Share

Bunda dan Hal-Hal Kecil Tentangnya

4

Belasan tahun lalu, hujan adalah sesuatu yang sangat dinantikan di hari-hari terakhir musim panas. Mereka menunggu hujan, karena hujan artinya musim jagung muda sebentar lagi datang. Penduduk Bajawa rata-rata memiliki kebun jagung setiap keluarga. Saat jagung mulai berbulir dan bernas, malam-malam yang dingin akan terasa lebih hangat. Setiap orang mengambil bagian di sekitar tungku atau bara api dengan jagung masing-masing.

Dan ketika sahabatnya menikah pada bulan mei lalu, Bunda akhirnya bisa bernapas lega. Berto menikahi seorang gadis dalam usia dua puluh tahun dan orang-orang berbicara tentang betapa cepat anak seusia dia mempunyai seorang istri. Belum lagi baik Berto maupun istrinya baru saja lulus SMA setahun sebelum pernikahan mereka. Sun mendengar cerita tentang pernikahan sahabatnya dari mulut Bunda. Kata Bunda, pernikahan tersebut dipercepat karena ‘kecelakaan’.

“Dyan sudah hamil.” Kata Bunda.

Sun teringat pernikahan Bunda dan ayahnya sendiri sewaktu dengar Bunda cerita tentang pernikahan Berto. Bunda pernah mengalami ‘kecelakaan’ yang sama. Jadi sewaktu Bunda berkata ‘beruntung mereka menikah secepat itu’, Sun mengartikannya sebagai toleransi Bunda kepada keadaan Dyan.

“Bunda, apakah Dyan..apakah dia benar-benar hamil?”

“Begitu kata Tanta Lusia.” Sahut Bunda.

Sun tidak tahu kalau Bunda sangat lega akhirnya Berto menikah. Dan dia juga tidak pernah mengira jika selama ini Bunda mengkhawatirkan persahabatannya dengan Berto di tahun-tahun sebelum pernikahan itu.

“Sampaikan salam pernikahan dari saya kepada mereka berdua.” Ujar Sun.

Sun sudah mengenal Berto jauh-jauh hari sebelum dia masuk sekolah dasar, tetapi mereka baru berteman setelah Berto masuk kelas satu. Sun naik ke kelas dua. Rumah orang tua Berto di belokan pertama setelah rumah mereka, dan usai caturwulan pertama di kelas dua Sun mulai berteman dengan Berto. Persahabatan mereka dimulai sejak Sun mulai mengenal caranya menerbangkan layang-layang.

Hari ketika Sun menelan buah paria adalah tanggal 28 oktober. Dua minggu berikut, angin bertiup sejak mereka masuk sekolah pagi hari sehingga sore harinya di lapangan sekolah anak-anak bermain layang-layang. Sun tidak akan keluar rumah jika insiden paria tidak pernah terjadi. Dia menghindari Bunda sejak pagi tadi. Bahkan dia tidak berbicara kepada satu pun anggota keluarganya. Sewaktu sarapan, Bunda berusaha mengembalikan keadaan dengan memancing berbicara beberapa hal. Hanya Mariana dan Robertus yang tanggap. Bunda mendelik kepada mariana sewaktu mariana hendak menyebut nama Sun. Mariana tahu artinya; jangan ganggu.

Sorenya, Sun menuju lapangan. Dia tidak tertarik pada apapun jenis permainan di lapangan ini sebelumnya. Orang-orang pribumi di sini menyukai sepak bola yang diwariskan turun-temurun sejak nenek moyang mereka mengenal permainan tersebut. Selain itu ada permainan gasing kadang-kadang, tetapi sejak Sun kelas tiga orang-orang melupakannya. Dan kalau bulan-bulan berangin begini, anak-anak bermain layang-layang. Setiap sore puluhan anak mengulurkan benang-benang ke angkasa seperti sedang memancing di angkasa yang kosong. Baru setelah mengenal Berto dan anak itu mengajarinya bermain layang-layang, Sun mengetahui mengapa hanya dengan mengulur-ulur benang sambil melihat plastik bodoh itu terbang di angkasa bisa membuat orang lupa waktu. Kadang demi kesenangan yang tidak bisa dijelaskan, mereka sengaja memutuskan benang penghubung antara mereka dan layang-layang, lalu memperhatikan saat plastik tanpa tambatan tersebut berputar-putar dimainkan angin di cakrawala sebelum mulai menghilang perlahan ke daerah perbukitan atau terseret hingga ke dalam hutan.

Robertus sudah ada di sana. Sun melihat kakaknya sedang memegang segulung benang di tangannya. Robertus baru masuk SMP dan sedang giat-giatnya bermain bersama teman-teman. Dia menyukai semua permainan dan menghabiskan banyak waktu untuk bermain-main. Walaupun dia suka sekali bermain-main dengan obeng serta lampu-lampu senter atau radio-radio rusak milik ayah mereka.

