Share

04. Imperfect Life

Thea itu gambaran wanita sempurna, kalau menurut Bian. Ia cantik, anggun, ramah, berkelas, dan penyayang. Bian selalu menganggap kalau dirinya adalah satu-satunya yang salah dalam hidup gemilangsang mama. 

Memang Thea tidak pernah menunjukkan terang-terangan kalau kehadirannya tidak diinginkan. Tapi bukannya jelas? Diasingkan belasan tahun serta bertatap muka hanya dua kali setahun. Bian bukan lagi anak kecil bodoh yang naif. Mudah saja baginya menerka segala kemungkinan. 

Ada satu momen yang tidak pernah ia lupa. Waktu itu ia masih berumur delapan. Kebetulan, saat itu Thea menetap di Jakarta cukup lama dari biasanya dikarenakan harus menjadi juri dalam satu ajang fashion show di sebuah stasiun televisi nasional.

Malam itu hujan badai, menyebabkan Thea terpaksa harus tinggal di apartemen. Bian tidak pernah suka hujan. Namun pengecualian untuk saat itu. Ia bahkan masih ingat permintaan konyolnya saat itu pada Tuhan. Ia ingin hujan badai itu berlangsung selamanya hanya agar dapat memiliki waktu berdua dengan Thea sedikit lebih lama. Untuk pertama dan terakhir kalinya, Bian tidur di dalam pelukan hangat Thea.

"Ma. Aku punya papa, nggak?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Ia masih terlalu kecil saat itu. Terlalu bodoh untuk mengartikan raut sedih dan menyesal di wajah Thea. 

Thea mengusap keningnya lembut, tersenyum hangat. "Di beberapa kasus, Tuhan sengaja percayain seorang anak hanya ke satu orangtua yang memang kuat dan mampu untuk menjaga anak itu. Kamu paham?"

"Jadi, Mama itu kuat dan bakal selalu jagain aku?"

Anggukan Thea membuat Bian mengeratkan pelukannya pada Thea, membiarkan malam itu ia tertidur sembari menjaga agar Thea tetap menetap. Ia memang tidak mengerti apa pun. Namun satu yang pasti, ia tidak ingin melihat Thea menunjukkan raut sedih seperti itu lagi. Jadilah tak satu kali pun ia mengulang pertanyaan koyol tersebut.

Lalu bagaimana bisa seorang Bianca Peony mengetahui fakta soal Joshua Anagata? 

Well. Thea tidak pernah menunjukkan kesalahan apa pun di depan Bian. Selama ini, sosok itu seolah terlahir tanpa cacat sedikit pun. Namun malam itu sedikit berbeda. Saat itu umur Bian sudah lima belas, sekitar setahun lalu. Ia mendapat telpon yang mengatakan kalau Thea mabuk parah dan butuh jemputan.

Bian itu memang terdiri atas kemandirian sekaligus nekat. Bahkan sekalipun ilegal, ia sudah lancar membawa mobil berkat ajaran Pak Mul. Ia segera meraih kunci mobil dan melesat menuju salah satu pub yang disebutkan di telpon. Ia menghampiri Thea yang mabuk parah, membopong tubuh rampingnya masuk ke dalam mobil.

Thea meracau tak jelas. Kebanyakan mengumpati permasalahan hidupnya. Bian ingat, bagaimana akhirnya ia ditampar keras dengan fakta kalau ia adalah beban terberat bagi Thea. Satu-satunya alasan Thea menangis dan mengutuki hidup adalah karenanya.

"Mana ada orang cantik kayak gue jadi mama muda, single parent pula?!" Thea tergelak kencang, sampai-sampai mengucurkan air mata bak orang gila. "Gila banget gak, tuh?! Emang Joshua brengsek! Bisa-bisanya dia mau bunuh janin gak bersalah!" 

Bian refleks mengerem, membuat tubuhnya yang tidak terlindung seatbelt tersentak ke depan dengan keras. Keningnya terantuk roda kemudi, sedangkan Thea langsung memaki-maki. Namun semua suara seolah buyar detik itu. Bian mampu merasakan bagaimana dadanya digedor lantang oleh jantungnya sendiri. Ia masih ingat .. bagaimana akhirnya ia menangis setelah sekian lama bersikap sok kuat.

