Share

03. She Says it's in Genetics

Tidak. Deus bukannya khawatir. Hanya saja, ini sudah nyaris tengah malam dan anak itu bahkan belum menunjukkan batang hidungnya. Segala jenis pikiran buruk sudah mampir di kepalanya. Sekali lagi ia tegaskan, ia bukannya khawatir atau mendadak peduli. Hanya saja, kalau sampai Bian kenapa-napa, pasti dia juga akan terkena getahnya. Kondisi diperburuk karena Deus bahkan tidak punya kontak anak itu.

Apa Bian tidak betah tinggal dengannya dan memutuskan untuk kembali ke habitat asalnya? Itu berita bagus, tentu saja. Tapi masalahnya, bahkan kini ia tidak yakin akan apa yang sedang menimpa bocah satu itu. 

Nyaris gila karena berkutat dengan pikirannya sendiri, Deus memutuskan untuk beranjak menuju kamar Bian, mencari sekiranya apa pun yang bisa memberinya petunjuk untuk menghubungi anak itu. 

Deus kegirangan sendiri saat akhirnya menemukan buku agenda sekolah Bian yang terletak asal di atas nakas, mengepalkan telapak tangannya di udara layaknya baru saja memenangkan undian. Ia membalik halaman pertama, tersenyum penuh kemenangan kala permukaannya menampilkan sederet nomor ponsel di format biodata. Tak pikir panjang, ia segera menghubungi nomor tersebut. Tanpa sadar, ia berjalan bolak-balik layaknya setrika, diiringi nada sambung panjang yang malah berakhir dengan suara mbak-mbak operator.

"Anjing! Udah syukur gue telpon lo! Angkat, gak?!" Deus mencoba sekali lagi, namun hasilnya tetap sama. "Ah, bodo! Bukan anak gue! Salah dia sendiri kalau kenapa-napa. Udah tahu cewek, malah keluyuran tengah malem. Nyari mati apa?!" ocehnya lagi, entah bicara dengan siapa. 

Deus cemberut, melempar agenda itu ke atas kasur dan bergegas cepat keluar dari sana. Tadinya ia ingin menghubungi Thea, namun urung. Dari I*******m, ia tahu kalau kini adiknya itu sedang makan malam dengan keluarga besar Saka. Bisa-bisa Thea malah dilanda kekhawatiran. Deus meyakinkan dirinya sendiri kalau Bian itu sudah besar, tahu cara menjaga diri dan bukan anak TK yang tidak hafal jalan pulang. Namun ada saja sebagian dirinya yang terus memikirkan kemungkinan terburuk. Bagaimanapun, anak itu masih dibawah umur dan seorang perempuan.

Walaupun Deus menolak untuk peduli, dia pasti akan merasa bersalah kalau sampai anak itu benar kenapa-napa. 

"Gak, gak, gak. Ini berlebihan." Deus menggeleng cepat, mengusir ide konyol yang baru saja mampir di kepalanya. Satu detik. Empat detik. Tujuh detik. Ia mendesah berat, pada akhirnya membiarkan egonya kalah. Deus menekan satu nomor, berharap hal ini tidak akan ia sesali kedepannya. 

"Halo? Tumben amat nelpon. Mau pinjem duit lo? Mendadak bangkrut?" 

Deus memutar bola mata. "Ini gue."

"Iyague tahu, anjrit. Lo pikir gue buta gak bisa baca nama?!"

"Gue butuh bantuan lo."

"Apa? Bener tebakan gue, ya? Lo butuh du—"

"Lacak satu nomor buat gue."

"Hah? Lo gak mendadak jadi penguntit cewek yang nolak lo, kan?"

"Sejak kapan gue pernah ditolak?" responsnya sengak. "Just do it, duh. Gue kirim lewat chat, oke? Kasih gue hasilnya sekarang juga. Thanks." Tanpa menunggu balasan dari seorang Raskal Maheswara, Deus segera menutup sambungan. 

Thadeus. N : 0812********

Thadeus. N : buruan!!!

Maheswara : anjg. udh minta bntuan, gk tahu diri pula!

Thadeus. N : tlg bantu tmnmu ini, ya :) Terimakasih. But better do it fast atau gue ksh Gia vid lo cipokan sm tnte-tnte itu :)

Maheswara : jancuk! Ywdh bntr!

Hanya butuh beberapa menit hingga Raskal menjawab lagi.

Maheswara : RS Pelita Harapan, cuk. lo buntingin anak orang, cuk?

