Share

Sun Kecil dan Cinta Yang Hampir Hilang

3

Bunda sering membacakan kisah-kisah dalam kitab perjanjian lama kepada Sun. Kadang Bunda  tidak perlu membaca kalau kisahnya tentang Yakob dan Yusuf. Kisah mengenai Yusuf tersebut merupakan kisah kesukaan sun dan Bunda sudah menghafalnya. Setelah cukup besar Sun dan Bunda melewatkan banyak waktu bersama dengan membaca puisi, mengobrol tentang buku-buku dan orang-orang hebat. Bunda  sudah baca semua tetralogi-nya Pramudya Ananta Tur, mengoleksi beberapa hasil ciptaan Khalil Gibran dan mengagumi Shakespeare.

Pernah Sun bertanya;

“Shakespeare itu siapa?” Bunda menggelengkan kepala. Katanya, Sun mesti cari tahu sendiri nanti. Bunda masih menyimpn bukunya. Sekarang Sun belum cukup umur untuk membaca buku tersebut jadi Bunda akan menunggunya hingga sedikit lebih besar lagi.

Sebelum masuk sekolah dasar, jarak terjauh antara Sun dan ibunya adalah halaman depan rumah dengan dapur. Itu pun kalau Sun sedang merajuk dan ingin menjauh dari Bunda. Misalnya; Sun pernah merengek ingin menggoreng ikan untuk makan siang keluarga, ibunya mengingatkan bahwa ikan tersebut sangat lembek dan bila tidak hati-hati hasilnya akan berantakan. Sun mulai menggantikan tugas dapur Bunda sementara Bunda menyiapkan sayur. Ikan yang dia goreng ternyata memang berantakan sehingga Bunda berkata,

“Kau lihat! Begitu hasilnya kalau anak kecil selalu sok tahu.”

Sun meninggalkan dapur dan duduk merengut di depan rumah. Kali berikutnya, Bunda sedang membuat keripik pisang. Sun duduk manis dan sedang berbicara kepada ibunya. Tetapi tiba-tiba dia meraih segenggam ayakan pisang dari dulang dan meletakannya di dalam minyak panas. Sedikit tergesa-gesa sehingga minyak muncrat ke luar dan membakar tangan Bunda. Hal itu membuat Bunda memarahinya, menyuruhnya pergi dari dapur hingga pekerjaannya selesai. Sun marah kepada Bunda dan tidak mau makan kripik tersebut. Namun, dia selalu kembali ke dalam lingkaran ibunya.

Bulan Agustus 1994, waktu umur Sun lima tahun Bunda mengajarinya melafalkan puisi. Bunda duduk di depan kursi plastik di ruang tengah dengan sebuah buku di tangannya sementara Sun kecil berdiri menghadap ke arahnya.

“Ayo, anak pintar!” seru Bunda. Sun separuh merengut dan hampir putus asa mengikuti kalimat dari bibir Bunda. Tetapi Bunda  bersikeras kalau anak terbaiknya bisa mengulangnya dengan mudah. Bunda bilang jika Sun tidak mau, maka Bunda akan pergi ke pasar tanpa dirinya. Sun merengut lagi.

“Bagus, jadi anak Bunda akan baca puisi.”

Bertahun-tahun kemudian, saat duduk di bangku kelas empat SD Sun kembali membaca puisi yang sama. Puisi itu adalah puisi karya Chairil Anwar. Berjudul Menyesal.

Pada agustus 1995, tepat setahun setelah Sun belajar melafal puisi, Bunda mengantar Sun ke sekolah dasar karena sudah enam tahun waktu itu. Hingga dua tahun setelah itu Taman Kanak-kanak belum di buka di kota jadi anak-anak langsung masuk sekolah dasar begitu berusia enam tahun. Pada awal tahun ajaran baru, biasanya ibu-ibu berjubel membawa putra-putri mereka ke sekolah sebagai murid baru. Bunda sudah terkenal di kota itu karena namanya sering muncul sebagai penulis artikel di sebuah koran lokal. Saat Bunda mengantar Sun, seorang guru muda mendekatinya. Namanya nona Maya dan mengajar murid kelas satu. Dia seorang gadis dua puluhan dan bekerja sebagai guru honor.

