Share

Sebuah Rahasia Kecil

5

Bunda mengenalkan seorang perempuan yang duduk di atas kursi plastik di dapur sebagai tanta Flora. Sun baru saja tiba tadi pagi sementara tanta Flora datang sejak hari kematian Ciptady.

“Teman Bunda sejak kecil.” Kata Bunda. Bunda sudah pernah bercerita tentang tanta Flora. Itu sudah lama sekali, Sun baru ingat lagi setelah Bunda mengenalkannya. Dia kelihatan lebih cerah dari Bunda. Cantik dengan senyum selalu mekar jika Sun memandang wajahnya. Dia juga kelihatan baru berhenti menangis.

Dari cerita Bunda, mereka berdua sudah kehilangan komunikasi sejak Bunda ikut Ciptady ke Flores sekaligus tidak pernah kembali ke Jogjakarta lagi. Baru beberapa tahun lalu, tiba-tiba tanta Flora mengirim surat kepada Bunda. Sejak dari itu, Bunda dan tanta Flora sering berkomunikasi melalui telepon.

Seminggu kemudian, sesudah tanta Flora kembali ke bandung, Bunda bercerita tentang om Agus. Sun sangat terkejut oleh kenyataan bahwa Om Agus, Tanta Flora, Bunda dan ayahnya adalah teman baik pada masa kuliah. Dulu, Sun dan kakak-kakaknya cuma tahu kalau om agus itu teman ayah mereka dan tidak ada kaitannya dengan Bunda. Bunda menceritakan tentang pertemanan mereka di Bandung, di kampung kelahiran Bunda. Karena kedua orang tua mereka juga sudah berteman baik jadi Bunda dan tanta Flora selalu bersama sejak kecil. Mereka juga SMA di sekolah yang sama. Dan di sana bertemulah dengan om Agus. Dari situ, bertiga mereka melanjutkan studi di Jogja. Bunda tidak menyinggung Ciptady, barangkali dia sedang berkabung. Dia hanya bilang, sangat lama akhirnya berjumpa kembali dengan Tanta Flora. Dua puluh delapan tahun, nak! Bayangkan.

Bunda mengatakan; berbeda dari Bunda dan tanta Flora, om agus dan Ciptady tidak pernah kehilangan komunikasi. Pernah, ketika sun masih kecil dan membantu ayahnya di toko elektronik, dia masuk ke ruang pribadi Ciptady di belakang toko dan menemukan sebuah amplop di dalam bufet tempat Ciptady biasa meletakan rantang makanan. Ruangan tersebut tidak pernah diizinkan oleh Ciptady kepada siapapun untuk masuk. Ayahnya menggunakan ruangan itu pada sore hari untuk merokok dan beristrirahat setelah bekerja seharian. Ketika dia menemukan amplop itu serta membaca nama om agus pada bagian atas surat di dalamnya, sun tidak pernah masuk lagi.

Hari dimana Bunda berbicara tentang tanta Flora dan om agus, sun masuk ke ruang pribadi almarhum ayahnya. Dia melihat bufet tersebut di kunci menggunakan sekrub. Sun menemukan obeng di atas meja tempatnya dulu sering meletakan rantang makanan Ciptady. Sewaktu sun berhasil membukanya, dia melihat amplop yang sama masih seperti dulu tetapi sudah menguning. Sun membaca isi suratnya, sangat terkejut dan ingin menangis. Dadanya lebih terasa sesak daripada saat pertama kali dia belajar merokok. Namun dia tidak jadi menangis. Belum bisa menangis, kecuali hari ini.

☺☺☺☺☺

Kematian ayahnya mengejutkan Sun. Stroke menerjang jantung Ciptady.

Pagi hari 1 sepetember itu Ciptady berjalan di belakang Selvy menuju toko mereka yang tidak jauh dari rumah. Selvy seperti biasa menenteng rantang makan pagi ayah mereka sebelum melanjutkan perjalanan ke sekolah sementara Ciptady memegang Flores pos di tangan kiri dan tangan kanannya menggengam sebatang obeng pipih. Malam sebelumnya obeng itu digunakan untuk memperbaiki sekrub meja dapur yang menurut Bunda sudah mulai longgar. Sebulan kemudian obeng yang sama Sun gunakan untuk membuka rahasia Ciptady.