Deus tak membalas lagi, segera meraih jaket kulitnya serta-merta dengan kunci mobil.

*

Hal pertama yang Bian sadari setelah membuka mata ialah bau antiseptik. Netranya berusaha beradaptasi dengan cahaya lampu di atas sana, sempat mengernyit sesaat. Mudah saja menebak kalau kini ia tengah berada di rumah sakit. Ia melirik lengannya yang sudah digips dengan rapi, beralih ke lututnya yang dibalut perban tebal. 

Bian tidak amnesia. Ia ingat dengan jelas siapa yang membawanya ke sini. Tapi ke mana perginya Biskara saat ini? Kenapa ia ditinggal sendiri? Dasar manusia hati es.

Bertepatan dengan itu, pintu kamar inap VIP yang sedang ditempatinya terkuak terbuka, menampilkan sosok yang baru saja mampir di kepalanya. 

"Feel better?" Biskara berjalan mendekat dengan sekaleng coke di tangan kanan dan sebungkus roti di tangan satunya lagi. Melihat penampilan Biskara yang agak berantakan, Bian jadi merasa tidak enak. 

Bian mengangguk kaku, kontras dengan Biskara yang tetap terlihat tenang. "Gue kira lo udah pulang." Matanya melirik jam dinding. Sudah hampir pukul satu pagi. Itu artinya, Biskara sudah di sini nyaris enam jam. Sadar akan ucapan konyolnya barusan, Bian buru-buru meralat. "I mean, lo gak harus di sini. Lo bisa pulang. Gue bisa sendiri."

Biskara tidak membalas, malah duduk di kursi sebelah kasurnya, menenggak sodanya dalam diam.

"Kata dokter apa?" Bian bertanya canggung, niatnya sih ingin mencairkan suasana yang kaku. 

Biskara malah mendengus, menatapnya tajam, kontras sekali dengan segala bentuk perhatian dan khawatir yang ditunjukkannya saat Bian kecelakaan. "Lain kali, gak usah sok jago kalau cuma bikin lo berakhir nyaris mati."

"Idih! Kok malah nyolot, deh?!" Bian sewot. Padahal tadinya ia sudah berniat membalas kebaikan Biskara dengan bersikap lebih beradab pada laki-laki itu. Tapi sepertinya batal. Biskara masih menyebalkan dan membuat tangan Bian gatal untuk menaboknya. "Namanya juga kecelakaan. Memang lo pikir gue juga mau gini?" Bian mendesis, lantas mengingat satu hal yang lebih penting. "Motor gue gimana?!"

"Ini bukan saatnya buat ngomongin itu."

"Motor gue, Biskara!" Bian tetap ngotot, bahkan sudah merubah posisinya menjadi duduk dengan susah payah. "Motor gue di mana sekarang? Gue harus ambil motor gue dulu!"

"Are you crazy?"

Di dunia ini, hanya ada sedikit hal yang berharga bagi Bian. Salah satunya adalah kendaraan beroda dua itu. Bagi Bian, motor itu adalah teman yang selalu berhasil menghilangkan kesedihannya. Dan bagi orang yang hanya memiliki sedikit hal berharga sepertinya, kehilangan bukanlah salah satu opsi. Bian harus mempertahankannya dengan cara apa pun.

"Anter gue ke sana!" Bian melompat turun, nyaris jatuh kalau saja Biskara tidak sigap menahan lengannya. "Anter gue ke sana, Bis!" jeritnya kalut. "GUE GAK BISA KEHILANGAN MOTOR ITU!"

"BIANCA PEONY!" Bentakan itu berhasil membuat Bian terdiam, kaget. Ini pertama kalinya Biskara nampak .. emosi. Biasanya, laki-laki itu lebih mirip vampir dengan ekspresi minim. "Gak bisa sekali aja khawatirin kondisi lo sendiri?!"

"Lo gak ngerti apa-apa! Kalo emang lo gak berniat bantu gue, back off, Limuel! Lo punya segalanya. Mungkin bagi lo, kehilangan itu bukan suatu hal yang perlu lo khawatirin. Tapi nggak bagi gue!" Suaranya bergetar. Ada sebutir air mata yang lolos dari sudut matanya. Entah karena ia terlalu terkejut dengan bentakan Biskara, atau karena ia memang sepanik itu akan kondisi motor kesayangannya.