“Ayo beri salam pada ibu guru.” Bisik Bunda ke telinga Sun. Bocah kecil itu melengos dan bersembunyi di balik Bunda. Lalu Bunda mengatakan kepada nona Maya jikalau Sun putra bungsunya. Nona Maya juga kenal kedua kakak Sun, sehingga dia bilang pasti Sun tidak kalah pintar. Tahun itu Mariana akan duduk di kelas dua SMP sedangkan Robertus  kelas enam SD.

Sun bergelayut di lengan ibunya mirip gadis kecil yang malu-malu kepada ibu gurunya. Sementara Bunda dan nona Maya berbicara nyaris berbisik-bisik. Sun mendengar namanya disebut-sebut oleh kedua wanita itu. Mereka berbicara sesuatu tentang dirinya. Sun tidak terlalu paham dan hanya memandang nona Maya dari balik tubuh Bunda. Sewaktu-waktu nona Maya menangkap matanya, Sun akan bersembunyi di balik punggung Bunda. Nona Maya berusaha berbicara kepada Sun. Dengan suara lembut dia bertanya;

“Berapa umurmu?”

Sun diam saja. Dia hanya menyebutnya dalam hati karena sangat tidak menyenangkan berbicara dengan orang lain kecuali dengan Bunda..

“Kalau sudah jadi anak sekolah, tidak boleh lengket pada mama. Sini.” Bujuk guru muda itu sambil meraih tangan Sun. Namun ditepis.

“Kamu lihat anak-anak baru itu? Mereka akan jadi teman kelasmu.” Suara nona Maya sangat halus, mungkin itu gunanya dia mengajar kelas satu. Kalau dia bicara, dia memainkan jemari telunjuk kesana-kemari. Dia seperti Bunda kalau sedang mengajarinya lafal puisi. Artikulasi, Bunda menyebutnya demikian.

“Kamu mau lihat dimana kelasmu, mau?”

Tidak ada jawaban. Sun melihat anak-anak kecil berlari-lari di sekitar orang tua mereka. Mereka seperti sedang mengejar capung. Beberapa dari mereka bermain bola kertas yang mereka pungut dari dalam got. Sun jadi ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Dia menarik lengan Bunda memberi tanda. Nona Maya tersenyum penuh arti.

“Kamu mau ikut ibu melihat-lihat gedung sekolah?”

Kali ini sun menggeleng dan semakin erat memegang lengan Bunda. Dia mulai rewel meminta segera pulang.

Ibu guru itu menatapnya tidak senang. Nona Maya baru mengajar tiga tahun di sekolah ini. Dia lulusan SMA dan langsung ditawari sebagai guru honor karena sekolah sedang butuh tenaga pendidik. Ketika Mariana dan Robertus baru masuk kelas satu, bukan dia yang menjadi wali kelas mereka. Jadi suatu kali Sun bertanya pada Bunda darimana nona Maya mengetahui Mariana dan Robertus.

“Karena mereka selalu juara satu makanya guru-guru sering berbicara tentang mereka.” Jawab Bunda.

Hari senin berikutnya, tahun ajaran baru resmi dimulai. Sun mengeluh tidak mau masuk sekolah. Tetapi Bunda mengancam akan memberitahu ayahnya kalau begitu.

