Share

02. Magnet of Disaster

Hari ini semuanya berjalan cukup normal. Deus terbangun tepat pukul delapan. Rumahnya kosong kala ia melangkah keluar kamar, membuatnya nyaris lupa kalau ia baru saja menampung seorang bocah jika saja ia tidak mendapati sepasang sandal bulu merah muda di dekat kulkasnya.

Tak perlu cenayang untuk menebak kalau Bian sedang bersekolah saat ini. Deus tidak berniat tahu bagaimana anak itu menjalani kegiatannya sehari-hari. Toh, tidak penting juga baginya. Ia hanya perlu memastikan Bian tidak merusak pernikahan adiknya, kan? Lagipula, sepertinya Bian juga tidak akan senang jika Deus terlalu ikut campur dengan urusannya. 

Suara bel yang ditekan mengantar langkahnya untuk memeriksa interkom. Wajah sangar yang terpampang nyata di sana memercikan ide di kepalanya untuk segera kabur lewat pintu belakang. Tapi menghindar dari kemurkaan seorang Sabitha Giovanni bukan langkah yang tepat. Bisa-bisa besok ia berakhir muntah paku.

Belum sempat ia bergerak untuk mengambil langkah, pintu sudah terkuak lebar dan menampilkan sosok rupawan itu. 

"Hah! Sini lo, Anak Monyet!" Sabit boleh saja terlihat anggun dan menawan. Namun bagi Deus, kelakuan wanita itu sebelas - dua belas dengan gorila yang belum diberi makan. Ada kengerian yang merambatinya kala melihat Sabit berjalan cepat menuju titiknya berada.

"Tunggu! Kok lo bisa masuk gitu aja?!" Deus itu paling sensitif dengan yang namanya keamanan. Ia tidak pernah lupa mengunci pintu rumah serta seluruh jendelanya. Mendapati pintunya dapat dibuka begitu saja oleh Sabit, membuatnya langsung was-was dan memikirkan segala kemungkinan yang ada. "Ah, shit. Pasti bocah itu," gumamnya samar, tidak sampai ke telinga Sabit.

"Gak dikunci, anjir! Ah, atau memang semesta lagi berpihak sama gue buat segera menyingkirkan lo dari dunia ini?!" Sabit memberinya tatapan mematikan, mencubit lengan Deus keras-keras hingga pria itu menjerit hiperbolis. "Lo udah bolos kerja seminggu dan hari ini lo mau bolos lagi, gitu?! Lo pikir gue gak cape ngambil alih tugas lo terus?! Monyet!"

"Anjir! Lo kan tahu gue masih jet lag abis!"

"Helo, MrNenggala! Gue tahu kalau lo gak akan kenapa-napa sekalipun lo jungkir balik, terjun payung, atau sky diving di kantor. Tapi plis, ya! Gue bisa lebih dari mampu buat bikin lo masuk rumah sakit sekarang!" 

Deus menelan ludah. Sabit tidak main-main. Wanita itu pernah mendapat sabuk hitam taekwondo saat bangku SMA dulu. Pernah sekali tangannya dibuat terkilir dua minggu karena iseng menabur bubuk cabe di minuman Sabit yang bernotabene tidak bisa tahan pedas sedikit pun. 

Deus berdecak. "Elah, Bit. Pengertian dikit kek sama temen. Pala gue udah mau pecah, oke? Lo gak perlu nambah-nambahin sial di hidup gue."

"Apaan maksudnya?" Sabit melenggang masuk, tanpa dosa menuju kulkas untuk meraih seember kecil es krim yang selalu Deus sediakan khusus untuk meredakan amarahnya. Hanya butuh beberapa menit untuknya sadar akan sesuatu yang janggal. "Tunggu. Lo gak mendadak berubah jadi feminim, kan?" Mata Sabit mengarah pada sandal bulu merah muda itu.

"Enak aja!" sergah Deus tak terima. "Itu punya .. bocah yang gak lo kenal sekalipun gue kasih tau."