Selvy baru duduk di kelas tiga SD dan sekarang gilirannya membawa rantang makanan Ciptady. Tugas rutin membawa rantang itu sudah dimulai oleh Sun, diteruskan kepada Medy dan berakhir di Selvy. Gadis itu sedang bersemangat menagih uang jajan pada ayah mereka. Dari kelima orang anak, gadis bungsu itu adalah satu-satunya yang paling dekat dengan Ciptady. Mungkin karena dia anak perempuan yang sangat manis. Setiap pagi Selvy memegang rantang makanan ayahnya. Ciptady tidak pernah makan pagi dari rumah. Dia makan pada jam sembilan pagi di ruang pribadinya di toko ketika kota dingin itu mulai menghangat. Dan dari kedekatan mereka, selvy selalu menerima uang saku dari ayah mereka. Ciptady selalu memberikan uang lebih banyak kepada Selvy ketimbang Bunda kepada keempat anak mereka terdahulu.

Pagi itu tidak ada yang berfirasat buruk. Bunda sudah bersiap-siap di warung saat Ciptady berangkat bersama Selvy. Kedua ayah-anak tersebut sempat bercakap-cakap tentang pelajaran apa hari ini, lalu Ciptady membeli sebuah koran dari seorang bocah dalam perjalanan itu. Dulu ciptady selalu membawa pulang koran yang sama ke rumah pada sore harinya. Setelah beberapa bulan duduk di bangku kelas dua SD, Sun selalu menanti kedatangan koran tersebut. Lantas dia akan mencari kolom cerpen atau cerita bersambung. Bertahun-tahun kemudian, sesudah Sun SMA ciptady tidak pernah lagi membawa pulang koran ke rumah. Dia menumpuknya di toko.

Pada pagi terakhirnya, Ciptady belum sempat membaca satupun tulisan dalam koran saat mereka sampai di depan toko elektronik. Selvy mendengar bunyi logam menghantam lantai mula-mula. Ketika dia menoleh, tepat saat itu Ciptady roboh ke atas lantai. Dengan wajah ketakutan karena melihat mulut ayahnya yang mengerut menahan sakit serta kedua bolanya yang menggelepar, Selvy berlari kembali ke arah rumah sambil berteriak memanggil nama Bunda. Para tetangga ikut keluar dari rumah ke jalan. Namun Bunda terlambat mendapati sisa kehidupan Ciptady setibanya di depan toko. Suaminya sudah tak bernyawa dengan tangan kanan meremas kertas koran Flores Pos sementara obeng yang di pegangnya tergeletak tidak jauh dari tubuhnya.                                                                  

“Dia terjatuh saat menuju toko kita, lalu bapak sudah tidak tertolong.” Mariana menelepon Sun dengan terbata-bata mengabarkan kematian ayah mereka.

Sun terpukul mendengar kematian tiba-tiba tersebut. Dia jadi teringat akan doa-doanya dulu. Doa agar Tuhan segera memanggil kembali ayahnya. Doa agar Ciptady cepat mati, karena dia akhirnya benci padanya. Doa masa remajanya; doa kepada iblis.

Keesokan hari, dia mengisi beberapa potong pakaian dalam ransel yang sama dengan yang teronggok di bawah kakinya ini lalu menumpangi bus pertama yang dia temui di tempat pemberhentian bus menuju surabaya. Tetapi sun tidak sempat melihat wajah ayahnya. Dia sampai di rumah setelah sehari Ciptady dikuburkan.