Robertus  mengantar Sun sampai di depan kelas satu. Nona Maya ada di pintu masuk, melihat Sun dia pura-pura tersenyum. Lalu, saatnya hari pertama. Perkenalan di depan kelas. Seisi kelas menjadi gaduh sampai ibu guru memukul mistar panjang ke papan sebagai tanda diam. Anak-anak maju satu persatu. Nama panjang saya titik… titik…titik. Sapaan na..na..na…tidak boleh lupa tempat- tanggal- lahir. Ada yang giginya tanggal dan ompong, sebagian lagi giginya separuh keropos dan berwarna coklat kehitaman karena permen. Beberapa yang putih bersih seperti gigi Sun. Tepuk tangan silih berganti, mengundang beberapa guru menatap para murid dari balik jendela kawat. Bila ada yang lucu, seorang anak lelaki di barisan sebelah Sun akan memukul meja dengan gaduh. Dia sangat nakal, tetapi ibu guru membiarkannya. Tibalah giliran Sun. Sebenarnya dia tidak mau maju ke depan. Nona Maya menunjuknya sebanyak tiga kali yang membuat seisi kelas melihat ke arahnya. Suara gaduh menjadi tenang. Semua orang menanti. Lalu si anak lelaki nakal yang sering memukul meja dengan kepalannya mulai memukul meja. Kali ini sambil mulutnya berbunyi;”Maju!” Buk! Buk! Buk!“Maju!”Buk! Buk! Buk!...suara lain mulai ikutan. Tidak lama seluruh kelas, bahkan nona Maya turut menyuarakan mars tersebut. Perlahan-lahan Sun mendorong bangku dengan tungkainya, ragu-ragu memandang ibu gurunya kemudian melangkah ke depan kelas. Mars berganti jadi tepukan tangan.

“Cukup! Cukuuup! Tenang sekarang anak-anak.” Nona Maya berdiri juga di samping Sun. Dia mengedarkan pandangan kepada seluruh kelas, menghentikan kasak-kusuk.

“Masih banyak yang belum memperkenalkan diri, jangan lagi ribut.”katanya.

Sun mematung. Kelas menjadi hening. Kembali menunggu. Nona Maya mondar-mandir tidak sabar. Akhirnya anak-anak terpengaruh dan mulai kasak-kusuk lagi.

“Baiklah.”Seru nona Maya dari depan pintu,”Giliranmu besok. Berikutnya!”

Sun kembali ke tempat duduk. Dia lega sekaligus malu. Sepanjang waktu tersisa, Sun tidak mau angkat muka lagi. Dia mengeluarkan pensilnya dan mulai membuat coretan di atas kertas gambar. Bahkan sesudah pelajaran hari pertama selesai, nona Maya tidak memanggilnya. Padahal Sun pulang paling terakhir dan ibu guru itu melihatnya.

Sun tidak mau berbicara juga di pelajaran alfabet beberapa waktu kemudian. Nona Maya mengerutkan kening melihat Sun yang berdiri diam di depan kelas ketika gilirannya membaca. Sun hanya menatap papan dengan abjat-abjat sampai nona Maya menyuruhnya kembali ke tempat duduk.

Ketika penerimaan buku laporan caturwulan I, Bunda dan nona Maya bertemu lagi di sekolah. Sidang orang tua murid yang berlangsung dari jam delapan pagi baru saja berakhir dan para orang tua kebanyakan sudah meninggalkan sekolah. Hanya beberapa saja yang masih berbincang-bincang dengan para guru. Termasuk Sun dan Bunda. Sun duduk di samping Bunda di teras kelas satu. Di sebelah kiri Bunda, duduk nona Maya. Wanita muda itu memegang buku laporan warna merah tua dengan nama sun di luarnya.

“Dia kurang mahir berbicara, beda sekali dengan Mariana.” Terdengar suara nona Maya. Bunda mengambil buku laporan dari tangannya dan membuka halaman yang berisi nilai-nilai. Dia menggeleng dan tersenyum. Tangan kanannya memeluk bahu Sun sewaktu dia berkata pelan.

“Dia berbeda dari kakak-kakaknya, nona Maya. Pasti aspek membacanya yang kurang, benarkan?”

“Nilai enam. Itu nilai terendah caturwulan ini untuk keseluruhan kelas satu. Sun lumayan dalam berhitung tetapi jarang mengikuti suruhan guru untuk membacakan abjad di papan. Tanta Vina…” nona Maya berdehem,”Sun sangat pemalu.”

Bunda tersenyum menanggapi.