Ia menangis keras, menyenderkan keningnya pada badan stir, sesenggukan hingga sulit bernapas. Tidak dipedulikannya kendaraan lain yang menyempatkan diri untuk membuka kaca, mengumpatinya dengan kasar lantaran berhenti seenak jidat di tengah jalan. 

Namun tangisannya hanya berlangsung tak lebih dari satu jam. Setelah mampu menguasai diri, Bian segera tancap gas, membawa Thea kembali ke apartemen, dan memulai penyelidikannya saat itu juga. Bukannya ia seingin tahu itu. Ia hanya .. penasaran. Sosok seperti apa yang turut berkontribusi dalam pembuahannya ke dunia ini?

Hanya satu Joshua yang Bian dapatkan dari laman f******k dan akun sosial media lama lainnya milik Thea yang telah terbengkalai. Joshua Anagata. 

*

Tadinya Deus agak ragu meninggalkan anak itu sendiri di rumah. Tapi mengingat ucapan Bian tempo malam lalu, Deus jadi merasa seperti orang tolol sendiri. Kenapa juga ia harus sekhawatir itu? Mendengus menertawai kekonyolannya sendiri, Deus segera membawa mobilnya menuju kantor. 

Namun perjalanannya tidak berjalan semulus itu. Lagi-lagi ia diusik oleh pemandangan janggal. Tepat di depan komplek perumahannya, bocah sok tahu yang semalam mengaku sebagai teman Bian, Deus melihatnya, sedang berdiri di sebelah motor besarnya, hanya berdiam diri dengan wajah bimbang.

Segala spekulasi bermunculan di kepala Deus. Apa anak itu pengemis yang sedang menunggu sumbangan? Tidak mungkin. Motornya saja jelas memakan harga sekian ratus juta—nyaris menyerempet M malahan. Tampangnya juga oke, tidak terlihat seperti orang kurang gizi. Lalu untuk apa bocah itu malah nangkring di depan sana seperti orang kebelet buang air besar? Ah, Deus tahu!

Deus membawa mobilnya mendekat, menurunkan kaca untuk memamerkan wajahnya pada Biskara. "Ngapain lo di sini?"

Biskara terkejut, namun tidak menunjukkan ekspresi berlebih. "Ini kawasan umum."

Deus terkekeh. "Mau nemuin keponakan gue, ya?" Belum sempat Biskara menjawab, Deus sudah lebih dulu melenyapkan segala keramahan di wajahnya. "Lo ngikutin gue, ya? Kok bisa tahu rumah gue di sini?"

Biskara menghela napas. "Maaf." Bahkan bocah itu tidak berusaha mengelak! Deus salut.

Deus berdecak hiperbolis. "Lo pikir gue bakal kasih lo berduaan doang sama Bianca di rumah gue? Ogah banget rumah gue dijadiin sarang percintaan dua anak muda yang berkemungkinan besar melakukan hal yang enggak—"

Rentetan panjang itu harus terpotong oleh satu kalimat pendek nan tegas ala Biskara Limuel. "Saya cuma ingin memastikan Peony baik-baik aja."

Deus tersenyum mengejek, lantas kembali memasang wajah songong andalannya. "Dia baik-baik aja. Lo pikir gue gak bisa jaga dia dengan baik?"

"Om sendiri yang tadi malam bilang kalau hubungan kalian gak sedekat itu."

Memang, ya. Anak muda jaman sekarang itu perlu diajakarkan untuk bertutur kata yang sopan kepada orang tua. "Pokoknya, gak ada berduaan doang di rumah gue!"

"Om mau pergi?"

"Iya! Kenapa?!"

"Oke. Bagus. Saya bakal tunggu sampai Om pergi."

"Edan!"

Belum selesai adegan drama di depan komplek ternama di kawasan Jaksel itu, Deus harus dibuat serangan jantung saat tiba-tiba sebuah moncong Audi berhenti tepat di depan mobilnya, hanya berjarak beberapa senti hingga mobilnya terkena sasaran penyok. 