"Hah?" 

Deus mengerang frustasi, entah sudah keberapa kalinya sejak kehadiran tamu tak terduga di rumahnya. "Lo gak akan percaya kalaupun gue cerita. Intinya, sekarang ada bocah cewek yang tinggal di sini."

Sabit nyaris tersedak es krim rasa rum yang baru hendak melewati kerongkongannya, memberi sorot tajam pada sahabat kampretnya itu. "Lo memang patut diberi penghargaan sebagai manusia terjancuk sepanjang abad. Sekarang lo berubah haluan gitu jadi anak dibawah umur?! Astaga. Inget umur, Cuk. Gue ogah ya nemenin lo ke neraka."

"Asu! Gak gitu, anjrit! Dia keponakan gue, bangsul!" Memang, ya. Berteman dengan wanita bar-bar seperti Sabit itu hanya nambah dosa. Semua kata-kata suci dan bermoral seolah meluncur dengan senang hati dari mulut seorang Thadeus Nenggala jika sudah menyangkut Sabitha Giovanni.

"Since when Thea punya anak?!" See? Kini Sabit pasti tidak akan melepasnya hingga ia memberi keterangan detail. Bagi Sabit, tidak julid tidak hidup. "Buruan ngomong! Malah diem kayak abege abis ketawan ngerokok!"

Lalu mengalirlah semuanya. Mulai dari pengakuan Thea subuh kemarin serta identitas anak kecil itu. Respons Sabit malah tawa mengejek yang menurut Deus sungguh berlebihan lantaran wanita itu sampai memegangi perutnya dan terbungkuk-bungkuk.

"Anjrit ngakak banget!"

Deus memasang wajah datar. "Gue gak menemukan ada bagian yang lucu."

"Look. Gue bukan ketawain adek lo, ya. Gue cukup prihatin sama keadaan dia. Tapi .. hahaha! Seorang Thadeus Nenggala rawat seorang bocah cewek? Hal tergila yang pernah gue denger selama hidup!"

Bahkan Sabit saja mencibirnya. Deus mencebik. "Anjir, gak usah meremehkan gue lo!"

"Emangnya bisa Bapak Jancuk satu ini jadi orangtua yang baik?"

"Sori. Gue gak minat jadi papa muda. Gue sama dia sepakat menganut sistem you do you."

"Hm."

"Apaan tuh maksudnya?!"

"Ye, ngegas amat! Gue cuma mau bilang, jangan sampe kualat sama ucapan sendiri."

Respons Deus hanya berupa dengusan tajam.

*

Deus sudah mengenal Sabit nyaris seumur hidupnya. Keduanya adalah tetangga sejak kecil, juga teman sekelas semasa SMP. Lalu dipisahkan saat Sabit harus pindah ke Surabaya mengikuti Papanya yang baru saja bercerai dengan sang mama. Keduanya tidak putus kontak. Nyaris setiap hari mereka melakukan panggilan video, atau sekedar telponan berjam-jam. Keduanya dipertemukan lagi saat sama-sama menempuh perguruan tinggi di Jerman. Bagi Deus, Sabit itu sahabat sekaligus tempat sampah yang siap menampung segala keluh kesahnya walaupun tetap dengan senang hati menyelipkan makian untuknya.

Banyak orang bilang, persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak akan bertahan lama. Namun Deus hanya akan tertawa setiap kali teman-temannya memperingatinya untuk berhati-hati pada perasaannya sendiri. Menurutnya, adalah suatu kemustahilan untuk jatuh hati pada Sabitha Giovanni.

Ya, walaupun sempat ada masa dimana Deus galau setengah mati karena Sabit dikabarkan dijodohkan oleh salah seorang pria baik-baik dan lurus pilihan sang mama. Tapi Deus dengan cepat mengatasinya, memastikan pada diri sendiri kalau perasaan itu hanya sekedar rasa takut kehilangan. Ia tidak bisa sebebas ini lagi kan berhubungan dengan Sabit kalau wanita itu sudah menjadi istri orang lain? Pasti hanya karena itu. Harus karena itu.