Kata seseorang; anak-anak SMP sedang berlomba menaikan layang-layang yag paling tinggi. Selalu, kalau sedang bertanding seperti ini anak-anak SMP mengklaim lapangan sebagai lahan mereka sendiri. Jadi anak-anak SD hendaknya menonton saja. Sun duduk di pinggir lapangan menyaksikan perlombaan yang dimaksud. Dia lihat Robertus menarik-ulur benang di tangan, sementara teman-temannya melakukan hal yang sama. Anak-anak SD yang tidak mempunyai layang-layang berdiri di dekatnya dan berteriak memberi semangat. Sun diam saja di pinggir lapangan, tidak berminat mendekat. Dia lihat di cakrawala plastik-plastik beterbangan. Punya Robertus berwarna merah, Sun ingat selama makan siang tadi kakaknya sibuk merakitnya di atas lantai. Berbentuk ikan. Ikan plastik di atas sana terbang ke sana kemari, yang warna merah (satu-satunya) mirip ikan yang bingung di dalam toples. Sesudah sedikit besar, barulah Sun ingat kembali bahwa dalam semua permainan yang melibatkan Robertus, kakaknya itu lebih banyak berada dalam pihak yang kalah. Sun tahu kenapa. Anak-anak pribumi selalu unggul dalam hal fisik. Sore itu Robertus juga berakhir mengenaskan. Ikan plastiknya terputus tidak lama ketika pertandingan baru mulai lalu mengembara di udara hingga berhenti di atas atap sebuah rumah.

Namun satu-satunya alasan yang membuat Sun tidak pernah melupakan pertandingan sore tersebut adalah sesosok bocah kecil yang tahu-tahu, tanpa alas kaki berlari masuk dari jalan ke dalam lapangan. Tanpa dosa dengan secarik layang-layang mengejarnya tepat di belakang punggung. Rambut keritingnya membingkai wajah atasnya yang bulat sehingga membuatnya benar-benar lucu. Dia hanya berputar-putar di pinggir lapangan, sesekali layang-layang plastiknya membubung cukup tinggi sebelum tersuruk ke atas tanah. Orang-orang tidak memperhatikannya, satu-satunya manusia yang mengalihkan perhatian dari perlombaan anak SMP adalah Sun. Bocah itu dengan polos mengulang-ulang usahanya. Dan setiap kali dia berusaha, plastik di ujung benangnya selalu kembali mencium tanah. Sampai dia kelelahan dan berhenti berlari. Berhenti di dekat Sun yang tertarik pada ulahnya. Pandangan mereka bersitatap; kedua bocah yang ditakdirkan menjadi sahabat karib selama hampir sepuluh tahun kemudian. Anak kecil dengan muka bulat yang lucu ini menghela napas dengan cara menggembungkan mulut dan menghembus udaranya. Dua kali. Tiga kali. Sun hampir tertawa.

“Kau mau main?” tanya bocah itu. Sun ingat dia membuka mulut dan beberapa gigi depannya tanggal. Dia bilang namanya Berto. Dan kau adiknya Jawa, saya sudah tahu; katanya. Tapi kau bukan Jawa!

“Kau mau main ini?” tanya Berto sekali lagi. Sun bimbang antara tertarik dan enggan.

“Kau suka main layang-layang tidak?”

Sun tergerak. Ragu-ragu dia berdiri, mendekati secarik plastik di atas tanah.

“Kau pegang plastik ini di sini. Saya berdiri di sana.”

Berto bergerak sambil mengulurkan benang sementara Sun diam di tempat dengan layang-layang di tangan. Layang-layang itu bentuknya selucu rupa Berto. Berto berteriak; lepas! Dan plastik tersebut naik pelan-pelan. Ekornya cuma sepotong, jadi tidak benar-benar mirip ikan. Lama sekali, baru benang mulai tegak. Berto sumringah; kau bisa melihat wajahnya tertawa. Lucu sekali.

“Kau mau main?” tanyanya. Sun mengangguk. Mereka berada di lapangan hingga hari menjadi temaram dan dingin membuat tubuh semua orang menggigil. Lalu Berto menyuruh Sun untuk memutuskan benangnya. Tik. Layang-layang mereka terbang rendah kemudian jatuh di ujung lapangan seberang sana. Tak satu pun yang mau memungutinya. Tetapi ketika sampai di rumah, Sun maunya malam cepat berlalu, sekolah cepat selesai besok dan dia bisa membuat layang-layang sendiri untuk diterbangkan.

☺☺☺☺☺

Berto dan Sun kecil berlari-lari di lapangan yang sama. Angin sudah berhenti sejak dua atau tiga minggu yang lalu, tidak lama lagi akan turun hujan. Tetapi tidak masalah. Semakin kencang berlari, layang-layang dari plastik itu akan terangkat dengan sendirinya. Memang butuh usaha keras. Berto ringan seperti ayam, sementara Sun terseok-seok seperti orang pincang.

            “Lebih kencang Wawan!”

            “Tidak ada angin, benar kata Bunda, layang-layang tidak akan naik.”

“Kau lari macam orang jalan saja.” Gerutu Berto terengah-engah. Layang-layangnya tersuruk menyedihkan dari ketinggian tiga meter. Batang-batang lidi rangka layang-layang miring kiri-kanan. Berto berSungut-Sungut. Hanya mereka berdua di atas lapangan itu dan hari masih siang, sebentar lagi orang-orang akan datang bermain sepak bola di sini.