“Dia memang jarang bicara. Anak saya yang satu ini hanya akan bicara lebih banyak kalau di depan saya. Dari dulu, nona Maya.” Kata Bunda.

“Tidak apa-apa, tanta Vina. Mungkin dia belum terbiasa di dalam kelas.”

Bunda semakin giat melatih Sun melafalkan puisi-puisi. Juga membacakan kisah-kisah dari perjanjian lama. Bunda membeli sebuah kaset rekaman drama tentang Sampuraga dan membukanya setiap siang hari selama lebih dari sebulan. Suara tape recorder menarik minat anak-anak tetangga sebelah untuk berkumpul di depan rumah orang tua Sun untuk turut mendengarkan drama tersebut. Semua orang yang telah mendengar drama itu berkali-kali, pergi ke sekolah dan menyanyikan lagu Sampuraga seperti di akhir drama.

“Kamu mau jadi seperti Sampuraga?” tanya Bunda kepada Sun suatu ketika. Bunda sedang memasak makan malam sementara Sun kecil duduk melihatnya dari atas bangku di dapur.

“Dia membunuh mamanya?”

Bunda menggeleng. Dia durhaka, kata Bunda.

“Apa itu durhaka?”

“Kalau kau tidak menghormati bapak dan mama itu namanya durhaka.”

“Kalau tidak baca puisi juga durhaka.”

“Belum, kecuali kamu mengeluarkan kata-kata kotor kepada mama.” Bunda kemudian menyuruh Sun pergi nonton Televisi dengan kakak laki-lakinya. Tetapi Sun tidak mau. Dia lebih senang mengobrol dengan Bunda.

“Bunda.” Katanya pelan,”Saya bisa memaki Robertus ? Dia bilang kalau saya marah saya bisa memakinya atau berkelahi dengannya.”

Bunda bilang jangan. Dia kan kakakmu.

“Tetapi anak-anak laki-laki di sekolah suka memaki.”

Bunda tidak menjawabnya.

Di kelas dua nilai bahasa Indonesianya membaik. Pak Tomas tidak mengeluh mengenai apapun. Karena sepanjang kelas dua itu, aspek berbicara hanya sekali saja yakni saat membacakan percakapan tentang Ucok dan Telur Ayam, Sun tidak mengalami kesulitan. Dalam percakapan itu Sun berpasangan dengan anak nakal yang sering memukul meja sewaktu mereka masih kelas satu. Namanya Sefrin, anak kepala sekolah.

Bunda membelikan sebuah buku dongeng rakyat sebagai hadiah karena Sun rangking dua di caturwulan ke 3 tahun itu. Pada waktu itu, zaman lafal puisi telah berlalu dan zaman baru sedang berkembang dalam diri Sun. Zaman membaca. Kecuali dalam pelajaran, sun akan membaca dalam waktu lama di dalam kamarnya. Dia tidak suka membaca buku-buku dari sekolah dan hanya membaca cerita-cerita dalam buku bahasa Indonesia. Sun membaca cerpen dan cerbung dalam koran-koran yang dibawa ayahnya pada sore hari dari toko.

Hadiah dari Bunda waktu itu merupakan awal dari serentetan buku-buku baru yang akan dibelikan kepada Sun. Selain buku bacaan, Bunda juga membelikan sebuah buku harian pada Natal 1997. Menurut Bunda, sun sebaiknya mulai belajar menulis puisi di dalam buku itu. Buku itu masih berada dalam lemari Bunda sekarang. Dulu kalau Bunda sedang lelah dia akan mengambil buku tersebut dari dalam kamar Sun dan menuliskan beberapa puisi di situ. Ketika buku tersebut akhirnya penuh dengan tulisan, sun membuka kembali dan menyadari sebagian besar tulisan tersebut milik Bunda. Tulisan Sun hanya ada empat buah puisi dan ditulis dengan kata-kata sederhana seorang anak sekolah dasar. Sun sudah melupakan buku hariannya waktu masuk SMP, tetapi Bunda menyimpan di dalam lemari pakaian Bunda. Sesudah tahun-tahun terlewatkan dan sun mulai mahir membuat tulisan berupa cerpen dan beberapa puisi di sekolah menengah atas, dia teringat akan buku itu. Pada suatu hari dia mencarinya kembali. Dia menanyakan pada Bunda dan ibunya bilang dia menyimpannya bersama buku karya Shakespeare.