"Woi, Jancuk! Bengong aja!"

Deus mengangkat wajahnya, mendapati Sabit tengah menyedot ocha dinginnya. "Apaan?"

"Keponakan lo. Namanya siapa?"

"Bianca."

"Cuma Bianca?"

Deus mendengus. "Bianca Peony."

"Nice name. Gimana anaknya? Dia anak Thea, jadi gue asumsikan dia anak yang manis dan sopan?"

Deus nyaris tertawa keras-keras, namun menahannya sebab tidak mau dianggap orang gila nyasar. "Gue akan lebih percaya kalau orang bilang dia anak lo."

"Dih. Kenapa? Cantik? Baik hati? Rajin menabung? Tidak sombong?" 

"Terooooss!" cibir Deus, menggeser ponselnya dari atas meja, membiarkan seorang pelayan meletakkan ramen pesanannya di sana. "Tau, ah. Lo liat aja langsung gimana bentuknya nanti."

Sabit tertawa renyah. "Gue gak sabar ketemu dia."

"You'll regret it."

"Why? Lo bilang dia satu spesies sama gue. Jarang loh ada manusia unik nan cantik kayak gue."

"Iya." Deus mengangguk. "Bawaannya jadi pengen nabok terus."

"Kampret!"

"Jangan terlalu keras sama dia, Cuk. Lo bilang sendiri, Thea seolah ngasingin dia. Dia juga gak kenal sama Bokapnya sejak dia kecil. Dia bener-bener sendirian. Hidupnya keras buat anak seusia dia," kata Sabit seraya mencampurkan beberapa bumbu pada kuah ramennya. "Maksud gue, dia gak pernah minta kan buat hidup? Kalau dia tahu nasibnya bakal jadi anak diluar nikah dan gak diakuin sama ibunya sendiri, gue jamin dia juga ogah lahir."

"Gak usah sok bijak!" Deus berdecak, namun rentetan Sabit tak ayal membuatnya termenung. "Ya, tapi kan gue bukan pendeta, Bit! Kenapa juga gue harus baik sama orang yang bukan siapa-siapa cuma karena hidupnya susah?"

"Dumb ass. Dia keponakan lo, Jancuk!"

"Oh iya, bener." 

Obrolan mereka tidak berlanjut sebab kedatangan satu sosok yang sama sekali tak Deus harapkan. "Sabitha?" Itu suara Sadewa Pradipta. Singkatnya, panggil saja Sade. Ingat soal perjodohan itu? Ya, Sade ini yang Deus sebut sebagai pria lurus anti belok. Bisa dibilang, segala hal dalam diri Sade itu berlawanan dari Deus. Contoh; Deus tampan, Sade tidak.

"Sade?" Sabit sendiri juga terkejut, tidak menyangka akan dipertemukan lagi dengan sosok yang dua tahun lalu ditolaknya itu. "Kapan balik dari Swiss?"

Sade tersenyum tipis, yang mana semakin membuat Deus muak. "Baru kemarin. Urusan saya di Swiss sudah selesai." Lihat saja. Bahkan cara bicaranya saingan dengan presiden yang tengah berpidato. "Kamu apa kabar?"

Sabit berdiri, tersenyum ramah sekaligus kikuk. "Baik. Kamu sendiri?"

"Tidak terlalu baik semenjak saya ditolak oleh seorang wanita cantik yang secara mengejutkan berdiri di depan saya saat ini."

Deus tidak bisa menahan dengusannya, membuat atensi dua manusia itu menoleh padanya. "Ups, sori. Refleks."

"Ah, ya. Ini Deus."