"Cuk, lo pindah haluan jadi hombreng sekarang?!" Itu Sabit, dengan suara cempreng khasnya.

Deus pusing.

*

Kadang, Bian memang bisa sebodoh itu. Ia baru saja selesai mencuci tangannya dengan sabun, dan tanpa merasa harus mengeringkan kulitnya dengan lap, ia langsung meraih gelas berisi air dari atas meja. Alhasil, benda yang baru saja hendak ia gunakan untuk minum itu malah berakhir tergelincir dari jemarinya, jatuh berhamburan di atas ubin dengan suara nyaring.

Ia baru saja berjongkok, hendak memunguti pecahan-pecahan itu saat mendadak pintu depan terkuak dan mengantarkan suara perdebatan dua orang ke telinganya. Mudah saja menebak kalau pemilik suara bariton namun cerewet itu adalah Deus. Namun suara wanita yang mengiringinya asing di telinga Bian.

Bian memilih tak peduli, kembali ke aktivitas awalnya. Ia berhasil memindahkan beberapa pecahan itu ke dalam tempat sampah. Namun entah semesta merasa kesialannya belum cukup atau memang hanya karena kecerobohannya, ia malah tergelincir genangan air yang tadi tumpah bersamaan dengan gelas tersebut.

Ia meringis keras—lebih keras dari dugaannya—saat ia merasakan kulit telapak tangannya bersentuhan langsung dengan serpihan-serpihan tajam itu. Belum lagi, kepalanya terantuk badan meja bar dengan cukup keras.

"KENAPA?! ADA MALING?!" Seruan heboh itu mendekat. Bian mengangkat kepala, mendapati Deus yang sudah diliputi oleh kepanikan. Di sebelahnya, berdiri seorang wanita cantik yang kini menatapnya penuh ketakjuban. Dan Bian sama sekali tidak memiliki kesiapan saat matanya bertubrukan dengan sepasang iris tajam milik Biskara. "Anjir! Lo kenapa?!" 

Biskara langsung gesit mendekatinya, menatap sekilas pada genangan air yang kini telah berubah menjadi merah darah, lantas memberi Bian sorot paling teduh yang berhasil membuat organ bernama jantung itu lari maraton. "Bisa bangun?" Tunggu, tunggu. Kenapa Biskara bisa di sini?!

Bian mengerjap, mendadak lupa akan semua rasa sakitnya. Terpatah, ia mengangguk. "B-bisalah!"

"Minggir. Gue aja yang ngurusin nih anak." Deus memang perusak suasana. Bian mendengus sebal kala pria bar-bar itu dengan kejamnya menarik tudung jaket Biskara ke belakang, membuat Biskara mundur teratur. "Makanya. Mata tuh dipake, Anak kecil," cibir Deus, berjongkok di dekatnya dan dalam satu jurus mengangkat tubuhnya yang tidak bisa dibilang ringan.

"OM! NGAPAIN GENDONG-GENDONG?!" Bian menjerit histeris, seolah baru saja melihat pocong terbalik.

"Anjir, kuping gue sakit!" 

"Ya, Om gak usah gini juga! Malu, tahu?! Lagian yang luka kan tangan saya! Kaki saya masih baik-baik aja!"

"Malu gimana?! Lo kan pake baju, lengkap pula! Dan lo buta? Itu beling semua di deket lo. Kaki lo masih pincang sebelah, ya! Emang hobi lo nyari mati, ya?!"

Bian berdecak. "Terserah Om." Ia mengalihkan wajahnya pada dada bidang Deus, enggan melihat wajah Biskara ataupun wanita cantik yang Bian duga temannya Deus. 

Deus segera melangkah keluar dapur, mendudukkan tubuh ramping Bian di atas sofa beludrunya. "Oi, ambilin obat!" ujar Deus, melirik Biskara sekilas. Namun sosok yang diperintah malah masih diam mematung, membuat Deus lagi-lagi harus menahan hasrat untuk mengumpat. "Woi, lo budeg, ya?!"

"Om jangan gituin temen saya dong! Minta tolong tuh baik-baik!" Bian jadi malu sendiri sehabis mengucapkan itu. Bahkan ia sendiri ragu Biskara menganggapnya teman.