Sun bilang dia sudah capek, Berto bisa lari sendiri dan dia jalan saja. Siapa tahu angin tiba-tiba datang.

“Bodoh sekali.” Kata Berto dan dia mulai berlari sendiri mengitari lapangan.

Sun sudah biasa mendengar Berto mengucapkan kata ‘bodoh’ berulang-ulang. Itu tidak masalah baginya, karena setiap mengatakannya Berto tidak mengekspresikan wajahnya jadi bagi Sun sama saja. Dia lucu sekali dengan gigi depan yang copot, ketika dia berkata ‘bodoh’, lidahnya bisa kelihatan. Berto juga sering maki. Anak-anak lain di sekolah saling memaki dengan bahasa-bahasa orang-orang besar. Kalau guru mendengarnya mereka akan dihukum, tetapi anak-anak selalu mengucapkannya kalau tidak ada guru.

Kemarin mereka sudah coba dan layang-layang tidak mau terbang. Kemarin dulu juga begitu. Sekarang adalah hari terakhir kalau tidak bisa juga kita main yang lain saja, Berto sudah ucapkan doa beberapa kali tadi tapi angin datang sedikit sekali. Sun menunggu permainnan lain itu apa, jadi dia melihat Berto dan berharap layang-layangnya tetap tidak mau naik.

Berto menyelesaikan satu putaran dan ikan plastic itu masih terbang begitu-begitu saja. Dia melewati Sun dan bilang sekali lagi. Satu putaran lagi, plastik sempat terbang tinggi sebentar namun merendah lagi. Akhirnya Berto menyerah. Keringatnya membasahi seluruh bajunya.

“Kita main yang lain saja.” Ujar Sun. layang-layangnya sendiri menempel di punggungnya.

“Apa?”

“Seperti yang kau bilang kemarin. Apa itu?”

Berto berpikir sejenak.

“Kau mau isap rokok?” tanyanya mengejutkan Sun.

“Tidak. Saya takut Bunda.”

“Bukan rokok betulan. Tetapi seperti orang merokok, saya biasa melakukannya sendiri.”

“Dimana?”

“Bilang dulu, mau atau tidak?”

“Saya takut..”

“Banci.”

Sun mengalah. Mereka menuju kebun belakang rumah Berto. Tanaman labu menghijau dan ada sebuah kandang babi di dekat situ. Batang labu merambati sebatang pohon pepaya dan membentuk pohon tersebut mirip sebuah payung. Bukan, mirip gua yang bisa dimasuki ke dalamnya dan bersembunyi dari penghilatan orang.

“Kau tunggu di sini. Diam-diam.”

Berto anak tunggal dan pada siang begini ibunya masih di pasar menjual pisang goreng sampai sore. Tetapi para tetangga sering lewat tempat itu, jadi Sun harus diam. Berto pergi mengambil korek dari dapur ibunya. Lalu balik lagi dengan sebuah pisau dapur. Sun mengernyitkan kenyit, tetapi Berto member tanda agar Sun melihatnya. Dia meraih batang labu yang kering dan memotongnya menjadi beberapa bagian kecil seperti batangan rokok.

“Ini.”

“Bagaimana?” Sun tidak percaya pada permainan ini. Mengisap batang labu kering?

“Isap saja, enak.”

Mereka berbisik-bisik. Berto membakar rokoknya lalu mengisap di ujung yang satu. Puhhh! Puhhh! Sun mengikutinya. Puhh! Puhh!

“Bapak saya akan memukul saya kalau tahu tentang ini.” Kata Sun. dia merasa mabuk oleh asap.

“Mama saya sudah mengetahuinya. Dia bilang tidak apa-apa kalau cuma batang labu.”

“Bagaimana dengan bapakmu?”

“Hah?”

“Bapakmu tahu tidak?” Sun membuang asapnya, merasa dirinya seperti Ciptady.

“Kau bodoh sekali.”

“Apa?”

“Saya tidak punya bapak. Dia sudah mati.”

Sun bilang dia tidak tahu. Pantasan dia tidak pernah lihat. Bagus, katanya, kau tidak punya bapak jadi kau tidak akan kena marah.

“Kau dengan siapa di rumah?”

“Mama saya. Memangnya kenapa?” dia menjatuhkan serbuk kayu yang sudah habis terbakar di ujung rokok dengan gaya orang dewasa. Sun mengikutinya. Puhh! Puhh!

“Tidak apa-apa. Kalau begitu kenapa kau tidak dekat dengan ibumu?”

“Dia di pasar, bodoh. Kalau dia sedang kerja dia tidak mau saya di dekatnya.”

Sun tertawa. Menurutnya Berto akan merengek terus minta pisang goreng jualan mamanya.

“Bukan itu juga. Dia menyuruh saya pergi bermain. Anak laki-laki selalu bermain.”

“Oh. Saya nggak suka main bola.”

Berto mendelik ke arah Sun. Dia menarik sejumlah asap, mengumpulkannya di dalam mulut seperti balon dan puhhh…

Nggak..nggakk… jangan bicara pakai bahasa Jawa, bodoh.”

