Share

Apa Yang Kau Pikirkan, Devi?

2

Dia duduk di atas kursi plastik dan menatap layar laptop di atas meja tulisnya. Handuk masih melingkar di atas kepalanya, dia mengenakan daster tidurnya dan masih bermasker wajah.

Terpaan hujan di luar tidak mengganggu konsentrasi. Ia memijat leher dengan tangan kiri sementara tangan kanan menyentuh mouse di samping laptop. Ia enggan melakukan ini. Mengerjakan tugas seorang mahasiswa saat ia sudah menjadi dosen.

Di layar laptop, tiga buah foto terpampang. Devi sudah melihat mereka berulang-ulang dari tadi. Dia telah memilih ketiganya, jadi tinggal mengikuti petunjuk dari Nurul. Sekarang Devi harus mengidentifikasi foto tersebut.

Foto pertama seorang pemuda sedang berdiri menghadap kamera. Di belakangnya sebuah bangunan tinggi berwarna merah serta sebuah mobil sedang diparkir. Seorang pemuda berdiri bersandar pada mobilnya di depan sebuah apartemen; menarik, ia berkata dalam hati. Tetapi ia tidak suka lelaki yang terlalu tampan. Wanita muda itu membubuhkan tulisan di bawah foto tersebut;

‘Marcos Sebastian. Ciri-ciri fisik; berkulit kuning langsat, berambut hitam lurus, berwajah bundar dan tidak berkumis. Pekerjaan; sebagai staf editor sebuah surat kabar. Status; Lajang dan tertarik pada wanita. Hobi; travelling. Catatan; Perkenalan pertama pada tanggal 21 september.’

Devi mengklik foto orang kedua untuk memperbesar tampilan. Berdiri melipat tangan di depan sebuah poster tim sepak bola, adalah seorang pemuda sedang cengir kepada kamera. Ia meneliti wajah berjerawat si pemuda. Urak-urakan. Devi juga tidak suka pria yang tidak menjaga penampilannya, tidak terlalu sering merapikan rambut serta membiarkan kumis. Dari tadi dia merasa pernah melihat pria tersebut. Dimana ya? Dimana…? Mungkin salah satu mahasiswanya? Tidak..tidak, ia pernah melihatnya di tempat lain. Ia lupa dimana itu. Devi menulis di bagian bawah foto;

‘Raditya D’ Blues. Ciri-ciri fisik; berkulit kuning, gondrong, sedikit berjerawat. Pekerjaan; mahasiswa Ilmu Komunikasi. Status; lajang. Catatan; perkenalan pertama tanggal 21 september.’

Walaupun wajah pemuda itu seperti pernah dikenalnya, Devi tidak memikirkannya lama-lama. Kemudian hal yang sama dilakukan pada foto yang ketiga; diperbesar untuk memperjelas sebentuk wajah bundar lelaki dewasa dengan bekas cukuran di sekitar mulut. Devi ingat ayahnya kalau selesai bercukur. Bintik-bintik kecil hitam di atas bibir dan bagian dagu. Menyenangkan melihat ayahnya dalam keadaan begitu. Devi menulis di bawahnya:

‘Rudy Tuampuan. Ciri-ciri fisik; berkulit coklat, rambut baru selesai dipotong, berkumis. Pekerjaan; salesmen ponsel. Status; tidak ditampilkan. Catatan; perkenalan pertama tanggal 23 september.’

Selesai. Dan sungguh kelelahan. Mulai sekarang ia harus menjadi Tasya, Lala dan Rara bagi ketiga orang tersebut. Ia menghela napas panjang sebanyak dua kali. Kalaupun ini semacam penelitian, Devi bisa mengetahui orang-orang seperti apa kawan-kawan sekelompok dengan Nurul. Mereka semua, termasuk si cerewet Nurul pasti sedang tergila-gila pada berita tentang kejahatan-kejahatan facebook. Dulu, ia juga begitu. Saat masih semester satu, dua bahkan semester tiga bila ada tugas membuat makalah dari dosen maka ia selalu mencari topik-topik fantastis. Tentang demonstrasi mahasiswa, pertengkaran para anggota dewan, pelarian para koruptor ke luar negeri. Macam-macam. Saat itu, ia dan teman-temannya memiliki satu pikiran yang sama. Semakin terkini informasinya, semakin menyerempet ranah politik dan pemerintah maka kualitas makalah mereka semakin baik. Sekarang, sesudah dua tahun sebagai dosen Devi melihat kembali hal yang sama itu dikerjakan Nurul. Ini sangat tidak ilmiah, pikir Devi. Maka dia juga memikirkan mahasiswa-mahasiswanya di kampus. Mereka tidak jauh bedanya dengan Nurul dalam membuat makalah.

Demi memandang gelas kopinya yang sudah kosong, gadis itu baru sadar bahwa ia sangat kelaparan sekarang. Ia hampir tidak makan sepanjang hari ini. Mengajar pada pukul sepuluh pagi. Mengikuti rapat singkat sesama dosen. Menggantikan tugas dosen Agung untuk memeriksa sebuah proposal. Dosen-dosen senior itu selalu memanfaatkan keramahannya. Pulang ke rumah pada pukul empat lewat. Ketika ia hendak berbaring kelelahan, Nurul menelepon. Katanya teman-teman lain sudah mulai mengumpulkan laporan dan batasnya tinggal sebulan lagi.