"Lagian diem aja kayak orang bego!" 

"Saya gak tahu Om taruh obat-obatan di mana." Oknum yang sedang diperdebatkan menjawab kalem. 

"Woiya, bener juga. Bit, tolong dong."

Perhatian Bian teralih pada Sabit yang masih melongo, seolah baru saja menemukan keajaiban dunia. "Ah, ya? Oke, bentar."

Bian menghela napas kala Sabit bergegas entah ke arah mana dan kembali tak berapa lama dengan kotak P3K di tangan. "Makasih, Tante—sori, saya gak tahu nama Tante."

"Sabitha Giovanni. Singkatnya, Sabit aja." Sabit tersenyum ramah, yang mana membuatnya berkali-kali lipat lebih menawan. Bian bingung. Sosok beradab bak bidadari seperti Sabit bisa-bisanya berkawan dengan Thadeus Nenggala yang kelakuannya mirip orang sakit jiwa kurang belaian? Luar biasa. "And you're welcome, Sweetie."

Deus seolah menutup telinga dari perbincangan keduanya, membuka kotak P3K yang sudah terdampar tepat di dekat kakinya. Untuk beberapa saat, keheningan merambati. Semua seolah menahan napas saat Deus secara hati-hati menarik keluar serpihan-serpihan beling itu dari telapak tangan Bian yang mana langsung mengundang ringisan pilu perempuan itu. 

"Jangan nangis, ya!" 

"Siapa juga yang nangis?!" Bian merespons tak santai di tengah-tengah rasa sakit luar biasa yang menderanya. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, serta menutup matanya erat kala Deus menyiramkan alkohol pada luka tersebut. 

"Selesai." Bian membuka matanya perlahan, mendapati perban sudah meliliti telapak tangannya dengan rapi. Sulit mempercayai manusia sejenis Deus bisa melakukan pertolongan pertama serapi dan bersih seperti ini. "Lukaaaa mulu kerjaan lo. Gak bosen apa?"

"Ya, namanya juga musibah!"

"Musibah sama ceroboh itu beda-beda tipis," jawab Deus pongah sambil membereskan segala perkakas P3K. "Sekarang lo—Bocah Sontoloyo—bisa pulang. Gue sama Sabit mau balik ke kantor. Dan lo, diem aja di rumah dan jangan buat ulah lagi, oke? Gue bakal panggil Bi Dean buat ke sini pagian." Atensi Deus bergilir, mulai dari Biskara yang masih setia dengan ekspresi datarnya, lantas pada Sabit yang masih terlalu speechless akan serentet kejadian barusan, dan pada Bian yang langsung mencebik sebal.

"Diktator."

"Ngomong apa lo?!"

"Om tukang perintah."

"Lo bener—"

"Deus, udah, ih! Gak malu apa debat sama anak kecil?" Walaupun agak tersinggung disebut anak kecil, Bian tetap harus memuji kewarasan otak Sabit. "Kita harus buru-buru ke kantor. Hari ini ada meeting sama Garka, kan?"

"Yaudah. Tapi Bocah Sontoloyo ini harus buru-buru minggat! Gue gak mau rumah gue jadi tempat mesum dua orang boc—"

"Om!" Bian dapat merasakan panas menjalari wajahnya. "Saya sama Biskara gak akan ngapa-ngapain!"

"Gue pernah muda. Lo pikir gue gak tahu apa pikiran anak muda yang ditinggal berduaan doang di rumah?"

"Om kan emang brengsek." Bian menjawab enteng. Dari hasil observasinya, mudah saja menebak kalau Deus itu bukan tipikal pria baik-baik yang hobi membaca Alkitab setiap harinya. Lewat I*******m, Bian dapat melihat kehidupan jenis apa yang digeluti pria yang berstatus sebagai kakak Thea itu. Klub malam, wanita, wanita, dan wanita.

Deus melotot, sudah hendak mengoceh lebih panjang kalau saja Sabit tidak segera membungkamnya dengan tabokan di punggung. "Buruan atau gue santet lo!"