Sun merasakan aroma yang biasa dia cium di dapur,aroma kayu terbakar. Asap dari mulut Berto masuk ke matanya sehingga menggosoknya beberapa kali. Sun bilang dia tidak sengaja, sory.

“Ibumu sering berbicara Jawa?”

“Kadang-kadang, kalau kami lagi masak.”

“Lama-lama kau jadi banci.”

Mereka tertawa, Sun berdiri dan berjalan seperti dalam film yang ada bancinya.

“Ssst…pelan-pelan. Hei, kau lihat, saya bisa maki anak kelas tiga.” Kata Berto. Dia mencekik pinggangnya seperti gaya kepala sekolah mereka. Sun bilang coba saja kalau berani. Berto lalu memakinya dengan sebuah kata makian yang sering digunakan anak-anak kecil di sekolah.

“Lihat, kau kelas tiga dan tadi saya telah memakimu.” Kata Berto sombong. Mereka mengisap rokok labu masing-masing. Puhhh! Asap dari mulut Sun meluncur seperti asap dari knalpot motor. Puhhh! Berto membalasnya, asapnya lebih banyak. Anak kelas tiga kalah sama kelas dua, ejeknya. Sun jadi jengkel juga. Dia menampung kemarahan di mulutnya, menggembungkan mulutnya hingga dia sendiri takut pipinya meletus kemudian…Pooohhh. Mati kau. Asapnya memenuhi rumah labu itu sehingga Berto memakinya sekali lagi. Tetapi Sun tidak peduli. Dia bilang,

“Bagaimana sekarang, kau tidak sombong lagi?”

“Eh, memangnya kau bisa berkelahi melawan saya?” Berto meradang. Sun tidak pernah berkelahi dengan siapa pun. Kecuali dengan anjing dan kucing di rumah.

“Kau pikir kau menang lawan saya. Saya tidak takut dengan anak kelas tiga.”

“Coba saja.” Sahut Sun. Dia merasa dilecehkan. Mereka sudah tidak merokok lagi. Batng labu masing-masing ada di atas tanah dengan ujung masih menyala.

“Kau berani?” tantang Berto. Dia merasa di atas angin. Siapa juga yang tidak tahu kalau anak orang Jawa itu bahkan kalah dengan anak lima tahun.

“Kau berani?” Sun ikut-ikutan menantang. Dan tahu-tahu mereka sudah di atas tanah. Sun berada di bawah sementara Berto menduduki perutnya. Kedua tangan Berto mencekik leher Sun dan mengunci pergerakannya. Sun menggapai apa saja di sekitarnya untuk senjata tetapi dia hanya menemukan sebongkah batu lumayan besar. Dia menggenggamnya. Napasnya tercekat dan dia pikir akan mati di situ. Dengan menggunakan mata serta suara tercekik dia memberitahu Berto kalau dia sedang menggenggam batu dan bisa memukul dengan batu itu. Sun bilang lepaskan leher saya atau saya pukul dengan batu sekarang. Akhirnya Berto melepaskannya. Dia tertawa penuh kemenangan.

“Apa saya bilang…”katanya sambil membiarkan Sun bebas.

“Kau takut saya pegang batu itu.” Balas Sun. di sekolah, anak-anak yang berada di kelas lebih kecil tidak boleh menang dengan kakak kelasnya. Dalam hal apapun. Tetapi Berto tidak takut pada Sun.

“Kau harus berkelahi, kata mama saya, kalau ada orang yang memukulmu kau harus bisa balas. Jadi anak laki-laki tidak boleh lemah.”

Sun diam saja. Tentu saja dia lebih tahu tentang itu dan dia tidak setuju. Pasti mamanya Berto tidak suka baca Alkitab sehingga tidak tahu apa-apa tentang Tuhan. Lalu bilang;

“Kau..kau juga bisa maki saya. Nggak apa-apa.” Berto menirukan kata enggak separuh mengejek Sun.

“Saya tidak mau maki. Kau akan dihukum kalau didengar guru.”

“Sekarang kan bukan jam sekolah. Lagi pula kita di hutan. Kau bisa maki saya, enak rasanya kalau kau bisa maki.” Wajah polos Berto itu menggelitiknya. Sun bimbang. Kemudian dia mengeluarkan makian itu. Persis seperti yang digunakan anak-anak sekolah.

“Kau rasa enak?”

Sun bilang tidak. Dia merasa Tuhan akan menghukumnya. Bunda Maria apalagi, pasti marah besar. Berto menguatkannya dengan mengatakan Sun bisa memohon ampun pada hari minggu. Itu sebabnya, kata mamanya, kita harus misa pada hari minggu. Untuk mencuci dosa-dosa kita. Kalau kau tidak misa minggu ini, maka dosa yang kau buat selama enam hari yang lalu tidak akan diampuni. Tuhan bisa marah, dan kau tahu bagaimana kalau Tuhan marah?

“Cuma rokok labu rasanya enak.” Sun mengakui. “Kita bisa merokok lagi besok atau hari sabtu bukan?”

“Saya merokok di sini setiap hari rabu.”

“Besok tidak bisa?”

“Tidak bisa. Hari minggu tidak boleh merokok, hari-hari lain itu buat main bola. Hari rabu kan lapangan buat orang besar, itu sebabnya kita bisa merokok.”

