Share

Chapter 3

Aku sudah mengatakan bahwa masalah di apartemen ini adalah lampunya. Satu minggu yang lalu aku pulang agak larut. Saat berjalan di sepanjang lorong dengan lampu yang terus berkedip-kedip—jarak antara lift dan kondoku cukup jauh: dari ujung satu ke ujung lainnya—aku seperti melihat siluet seorang gadis berdiri di depan pintuku. Anehnya, saat sampai di depan pintu aku tidak menemukan siapa-siapa. Esok malamnya aku meminta Nelson untuk memeriksa seluruh lampu di selasar lantai lima. Aku sungguh terkejut saat ia mengatakan bahwa seluruh lampu di sana baik-baik saja. Bagaimana bisa?

Pada malam yang lain—lagi-lagi saat pulang larut—lagi-lagi aku menemukan kejanggalan. Lampu lorong berkedip-kedip dan aku merasa seseorang sedang mengawasiku. Aku seperti mendengar seseorang berjalan dengan langkah menyeret di belakangku. Akan tetapi, saat menengok, aku tidak menemukan siapa-siapa. Esok malam setelah kejadian itu, lagi-lagi aku meminta Nelson untuk memeriksa lampu, atau kalau perlu, ia sebaiknya mendatangkan tukang listrik. Lagi-lagi ia mengatakan kalau seluruh lampu di sana baik-baik saja. Ia mengaku bahwa ia tidak mendapatkan keluhan dari penghuni lain selain aku. “Mungkin kau hanya kelelahan karena hampir lembur tiap hari, Mikky,” katanya memberi alasan.

Sungguh? Apakah Nelson serius?

Malam ini aku memikirkan seluruh kejadian itu. Sepanjang mengendara pulang dari kantor, aku memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Apa yang menyebabkan aku melihat siluet wanita atau mendengar suara aneh? Sayangnya, tidak ada jawaban yang muncul selain karena kelelahan. Mungkin Nelson benar.

Malam sudah sangat larut dan jalanan sudah lumayan lengang, hanya beberapa mobil yang melintas. Mereka adalah pekerja hobi lembur seperti aku. Aku mulai terbiasa dengan keadaan kota ini saat tengah malam. Tenang dan nyaman.

Aku meluncur ke sisi jalan untuk parkir, melewati taman bermain kecil yang sebelumnya aku katakan berhadapan dengan jendela besar apartemenku. Saat menoleh sekilas, aku melihat dua orang dewasa sedang duduk di taman itu. Karena jarang melihat orang duduk di taman pada tengah malam, aku jadi tertarik. Aku memelankan mobil agar bisa melihat lebih jelas. Aku mengenali si pria. Itu Tod Horgan. Badannya yang besar seperti akan menelan bangku yang ia duduki. Ia bersama seorang wanita. Aku tidak mengenali wanita yang bersamanya. Gambaran yang bisa aku berikan tentang wanita yang bersama Tod adalah rambut wanita itu pirang dan panjang, menggunakan bandana biru, dan mengenakan baju motif polkadot. Aku merasa cukup familiar dengan gaya berpakaian wanita itu. Seperti pernah melihatnya di suatu tempat.

Aku memarkirkan mobil dan berjalan menuju pintu lobi apartemen bersama segala pikiran yang masih menggangguku. Sekarang, ditambah gagasan baru—tentang Tod dan gadis yang bersamanya.  Besar kemungkinan, gadis di taman tadi adalah gadis yang Tod minta untuk aku jauhi.

Saat membuka pintu lobi, pandanganku menuju konter Nelson. Langkahku langsung berhenti karena melihat seseorang yang bukan Nelson di dalam konter. Aku mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa aku benar-benar sedang melihat seorang gadis di sana. Ke mana Nelson? Siapa gadis itu? Apakah ia penghuni baru yang sedang menunggu Nelson?

Aku bergeming, tetapi sangat penasaran. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendekat dengan perlahan.

Sebelum aku mencapai meja konter, lampu lobi mendadak berkedip-kedip—persis lampu di lorong lantai lima. Aku reflek mendongak ke atas. Lampu lobi yang berkedip-kedip menghajar retinaku. Mataku menjadi silau karena lampu lobi yang berubah gelap-terang dengan cepat. Aku menggeleng, memejamkan mataku erat-erat, lalu memijat ujung mata dan pangkal hidungku.

Saat aku membuka mata, lampu telah kembali seperti semula. Akan tetapi, setelah kembali menatap ke arah meja Nelson, gadis yang sebelumnya aku lihat sudah tidak ada lagi. Aku mendekat dengan perlahan lalu melongok ke dalam. Siapa tahu ia berjongkok karena kaget dan takut. Namun, konter itu kosong. Aku tidak menemukan siapa-siapa.

Itu aneh. Aku sangat yakin telah melihat seorang gadis di dalam konter. Mungkin benar bahwa aku begitu kelelahan seperti yang dikatakan Nelson sehingga bisa berhalusinasi begitu parah.