"Awas lo berdua! Gue bisa liat lewat CCTV, ya!" Ocehan itu menghilang tepat setelah Sabit berhasil menyeret Deus keluar melewati pintu.

Dan sepertinya itu ide buruk. Akan lebih baik berdebat dengan Deus ketimbang ditikam kecanggungan bersama Biskara.

*

Setelah menghabiskan McD yang Biskara pesan, Bian melenguh kekenyangan, menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia membiarkan Biskara membereskan sampah sisa makanan dan membawanya ke dapur untuk dibuang.

Omong-omong Bi Dean sudah datang sekitar setengah jam lalu, kini sedang membersihkan teras rumah. Jadi keadaan tidak begitu canggung sebab setidaknya masih ada suara sapu lidi yang bergesekan dengan rumput di depan sana.

"Lo bolos sekolah?" tanya Bian kala Biskara kembali menunjukkan batang hidungnya. Matanya meneliti pakaian laki-laki itu. Atasannya sudah disulap menjadi sepotong kaos hitam polos, sedangkan bawahannya merupakan celana merah marun khas sekolah mereka.

"Ya."

Bian bertepuk tangan heboh. "Anak teladan bisa juga bolos."

Biskara mendengus, duduk di sebelah Bian begitu saja, membuat Bian sedikit gugup sebenarnya. Ya, ini bukan pertama kalinya mereka berada dalam jarak dekat. Namun selama ini, interaksi keduanya tidak jauh-jauh dari berdebat dan bersaing. Bian tidak mau gede rasa. Tapi dilihat dari perlakuan Biskara yang sedikit aneh sejak kemarin .. laki-laki itu memang terlihat peduli, kan?

"Lo ke sekolah aja, gakpapa. Gue gak mau repotin siapa pun."

Dengusan kedua. Kenapa laki-laki itu mudah sekali jengkel, sih?! "Berhenti bersikap seolah lo gak butuh siapa-siapa."

Bian terhenyak beberapa saat, mencoba mencerna kalimat itu. "Apaan maksdunya?! Jangan sok tahu!"

"Mau berapa kali lo dorong gue manjauh?" 

Bian bukan diam karena mendadak gagap. Tapi .. ia bingung. 

"Consider me as yours. Use me as much as you want."

"Bis, lo demam?" 

Dengusan ketiga. Kini Biskara sepenuhnya menatap Bian dengan sorot yang berhasil membuat gadis itu serasa disiram seember air es. Hal itu juga membuat Bian harus menekan satu fakta berulang kali. Biskara itu hanya teman. "Lo memang sebego itu, ya?"

Hilang sudah aura-aura merah muda yang baru saja merambati dinding sekeliling mereka. Bian mencebik, mendorong dada Biskara menjauh. "Udah, ah. Pulang sono. Gue mau tidur aja."

Biskara tidak bersuara lagi, membiarkan Bian menyeretnya keluar. Keduanya tiba di dekat gerbang yang menjulang tinggi. Walaupun Bian sudah meminta Bi Dean menekan tombol otomatis guna membuka gerbang tersebut, Biskara masih saja setia pada posisinya, tidak bergerak sedikit pun.

"Apa?" Bian bertanya galak, menengadah agar dapat melihat wajah si lawan bicara. 

"Get well really soon." Belum sempat Bian membalas, Biskara sudah lebih dulu membungkuk dan memberi kecupan ringan pada pipi. Bian membatu. Dan saat raganya sudah kembali berpijak pada tanah, Biskara sudah menghilang, membiarkan dirinya diterjang berbagai perasaan aneh seorang diri. Tak sampai di sana saja, perutnya seolah digerayangi ribuan kupu-kupu, pipinya juga seolah diletakkan di sebelah tungku api. Panas.

"Shit!" makinya, melarikan jemarinya menyentuh jejak bibir Biskara. Ya, sejujurnya tidak bisa dibilang kecupan. Biskara hanya menempelkan bibirnya pada kulit pipi Bian. Tidak lebih dari dua detik dan terasa begitu ringan layaknya angin yang membelai kulit manusia.

Seharusnya ia marah, mengejar laki-laki itu dan memberinya gamparan keras. Seharusnya. Tapi yang ia lakukan hanyalah kembali ke dalam dengan jantung yang bertalu-talu, menyembunyikan wajah dalam benaman bantal dan menjerit keras-keras.

