Share

Old Fesbukers
Old Fesbukers
Penulis: gzoe4674

Hujan, Perjalanan, dan Kenangan

1

Hujan di luar menggerimis sejak bus keluar terminal Bungur Asih. Hujan pertama pada musim dingin tahun ini, pikir pemuda itu sambil mengamati melalui kaca jendela bus. Kalau dia benar, itu artinya musim hujan akan dimulai pada tanggal 4 oktober hari ini. Di kejauhan langit sudah membulu domba sementara matahari telah redup lebih cepat. Padahal belum tepat pukul enam sore sekarang. Kota surabaya menjadi lebih panik dari biasa. Di ujung kota petir mengkelabang dan si pemuda merasa lega sebab jalan menuju Jogjakarta akan sedikit sepi. Suhu di dalam bus bertambah dingin sehingga pemuda itu membungkus tubuhnya dengan sweater coklat tebal, sepasang sarung tangan warna hitam dan kepalanya tertutup topi dingin coklat gelap. Duduk melipat tangan di dada, dia merasa nyaman. 

Di bawah kakinya adalah sebuah tas punggung berwarna hitam. Isinya beberapa potong pakaian ganti di atas kapal. Juga sebuah sebuah flash disk  berisikan file-file pribadinya. Ada lima belas puisi, sembilan cerita pendek, tujuh opini, dua belas artikel, sebuah cerita bersambung serta sebuah novel belum jadi. Kemarin dia telah memikirkan akan menulis kisah mengenai ayahnya.

Sebelum berada dalam bus ini, dia baru saja menyeberangi laut dan samudera dalam tiga hari. Pemuda itu merasa lelah sehingga dia duduk diam dalam perjalanan. 

Wiper mulai membersihkan kaca depan bus dari titik air yang jatuh sesudah bus melaju sekitar setengah jam kemudian. Si pemuda sempat melihat pola setengah parabola di kaca depan akibat gerakan wiper itu sebelum berpaling lagi pada kaca jendela. Dia lebih tertarik memandang gerimis dari balik jendela.

Pemuda itu melihat pantulan wajahnya di kaca jendela bus. Seperti orang asing, dia berpikir. Sepotong wajah kusut, tidak banyak cahaya pada bola matanya dan rambut tidak disisir. Dia coba tersenyum, tetapi tidak berhasil. Kemudian dia memandang keluar dan  merasa senang karena hujan itu. Dia selalu menyukai hari pertama hujan turun di akhir musim panas. 

Kaca mulai buram tetapi tidak menghalangi pandangan pemuda itu kepada gerimis yang berlari melesat. Untuk beberapa menit dia terpaku menyaksikan butir-butir air yang hinggap sebentar di kaca sebelum luruh dan muncul butiran yang lain. Dia melihat warna transparan dari butiran yang hinggap dan mencoba menebak warnanya. Hujan itu termasuk air, tentu saja warnanya juga bening, dia berkata dalam hati. Pemuda itu teringat pada kisah tentang seorang pelukis pemula yang pernah dia baca.

Waktu kecil, dia sering bermandi hujan di lapangan sekolah. Dia jadi tahu bagaimana bentuknya. Kalau hujan sedang deras, maka bentuknya menyerupai kawat perak yang panjang antara tanah dan ketinggian pohon cemara. Kalau masih gerimis macam di luar ini bentuknya lebih halus. Seperti benang perak; jika angin tidak meniupnya maka dia akan jatuh lurus. Tetapi jika ada angin yang bertiup, wujud gerimis akan miring dan berayun-ayun.

Bus memelan lalu berhenti oleh warna merah lampu lalu lintas. Dia segera melupakan wujud hujan dan beralih pandangan ke atas trotoar. Di atas trotoar seorang ibu sementara menyodok terpal yang mengatapi warungnya. Air tercurah dari salah satu tepi terpal. Si pemuda tercenung; hujan dan air bermain-main lagi di pikirannya. Juga kisah tentang pelukis pemula itu. Kalau warna bening tidak sanggup dilukiskan dalam lukisan, itu artinya warna bening sebenarnya tidak berwarna. Seperti udara. Dan tidak seperti hujan, pemuda itu belum pernah melihat udara. Seperti halnya dia belum pernah melihat Tuhan, malaikat dan iblis kecuali dalam lukisan. 

Bus melewati pabrik beton dengan cerobong asap mengeluarkan asap putih. Puncak pabrik tampak kecoklatan tersiram hujan. Si pemuda terpekur. Warna coklat pada puncak pabrik tersebut pasti tadinya adalah warna tembok yang dicat putih, tetapi hujan mengubahnya. Kalau demikian, pemuda itu merenung, warna bening bukanlah tak berwarna. Karena dia telah mengubah tembok putih menjadi kecoklatan. Mungkin itulah maksud sang guru mengajak muridnya melihat banjir.