Selama seminggu pertama, Bunda dan tanta Flora melewatkan banyak waktu di dapur atau di belakang rumah serta kadang-kadang terdengar suara Bunda pecah menjadi tangisan. Suatu sore dalam bulan duka tersebut, tanta Flora pergi ke toko elektronik dan menemukan Sun duduk seorang diri. Toko itu belum dibuka lagi tetapi sun membiarkan pintu depan terbuka sedikit ketika dia masuk. Waktu tanta Flora masuk, sun bisa melihat bekas air mata di sekitar pelupuk matanya. Tanta Flora duduk di atas bangku panjang tempat sebuah radio diletakan dan sedang disetel dengan suara lumayan keras oleh Sun. Dia bertanya apakah Sun mau merokok. Sun ambil sebatang.

“Bagaimana kuliahmu?”

“Baik tanta.” Jawab sun.

“Kamu sudah berapa lama di jogja? Dua tahun?”

Sun mengangguk, tetapi menjawab hampir tiga tahun sekarang.

“Tante di Bandung. Kalau ada waktu datanglah ke Bandung. Pernah ke sana?” dia menjatuhkan serbuk tembakau ke atas lantai. Lantai ini dulu tugas Sun biasa membersihkan. Warnanya masih tidak berubah.

Sun menggeleng seraya mengeluarkan bunyi puh dari mulutnya. Asap melesak keluar dari mulutnya.

“Tanta Flora kenal om Agus?” tanya sun tiba-tiba. Surat di bufet Ciptady masih membayang. Ada jeda tidak menyenangkan seusai pertanyaan Sun. Lalu tanta Flora bilang ya.

“Teman ayahmu. Dia pernah mengunjungi kalian, bukan?” nadanya datar saja. Kalau seseorang berusaha menyembunyikan sesuatu, maka dia bisa bersikap datar seperti ini.

“Sekali. Saya lupa kapan tepatnya.” Matanya menuju pintu kamar pribadi Ciptady yang tertutup,”Saya masih kecil waktu itu.”

Bunda mungkin menyembunyikan banyak hal. Tetapi itu karena Sun tidak pernah bertanya. Misalnya tentang keluarga Bunda dan Ciptady, apakah masih hidup sekarang, berapa jumlah saudara. Hal-hal yang demikian. Sun tidak ingin menanyakannya. Tanta Flora berbeda. Kalau Bunda mungkin akan membuka kartu kalau saja Sun bertanya, Tante Flora malah membalikkan kartunya. Sewaktu Sun bilang bukankah mereka berteman baik di SMA, tanta Flora tidak tanggap. Pura-pura tidak tanggap. Dia hanya menegaskan kalau yang Sun maksud adalah Bunda maka itu benar. Lalu bagaimana dengan Om Agus? Kami tidak terlalu akrab, katanya. Itu saja.

 Sun tidak ungkit-ungkit lagi, selain tidak sopan, bukankah seharusnya dia bertanya lebih jauh pada Emak? Oh, tidak. Dia tidak akan bertanya apa-apa pada Bunda. Sun merasa paling mengenal Bunda. Dia selalu hidup dalam lingkaran ibunya, dan karena itulah dia sangat mengenal Bunda ketimbang saudara-saudaranya. Hanya Sun yang mampu melihat tanda-tanda perjuangan, pergolakan batin, kelelahan serta beban dari sebuah rahasia di raut lembut Bunda. Dengan alasan yang sama, Sun selalu bertanya-tanya dalam separuh hidupnya kini tentang sosok Bunda. Andaikan kau adalah anak kesayangan ibumu, maka kau pasti juga akan bertindak seperti Sun. Kalau saja kau adalah seorang pemuda melankolis dan pernah merasakan seperti Sun rasakan; perasaan tak mengenal sisi lain dari ibu terkasihmu. Apalagi kau adalah generasi pertama dari sebuah keluarga yang hijrah dari pulau Jawa dan menetap di tanah asing di sebuah kota kecil yang selalu dingin ini. Bila kau bisa ingat puisi-puisi yang ditulis ibumu dalam sebuah buku harian yang dia belikan untukmu? Kau akan tahu bagaimana rasanya kalau ada seseorang dengan gaya penulisan yang sangat mirip denganmu. Kau bisa membaca siratan maksudnya sejelas mengetahui arti dari sebuah pertanyaan dalam teka-teki silang. Bahkan sekalipun ibumu tidak pernah mengeluh, kau bisa membaca keluhannya melalui tulisan-tulisan itu. Jadi ketika dalam buku puisi yang sama, kau menemukan sebuah puisi yang mengisahkan tentang sebuah cinta terlarang, maka kau akan bertanya-tanya untuk siapakah puisi yang ditulis Emakmu. Dan tiba-tiba saja, kau menjadi takut untuk menyibak tirai kedua orang tuamu sendiri. Jadi sun tidak akan bertanya apa-apa tentang masa lalu ayahnya pada Bunda. Sekalipun Bunda mungkin mengetahuinya.