*

Firma ini sudah berdiri sejak lima tahun lalu. Deus yang membangunnya sendiri dengan seluruh tabungannya. Saat ini, firmanya tercatat sebagai salah satu firma arsitektur terbaik di Indonesia. Namanya juga turut melambung ke atas, apalagi dengan statusnya sebagai putra sulung Benua Nenggala. Walaupun begitu, Deus ogah menggunakan hak istimewanya sebagai Nenggala dalam kariernya sendiri. Ia lebih memilih merancang semuanya dari nol, dikenal di khalayak banyak karena pencapaiannya.

Untungnya, Benua bukan tipikal orangtua kolot yang memaksa anak-anaknya untuk mengikuti keinginannya. Ia cenderung membebaskan mereka, asal bisa menghasilkan banyak uang. Begitu kata Benua. Malu dong, sudah dicekoki sendok emas serta sepuluh pembantu sejak kecil, masa besarnya hidup susah?

Kini perusaan besar itu masih dikelola oleh Benua. Yang Deus tahu, Benua sedang menyiapkan salah seorang sepupunya untuk menggantikan posisi pria tua itu. Deus tidak pernah menyukai sosok yang selalu Benua bangga-banggakan itu, tapi sepertinya Deus harus bersyukur. Kalau tidak ada dia, mungkin Benua tidak akan sedermawan ini membiarkannya keluar dari bisnis keluarga.

"Oi, jangan bengong! Serem, bego!" Siapa lagi yang memiliki bakat untuk menghancurkan lamunan indah seseorang? Tentu saja hanya Sabit. "Dasi lo benerin! Malu dong ketemu klien besar!"

Sabit menariknya mendekat, secara mendadak melingkarkan lengannya di ceruk lehernya. Dengan telaten, ia merapikan dasi Deus. Keduanya sukses menjadi bahan sorotan. Memang bukan hal baru kalau si Bos Ganteng alias Thadeus Nenggala itu memiliki hubungan spesial dengan Sabit, orang kepercayaannya di firma ini. Tapi tetap saja, apa pun yang keduanya lakukan bersama akan selalu menjadi hal menarik.

Banyak spekulasi yang berterbangan soal keduanya. Banyak yang bilang, mereka menjalin hubungan yang saling menguntungkan—FWB, alias friends with benefit. Ada juga yang bilang kalau keduanya sudah lama menikah dan memilih backstreet karena tidak mau menimbulkan kehebohan. Masih banyak lagi. Tapi apa pun itu, semuanya yakin kalau Deus dan Sabit tidak mungkin hanya sekedar teman.

"Gugup?"

"Sejak kapan ada orang yang bisa bikin gue gugup?" kata Deus pongah, menarik lengan Sabit turun. "Denger-denger, si Garka-Garka itu suka banget sama lo?"

"Seriously? Are you crazy, Nenggala? Semua cowok memang dilahirkan buat jatuh ke pesona gue. Itu bukan hal yang perlu dipertanyakan."

"Yeah, whatever." Deus memutar bola mata, menyelipkan tangannya ke dalam saku. Matanya bergulir ke pintu masuk, di mana Garka Bagaskara diiringi beberapa pengawalnya sudah melenggang masuk. Deus menghela napas. Kalau saja Garka tidak berstatus sebagai anak dari salah satu kolega Benua, ia tidak akan sudi seniat ini repot-repot menyambut Garka dengan sopan dan formal begini. 

"Selamat datang di Alto Architeam." Sabit yang menyapa lebih dulu, tak lupa dengan senyum menawan yang mampu membuat Garka mesem-mesem. Deus harus mati-matian menahan muntah.

"Halo, Sabit. Kita ketemu lagi."

Deus berdeham. "Garka." Perhatian Garka sukses teralihkan. 

"Deus! It's been a while." Garka tersenyum lebar, berjabat tangan dengan Deus yang mati-matian mempertahankan kesopanannya. "Gimana kabar lo? Terakhir kita ketemu pas di Colosseum, kan? Ada Sabit juga pas itu. Gue inget banget kocaknya Sabit pas mabok dan berakhir muntah di baju lo." Berbeda dengan Garka yang sudah tertawa terbahak, Deus malah seketika diliputi kecanggungan luar biasa. 

