Share

Old Colony
Old Colony
Penulis: Laksana Juang

Chapter 1

Suara guntur yang menggelegar membuatku terburu-buru. Hujan sebentar lagi turun. Aku masih harus berbelok sekali lagi untuk meninggalkan Dorchester Street menuju Old Colony Avenue. Meskipun belum pukul tujuh, langit telah sangat gelap. Mendung begitu tebal. Aku tidak ingin kotak yang aku bawa basah kuyup. Kotak itu berisi beberpa hal: foto Catherine dalam pigura, sebuah album kecil, cincin pertunangan, surat terakhir darinya yang diketik dengan komputer, dan beberapa pernak-pernik lain. Seharusnya, aku membuangnya bukan malah menyimpannya bila berniat melupakan mantanku itu. Melakukannya memang tidak semudah menyadarinya.

Kotak itu bertengger di bangku samping kemudi. Ia seolah-olah menatapku menyetir seperti yang biasa Catherine lakukan. Bedanya kotak itu sangat pendiam sedangkan Catherine tidak. Ia pasti akan melotarkan sesuatu saat melihat langit semendung ini—kalimat yang romantis sekaligus puitis. Mungkin saja ia akan melukiskan bagaimana orang India memaknai hujan karena cuaca itu selalu dimunculkan secara dramatis dalam film mereka. Jika suasana hatinya sedang baik, ia mungkin akan memaksaku meniru salah satu adegan setelah kami sampai ke apartemen. Kami akan berdebat kecil karena aku mengganggap itu ide yang buruk dan Catherine akan mengatakan sebaliknya. Lalu, ia akan mengatakan kalimat itu lagi. “Kamu bekerja di perusahaan iklan, tapi hidupmu sama sekali tidak imajinatif, Mikky.”

Mobil di depanku mendadak berhenti. Untung saja reflekku baik. Aku menoleh ke kanan dan melihat kotak Catherine terbalik. Pigura melongok keluar dari dalam kotak. Sebelum mendorong pigura masuk lalu mendirikan kotak itu kembali, aku menyempatkan diri melihat foto Catty sekali lagi. Di dalam foto close up itu Catherine tersenyum lebar. Matanya jadi terlihat sipit. Rambutnya sangat tebal dan terlihat sangat coklat. Ah ... aku merindukannya lagi.

Saat kembali melihat ke depan, seorang gadis bertubuh kecil turun dari mobil. Aku rasa ia turun sambil mengumpat. Aku menduga dari gerak bibir dan mimik mukanya. Jari tengahnya juga teracung.

Aku menekan klakson keras-keras supaya mobil itu melaju kembali. Mengingat langit yang sudah semakin kelam, aku merasa tidak punya waktu menonton adegan pertengkaran sepasang kekasih. Klaksonku yang nyaring justru membuat gadis itu menoleh ke arahku. Tatapannya yang tajam menembus kaca depan. Ia terlihat menakutkan akibat maskara yang luntur dari kedua matanya. Aku yakin sekali, jika gadis itu tidak segera mencari tempat berteduh, air hujan akan membuat riasannya semakin berantakan. Sambil menggeser jari tengah tangan kirinya ke arahku, tangan kanannya membanting pintu dengan keras. Lalu, ia berjalan dengan kesal menuju trotoar.

Mobil di depanku melaju. Aku pun menginjak pedal gas. Aku sempat menoleh saat melewati gadis mungil tadi. Aku melihatnya jatuh terduduk. Dari spion kanan, gadis itu terlihat sedang menekuk kepalanya di antara kedua kakinya. Ia seolah tidak peduli dengan semua orang di sekelilingnya.

Jika boleh berprasangka, aku menyimpulkan sebuah bahtera baru saja kandas, seperti halnya aku dan Catty.

Sambil menekuri jalan, aku bertanya-tanya. Apakah gadis tadi akan pindah apartemen sepertiku?

Pada dasaranya rumah adalah persembunyian paling aman. Berdasarkan pengalamanku, dengan keadaannya sekarang, rumah telah menjadi tempat paling menakutkan. Ia akan tersedot ke dalam lorong waktu setibanya di tempat tinggalnya nanti. Ketika gadis itu melemparkan dirinya ke sofa yang berada di depan televisi, ia akan langsung menyadari bahwa sofa itu berbau kekasihnya. Begitu juga ketika memutuskan pindah ke dalam kamarnya, ia akan mendapatkan hal yang sama pada seprei dan batal di ranjangnya. Semua logam di dapur akan membiaskan bayangan sang kekasih. Suara gelak tawa dari dalam kepalanya akan mengiringi bayangan yang muncul tersebut. Kemudian tawa itu akan melatarbelakangi semua kenangan yang muncul satu persatu.