Sade tersenyum tipis padanya, menyodorkan tangan untuk dijabat. Sebenarnya sih Deus ogah sok ramah. Tapi malu dong kalau terlihat kalah jantan. Deus pun berdiri, turut menyunggingkan senyum, lantas menjabat tangan itu.

"Thadeus Nenggala."

"Ah, saya banyak mendengar soal anda. Arsitek terbaik di Indonesia."

Deus memaksakan senyum lagi. "I'll take it as a compliment." 

"Indeed it is."

Jabatan tangan itu terlepas. Deus tak sabar ingin segera ke toilet dan membasuh tangannya dengan sabun hingga terbebas dari segala kuman penyakit. Ia duduk, kembali melanjutkan makan malamnya yang terhambat. Walaupun terlihat sibuk sendiri, ia tetap memasang telinga tajam-tajam atas percakapan yang berlangsung antara Sabit dan Sade.

Sabit sesekali tertawa. Sade ini memang bermulut manis. Mudah saja menebak kalau pria itu masih menyimpan rasa pada Sabit. Dari tatapannya, caranya bicara, Deus sudah hafal gerak-gerik pria buaya sejenis itu. Bedanya, Sade ini pintar bermain cantik.

Tak berapa lama, Sade pamit. Deus membuat gestur mengusir dengan tangannya saat punggung Sade bergerak menjauh. Kelakuan kanak-kanaknya itu mengundang jitakan dari Sabit.

"Gak sopan amat, sih!"

"Harus banget, gitu?" Deus menjawab acuh, menyeruput kuah ramennya. 

"Gue masih gak ngerti kenapa lo sebegitu gak sukanya sama Sade. He's nice. Sopan banget, lurus hidupnya gak kayak lo. Gentle banget lagi! Ah, apa lo minder?"

"You wish," sinisnya. "Kalau dia emang sesempurna itu, kenapa lo batalin pertunangan kalian?!" Ini misteri tersendiri bagi Deus. Sabit tidak pernah menjawabnya dengan jujur terkait ini.

"Cowok baik-baik bukan tipe gue."

"Oh. Sukanya yang bejat kayak gue?"

"Ngaku kalo lo bejat?"

"Gak mau muna aja kayak si Sarden itu."

Sabit memutar bola mata. "Hadeh. Bilang aja iri. Susah amat."

"Jangan ngalihin topik. Lo belom jawab gue. Jadi apa alasan sebenernya lo nolak dia?" Kali ini Deus sepenuhnya melupakan ramen, memberi atensi penuh pada Sabit yang nampak mati kutu ditanya begitu. 

"Udah masa lalu, Nenggala. Gak usah dibahas lagi bisa, kan?" Sabit menghela napas berat. "Toh, gue juga gak ada niatan buat nikah dan bangun rumah tangga."

Deus diam, memilih melahap ramennya lagi. Karena ia tau, ada sudut yang tak bisa ia jangkau dalam diri seorang Sabitha Giovanni.

*

"Oi, Tai Kecoa!" Panggilan bermoral itu hanya akan Bian lontarkan untuk satu orang. Ialah Biskara Limuel, manusia paling tidak tertebak yang pernah ia temui. "Malem ini ke Sentul, gimana?"

Biskara mengangkat alis. "Balap?"

"Iyalah. Masa nontonin kucing lahiran?!" jawab Bian sewot. Moodnya sedang tidak baik dan ia tidak butuh dihadapkan dengan kelemotan seseorang. "Gimana? Bisa, gak?! Oh, wait. Gue gak nerima penolakan dalam hal ini, sih. Jadi bisa gak bisa, lo tetep harus dateng."

"Taruhannya apa?" Biskara menanggapi enteng, terlihat santai dan masih kalem menghadapi emosi Bian yang berapi-api. "Gue lagi gak butuh recehan lo."

Bian mendengus keras. "Gue bakal turutin tiga kemauan lo. Anything. Dan berlaku sebaliknya.

Ada jeda beberapa saat sebelum senyum tengil terbit di bibir sang lawan Bicara. "Deal."

