apa. 

"Cari apaan, sih?!" tanya Deus judes. Ia tidak suka barang-barangnya diberantaki. 

"Gelas," jawab Bian singkat.

Deus menghela napas, berdiri mendekati Bian. Tangannya meraih salah satu lemari di kitchen set itu, menarik satu gelas berwarna biru muda dengan ukiran abstrak. Gelas itu salah satu favoritnya. Deus membelinya saat berkunjung ke salah satu kota tua di Vietnam.

"Jangan pecah. Mahal," kata Deus sambil menyodorkan benda itu pada Bian.

"Makasih." Bian berjalan menjauh menuju dispenser. Deus sendiri hendak kembali ke meja makan, namun ucapan anak itu selanjutnya berhasil menahannya. "Airnya abis."

"Jeez." Deus berdecak. "Yaudah. Minum yang lain dulu aja. Itu di kulkas banyak." Biasanya, setiap dua minggu sekali, akan ada kiriman beberapa galon dari supplier langganan Deus. Namun sepertinya galon-galon itu baru akan tiba besok pagi.

Tak ada sahutan dari Bian, jadi Deus pikir sudah tidak ada masalah. Tapi, Deus malah dibuat tersedak saat matanya menangkap Bian sedang menenggak salah satu bir kaleng dari dalam kulkas dengan santainya.

"Lo ngapain?!"

"Minum."

"Lo gila?! Kenapa minum itu?!"

Bian mengusap bibirnya dengan punggung tangan, meletakkan kaleng bir itu di atas meja bar. "Tadi Om bilang suruh ambil dari kulkas."

"Sinting." Deus berdiri, berjalan mendekati Bian dan merebut kaleng itu dengan cepat. Tanpa tedeng aling-aling, Deus membuang benda itu ke dalam tempat sampah. "Umur lo bahkan belum legal buat minum gini-ginian, ya!"

"Om aja boleh. Masa saya nggak?"

"Beda, lah! Gue kan udah tua!"

"Oh. Ngaku kalau udah tua?"

Deus naik pitam. "Terserah." Ia merebut kaleng bir tersebut, tanpa tedeng aling-aling melemparnya ke tempat sampah.

Bian menganga tak percaya. Deus malah tersenyum sok polos. "Apaan sih Om?!"

"Bir-bir itu punya gue. Tuh, banyak Mogu-Mogu mangga sama susu stroberi, cocok buat lo." Bukannya Deus hobi menyetok minuman manis seperti itu. Siapa lagi kalau bukan ulah Sabit? Rumahnya ini sudah seperti basecamp bagi wanita itu. 

"Pelit amat buset!" Bian mendelik.

"Bodo!"

"Rumah gede, mobil banyak, masa beli bir lagi aja gak mampu?!"

"Gak usah komen!"

Mungkin perdebatan tak berbobot itu akan terus berlanjut kalau saja suara bel tidak berbunyi. Deus meninggalkan Bian begitu saja, menuju pintu depan dan membukanya. Itu Bi Dean, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja untuknya sejak tiga tahun belakangan. Bi Dean rutin datang setiap hari. Biasanya dari pukul delapan pagi hingga tiga sore. Tapi khusus hari Minggu Deus memberi kesenggangan untuk datang lebih siang.

"Masuk, Mbak."

Bian nongol dari dapur, membuat Bi Dean melongo untuk beberapa detik. 

"Dia keponakan saya, Bi." Deus segera menjelaskan, tidak mau Bi Dean salah paham dan berprasangka macam-macam.

Bian tersenyum sopan, membuat Deus berdecak samar dan mencibirnya dalam hati. Emang kurang ajarnya sama gue doang kayaknya. 

"Oh. Halo, Non. Saya Dean. Panggil aja 'Bi Dean.' Saya pembantu di rumah ini." Bi Dean tersenyum keibuan. "Non cantik namanya siapa?"

"Bianca, Bi."

"Owalah. Beruntung sekali Tuan Deus punya keponakan semanis ini. Sekarang Tuan udah gak kesepian lagi dong di rumah?" Bi Dean terkekeh, tidak sadar akan aura permusuhan yang secara jelas dilemparkan oleh dua manusia berbeda generasi itu. "Kalau gitu, Bibi tinggal dulu, ya? Mau bersih-bersih."

Sepeninggal Bi Dean, keduanya melengos secara bersamaan, membuang muka dari satu sama lain saat pandang keduanya bertemu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status