Sungguh sangat menyiksa. Itulah yang terjadi padaku. Itulah yang membuatku pindah.

Akan tetapi, besar kemungkinan aku salah. Bisa jadi ia adalah gadis mungil yang tangguh. Ia akan mampu bertahan di dalam kenangan yang berputar di sekelilingnya.

Aku memutuskan lari ke Southie setelah menemukan sebuah apartemen yang sesuai di sekitar Old Colony. Aku berharap tempat yang baru bisa membantuku melupakan Catherine.

Perbicangan Ayah dan kakekku terngiang-ngiang sebelum aku menyewa satu kondo di apartemen Old Cozy—nama yang unik untuk sebuah apartemen. Waktu itu, Ayah akan membeli rumah. Kakek mengatakan padanya bahwa membeli rumah bukan perkara membeli bangunannya saja, tetapi juga lingkungannya. Nasehat itu kusimpan baik-baik. Aku langsung pindah dari Back Bay setelah bertanya, mengecek, dan berkeliling di sekitar gedung apartemen tersebut dan mendapatkan kesimpulan yang memuaskan. Setidaknya, itu yang aku pikirkan dan bukan karena bujuk rayu dari Milla Borden.

Sepanjang pengetahuanku bangunan apartemen Old Cozy bergaya federal. Jendela-jendela palladian yang besar menjadi ciri khas-nya, termasuk cornice di bagian atap yang membuatnya seperti gedung yang menggunakan mahkota. Model bangunan seperti itu biasa ditemukan di sepanjang pesisir timur Amerika. Memang terlihat tua meskipun sangat cocok dengan nuansa Old Colony yang klasik. South Boston adalah kota yang sangat klasik. Selain arsitektur federal, kamu juga akan gampang menemukan gaya arsitektur victoria dan georgia yang diselang-seling dengan gaya townhouse—gedung dari bata merah mirip kubus-kubus berjendela.

Sesuai dengan namanya, apartemen itu merupakan bangunan lima lantai dengan lingkungan yang damai. Halaman apartemen ditanami pohon elm. Aku kira, itulah yang membuat tempat ini terasa sejuk dan terlihat lebih hidup. Di samping jalan setapak yang membujur dari trotar ke pintu lobi, rumput hijau tumbuh dengan rapi. Milla Borden—agen wanita yang melayaniku—menjelaskan bahwa pengelola telah banyak merenovasi dan melengkapi gedung dengan semua hal yang diperlukan, termasuk lift. Yang tidak kalah penting, harganya sangat murah.

Kondoku sendiri memiliki jendela besar yang mengarah ke sebuah taman bermain yang penuh oleh mainan anak-anak. Di lingkungan itu sudah ada taman Joe Moekley yang luas. Akan tetapi, pemerintah kota mungkin merasa tetap perlu membangun sebuah taman bermain lagi yang mirip Sweeney Playground. Pada hari aku melakukan survei, taman itu ramai: ayunan, jungkat-jungkit, kotak pasir, kubus besi serta perosotan tidak ada yang kosong satu pun.

Jika boleh menyebutkan satu kekurangan, aku akan menunjuk lampu-lampunya. Sebagian besar lampu penerangan di dalam apartemen kurasa punya masalah serius. Banyak sudut yang masih gelap sehingga terlihat menyeramkan. Semua benda itu juga sering berkedip-kedip seperti akan segera mati. Mungkin ada masalah dengan kelistrikannya. Karena tahu daerah ini cukup aman, aku tidak terlalu memikirkan kekurangan itu. Untunglah, tidak ada masalah selain hal tersebut.

Gemuruh makin sering menggelegar dan rintik berubah menjadi lebat saat aku berhasil parkir di depan apartemen. Aku masih harus berjalan sedikit dari trotoar menuju pintu lobi. Sambil berlari-lari kecil, aku berusaha menyembunyikan kotak Catherine di balik tubuhku.

Sebelum membuka pintu lobi apartemen, aku mengibas-ngibaskan rambut dan bajuku yang basah oleh hujan. Karena sadar bertingkah seperti anjing, aku menghentikan tingkah konyolku dan segera mendorong pintu.