Bian tak menjawab lagi, segera beranjak menuju bangkunya di pojok kelas. Dari belakang sini, ia dapat memerhatikan punggung itu dengan jelas. Jujur saja, terkadang Bian menganggap Biskara itu aneh. Keduanya jelas tidak akan pernah akur. Mereka bersaing dalam segala aspek. Nilai, reputasi, sekaligus hal bobrok yang mungkin menurut orang lain tak penting. 

Sama sepertinya, Biskara berhasil membangun citra yang baik di sekolah. Sudah puluhan kali laki-laki itu berhasil memborong piala untuk segala jenis olimpiade. Otaknya memang seencer itu. Bian menempati posisi kedua, selalu dijadikan cadangan jika si Tokoh Utama tidak bisa beraksi. Bian tidak pernah menganggapnya masalah sebenarnya. 

Selama ini mereka tidak pernah ditempatkan bersama. Itu membuatnya tidak terusik lantaran masih berkesempatan menempati ranking satu di kelas. Namun semuanya berubah saat kelas sebelas ini dimulai. Secara mengejutkan, keduanya ditempatkan dalam kelas yang sama. Hal itu membuat Bian sempat stress karena itu membuatnya terlihat lebih bodoh, sekalipun nilainya selalu beda tipis dengan Biskara.

Hingga suatu malam merubah segala prespektif itu. Bian bukan pecandu hal-hal yang dikatakan orang-orang sebagai surga dunia. Bisa dihitung jari berapa kali ia menyambangi pub untuk menenggak beberapa gelas alkohol hingga mabuk parah. Sesekali ia juga pernah membakar gulungan nikotin bernama rokok untuk dihisapnya. Tentu saja Thea tidak tahu soal ini. Ia berusaha keras untuk meyakinkan sang mama kalau ia merupakan anak baik-baik dan berprestasi. Setidaknya ia harus membanggakan agar tidak dibuang, kan?

Tapi malam itu berbeda. Kepalanya penat sekali. Entah bagaimana, rasa sepi seolah menghimpit dadanya malam itu. Lalu keduanya dipertemukan. Dan entah siapa yang memulai, mereka lantas berlomba menghabiskan Vodka sebanyak-banyaknya. Siapa sangka kalau seorang Biskara Limuel, cowok baik-baik yang tidak pernah melanggar aturan, merupakan seorang peminum handal?

Bian tidak ingat jelas apa yang terjadi. Namun yang pasti, saat ia terbangun, ia sudah berada di kamarnya. Kalau menurut Bi Nilam, seorang laki-laki jangkung yang memperkenalkan diri bernama Biskara lah yang membawanya kembali.

Semenjak itu, Biskara seolah menjadi tempat pelampiasannya. Biskara akan di sana, menyambut tantangannya dalam bentuk apa pun. Lomba lari jarak jauh, meniup puluhan balon secara manual, menyusun puzzle berukuran sebesar gaban, hingga hal ekstrim seperti menghisap lintingan rokok sebanyak mungkin, menenggak Vodka sampai muntah-muntah, atau balap motor sekalipun. Memang Biskara tidak melakukannya secara cuma-cuma. Biasanya laki-laki itu akan menagih tarif. Tidak pernah disebutkan secara spesifik jumlah nomimal yang ia inginkan. Tapi ia tidak pernah protes kalau Bian hanya memberinya selembar dua puluh ribuan. 

Aneh, memang. Padahal statusnya sebagai Deskagara tidak bisa dianggap remeh. Kakeknya adalah salah satu sosok berpengaruh dalam perpolitikan Asia, sedangkan ayahnya merupakan pemilik perusahaan properti besar. Singkatnya, Biskara itu bahkan sanggup membeli sepuluh negara berikut gunung-gunung di dalamnya. Tapi kenapa repot-repot menghabiskan waktunya untuk hal absurd hanya untuk uang yang bahkan tidak seberapa?