Selama masa sekolah menengah, Sun hidup dengan banyak tanda tanya. Bertanya-tanya seorang diri mengapa ayahnya memiliki kemarahan sebesar itu. Mengapa ibunya tidak pernah menanggapi setiap kemarahan dari mulut Ciptady. Sekarang tanta Flora ada di depannya, dia bisa bertanya sesuatu kalau mau. Tetapi tanta Flora adalah seseorang yang membuat kita kehilangan minat untuk bertanya. Dia mengisap-menghembus dalam satu irama hingga sepertiga rokoknya terbakar. Lalu membuang abunya di atas lantai.

“Oh ya, besok tante mau balik ke Bandung. Tante pikir kalau kamu mau, kita bisa sama-sama besok.”

“Saya masih agak lama di sini tanta. Mungkin dua minggu lagi.”

“Ya, tante juga pikir begitu. Kamu bisa mengunjungi tante sekali-sekali. Ibumu tidak pernah ke kampung halamannya lagi sejak dia ikut ayahmu ke sini.”

Sun mengangguk. Katanya ayah Bunda masih hidup sekarang sementara istrinya sudah meninggal sewaktu Bunda SMA. Bunda tidak pernah bercerita mengenai itu, dan baik Sun maupun saudara-saudaranya tidak pernah menanyakannya.

“Penjualan ayahmu bagaimana?” matanya menyapu separuh toko. Toko itu menjadi sangat kecil dalam pandangan Sun sekarang. Dia sudah tinggal di kota besar, melihat gedung-gedung besar, toko-toko besar. Ini dulu cukup lumayan, tetapi setelah matanya terbiasa di Yogyakarta dia menjadi melihat usaha ayahnya dengan pandangan berbeda.

“Lumayan tanta. Lebih laku kalau sedang musim panen, biasanya para petani akan membeli alat-alat hiburan.”

Tanta Flora mengangguk. Dia bangun dan berjalan melihat-lihat isi toko itu. Dia menemukan tumpukan koran di atas meja di dekat pintu ruang pribadi Ciptady.

“Ciptady..Ciptady..” tanta Flora berdecak dan berpaling pada Sun,”Ayahmu tidak bisa melewatkan harinya tanpa membaca.”

“Dia hanya baca koran setiap hari.”

“Hanya itu?”

“Ya, setiap hari dia memegang koran ke dalam toko ini.”

“Oh, padahal sewaktu kuliah dia kutu buku.”

“Emaklah yang kutu buku.” Sun mengoreksi. Tidak pernah ayahnya membaca buku.

“Hmm, jangan dengarkan ibumu. Dia baru mulai membaca sejak kami mengenal Ciptady. Ayahmulah yang menulari penyakit baca kepada ibumu.” Kata tanta Flora sambil berjalan kembali ke arah Sun. Kata-katanya membuat Sun terkejut tetapi sun menyembunyikan keterkejutannya.

“Ciptady pasti menderita sekali hanya bisa membaca koran-koran itu.”

“Hah?”

Tanya ibumu, kata tanta Flora. Untuk pertama kali wanita itu menatap mata Sun cukup lama. Simpatinya sangat kentara di mata itu. Perasaan sun menjadi tidak karuan. Yang benar saja, pikirnya.

“Benar juga pendapat Vina, kau, anak ketiganya, tidak sama sedikitpun dengan saudara-saudaramu yang lain. Saudara-saudaramu adalah keturunan Vina, tetapi kau satu-satunya keturunan Ciptady.”