Deus memaksakan senyum sumir. "Iya." Matanya melirik Sabit sekilas, menangkap gestur tidak nyaman dari wanita itu. Tentu saja. Baik untuk dirinya dan Sabit, malam itu akan menjadi salah satu momen bersejarah yang mustahil untuk dilupakan. Mereka sepakat untuk menguburnya dalam-dalam. Tapi sayangnya, Garka memang pakar dalam merusak situasi. "Langsung aja ke ruangan gue. Bit, lo bisa bantu mahasiswa magang yang kemarin baru dateng. Gue bisa handle ini sendiri."

"Oke." Dan dengan begitu, Sabit segera ngacir, tanpa menoleh lagi ke belakang. Tidak biasanya wanita itu akan langsung menurutinya tanpa kalimat bantahan atau meledek. Melihat bagaimana Sabit bahkan enggan menatap matanya, Deus semakin yakin. Yang terjadi malam itu hanyalah kesalahan. 

*

Sabit selalu percaya, fisik rupawan itu tidak boleh disia-siakan. Jumlah mantannya sudah tidak terhitung lagi. Bagi mereka yang beruntung, namanya akan diingat oleh Sabit-walaupun harus sekeras tenaga menguras isi kepala, sih. Sabit bukan tipe yang hobi mengingat momen tidak penting. Sama seperti Deus, Sabit juga hobi menggeluti dunia penuh gemerlap.

Gonta-ganti pria layaknya mengganti celana dalam sudah menjadi keahliannya. Namun walaupun begitu, Sabit tetap memiliki batas. Hanya ada dua pria yang pernah menghabiskan waktu semalaman bersamanya. Cinta pertama yang telah ia lupakan namanya, serta .. Deus. 

Mari katakan, apa yang terjadi malam itu hanyalah kecelakaan. Sabit mabuk parah. Deus membawanya pulang ke apartemen. Kondisi Deus juga tidak sepenuhnya sadar. Ia masih dalam pengaruh alkohol. Dan semuanya terjadi begitu saja. Walaupun buram, entah bagaimana, setiap hal kecil yang terjadi malam itu .. dapat diingatnya dengan amat jelas.

Mengingatnya, Sabit dibuat merinding. Deus itu sahabatnya. Keduanya sudah saling mengenal sejak kecil. Malam itu tidak seharusnya terjadi. Kesalahan yang entah mengapa tidak Sabit sesali. Ia menikmatinya, walaupun saat matahari mulai beranjak naik, ia harus kembali dihantam kenyataan kalau Thadeus Nenggala hanya sekedar sahabat.

Sabit tidak pernah percaya akan embel-embel cinta. Ya, ia memang menyayangi Deus. Pria itu memiliki banyak peran penting dalam hidupnya. Bohong kalau ia bilang hidupnya akan baik-baik saja jika Deus pergi. Tapi Deus .. sama sekali bukan pria yang ia pikirkan untuk menjadi pendampingnya kelak. Lebih tepatnya, Sabit pernah bersumpah ia tidak akan 'menyerahkan' dirinya sendiri pada pria manapun untuk dilabeli sebagai istri.

Baginya, itu konyol. Seolah, pernikahan hanya bertujuan untuk melabeli satu sama lain dan bebas melakukan hubungan intim kapan pun tanpa takut ditimpa dosa. Sabit tidak mau seperti itu. Setiap hubungan hanya akan diakhiri perpisahan, sama seperti bagaimana kedua orangtuanya bercerai. Lantas untuk apa mereka mengikat janji penuh omong kosong di hadapan Tuhan? Kalau dari awal tujuannya hanya untuk memiliki anak, tidak harus menikah lalu berpisah dan malah menyebabkan mental si anak terguncang, kan?

Omong kosong bernama cinta itu hanya akan mendatangkan malapetaka.

Sabit menghela napas. Dan saat itu juga, ponselnya berdering, menampilkan satu nama yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sade.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status