Bian lelah menerka. Karena baginya, Biskara itu memang labirin tanpa ujung.

*

Selama ini, Bian tidak pernah kekurangan. Thea selalu rutin mengiriminya uang saku setiap minggu lewat rekening. Nominalnya tidak main-main. Untuk ukuran perempuan anti-ribet dan sederhana seperti Bian, tentu saja pundi-pundi uang itu malah berakhir mubazir. 

Sebersit ide gila muncul di kepalanya kira-kira dua bulan lalu. Saat itu, Bi Nilam—asisten rumah tangga yang dipekerjakan Thea—lagi hobi-hobinya menonton acara balap motor di televisi. Bian jadi terkontaminasi dan secara impulsif membeli sebuah motor bekas dengan kualitas yang masih sangat oke. Ia belajar secara otodidak. Secara mengejutkan, ia malah kecanduan dan kerap menggunakan benda tersebut untuk melepas penat.

Tapi sendiri itu tidak selalu asyik. Semenjak Biskara datang dan menjadi tempat pelampiasannya, sesekali mereka mengadakan adu balap dadakan dengan meneyewa seisi sirkuit Sentul. Di beberapa kesempatan, ia berhasil mengalahkan Biskara walaupun harus ia akui, Bungsu Limuel itu memang sepertinya sempurna dalam segala aspek.

Demi keamanan dan pencitraan, ia selalu menyembunyikan motor besar itu di sebuah garasi tua yang terletak di dekat apartemennya dulu. Pak Mul—supir yang juga disediakan Thea—membantunya mengawasi Kawasaki Ninja itu. Thea memang tidak pernah memarahinya. Malah wanita itu selalu bersikap lembut dan hati-hati padanya. Tapi, entahlah. Hal itu malah membuat Bian semakin takut untuk menunjukkan 'kecacatan' di mata Thea.

Selepas sekolah, Bian pun langsung menyuruh Pak Mul yang masih setia mengantar-jemputnya untuk mengambil kendaraan beroda dua tersebut. Dikarenakan masih banyak waktu hingga jam temunya dengan Biskara, Bian pun mampir sebentar ke apartemen untuk menemui Bi Nilam. Bagi Bian, Pak Mul dan Bi Nilam itu sudah seperti keluarganya sendiri. Mereka yang selalu ada di setiap momen penting Bian.

Bu Nilam yang akan mengambil rapornya di akhir semester. Atau jadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun dengan kue tar simpel buatannya. Pak Mul juga paling sigap saat ia mendadak demam di tengah malam, tancap gas menuju rumah sakit. Mendadak, Bian rindu momen-momen itu.

Kalau Thea memberinya pilihan, ia pun akan lebih senang tinggal di apartemen dan menghabiskan waktu berdua dengan Bi Nilam ketimbang beradu tatap dengan manusia songong dari gua hantu bernama Deus itu. Tapi sayang, di dunia ini, satu-satunya hal yang bisa mengontrolnya hanyalah kata-kata sang mama. Baginya, perintah Thea adalah hukum absolut.

*

Sesuai dugaan. Sirkuit sudah sepenuhnya lengang kala Bian tiba. Mudah saja menebak kalau lagi-lagi, Biskara menyewa seisi sirkuit untuk keduanya. Bian mencibir dalam hati. Hobi sekali buang-buang duit. Padahal Bian tidak masalah kalau harus bergabung bersama orang lain.

Biskara sudah stand by di sebelah motornya pada jalur balap, malah terlihat seperti model sampul Marie Claire. Matahari yang tengah merangkak turun menjadi latar yang membuat pemandangan di depan sana menjadi kian ethereal, terlalu indah untuk menjadi nyata. Perlengkapan laki-laki itu juga mantap. Sarung tangan yang tidak menyembunyikan kesepuluh jemari, jaket kulit hitam, serta helm yang juga berkaca gelap. Bahkan lututnya saja dilapisi oleh knee pad. 