Sun bilang dia harus pulang sekarang. Berto melambai dari depan rumah labu; jangan bilang siapa-siapa! Teriaknya.

☺☺☺☺☺

Hujan makin memendekan jarak pandang sopir. Lewat kaca bus bagian depan pemandangan para pengendara motor melaju terburu-buru dengan mantel berkibaran. Pria berkemeja abu-abu yang duduk di samping Sun itu memandang keluar dari jendela pada hujan yang pekat. Cahaya listrik masih menyuguhkannya pemandangan berupa bengkel motor setengah tertutup, penjual es buah berteduh di depan sebuah toko yang telah tertutup, sepetak sawah yang berwarna kehitaman.

Bus memasuki kawasan Sragen, Solo mendekat dalam beberapa puluh menit lagi. Ia meraih sebuah surat kabar yang dibeli dari seorang penjual di terminal tadi, karena lampu di dalam bus tidak terlalu terang si pembaca harus memicingkan mata. Ada berita tentang perampokan, pembobolan ATM, tentang dunia mistis pada halaman belakang dan dia memilih membaca sebuah berita berjudul Robin Hood dalam tanda petik. Kisahnya mengenai seorang pembobol ATM yang membagi hasil rampokannya kepada para pengemis, dan disumbangkan sebagian kepada masjid. Dalam surat kabar dinyatakan bahwa perampok tersebut berlaku layaknya Robin Hood. Si pria menggeleng beberapa kali. Dia tidak terlalu tertarik, seharusnya dia membeli koran yang berbicara tentang korupsi bukan tentang kelakuan bejat masyarakat kecil.

Berbeda dengannya, Sun lebih menyukai sastra. Sun memiliki kenangan dalam ceruk-ceruk memorinya berkaitan dengan surat kabar. Pada masa-masa sekolah dasar dimana bersama Berto mereka seringkali mengisap rokok labu di belakang rumah dan merasa diri mereka abadi dalam kebahagian masa kecil, Sun pernah menjadi loper koran. 

Sesudah liburan Natal berakhir, Berto memberitahu Sun jika dia akan menjual koran. Om Frans, salah satu paman Berto mengatakan dia akan memberi Berto uang setiap bulan kalau menjajakan koran setiap pagi. Kalau Sun mau, dia boleh ikut. Lagipula mereka tidak akan terlambat masuk kelas. Sun memberitahu Bunda.

“Bapakmu tahu?” tanya Bunda.

Sun bilang dia minta izin dari Bunda saja. Keesokan paginya Ciptady tidak berkata apa-apa. Tetapi Bunda bilang menurut mereka itu hal yang bagus buat Sun.

Keesokan hari; Sun bangun lebih pagi, sarapan lebih dulu dan meninggalkan rumah sebelum ayahnya. Berto menunggunya di ujung jalan dekat rumah mereka. Pagi pertama kerja, Sun bertemu bocah lelaki lain dari sekolah lain yang selalu menjual koran kepada ayahnya. Sun ingat wajah bocah itu. Dia bilang kepada Berto kalau anak itu, si bocah besar langganan ayahnya.

“Beritahu dia supaya tidak usah jual kepada bapakmu lagi. Itu bagian kita sekarang.” Kata Berto.

“Dia bisa memukul saya. Badannya saja sebesar karung. Kau saja yang bilang kepadanya.”

“Kau kan anak kelas tiga. Kalau dia macam-macam kita bisa lapor pada Robertus.”

Jadi Sun mendekati bocah besar itu.

“Hei, kau.” Seru Sun dari jauh. Mereka semua ada enam orang sama-sama sedang menunggu pamannya Robertus membagi koran.

“Kau apa?” jawab si bocah besar. Badannya dua kali badan Berto dan setinggi Sun.

“Bapak saya bilang kau tidak usah bawa koran kepadanya hari ini.”

“Bapak kau siapa?”

“Bapak saya, om Ady. Dia yang bilang sendiri.” Jawab Sun. Anak itu berjalan mendekatinya. Kakinya sebesar kaki Robertus, pasti dia selalu makan dua piring.

“Saya sudah jual di daerah itu dari dulu, siapa yang bilang kau bisa menjual di daerah yang sama dengan saya. Anak baru, awas kau.” Dia mengacungkan kepalan tangannya ke muka Sun. SD Trikora tertulis pada lambang di lengan kirinya. Sekolahnya lebih jauh dari sini ketimbang sekolahnya Sun.

“Tapi dia bapak saya.” Sun sudah ketakutan setengah mati. Dia berharap Berto datang membantunya melawan anak itu.

“Siapa suruh kau tidak jual dari dulu. Kurus kerempeng.”desisnya. Ludahnya bahkan mengenai tangan Sun. Bau sekali, giginya sebesar biji jagung.

“Dia kan bapak saya. Kalau dia bilang begitu, memangnya kenapa?”

“Bapak saya, bapak saya. Kau sendiri saja yang punya bapak. Kau mau kena ini?” si bocah besar angkat lagi kepalan tangannya. Besar sekali.