Sun membaca kembali tulisan-tulisan milik Bunda di buku harian; puisi-puisinya. Dia sadar betapa mirip cara Bunda menuliskan puisi dengan dirinya sendiri. Sun mewarisi bakat Bunda. Tulisan tangan Bunda  yang lain masih menempel di belakang sebuah foto dalam album yang Sun simpan di antara buku-bukunya di Jogjakarta. Kali terakhir dia membuka album tersebut adalah sebulan lalu, hari kematian ayahnya. Bunda mengingatkan melalui tulisannya bahwa hari dimana foto tersebut diambil merupakan hari pernikahan mereka. Dia mengenakan kebaya brokat warna putih dengan dua sulaman berupa mawar merah muda di dada bagian kirinya. Mukanya pucat karena bedak serta warna lipstik merah muda dikuas pada bibirnya. Dia cantik seperti putri terakhir mereka, adik perempuan Sun yang duduk di bangku SD sekarang; Selvy. Dalam foto tersebut Ciptady tampak sangat gagah. Wajah masa mudanya yang berbalut jas dan dasi berwarna hitam tampak tersenyum. Sepucuk sapu tangan tampak dari saku dadanya. Dia mengenakan kemeja putih dibalik jas; seperti semua pria di kotanya saat pernikahan, mereka tampak sangat kaya.

Bunda  mengatakan dia menulis tanggal pernikahan tersebut hanya selang seminggu kemudian. 27 april 1982; pernikahan penuh cinta dan kebahagiaan. Tujuh bulan menjelang, pada foto yang sama Bunda menggoreskan lagi kalimat tentang kebahagiaan. Tulisan tangannya saling menyambung. 11 november 1982; Mariana, malaikat kecilku. Itu berarti Bunda sudah mengandung sekitar dua bulan sewaktu menikah. Semua orang di rumah mengetahui hal ini, tetapi baik Sun maupun yang lain tidak pernah peduli.

☺☺☺☺☺

Sebelum ayahnya memaksanya memakan buah paria, Sun selalu merengek kapan saja dia mau. Terlebih kalau di dekat Bunda. Sun bisa tahan merengek berjam-jam di bawah kolong meja. Merengek sambil mengentak-entakan kaki, menjatuhkan piring-piring dari rak piring, mengotori masakan Bunda atau menyiramkan gula ke atas lantai. Bunda membawa Sun kemana-mana kalau Bunda pergi. Ke tetangga, ke gereja, dan ke pasar. Kalau tiba-tiba dia mulai mewek, maka ada sesuatu permintaan yang akan Sun sampaikan kepada Bunda. Kalau Bunda bilang ‘tidak, tunggu dulu!’ atau ‘ya, sebentar lagi’ maka  suara tangisannya akan diperdengarkan tanpa malu-malu. Di pasar sekalipun Sun sering menjatuhkan diri ke atas tanah jika Bunda tidak segera memenuhi keinginannya.

Ciptady biasanya tidak pernah mempedulikan rengekan Sun. tetapi akhirnya tiba juga waktunya kemarahan ciptady meletus dan tak tertahankan. Sun sudah duduk di kelas dua, waktu itu bulan oktober 1996 dan Medy baru enam bulan tiba di bumi. Hari minggu pagi itu seharusnya mereka sekeluarga menuju gereja untuk upacara misa pagi, tetapi karena Bunda sedang memiliki seorang bayi Bunda bilang dia di rumah saja. Mariana sedang mengenakan pakaian ke tubuh Sun sementara ayahnya dan Robertus sudah siap di depan. Dalam persiapan tersebut, tiba-tiba sun mulai mewek. Mariana tahu gejala itu dan berusaha mendiamkannya. Tetapi sun tidak mau diam. Dia mau Bunda juga ikut ke gereja. Sekarang kau sudah kelas dua SD punya adik lagi, kata Mariana menghibur. Sun tetap tidak mau. Lama-lama dia meraung sehingga Ciptady mendehem memberi peringatan dari depan. Biasanya ayah mereka tidak terlalu sibuk kalau Sun begitu, tetapi hari itu merupakan puncak dari kemarahan terpendamnya.