Bian? Dia sih ogah terlalu ribet. Satu-satunya pengaman yang ia kenakan hanyalah helm. Toh, selama ini ia baik-baik saja. 

"Buset. Gaya lo udah berasa mau foto buat sampul majalah aja," cibir Bian saat jarak keduanya sudah terkikis habis. Biskara memang lebih pantas dihina daripada diberi pujian manis. si Lawan Bicara hanya membalas dengan alis yang terangkat, tanpa ekspresi berarti. Bian sendiri juga bingung kenapa ia bisa betah nempel dengan manusia yang lebih mirip patung arca itu. "Siap kabulin permintaan gue?"

"Ngomong gitu ke diri lo sendiri, Peony." 

Beda dengan kebanyakan orang yang sering memanggilnya 'Bian' atau sekedar 'Bi', Biskara malah menyebutnya dengan nama belakangnya. Pernah Bian mengomel soal itu, namun Biskara seolah menulikan telinga. Tapi entah mengapa, ia menyukainya. Seolah .. Peony adalah dirinya yang bisa bebas tanpa kekangan.

"Cih. Sombong amat, Mas."

"Learnt it from you."

Selain cerdas akademik, Biskara memang memiliki keahlian untuk membuat orang naik pitam dengan cara bicaranya. Untung Bian diberkahi kesabaran ekstra kalau menyangkut Biskara.

"Yaudah, ah. Gak usah basa-basi. Langsung aja!" Bian kembali menempati jok motor, memasang helm yang tadi sempat ia lepas. Biskara pun melakukan hal serupa, nampak gagah di atas Ducati Diavel Carbon-nya. 

Seorang petugas muncul, memberi aba-aba untuk keduanya sebagai awal dari pertandingan mereka.

Dua kendaraan itu melesat cepat, berlomba-lomba menjadi yang pertama. Bian dapat merasakan bagaimana adrenalinnya terpompa begitu cepat. Angin malam menerpanya kencang, seolah hendak menumbangkannya. Satu-satunya suara pengiring hanyalah deru mesin yang menggebu. Bian selalu suka sensasi ini. Semua beban pikiran seolah bercecer di belakangnya. Ia merasa bebas.

Semuanya baik-baik saja, hingga hal tidak terduga terjadi. Tepat di tikungan tajam, manuver yang seharusnya sudah Bian kuasai dengan baik malah tidak berakhir mulus. Bian kehilangan kendali, membuat motor besar itu oleng dan jatuh terseret sepanjang aspal. Sekujur tubuhnya nyeri, namun ngilu di lutut kiri yang seolah dikuliti aspal serta lengan yang ia kira setidaknya terkilir mendominasi.

Ia kesulitan melepas helm sekalipun dadanya sudah luar biasa sesak. Tadinya ia sudah berserah, pasrah saja kalau memang sudah saatnya untuk mati. Namun pikiran konyol itu tidak berlangsung lama, sebab mendadak saja Bian merasakan punggungnya diangkat oleh seseorang, disandarkan pada sebuah lengan kokoh yang mampu membuatnya dicercahi sedikit tenang.

Tak berapa lama, helmnya dipaksa lepas. Matanya menangkap Biskara, tengah menatapnya dengan sorot khawatir yang bukan sekedar tipuan semata.

"Sshh. It's okay. You're safe with me." Bian dapat merasakan ada lelehan panas menuruni pipinya. Mungkin perpaduan antara darah dan air mata. "Stay awake, okay?"

Walaupun berkunang, Bian masih dapat melihat segalanya. Detik-detik Biskara menelpon ambulans dengan suara tinggi yang sarat akan kepanikan. Saat Biskara mencengkeram kuat telapak tangannya yang terasa dingin sambil terus berbisik bahwa ia akan baik-baik saja. Dan juga saat tubuhnya diangkat masuk ke dalam ambulans sebelum kegelapan menerkamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status