Seorang pelukis tentu saja ada batasnya, si pemuda memutuskan. Mereka bisa melukis wajah Tuhan yang hanya ada dalam bacaan kitab suci. Wajah malaikat dan setan juga dilukiskan. Tetapi air yang selama ini bisa  dilihat selalu dilukiskan dengan warna yang salah. Tidak heran pelukis muda itu lebih memilih melukis wajah Tuhan, malaikat dan setan ketimbang melukis hujan dan udara. 

Bus melaju dan dia merasakan perasaan sepi. Si pemuda memperhatikan para penumpang lain. Selain  manuver-manuver berbahaya yang dilakukan sopir bus, tidak ada satu penumpang yang melakukan hal lain selain duduk diam dalam keheningan masing-masing. Hujan di luar menghipnotis semua orang untuk duduk mematung, merenung, berkhayal, bermimpi. Dilihatnya; seorang lelaki yang duduk di sampingnya memandang layar ponsel dalam ketenangan, sepasang kekasih_barangkali_yang duduk di seberang kursinya tidak saling bicara, kepala seorang perempuan di kursi bagian depan terantuk-antuk pertanda dia telah tertidur. Hujan membuat orang menjadi ilusif. 

Tetapi bagi pemuda itu hujan lebih sering membuat dia berimajinasi; ilham-ilham menakjubkan datang begitu saja di waktu hujan. Biasanya saat hujan dia mampu menghasilkan beberapa tulisan yang lebih baik. Hujan di luar mengingatkannya pada tulisan-tulisan tersebut. Hatinya berkata sekali lagi bahwa dia akan menulis kisah tentang ayahnya setelah tiba di Yogyakarta.

Tiba-tiba dari kesepian pemuda itu mulai merasakan kesedihan menghampirinya. Dirinya mencair dan seolah-olah jatuh dari sebuah ketinggian. Sekarang batas antara rasa hampa dengan kesedihan jebol. Pemuda itu memejamkan mata. Napasnya naik-turun. Setelah sebulan tidak merasakan apa-apa, sekarang hujan mengirimkan aliran kesedihan ke dalam hatinya. 

Dia tidak pernah menangisi kematian sang ayah. Pemuda itu memandang kembali keluar untuk mengunci kembali hatinya. Hujan menderas, benang air mengibas tubuh bus bagian atas dan samping. Alih-alih, dia melihat makam sang ayah yang basah kalau hujan di luar juga sedang turun di kota kelahirannya sekarang. Air hujan akan berubah jadi air tanah, merembes di antara pori-pori tanah di sela-sela peti jenazah lelaki itu.

Pandangannya jadi semakin kabur, bukan saja karena hujan di kaca jendela tetapi oleh air di lensa matanya sendiri. 

Dia melihat ayahnya mengenakan baju leher banting kesukaannya dan mencium aroma tembakau di udara. Dia mendengar suara ayahnya berteriak memanggil namanya dari depan toko elektronik suatu sore dan melihat tatapan mata lelaki itu saat dia menelan buah paria. 

“Ternyata waktu begitu cepat berlalu.” Dia bergumam pada kaca bus.

Sebulir air mata berhasil lolos, cepat-cepat pemuda itu mengeringkannya. Aneh sekali rasanya. Saat dia berusia nyaris tujuh tahun ayahnya pernah membuat dia berhenti menangis. Baru setelah hampir empat belas tahun kemudian, pemuda itu akhirnya bisa menangis kembali oleh karena kematian lelaki yang menghentikan tangisannya. Sewaktu dia berhenti menangis waktu itu, si pemuda berharap akan membenci ayahnya seumur hidup. Sebulan dia berhasil mengurung perasaannya, menyudutkannya di balik ruang kosong yang dia bangun namun hari ini hujan meruntuhkan dinding penghalang tersebut. Sia-sia dia berusaha menelan kembali kesedihannya, sama halnya sia-sia dia menolak menelan buah paria bertahun-tahun lalu. 

Cukup lama sesudah itu si pemuda mulai mengantuk. Dia ingin tidur dan melupakan wajah ayahnya. Bus sedang melewati jalan bebas hambatan saat si pemuda benar-benar menyerah pada rasa kantuk dan berpaling dari butir-butir mirip kristal yang bergulir di kaca jendela. Samar-samar dia masih merasakan energi kesedihan mengalir di dalam hatinya. Hujan ternyata membuatnya memiliki perasaan lagi. 