“Jual saja ke kau punya bapak, kau…”

Tangan si bocah besar mencekik leher Sun. Tangan yang lain terkepal erat. Dia bilang, kau mau kena ini atau tidak sambil menunjukan kepalan tangannya. Persis pada saat itu pamannya Berto datang. Setumpuk koran di atas tangannya. Sun seolah mendapat dukungan dengan kedatangannya. Berto bisa mengadu kepada pamannya itu kalau si gigi jagung memukulnya. Jadi Sun menantangnya.

“Pukul sudah..pukul..”

Buk! Kepalan besar itu mengenai pipinya. Sakit bukan main. Sun terjengkang.

“Mau lagi?” bocah besar menunjuk kepalan sekali lagi. Dan pamannya Berto berteriak. Marah kepada bocah besar.

“Gendut! Kau kenapa?” katanya sambil mendekat. Dia jewer telinga si bocah besar.

“Ada apa tadi?”

“Dia yang duluan.” Jawab anak itu tanpa perlawanan. Paman itu bilang dia akan menamparnya jika dia pukul lagi Sun. Damai, katanya. Minta maaf pada dia. Tetapi si bocah melengos.

Paman penolong tersebut mulai membagi koran. Tiap orang sepuluh. Ingat, satu buah empat ratus lima puluh rupiah. Sepuluh koran berarti empat ribu lima rupiah. Sun memijit pipinya.

“Sekarang pergi sudah, sebentar sore jam empat baru ke sini lagi.” Katanya. Kemudian dia berpaling pada bocah besar yang masih belum puas karena dijewer.

“Kau kena sebentar di rumah. Macam tidak tahu saja..”

Dalam perjalanan, Sun menghadang Berto.

“Katanya dia kau punya Om.”

“Mama saya yang bilang begitu. Mungkin saja, ada hubungan keluarga.” Jawab Berto sekenanya. Dia menertawai Sun, menurutnya Sun seharusnya melawan dulu. Siapa tahu dia bisa menang. Lagipula anak itu gemuknya karena banyak lemak.

“Tapi itu tadi dia punya bapak. Kau tukang mengaku sembarang.”

“Saya kan tidak tahu. Mama saya yang bilang. Kau mau jual di mana?”

Sun bilang tidak tahu. Kita jual sama-sama saja. Berto setuju.

Flores pos, nama koran tersebut. Mereka menjajakan koran setiap pagi sebelum jam pelajaran dimulai dengan mengenakan seragam sekolah merah-putih di terminal yang dingin serta di lorong-lorong tempat penjualan pakaian. Selama tiga minggu, sebelum Sun disibukan oleh Ciptady.

Selama tiga minggu berturut-turut Sun melakoni fase hidupnya ini, dia menyodorkan kepada para penumpang dari luar jendela bus, kepada para pegawai negeri dan guru-guru dari desa yang baru tiba dengan bus pagi, lalu berlari-lari ke gerbang sekolah ketika matahari sudah naik dua jengkal di atas bukit. Sekolah di mulai ketika matahari sudah dua jengkal lebih sedikit, tandanya pukul delapan pagi.

 “Kita kemana lagi?” tanya Sun setlah selesai sekolah dan berkeliaran di jalan. Lapar dan kelelahan, sebentar lagi mau jam empat sore. Berto juga tidak tahu lagi kemana akan dijual. Berto bilang dia takut pada Om-nya. Barangkali bapak si bocah besar tidak akan senang dengan ini, mereka bisa diberhentikan.

“Bagaimana sekarang? Kita jual saja ke ibumu.” Usul Sun. Bunda tidak mungkin beli koran karena memang Ciptady yang beli, “Atau kepada tetanggamu.”

“Begini saja, kau masih punya uang berapa? Kau punya uang jajan bukan, kalian punya.”

“Saya mau beli es.” Kata Sun tidak rela. Bunda memberinya dua ribu rupiah setiap hari buat jajan. Kau bisa beli banyak hal dengan dua ribu rupiah. Uang sekolah mereka saja lima belas ribu rupiah.

“Kalau begitu kau bawa pulang saja koran itu. Saya akan jual kepada mama saya.” Berto menggerutu karena Sun tidak kerja sama. Sun bilang baiklah, tetapi uang saya tinggal seribu. Berto berpikir, menggembungkan salah satu pipinya. Sun hampir tertawa.

“Empat kali empat ratus lima puluh sama dengan berapa?”

“Empat kali empat enam belas.” Jawab Sun. Berto mendelik; itu juga saya sudah hafal bodoh, katanya.

“Kau hitung saja sendiri.”

“Kau anak kelas tiga masa tidak bisa hitung perkalian? Kau tahu perkalian tidak?”

“Tahu. Kau?”

“Saya tidak tahu. Jadi kau hitung saja.”

Berto menghitung di atas tanah. Seribu delapan ratus.

“Memang begitu?” tanya Berto dengan mimik tidak percaya. Jangan sampai hitung salah. Dia lihat angka-angka dan sebuah garis di atas tanah. Dia belum belajar cara membuat perkalian macam ini.

“Ini benar? Jadi semuanya seribu delapan ratus?”

“Kau hitung saja sendiri.” Kata Sun masih tidak merelakan uang seribu rupiahnya. Tetapi Berto sudah membuuat keputusan; Sun harus merelakan uangnya. Kalau tidak jual saja sendiri.