Tatapan Biskara melembut. Ujung jemarinya mengusap pelan ujung rahang Bian yang sudah hampir meneteskan sebutir kristal bening ke bawah sana. "Gue bakal urus motor lo. Berhenti khawatirin hal lain dan mulai perhatiin diri lo sendiri, Peony," ujarnya dengan nada rendah.

Belum sempat mendengar tanggapan Bian, mendadak saja pintu dikuak oleh seseorang dengan dramatis. Bian melongo, tidak bisa mempercayai pemandangan di depannya saat ini. Deus? Pria itu berjalan mendekat, memberinya sorot horor yang sarat akan .. murka?

"What the fuck, Bianca?!"

*

Deus mungkin akan mengerti jika seandainya Bian masuk rumah sakit karena keracunan makanan. Atau tidak sengaja terserempet mobil. Atau mungkin diserang oleh jambret. Tapi karena balap motor?! Rasanya Deus gatal ingin segera memanggil pendeta ke sini dan mengusir setan yang merasuki Bian.

Setelah kedatangannya secara mendadak, Bian lebih banyak diam, enggan angkat suara. Yang memberinya penjelasan ialah seorang bocah laki-laki yang Deus duga sebagai kekasih dari keponakannya itu. Keduanya bicara di luar, membiarkan Bian istirahat dengan tenang.

"Jadi lo yang bikin keponakan gue celaka?!" Deus bersedekap, memasang wajah songong andalannya yang sepertinya tidak ngefek. 

Biskara masih memasang ekspresi datar. "Maaf, Om. Saya yang teledor gagal jagain Peony."

"Who's Peo—oh, I got it." Deus semakin yakin kalau ada sesuatu di antara dua bocah ini. "Lo siapanya? Pacar Bianca?"

Kalau sebelumnya Biskara menatapnya lurus tanpa goyah, kini laki-laki itu malah mengalihkan matanya, seolah tidak ingin dibaca oleh Deus. "Saya temannya."

"Oh. Teman tapi mesra? Atau bertepuk sebelah tangan?" 

Biskara hanya diam.

"Oke. Berhubung lo udah ngaku salah juga, gue gak akan perpanjang perkara. Lo bisa pulang sekarang. Gue bisa jagain dia."

"Om bakal nginep di sini sampe pagi?" Pertanyaan itu malah membuat Deus kicep. Benar juga. Masa iya ia harus nginap di rumah sakit hanya untuk bocah itu? Tidak masuk akal. 

"Ya .. enggak, sih."

"Stay by her side, please."

"Hah?"

Biskara menghela napas. "Jangan tinggalin dia sendiri."

"Kok jadi elo yang ngatur gue?" Deus tentu tidak terima. Seorang bocah SMA baru saja menyuruhnya? Harga dirinya terusik. "Lo aja yang temenin dia di sini. Kan lo temennya!"

"Dan Om keluarganya."

Deus bungkam seribu bahasa. 

"Dia gak punya siapa-siapa. Om satu-satunya keluarganya yang datang ke sini."

"Tapi .. ah, jeez. Gue gak harus jelasin semua ke lo, kan? Hubungan gue sama itu bocah—"

"Namanya Bianca Peony."

Bahkan ucapannya dipotong dengan kurangajar! Deus mendengus keras, baru pertama kali menemukan anak macam Biskara Limuel ini. Pembawaannya tenang. Auranya punya cara sendiri untuk mengintimidasi lawan bicara. Kata-kata yang dikeluarkannya selalu tajam tepat sasaran. Karakter yang unik sebenarnya. Tapi .. Deus tidak menyukainya.

"Whatever. Hubungan gue sama Bianca Peony gak seperti yang lo bayangin. Jadi, jangan berspekulasi aneh-aneh hanya karena fakta kalau kita adalah keluarga." 

"But you came."

"What?"

"Om datang ke sini. Itu berarti, walaupun sedikit, Om peduli, kan?"

"Jangan sok tahu!"

"Saya berharap begitu. Karena selain saya dan Om, mungkin Peony gak punya siapa-siapa lagi."

Well. Kalimat itu berhasil tertancap kuat dalam benak Thadeus Nenggala. Karena selain saya dan Om, mungkin Peony gak punya siapa-siapa lagi. Sial. Kenapa terdengar menyedihkan?

*

Bian sudah tidur—atau mungkin pura-pura terlelap—kala Deus kembali melangkah masuk. Bocah Gemblung tadi sudah pulang, menyisakannya seorang diri. Ada canggung yang tak bisa Deus abaikan. Tapi mau bagaimana? Sudah terlanjur di sini. Akan terlihat pengecut kalau ia memilih untuk pergi hanya karena tidak nyaman. 