Sekian puluh menit kemudian hujan tidak surut dan dia telah pulas. 

☺☺☺☺☺

Pemuda itu menyebut dirinya Sun. Dua tahun lalu dia mendapatkan nama tersebut ketika tiba di pulau Jawa pertama kali. 

Malam terakhir di atas kapal, Sun tidak tidur. Hanya berbaring mencerna kisah Ka; dari perjalanan menuju kars hingga kematiannya. Dia baru saja selesai membaca sebuah buku berjudul snow. Kisahnya tentang seorang penyair yang menamakan dirinya sebagai Ka. Ia seorang penyair terkenal di Turki karena puisi-puisinya yang masyhur. Penulis menggambarkan sosok Ka sebagai pribadi yang melankolis. Baik dalam perjalanan dari Erzurum ke Kars maupun selama berada di kota Kars itu sendiri, Ka selalu murung. Dikisahkan Ka sering menatap salju yang turun dalam keheningan dan mendapati betapa dirinya kesepian. Sayang sekali Ka harus mati, Sun bergumam. Dia pergi keluar dan duduk di dekat cerobong asap. Mendekap novel itu dan perasaannya berduka untuk Ka. Sun telah membaca banyak buku, mengalami pergolakan emosi, namun baru kali itu dia sangat gundah karena kesedihannya sendiri.

Sun tidak tertarik pada nuansa politik, dia memilih membayangkan kisah cinta antara ka dan ypek dalam buku tersebut. Ka menemui Ypek dan merasa yakin wanita tersebut akan mengikutinya pergi dari kars yang tengah berguncang oleh berbagai kasus bunuh diri. Dikatakan kedua insan tersebut telah saling jatuh cinta kembali setelah berpisah cukup lama. Mereka mrencanakan akan pergi dari kars secepat yang mereka bisa. Tetapi ternyata si penulis lebih memilih mengakhiri buku tersebut dengan kematian Ka. 

Sun melipat salah satu ujung kertas untuk menandai sebuah halaman yang mengisahkan tentang keraguan ypek mengikuti ka. Buku yang dimulai oleh kesepian dan diakhiri oleh kesepian pula, pikir Sun. seandainya ypek jadi pergi dari kars bersamanya, bisa jadi Ka tidak akan mati.

Sun sangat terpengaruh oleh karakter Ka. Baginya, kepribadian Ka yang melankolis, pemalu dan senang menyendiri sangat mirip dengan dirinya. Saat turun dari kapal, keinginan Sun menyamarkan nama asli memenuhi dadanya seolah-olah Ka merasuk ke dalam jiwanya sendiri.

Sun dilahirkan di sebuah kota kecil di pulau flores. Di sebuah kota kecil di atas pegunungan. Setelah berangkat kuliah, yang ada di ingatan Sun tentang Bajawa adalah kota itu sedang tumbuh dari sebuah kota kecil dengan kabut melayang-layang di pagi hari. Tidak ada asap dari cerobong-cerobong pabrik, tidak ada polusi dan belum ada lampu lalu lintas. Udara pegunungan yang sejuk di siang hari sebenarnya sangat dingin pada pagi hari dan sore hari. Malam hari, udara lebih parah lagi. Orang-orang harus mengenakan jaket atau sweater kalau keluar dari rumah, bahkan di dalam rumah sekalipun terkadang perlu. Sebelum pukul sembilan pagi, atap-atap seng rumah dikerubuti kabut. Daun-daun sawi dan tanaman kol meneteskan air ke atas tanah sehingga kota itu selalu hijau sepanjang tahun. Kalau pagi hari atau malam hari, air menjadi sangat dingin dan membuat tulang atau gigi ngilu seketika. Jadi tidak ada aktivitas lari pagi. Tidak ada satu toko atau kios yang buka dua puluh empat jam. Satu-satunya pasar di kota ini baru mulai digelar setelah matahari terbit dan para pemilik lapak duduk menjerang matahari dengan tubuh bergetar, gigi dan rahang gemeletuk dengan sendirinya. 

Tetapi di dalam cuaca dingin sehari-hari itu, penduduknya terdiri dari orang-orang terhangat serta ramah yang akan menampungmu di rumah mereka dan memberimu makanan gratis. Tiap-tiap orang memiliki hubungan kekerabatan sangat erat. Kau bisa saja menganggap tetangga sebelah rumahmu adalah keluarga dekatmu karena begitu akrabnya hubungan kalian. Mereka saling menyapa di pasar dan mengobral senyum-senyum tulus. Kalau ada anak remaja yang saling memukul, maka orang tua remaja yang satu akan datang ke rumah musuh anaknya bukan untuk mengadu. Mereka akan berbicara tentang kenakalan anak-anak masing-masing seperti dua orang tetangga yang baik. Pokoknya, kau tidak akan tersesat dan merasa hidup sendirian di kota ini.