Sun bertanya bagaimana delapan ratusnya. Jangan bilang mereka harus mencari pembeli lagi. Kan dia sudah bayar dengan seribu rupiah. Menurut Sun, Berto harus tanggung sisanya, itu baru adil.

“Kau tenang saja. Kita bawa koran ini kepada mama saya. Saya bisa minta sisanya dari dia.”

Sun hampir teriak kenapa tidak minta sekalian seribu delapan ratus rupiah saja. Itukan uang jajannya. Akhirnya mereka menuju tempat penjual pisang goreng ibunya Berto. Wanita tersebut sedang mengupas pisang, saat melihat anaknya datang dia memberi isyarat jangan mendekat. Berto mengacungkan koran di tangan.

“Buat apa kau jual kepada saya? Kau tidak lihat saya lagi kerja, hah?” Berto tidak pernah bilang kalau mamanya seorang pemarah. Sun tidak jadi melangkah lebih lanjut, dia tunggu saja Berto dari sini. Dia bisa melihat sahabatnya mendekati ibunya lalu meletakan koran di kursi tempat biasa ibunya duduk menunggu pembeli.

“”Mama kasih saya delapan ratus.” Kata Berto tanpa basa-basi. Dia menyodorkan tangan hendak memungut sepotong pisang, tetapi ibunya lebih cepat menjatuhkan gagang sendok ke atas tangannya. Ibu bilang apa, katanya, pulang dan makan jatahmu di rumah.

“Delapan ratus rupiah dulu, mama.” Rengeknya. Mukanya bengkak.

“Kau mau buat apa dengan uang sebanyak itu?”

“Koran tidak laku semua. Tinggal delapan ratus rupiah, itu saja. Mama…”

Sun dapat melihat raut muka wanita tersebut. Uang delapan ratus rupiah membuat wanita tersebut mendung. Tetapi Berto mulai tidak kuat hanya merengek. Dia memaksa, menarik lengan baju ibunya. Delapan ratus rupiah saja, katanya.

“Tidak. Mama beri kamu dua ratus. Cukup.” Ujar mamanya sambil menarik laci kecil tempat dia menyimpan uang.

“Ini. Pergi sudah…”

Berto tidak mau. Dia bilang harus delapan ratus, dua ratus itu tidak sampai. Kalau tidak dia tidak mau jual koran lagi. Ibunya tidak bereaksi, dia menyimpan kembali uangnya dan melanjutkan mengupas pisang, mengirisnya jadi empat bagian dan memasukan ke dalam baskom terigu cair. Berto tidak juga menyerah. Katanya dia akan berhenti sekolah jika mama masih tidak mau memberinya uang yang dia minta. Bahkan dia akan pergi dari rumah. Dia akan lempar diri ke bus yang sedang melaju di tengah jalan. Dia akan bakar rumah mereka. Dia akan bunuh babi di dalam kandang yang di belakang rumah. Dia akan…sudah, sudah. Ibunya terusik juga. Dia membuka kembali laci uang dengan jengkel, meraih selembar seribuan dan menjejalkan di tangannya Berto.

“Kalau besok kau datang lagi minta uang, kita akan lihat.” Ancam ibunya. Dia menyuruh Berto segera menyingkir dari tempat itu. Berto bangkit dan menuju tempat Sun menunggunya. Dia melambaikan selembar uang dari ibunya; kita aman, uajrnya penuh kemenangan.

“Beerikan korannya, semua koran yang sisa. Ini buat ibu saya.”

Sun protes, buat apa juga ibunya Berto punya empat buah koran yang sama. Baca pun tidak. Mending dia bawa satu atau dua ke rumahnya, buat Bunda.

“Mama saya sudah bayar. Sini, dia pakai untuk apinya.”

“Apa?”

“Koran-koran itu untuk menyalakan api, bodoh.”

Jadi, hari pertama mereka berlalu. Sun tiba di rumah jam lima lewat. Mariana melihatnya dari ruang makan, menanyakan apakah dia dapat uang? Sun jawab tidak. Mereka akan diberi uang sebulan sekali, kalau sehari sekali pasti bodoh sekali.

“Kau bilang apa?”

“Sebulan sekali.” Kata Sun. Dia meraih piring dan gayung nasi.

“Bukan. Kau bilang ‘bodoh’ tadi.” Tuduh Mariana.

“Memangnya kenapa?”

“Itu kata yang kasar kalau kau bilang bodoh kepada orang yang lebih tua. Itu sama dengan maki.” Mariana melototinya. Dia mirip Ciptady kalau lagi begitu.

“Anak-anak sering maki. Robertus suka maki. Kau belum pernah dengar dia maki?”

“Dia beda, kau anak SD. Kau bilang lagi begitu saya beritahu bapak.”

Sun mencibir. Dia sedang kesal. Sun bahkan lebih kesal lagi karena keesokan harinya dia harus menyerahkan alagi uang sebesar seribu rupiah. Jualan mereka tidak laku empat seperti kemarin. Dua sama.

“Delapan ratus bagaimana? Minta lagi di ibumu?”