Deus membaringkan tubuhnya di atas sofa, mengatur posisi agar dia bisa mengamati punggung Bian yang naik-turun secara teratur layaknya orang sedang tidur. Ia menghela napas, mengusap wajahnya kasar. Keheningan merambati setiap sudut ruangan. Kecuali suara denting jarum jam yang bergerak setiap detik, nyaris tidak ada suara lain. Deus benci rasa sepi. Seharusnya saat ini ia sedang menikmati sentuhan para wanita di atas dance floor, bukannya menatapi langit-langit kamar rawat di sebuah rumah sakit seperti orang tolol. 

"Om?" Panggilan itu membuat Deus terkejut bukan main. 

"Anjir! Ngagetin aja!" 

Bian berdecak, membalik tubuhnya dengan susah payah agar menghadap Deus. "Jangan kasih tahu Mama soal ini, ya?"

"Dia nyokap lo. Tentu aja harus tahu keadaan anaknya sendiri."

"Plis." Deus akan lebih senang kalau Bian menjawabnya dengan nyolot seperti yang sudah-sudah, bukan dengan nada yang sarat akan keputusasaan seperti ini. "Ya?"

"Kenapa, dah? Emang lo gak seneng gitu kalo Thea elus-elus pala lo, suapin lo, atau temenin lo di sini?"

Ada kekehan samar dari mulut Bian. Terdengar .. menyakitkan. "Anak mana yang gak seneng diperhatiin sama orangtuanya?"

"Terus?"

"Saya gak mau ganggu Mama. Dia udah mau menikah, kan?"

"Lo .. tahu?" Deus bangkit, memerhatikan raut yang ditampilkan Bian secara lamat-lamat. Namun anak itu malah mengalihkan wajahnya ke arah lain, menatap gorden berwarna pucat di sisi yang berlawanan dengannya. Entahlah. Deus tidak pandai membaca situasi. Namun, ia tidak akan berbohong saat mengatakan kalau bahu anak itu terlihat lebih lunglai. "Helo? Gue nanya loh ini."

"Masa anak sendiri gak tahu tanggal pernikahan Mamanya?"

"Lo gak keberatan, gitu? Gimanapun, dia bakal jadi bokap tiri lo."

"Bokap tiri your ass." Bian berdecak. "Om jangan pura-pura bego. Mama titipin saya di Om buat ngawasin saya, kan? It's obvious kalau Mama gak mau sampai eksistensi saya terendus sama calon suaminya."

Deus kicep, namun secepat itu emosinya tersulut saat menyadari satu hal. "Lo katain gue bego?!"

"Om gak perlu anggep saya ada. Saya bakal keluar dari rumah Om tepat setelah saya lulus sekolah. Saya bisa cari kerja dan hidupin diri saya sendiri." 

Deus diam, bingung harus membalas apa.

"Dan Om juga bisa tenang. Saya gak akan ganggu hidup adik Om lagi."

"Look, Kid. Lo lagi sakit dan ini bukan saatnya buat bahas ini. Mending lo tidur, oke?" Bukan karena Deus sepeduli itu. Tapi karena .. ada yang menyengat dadanya saat mendengar semua tuturan itu dari mulut seorang anak berumur enam belas itu. Mari ia kilas balik. Saat ia berusia enam belas, paling-paling hal yang memberatkannya hanyalah soal memilih antara membeli BMW atau Mercy, atau saat Papanya memaksa untuk menjual Moru—anjing peliharaannya saat itu. 

"Om pulang aja. Saya bisa sendiri di sini."

Penginnya sih begitu. Tapi walaupun brengsek begini, Deus juga punya hati nurani. Batinnya pasti tidak akan tenang seandainya ia benar-benar meninggalkan Bian sendiri.

"Dokter bilang, lo boleh pulang lusa. Cukup sampe vitamin infusnya abis dan cedera lo selesai dipantau. Lo beruntung gak ada luka yang serius." Deus malah mengalihkan topik. "Tangan lo retak doang. Paling sebulan juga udah sembuh. Perban di lutut lo juga harus rut—"

"Om kasian sama saya?"

"What?"

"Saya ngomong kayak tadi bukan buat bikin Om merasa gak enak. Saya cuma mau bilang, Om gak perlu pura-pura baik sama saya cuma karena Mama minta. Saya udah biasa kok sendiri."