Maskernya sudah kering, saatnya ia mencuci muka. Ia sudah mandi tadi sore. Ketika kembali dari kamar mandi, ia masih mendengar suara hujan di luar. Memercik teras. Seharusnya aku mempunyai kekasih yang bisa mengajakku makan malam, katanya dalam hati. Ia jadi teringat pada Pram. Dasar duda! Di lemari hanya ada sebungkus kripik kentang dan biskuit. Ia mengaduk-aduk isi lemari berharap menemukan beberapa roti yang masih sisa tetapi tidak menemukan apapun selain kedua bungkus makanan di atas. Gemuruh hujan di luar, ia membuka pintu kamar dan rasa dingin mengusirnya dari depan pintu. Tambah deras. Sungguh, ia membenci hujan. Apalagi saat tidak ada makanan. Ia benci juga atas pekerjaannya sepanjang hari ini. Dipungutnya gelas bekas kopi dari atas meja lalu menuangkan sesachet kopi lagi ke dalamnya. Mungkin ia akan terjaga hingga hujan ini reda sehingga ia bisa keluar ke rumah makan terdekat. Jam begini penjaga gerbang rumah pemondokan jelas sudah tidak mengizinkan siapa pun untuk keluar menggunakan kendaraan, kecuali bila ia berjalan kaki membeli di rumah makan yang dekat kediamannya.

Kembali ke balik meja, ia membaca ulang laporan awalnya sementara tangan kanan mengerakan senduk membentuk putaran di dalam cairan kental dalam gelas. Waktu ia melihat foto-foto di dalam laporan ia pun membayangkan orang-orang tersebut. Marcos memiliki wajah tampan dan senyumnya mengandung kelembutan. Seorang gadis bisa dengan mudah jatuh cinta pada orang ini, ia berpikir. Tetapi ia bukan tipenya.

Hal yang sama sekali berbeda dilihat dari Raditya. Pemuda ini sangat urakan. Beberapa bagian wajah jerawatan. Devi tidak suka itu. Memikirkan bagaimana ke depan ia bisa menjalin komunikasi yang baik dengan Raditya adalah sesuatu yang sulit.

Lalu ada Rudy Tuampuan. Lelaki sekitar dua puluh lima tahun dengan kesan sederhana. Devi menyukai cara pria itu tersenyum, bekas cukuran yang rapi sepanjang bibir, dagu dan lehernya.

Ponsel berkicau. Dari Nurul. Panjang umur!

“Belum tidur?” terdengar suara Nurul serta suara Televisi di kejauhan yang mengalahkan suara gemericik air di luar.

“Aku kelaparan.” Katanya kesal.

“Sama. Aku hanya makan roti tawar dengan mentega.” Sahut Nurul.

“Hmm. Kenapa tidak masak sesuatu?”

“Aku mau masakan mama. He-em. Bagaimana sekarang, kak?”

“Bagaimana apa?”

“Sudah mulai membuat laporan?”

“Aku seperti dalam film-film hollywood tentang orang-orang gila berkepribaian ganda. Bagaimana mungkin aku harus jadi tiga orang wanita yang berbeda?”

Terdengar suara tawa nyaring milik Nurul. Dasar!

“Banyak orang yang membuat akun palsu dan berhasil menipu teman facebook mereka, kak!”

“Mengapa harus aku yang melakukan ini?”

“Kamu kan di Jogja.”

“Lalu?”

“Ya, begitu maksudku. Aku mengambil sampel di jogja. Teman-temanku dari kota-kota lain.”

Ia menyerah. Percuma dan terlalu lelah untuk menanggapi celotehan Nurul.

“Dan ingat, jangan terlalu banyak foto di dalamnya; cukup lima atau enam foto. Nama siapa saja yang kamu pakai, kak?” tanya Nurul kemudian.

“Tasya. Lala. Rara. Berapa lama lagi?”

“Sebulan. Intinya mereka harus percaya dan mau menemuimu, kak.”

“Setelah itu?”

“Cuma itu. Lainnya tugasku.”

“Jadi begitu saja? Berteman dengan mereka lalu mengajak ketemuan dan selesai. Kurang ilmiah, Nurul.”

Terdengar tawa di ujung telepon. Untuk beberapa saat lamanya ia memikirkan Nurul. Rambut hitamnya yang kali terakhir mereka bertemu telah diberi warna pada beberapa tempat. Wajah mereka juga mirip. Sifat merekalah yang berbeda; Nurul hampir selalu tertawa, penuh energi dan sikap menggodanya membuat ia gemas.

“Tidak penting ilmiah atau tidak. Pokoknya buatlah mereka percaya.”

“Lalu kapan kamu datang ke jogja?”

“Dalam waktu dekat. Daagh my Devi!” telepon terputus. Begitu saja.

Saat mendengar gemuruh hujan yang tiada menipis, Devi semakin jengkel. Ia masuk ke halaman facebook. Devi bukan penggemar facebook, sesudah berhubungan dengan Sun ia memang sering membuka facebook. Tetapi hanya untuk berbicara dengan Sun. Tidak lebih dari itu. Sekarang akun facebooknya sudah empat; tiga akun adalah wanita-wanita bayangan yang akan ia perankan.

Devi merebahkan tubuh dan ingat Sun. Sudah sebulan pemuda itu hilang kabar. Devi tahu tentang kematian ayahnya tetapi dia semakin gelisah karena Sun menghilang. Apakah Sun sebenarnya juga sedang mempermainkan dirinya? Mungkin Sun sebenarnya membohonginya dengan mengatakan kematian ayahnya?

Hujan di luar malah semakin deras saja. Devi meraih selimut lalu jatuh tertidur. Gelas kopinya masih penuh di atas meja.

☺☺☺☺☺

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status