Pada awal 80-an, sebuah pasangan suami-istri datang dari pulau Jawa dan menetap di kota itu. 

Sun dilahirkan sebagai titik tengah dari kelima orang anak, tiga putra dan dua putri serta memiliki kehidupan masa kecil cukup sejahtera bersama seorang kakak lelakinya. Dia menerbangkan layang-layang di tanah lapang atau di sepanjang jalan kota yang dingin di akhir bulan agustus. Kehidupan masa kecilnya dihiasi dengan buku-buku; sebuah catatan untuk menulis puisi, komik dan buku-buku petualangan, sebuah televisi dan sebuah radio, seekor kucing dan seekor anjing peliharaan, ayah pemarah dan ibu yang bijaksana. 

Kucing itu mereka namai Roby, anjingnya bernama Boby; sama-sama jantan dan telah menjalani persahabatan yang ekstrim. Kalau perut mereka lagi terisi, kucing dan anjing bisa bermain bersama seperti vertebrata sejenis, tetapi ketika sedang makan anjing selalu menjaga wilayah piringnya dan akan menggeram kalau si kucing mendekat. Keduanya mati sebelum Sun masuk SMP, namun yang membuat Sun kadang-kadang masih ingat mereka adalah kenyataan bahwa hanya keduanyalah yang tidak pernah tersentuh kemarahan Ciptady. 

Sewaktu mariana masuk sekolah dasar, dia adalah anak orang Jawa pertama di sekolah itu. Kulitnya lebih terang, rambutnya lembut dan sedikit bergelombang dan wajahnya paling cantik. Mariana berteman dengan siapa saja, sementara anak-anak putri berusaha bersikap baik padanya. Dia mengambil hati guru-guru sekolahnya dan ibu-ibu teman perempuannya. Sesudah menjadi seorang gadis remaja, banyak pemuda yang jatuh cinta dan patah hati karenanya. Sesudah putus sekolah, pesonanya tidak pernah hilang. Akhirnya dia dinikahi seorang pemuda dari keluarga terpandang di kota itu. Suaminya seorang Pegawai Negeri Sipil. Saat Robertus  masih balita, orang-orang melihat wajahnya lebih tepat sebagai seorang anak perempuan. Dia kemudian tumbuh jadi bocah lelaki yang tampan. Kalau dia bermain dengan anak-anak penduduk setempat, dia disukai semua orang. Rambutnya disisir belah tengah dengan kedua sisi yang sempurna. Jika Robertus berlari atau melompat, rambutnya mirip sayap burung berkepakan naik turun. Setelah remaja, gadis-gadis memandang Robertus dengan malu-malu. Ia adalah idola murid-murid wanita sejak SD. 

Sampai berusia lima tahun, Sun lebih sering tidur malam dengan ibunya ketimbang sekamar dengan Robertus. Seringkali pada tengah malam dia merengek ketika tidak mendapati ibunya tidur di samping. Dia akan merengek hingga Bunda datang dan memindahkannya ke kamar mereka. Sebelum berteman dengan Berto, Sun lebih memilih duduk di dapur ketimbang bermain di lapangan bersama Robertus dan anak-anak lelaki sebaya. Dan di dapur itulah, dia bisa merecoki ibunya setiap hari tanpa perlu takut dimarahi ayahnya. 

Waktu kecil, teman-teman memanggil kedua kakaknya dengan nama “Jawa!”. Tidak demikian dengan Sun. Oleh teman-temannya, dia tidak dianggap sebagai orang Jawa. Dan Sun sendiri juga tidak pernah mengharapkannya. Bertahun-tahun berlalu, baik Mariana maupun Robertus tidak pernah sampai di tanah yang namanya pernah disematkan pada mereka berdua. Justru Sun yang tiba di tanah Jawa. Dan ketika akhirnya dia pertama kali menginjakan kaki di pulau tersebut, yang pertama-tama dilakukan Sun adalah mengganti namanya. Bukan dinamai sesuai nama tanah yang dipijaknya; nama panggilan teman-teman kepada kedua kakaknya, tetapi nama matahari yang sedang bersinar di atasnya. Nama baru adalah kehidupan baru, kebebasan, pikir Sun waktu itu.

☺☺☺☺☺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status