Deus terdiam cukup lama hingga akhirnya kepalanya terangguk. "Oke."

*

"LO GAK MASUK KERJA LAGI, JING?!" Suara cempreng nan menggelegar itu membuat Deus segera menjauhkan ponselnya dari telinga, mencegah terjadinya kebudegan dini. 

"Santai, anjir! Kalo gue budeg gimana, Setan?!" Deus baru saja menyelesaikan proses administrasi serta menebus obat-obatan yang Bian butuhkan saat titisan toak alias Sabitha Giovanni menelponnya. "Gue lagi di rumah sakit, bukan sengaja gak masuk."

"Lo bisa sakit juga, Nyet?"

"Bukan gue. Tapi .. " Deus menimbang-nimbang. Perlukah memberitahu nenek lampir satu itu? 

"Oh! I got it! Jadi lo lagi berperan sebagai figur om yang baik, nih?!" 

Deus melongo. "Lo sekarang satu aliran sama Roy Kimochi?!"

"Cyeelah! Jadi gue ganggu momen mengharukan antar om dan keponakan, ya? Aduh, sori banget!"

"Gak usah mulai!" Deus mendengus keras. "Gimana keadaan kantor?" Matanya beralih ke deretan kursi di mana Bian berada, sedang sibuk bermain ponsel. 

"Oh. Masih peduli juga lo sama kerjaan?" 

Deus belum sempat membalas, karena matanya sudah lebih dulu menangkap seorang lelaki asing yang secara tiba-tiba mengambil tempat di sebelah Bian, mencoba berinteraksi dengan anak itu. Dari raut wajahnya, Deus tahu kalau Bian merasa tidak nyaman.

"Udah dulu." Deus mematikan sambungan, berjalan cepat menuju tempat Bian berada. "Siapa lo?!" Bukan Deus namanya kalau hobi berbasa-basi dan bersikap sopan. Laki-laki itu langsung gelagapan, bergegas meninggalkan keduanya. "Such a pussy."

"Saya bisa jaga diri sendiri."

"You're welcome." Deus membalas sarkas. "Ayo. Gue anter lo balik."

"Ke apart lama saya?"

"Ke rumah gue lah!"

"Thadeus?" Suara bariton itu menginterupsi, membuat keduanya serempak menoleh ke satu arah hanya untuk menemukan seorang pria bertubuh tegap dalam balutan kemeja putih. Untuk beberapa detik, Deus membatu. "Benar, kan?"

Deus mencoba menguasai diri. "It's been a while, Joshua Anagata."

*

Seumur-umur, Bian belum pernah merasakan sensasi seperti ini. Ada yang melilit kejam di dalam perutnya, berikut dada yang tak henti digedor oleh organ bernama jantung. Bahkan Bian bisa merasakan bagaimana keringat dingin mulai mengintip keluar melalui pori-porinya.

"Gimana kabar kamu? Saya denger-denger, kamu udah jadi arsitek sekarang?"

"Iya. Lo sendiri?" 

Bian yakin Deus hanya sekedar basa-basi. Siapa juga yang tidak mengenal Josh sebagai pewaris satu-satunya perusahaan media terbesar di Indonesia? 

Keduanya terlibat basa-basi cukup panjang, hingga Josh mengucapkan satu kalimat yang nyaris membuat jantung Bian melompat keluar.

"Ini anakmu?" Bian sontak menoleh, yang langsung ia sesali begitu saja saat matanya malah terkunci dengan sorot teduh milik Josh. "Cantik. Namanya siapa?"

"Dia bukan anak gue!" Deus menyergah cepat. "Dia ini kep—"

"Saya anak angkatnya Papi Deus." Bian memotong cepat, masih dengan netra yang mengarah tepat pada pemilik manik hitam itu. "Nama saya Bianca Peony." Deus batuk-batuk hiperbolis, namun Bian tidak peduli. 

"Peony?" Ada sesuatu yang sempat membayangi netra Josh, seolah pria itu tengah menerawang ke suatu masa tak ia duga akan terputar kembali. "Nama yang cantik. Wajah kamu .. entah mengapa begitu familiar."

Bian memaksakan senyum yang malah berakhir pahit. "Terimakasih, Om. Kami duluan, ya?" Bian berdiri, menarik lengan Deus menjauh dengan tangannya yang tidak digips. Ia berjalan tertatih lantaran kakinya yang masih cedera.