Lobi apartemen itu kecil dan polos. Temboknya tidak dihiasi apa pun. Beberapa langkah dari pintu terdapat sebuah konter. Di balik meja, aku melihat seorang pria tua berkulit hitam—aku taksir mungkin berusia sekitar 50 tahunan. Saat berkeliling dengan Ny. Borden dan mengangkut barang-barang pindahan dua hari yang lalu, aku tidak pernah melihatnya. Bahkan, aku tidak menyadari jika konter itu pernah ada.

Kepala pria itu langsung menoleh saat aku membuka pintu. Padangannya tajam. Aku mengembangkan senyum sambil terus melangkah mendekatinya. Ia seketika berdiri. Pastilah itu sambutan selamat datang. Setelah lebih dekat, aku melihat beberapa uban mencuat di rambutnya yang kriting. Meskipun uban sama sekali tidak mencerminkan usia seseorang, aku menduga telah menebak usianya dengan benar. Ia mengingatkanku pada Forest Whitaker karena sebelah matanya lebih kecil dari yang lain. Begitu juga dengan cambangnya yang beruban. Wajahnya bulat seperti telur angsa.

Aku terkejut saat sampai di depan konternya karena menemukan seorang wanita yang jauh lebih tua. Ia meringkuk di atas sebuah kursi roda di samping kursi pria itu. Wanita itu duduk dengan tatapan kosong seperti mengalami demensia.

“Hai, Nak. Sepertinya kamu berhasil menghindari hujan. Apakah semuanya selesai hari ini?” sapa pria itu dari balik mejanya. Agaknya ia tahu siapa aku. Seorang penghuni baru. Aku juga tahu siapa dirinya melalui seragam yang ia gunakan.

“Oh, hai, Sir. Yah, syukurlah, aku tiba tepat waktu. Aku Mikky Anderson. Penghuni baru.” Aku tetap menambahkan informasi tersebut. Aku meletakkan kotak kecilku di atas meja dan mengajak pria itu berjabat tangan.

“Aku Nelson, Tuan Anderson.” Ia menyambut uluran tanganku dan menggenggamnya dengan mantap.

Tiba-tiba aku menjadi malu. “Panggil aku Mikky saja, Sir,” kataku sopan. “Untunglah semua berjalan lancar. Aku sudah memindahkan barang-barangku ke sini. Kotak kecil ini yang terakhir.” Mataku mengarah pada wanita di kursi roda. “Siapa dia? Ibumu?”

Wanita tua di samping Nelson terlihat sangat tua. Maksudku, ia terlihat bungkuk meski sudah duduk di kursi roda. Wajahnya begitu keriput, matanya abu-abu, dan mulutnya seperti tersedot ke dalam. Aku kira ia sudah tidak memiliki gigi sama sekali. Wanita itu juga berbau apak. Baunya cukup tajam mengingat tempatku berdiri cukup jauh. Namun, siapa pun yang mendandaninya memiliki selera yang aneh. Ia menyematkan bandana biru di rambut yang sepenuhnya beruban dan memakaikan blus motif polkadot. Aku tidak melihat bawahannya. Kakinya ditutupi selimut. Aku bersyukur karena hal itu. Aku tidak bisa membayangkan jika orang yang membantu nenek itu berdandan memakaikannya rok mini.

Nelson berdehem. Aku terkesiap lalu kembali menatap ke arahnya.

“Sebaiknya kau memanggilku Nelson saja. Aku penjaga tempat ini.” Nelson melirik ke arah wanita tua di sampingnya sebentar lalu kembali memadangku.”Nah, kalau kau menduga dia ibuku, kau adalah pria paling hebat yang pernah kutemui karena kau benar. Dia memang benar ibuku, wanita kulit putih yang bernasib sial karena menikahi ayahku—seorang pria kulit hitam dari pedalaman Afrika. Aku cukup bersyukur tidak terlahir abu-abu.”

Aku hampir mempercayai ucapannya jika saja nada suaranya tidak sarkastik. Akhirnya, aku menanggapi Nelson dengan “o” yang panjang.

“Jangan bercanda, tidak mungkin dia ibuku,” kata Nelson kemudian dengan sorot mata yang tajam. “Dia juga penghuni di sini. Kau di kondo 508, dia di 509. Kondo kalian berdampingan.”

Keningku berkerut dalam. Bukan hanya karena malu, tetapi juga karena berpikir. Seorang nenek tidak biasanya memilih kondo di lantai paling atas. Bukankah hal seperti itu bisa sangat merepotkan?