“Jangan begitu tanta.” Sun jengah dikatakan demikian. Bukankah dia lebih dekat pada Emak?

“Kau pantas mengetahuinya. Bertanyalah pada Agus. Dari kami semua, Agus yang paling bisa berbicara. Bertanyalah pada dia kalau kau sudah kembali ke Jogja. Dia sekarang di Surabaya, kau bisa meneleponnya kalau mau. Tanta akan memberikan nomor teleponnya.”

Sun berdebar-debar. Bahkan dia tak sanggup berkata apa-apa sampai Tanta Flora keluar dari toko. Bukankah dia dari dulu tidak ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya? Lama kemudian, sun masih duduk sendirian di situ.

Dia melihat tanta Flora berjalan keluar dari dalam toko sebelum bayangannya digantikan sosok Ciptady di benaknya. Kau satu-satunya keturunan Ciptady? Sun menelusuri jalan ke masa lalunya. Berusaha menemukan suatu titik dimana pernyataan itu bisa jadi benar. Dia melihat irisan paria di atas piring. Tatapan mata Ciptady yang ah,,tidak dapat dijelaskan. Dia hanya masih ingat tatapan itu sehingga dia berhenti menangis. Rantang makanan, Sun membawa rantang itu setiap pagi sejak kelas tiga SD. Dia ke beranda masa SMP, menemukan sesuatu di sana; dia menjadi asisten toko elektronik sang ayah, dia tidak pernah bermain layang-layang lagi setiap musim berangin, jalur kehidupannya adalah rumah-sekolah-toko elektronik.

Kaki masa lalunya menjejak di lantai SMA; dia melihat Berto dan Dyan, buku-buku bacaan, tulisan-tulisan tangannya, catatan fisika dan matematika. Dimanakah Ciptady ketika Sun SMA?oh, itu dia. Suatu sore dalam perjalanan membeli rokok di kios, Ciptady menemui Sun dan Dyan sedang duduk berduaan pada waktu jam sekolah di samping kios itu. Menyeruput sebotol coca-cola bergantian. Keesokan pagi ultimatum keluar; kalau saya lihat lagi kau dengan perempuan itu, sebaiknya kau berhenti sekolah sekarang. Ingat, keluarga kita selau berhenti sebelum selesai, jadi kau mulai menunjukan tanda-tanda itu lagi maka saya akan memberhentikan kau sebelum kau melakukannya sendiri! Pada bulan sepetember tahun yang sama, setelah Sun tidak pernah lagi ada bersama-sama dengan Dyan, ciptady mengeluarkan ultimatum yang sama. Kali ini karena persahabatannya dengan Berto. Setelah ultimatum yang kesekian itu, Sun mendoakan kematian datang pada ayahnya.

Lalu, mana kesamaannya dengan sisi Ciptady? Tidak satupun. Tanta Flora salah besar. Sun melirik pintu ruang pribadi Ciptady, mengingat isi surat di dalam bufet kemudian dia keluar dari toko.

Dan seminggu yang lalu, sesudah tanta Flora balik ke Bandung Sun menemukan sebuah kesamaan tersebut. Sebuah hal yang menurutnya telah mengaitkan dirinya dengan sangat erat kepada ayahnya. Apakah yang ayahnya rasakan dulu persis sama dengan yang Sun alami sekarang? Apakah yang salah dengan gairah seksualnya? Karena itukah sang ayah dan Bunda melakukan hubungan suami istri hingga Bunda mengandung dan tidak melanjutkan kuliah?

Sun ingat senyum ayahnya dalam foto pernikahan mereka. Wajah ayahnya yang tersenyum lebar meyakinkan Sun apa yang terjadi pada dirinya adalah sesuatu yang ditinggalkan ayahnya. Bagian lain dari tubuhnya yang merupakan warisan dari sang ayah. Sun akan bertanya kepada Om Agus mengenai pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Apapun yang akan dia temukan di halaman depan kehidupan dari kehidupan orang tuanya, apapun itu Sun belum tahu apakah akan menerimanya.

☺☺☺☺☺

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status