"Hei, hei, hei! Seenak jidat banget lo narik-narik gue! Dan satu lagi, sejak kapan gue jadi 'Papi Deus'? Merinding anjir dengernya!"

Bian baru berhenti saat keduanya tiba di pelataran parkir. Ia melepas cekalannya pada lengan Deus, mengatur napasnya yang memburu. Selama ini Bian selalu baik-baik saja. Sekalipun fakta kalau Joshua Anagata adalah ayah biologisnya sudah ia ketahui sejak lama, ia tidak pernah merasakan apa-apa. Sekalipun nyaris setiap sore Bi Nilam memutar acara televisi yang memuat kehidupan Josh sebagai ayah yang baik bagi putra kecilnya, Bian tidak pernah iri. 

Tapi kenapa pertemuan singkat itu malah membuatnya harus mati-matian menahan tangis? Konyol sekali.

"Lo .. baik-baik aja?" Deus bertanya tak yakin.

Bian menarik napas panjang. "Ayo, pulang."

Pulang. Bian terkekeh miris. Sejak kapan di dunia ini ada rumah baginya?

*

"Aw." Ringisan itu meluncur dari mulut Bian kala lututnya terasa luar biasa nyeri saat ia hendak memasuki mobil. Deus yang secara mengejutkan bersikap jantan dengan membukakan pintu untuk Bian pun kontan mendengus.

"See? Karena aksi bodoh lo itu, sekarang apa pun jadi sulit." Walaupun berkomentar pedas, Deus tetap membantu Bian naik ke atas mobil dengan menopang sebagian besar bobot anak itu. Setelah memastikan Bian nyaman dengan posisinya, barulah Deus menutup pintu dan beralih ke balik roda kemudi. "Pasang seat belt."

Bian mencoba meraih sabuk pengaman itu dengan tangan kirinya yang masih meninggalkan banyak lecet sana-sini, namun kesusahan menariknya hingga maksimal untuk menyelubungi tubuh lantaran kini hanya dapat mengandalkan satu tangan.

"Hadehhh." Deus mendelik sebal, namun tetap mencondongkan tubuhnya mendekati Bian untuk memasangkan sabuk pengaman.

Melihatnya, Bian sontak dibuat menahan napas beberapa detik. Seumur-umur, belum pernah ia berada dalam posisi seperti ini. Cara Deus mengomel dan bagaimana pria itu mengingatkannya soal keamanan, entah bagaimana membuat Bian merasa .. aneh. Bian berdeham canggung, namun tidak mengatakan apa-apa. Setengah perjalanan menuju rumah Deus hanya diisi oleh lantunan lagu dari tape. Mungkin keduanya akan terus terlibat dalam keheningan mencekam kalau saja Deus tidak angkat suara.

"To be frank, gue gak pernah punya pengalaman jadi orangtua atau apa pun itu."

Bian menoleh, mengangkat alisnya. "Terus? Apa hubungannya sama saya?"

"Info aja. Jadi, jangan expect gue buat ngelakuin hal yang .. sepatutnya dilakukan oleh .. ng .. keluarga pada umumnya, I guess?" ujarnya dengan nada tak yakin. 

"Om lupa sama apa yang saya bilang semalem?"

"Lo tahu, nada nyolot lo itu selalu berhasil mancing emosi gue." 

Bian memutar bola mata. "Memang gini sejak lahir."

"Heran gue kenapa Thea bisa punya anak yang mulutnya gak ada rem semacem lo."

"Om kayaknya lupa sesuatu."

"Apa?!" Deus bertanya galak, melirik Bian sekilas dengan mata tajamnya. 

"Seinget saya, kita masih punya hubungan darah."

Butuh beberapa lama bagi Deus untuk mencerna kalimat itu. Pria itu melongo, lantas mengumpat samar. "Jadi maksud lo, sikap abnormal lo itu—yang hobi keluarin kalimat songong tanpa filter dan balap-balapan sok kejagoan pake moge sampe hampir mati—keturunan gue, gitu?!"

"Ya, menurut Om aja."

"Ogah banget gue disama-samain kayak lo!" 

"Fakta, Om." Bian tidak bohong, kok. Memang ia melihat adanya beberapa kesamaan sifat antara dirinya dan Deus. Sifat yang tidak akan pernah ditemukan dalam diri Thea .. atau mungkin ayah kandungnya. "Saya mau tidur. Om jangan ngomel mulu. Saya pusing."

"Ya, ya. Jangan lupa bangun. Gue gak mau ada mayat di mobil gue."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status