“Mariana, biarkan dia tinggal di rumah saja!” kata Ciptady mencari aman.

“Dia mau ikut, tapi katanya Bunda juga.” Jawab putri sulung itu, masih berkutat mengkancing kemeja adiknya. Sun berontak.

“Biarkan saja!” ciptady meninggikan suara. Terdengar langkahnya mendekat.

“Biarkan dia menangis, Romo tidak menunggu dia datang dulu kalau mau memulai misa.” Wajahnya nongol dari ambang pintu. Tidak sabar.

“Sedikit lagi. Saya bisa duduk di luar dengan dia.” Kata Mariana tidak tega. Sun malah menggarung. Kancing kemeja bagian atas terlepas dari jahitan sewaktu dia melakukan itu.

“Sudah, sudah. Kita pergi sekarang!” perintah Ciptady. Semua orang di rumah kecuali Medy mendengar gelegar suaranya. Bunda saja sampai menanggapi teriakan Ciptady dengan mengatakan ini hari minggu. Iya, sebaiknya mereka pergi saja.

 “Tidak usah, kau cepatlah Mariana. Biarkan dia di rumah daripada kalian semua tidak jadi misa.” Bunda bicara dari kamar sebelah. Mariana menyerah. Mereka meninggalkan sun dan Bunda di rumah. Sebelum pergi, Ciptady memberi ultimatum dengan; kalau kau masih menangis…! Kalau Sun lebih besar mungkin dia bisa membaca arti kilatan di mata ayahnya. Dan dia bisa memilih untuk berhenti dulu menangis dan hukumannya bisa ditangguhkan. Sayangnya, hukuman dari Ciptady tetap tiba setelah misa itu. Mungkin kalau Sun sudah berhenti menangis sewaktu ayahnya kembali dari gereja, maka buah paria yang dibeli Ciptady di pasar tak akan dimasukan ke mulutnya waktu itu. Dari depan rumah saja, suaranya masih terdengar. Siapa yang tidak jadi kesal. Bunda sedang duduk menyusui Medy, mulutnya tidak bicara karena lelah  mendiamkan Sun dari tadi. Ketika ciptady masuk, Sun melihatnya. Dia malah mengeraskan suara. Sabda Tuhan apapun yang diwartakan imam di Gereja, tidak berhasil menghentikan tindakan Ciptady selanjutnya. Dia langsung menuju ke dapur lalu kembali ke kamar dimana Bunda dan sun berada. Di tangannya dua irisan buah paria hijau tampak segar dan sangat menggairahkan kalau saja buah itu tidak pahit.

“Diam tidak?” bentaknya,“Kau mau berhenti menangis atau tidak?”

Sun tidak mempan dengan ancaman itu. Lalu sebelum Bunda mencegahnya, sebuah irisan telah di sumpalkan ke mulut Sun sewaktu mulut itu tengah terbuka. Sun terus mengingat kejadian itu. Tangan ayahnya mengatupkan mulutnya dengan keras.

“Telan!” katanya geram,”Telan! Kau akan lihat kalau tidak telan buah itu.”

Air mata berguguran dari kedua mata Sun yang terkatup. Dia berusaha mengunyah buah itu sebelum menelannya. Hanya dia yang tahu apa rasanya, seorang anak kecil memakan sebuah paria yang diiris jadi dua oleh ayahnya. Sun barangkali tidak melihat Bunda menyembunyikan air matanya, tetapi dia menyimpan memori gambaran raut wajah Ciptady. Tatapan matanya. Itulah mengapa dia berhenti menangis hingga empat belas tahun kemudian.

☺☺☺☺☺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status