 “Aku minta maaf, Nelson. Aku hanya mencoba akrab.”

“Ya, aku tahu. Jadi, tidak apa-apa. Lupakan saja. Aku bukan orang yang cepat tersinggung.”

“Ngomong-ngomong, kenapa dia ada di sini?” tanyaku kembali.

Nelson menoleh kembali ke arah wanita tua itu melewati bahunya. “Dia ingin jalan-jalan. Aku mencoba membantunya, tetapi langit tidak mengizinkan dia keluar dari apartemen.”

Pria tua ini memiliki pilihan kata yang luar biasa. Aku jadi penasaran dengan cara dua orang itu berkomunikasi. Aku agak ragu nenek tua itu masih bisa bicara.

 “Senang bertemu denganmu, Nelson. Semoga tugasmu lancar dan menyenangkan,” kataku sambil mengangkat kotak dari meja Nelson. Acara perkenalanku dengan penjaga apartemen itu sudah cukup. Kotak Catherine harus segera disimpan.

“Kau juga, Mikky. Kau perlu bantuan untuk mengangkat kotakmu? Sepertinya sangat berat.”

Aku hampir tertawa. Kalau pria tua itu tahu kebenarannya, ia pasti terbahak karena kalimat sarkasnya sangat tepat.

“Tidak. Terima kasih. Aku bisa sendiri,” sahutku lalu meninggalkan Nelson, membawa kotak terakhir yang harus aku pindahkan.

Aku langsung menuju lift.

Sudah beberapa kali aku menaikinya, tetapi benda itu selalu terlihat menarik. Lift di apartemen ini masih model lama dengan pintu harmonika. Pintu besi itu berwarna hitam. Dindingnya seperti pie apel yang terlalu matang. Tombol-tombolnya bulat menyembul. Suara pintunya sangat berisik saat dibuka, begitu juga saat ditutup. Lift itu bergerak selambat siput. Aku mengira, orang-orang di lantai tiga ke bawah pastilah lebih memilih menggunakan tangga daripada menaiki benda usang itu.

Kondoku hampir berada di ujung gedung; berkebalikan dengan lift. Tempat itu tidak luas. Hanya berisi tiga ruangan: kamar mandi, kamar tidur, dan ruang televisi sekaligus dapur. Bentuknya hampir sama dengan apartemenku yang dulu.

Barang-barangku juga tidak banyak: ranjang yang cukup lebar, nakas dengan dua laci, serta lemari baju berukuran sedang. Sebuah sofa merah di depan televisi layar datar berukuran 40 inch dan meja kayu bundar. Meja itu aku dapatkan setelah salah satu penghuni apartemenku di Back Bay pindah ke Inggris setahun yang lalu dan menjual seluruh perabotannya. Sofa menjadi barang favoritku. Selain sangat empuk, bagian bawah sofa itu bisa diangkat. Aku biasa bergelung seperti kucing malas di atas sofa pada akhir pekan sambil menonton N*****x. Tidak jauh dari sofa merah, aku meletakan kulkas satu pintu dekat konter dapur.

Saat akan melewati pintu apartemen 507 yang berada di samping apartemenku, pintunya tiba-tiba terbuka. Seorang pria besar muncul dengan mata menyala. Aku langsung berhenti di depannya, berniat berbasa-basi karena sudah terlanjur bertemu.

“Hai.” Sapaku. “Aku Mikky Anderson. Sepertinya kita akan menjadi tetangga. Aku tinggal di samping. Di 508.”

“Kau orang baru?” tanya pria itu seolah tidak mendengar kalimat yang aku ucapkan sebelumnya. Ia berbalik sebentar untuk mengunci pintu di belakangnya.

 “Iya. Aku Mikky Anderson. Penghuni baru.” Aku mengulangi kalimatku, kali ini sambil mengulurkan tanganku. Kotak yang kubawa, kurangkul dengan sebelah tangan.

Pria itu sangat tinggi. Aku harus mendongak untuk melihat matanya. Dan ia tidak menyambut uluran tanganku, tetapi malah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan pandangan dingin. Kemudian, setelah mendengus pelan, ia melewatiku begitu saja.

 “Apartemen yang sempurna,” kataku pada diri sendiri dengan tangan yang menggantung di udara.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
goodnovel comment avatar
Binar Senja
Wuih, suka banget, ceritanya bikin penasaran.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status