Berto menatapnya misterius. Dia hanya bilang, gampang. Berikan semua koran itu kesini. Berto menyruh Sun tinggu saja di tempat kemarin dia menunggunya, tidak akan lama. Kemudian Berto pergi, seperti katanya, tidak lama kemudian datang lagi berlari-lari kecil.

“Kau dapat darimana?” uang itu bukan dari ibunya. Tadi Berto tidak menuju ke tempat jualan pisang goreng mamanya, tetapi masuk ke lorong tempat jual pakaian.

“Kau tidak tahu.” Jawab Berto. Masih menyembunyikan rahasia.

“Darimana?”

Berto melihat kiri-kanan. Sstt, dia berbisik; Mas Jawa membeli koran kita empat seribu. Dia pakai buat bungkus pakaian untuk pembeli. Hari kedua juga berlalu. Sun kelaparan. Pada hari kelima Sun mengeluh, uang sakunya kenapa selalu dipakai untuk menebus uang koran.

“Kita mau jual dimana lagi?”

“Sekali-sekali pakai uang jajanmu, masa punya saya terus.” Gerutu Sun tidak puas. Dia bilang besok gantian; dia pergi bawa koran sisa kepada mas Jawa sementara Berto memberikan uang seribu rupiah.

“Saya tidak pernah bawa uang jajan.”

“Hah? Kau apa?”

“Tidak punya uang jajan, bodoh!”

Minggu pertama akhirnya berlalu. Jualan mereka masih itu-itu juga. Selalu lebih dari tiga koran yang belum laku. Sun sudah tidak pernah mengeluh, dia setuju dengan perjanjian lisan mereka; Sun tanggung seribu sementara Berto  tanggung sisanya. Tergantung dari berapa yang tidak laku.

Pada minggu ke tiga, Sun bilang dia berhenti. Bapaknya yang bilang dia berhenti jadi loper koran.

“Saya kerja di toko pagi-pagi sebelum sekolah.” Hari itu hari rabu, jadwal mereka mengisap rokok labu. Hari ini Sun bilang hari terakhir dia menjual koran, jadi seusai membawa hasil jualan ke markas mereka, keduanya langSung menuju rumah labu. Mereka belum makan apapun.

“Kau kerja bagaimana?”

“Kerja ya kerja. Mungkin atur barang dagangan atau membersihkan lantai.”

“Tidak asyik.” Kata Berto. Dia jelas tidak suka kalau keadaannya jadi begini. Dia mengatakan dia tidak mau bermain dengan Sun lagi.

“Kau ambil saja upah saya, buat kau. Asalkan saya masih bisa datang ke sini.” Berto pikir sebentar. Lalu dia bilang itu bagus. Kita bisa berteman lagi sekarang.

Jauh-jauh hari kemudian, ketika Sun mengingat Bunda dia akan sering mengingat pula zaman loper koran. Nama Bunda sering muncul di dalam koran. Guru-guru kenal dengannya. Bunda pernah menulis sebuah opini mengenai peranan para tengkulak dalam mensejahterakan petani. Sun membaca tulisan Bunda dan bilang kepada ibunya kalau dia tidak mengerti kata-kata ibunya. Bunda mengatakan kalau dia perlu lebih banyak membaca lagi. Sepanjang tiga minggu menjual koran, Sun mencari nama ibunya setiap hari. Namun tulisan Bunda baru muncul lagi pada hari yang kedua puluh. Bunda baru berhenti menulis setelah Sun duduk di kelas tiga SMP. Kata Bunda, dia telah kehabisan ide. Dan pada tahun itu pula, persahabatan Sun dan Berto mulai mengkhawatirkan Bunda. 

Pukul 20.05, bus menikung tanpa menurunkan kecepatan di sebuah belokan. Meretas ke arah barat laut. Bayangan rumah-rumah pedesaan melesat dengan pendar lampur berwarna oranye pada tiap terasnya yang sepi. Hujan membunuh aktivitas luar rumah dan yang tampak dari jendela kali ini berupa bangunan buram tanpa seorang manusia di luarnya. Teman sebangku Sun telah melewati rute ini hampir belasan kali dalam tujuh tahun kerjanya di Kupang, dan pekat di luar telah menghapus tiap gambaran kehidupan yang sempat terekam dalam benak. Sungguh, baru pertama kali perjalanannya diseributi hujan yang seolah abadi ini. Bahkan sejak meninggalkan bungurasi dalam keadaan basah kuyup, dia menyadari bahwa bus ini berjalan dalam Sunyi. Tidak seperti biasanya; yang riuh oleh aktivitas pengamen dengan lagu-lagu kenangan mereka. Lelaki yang tidak sempat berbincang dengan Sun itu memandangi keredupan hidup di luar dari bangkunya yang nyaman dan hanya sanggup menebak di daerah Jawa bagian mana sekarang bus melaju. Menurutnya bus telah separuh memasuki daerah Jawa Tengah.

Kaca jendela sudah diburamkan titik-titik air, sekalipun tidak terlalu menghalangi pemandangan di luar yang hendak hitam. Lalu untuk kesekian kalinya dia menelusuri wajah tidur Sun yang damai. Sungguh kedamaian paling sempurna hanyalah saat tidur dan kematian.

☺☺☺☺☺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status