Oh, Tuhan.

Aku seperti spon basah yang diperas. Energiku habis dan aku kelelahan.

Kalau benar melihat seorang wanita di konter Nelson lalu wanita itu lenyap begitu saja saat memeriksanya, aku seharusnya segera melapor ke Nasa, CIA, FBI, MIB atau biro apa pun yang dimiliki negara ini. Sudah pasti wanita itu bukan manusia. Ia pasti alien. Mungkin aku harus melaporkan kejadian ini pada Ghostbusters. Namun untuk saat ini, aku memutuskan mengabaikannya dan segera menuju lift.

Lampu di atas mulut lift menunjukkan benda itu akan segera turun. Aku yakin itu Nelson. Ia mungkin habis berkeliling. Suara denting menunjukkan bahwa lift itu telah sampi di lantai dasar. Pintu lift yang tidak rapat membuatku bisa melihat Nelson di dalamnya. Pria itu lalu menarik pintu lift ke samping dengan keras membuat suara yang gaduh sekali. Apalagi ini malam hari.

“Hai, Mikky,” sapa Nelson dengan lengkungan bibir yang lebar. “Lembur lagi?” Kedua matanya sekarang menjadi sama-sama kecil. Aku melihatnya membawa senter di genggaman tangannya dan pentungan di sela pinggangnya.

 “Hei, Nelson, kebetulan sekali. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku harap kamu tidak terkejut. Begini ... ehm ... “Aku pikir tidak ada salahnya bercerita pada Nelson. Anggap saja penjaga tua itu perwakilan biro keamanan Amerika. Namun, agak susah memilih kalimat yang tepat. “Aku seperti melihat seorang wanita di posmu tadi. Tapi, waktu aku mendekat, ia tiba-tiba menghilang. Bukankah itu aneh? Lampu di tempatmu juga sepertinya bermasalah sama seperti di lantai lima.” Sebelumnya, aku tidak menceritakan tentang siluet gadis di depan pintu kondoku atau suara seseorang yang menyeret kakinya.

Mata Nelson melebar. “Dia seperti apa? Mulutnya mengeluarkan darah? Atau kukunya sangat panjang? Atau rambutnya menutupi wajahnya?” Nelson terkekeh-kekeh. Aku tersenyum kecut. Aku pikir ia akan menanggapinya dengan serius. “Aku di sini sudah hampir 20 tahun dan tidak pernah sekalipun melihat hal-hal aneh. Saranku, jangan hiraukan sesuatu yang di luar akal sehatmu,” tambahnya.

Aku kecewa dengan reaksi Nelson. “Aku tidak sedang bercanda,” kataku

“Yeah. Kau pasti akan mengatakan hal itu.”

Tiba-tiba lampu penerangan di dekat lift berkedip-kedip.

“Tegangan listrik akhir-akhir ini sering turun naik. Jangan kuatir. Aku sudah melaporkannya pada pengelola. Besok tukang listrik akan mengeceknya,” kata Nelson, lalu ia meninggalkanku. Aku masih termenung di depan lift saat mendengar suara teriakan Nelson dari belakang. “Usaha yang bagus, Mikky. Lain kali coba dengan Godzilla!”

Sialan!

Aku bergeming di dalam lift cukup lama tanpa memencet tombol apa pun. Pikiranku masih tertambat pada ilusi seorang gadis di meja Nelson dan gadis cantik yang bersama Tod di taman. Karena tidak menemukan alasan yang logis untuk kejadian tadi, aku hampir memencet angka lima dengan kesal. Namun, aku akhirnya memecet tombol pintu lift dan segera melangkah keluar.

Aku menemukan Nelson sedang mengeluarkan radio dari laci mejanya. Aku merasa lelaki tua itu memandangku dengan tatapan mengejek.

“Kau benar-benar ingin mencoba dengan Godzilla anak muda?” katanya setelah aku mendekat.

“Tidak, Nelson. Aku benar-benar tidak sedang mengerjaimu. Tapi, sudahlah. Lupakan masalah tadi. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu.”

“Kau mau tahu apakah di depan Rotary Variety pernah muncul Godzilla?” Nelson terkekeh-kekeh kembali seperti tadi.

Aku tidak langsung menjawab, tetapi menunggunya menghabiskan kekehannya. Setelah ia diam, aku baru berbicara. “Aku bukan ingin mencampuri urusan orang lain, tapi kau tahu dengan siapa Tod di taman malam-malam begini? Apa itu pacarnya?” tanyaku. “Aku melihatnya di taman dengan seorang gadis.”

“Kau ternyata suka mencampuri urusan orang lain, Mikky,” balas Nelson tajam.

“Bukan itu maksudku, Nelson. Pria Irlandia itu pernah mengatakan padaku agar aku tidak mendekati gadis muda di apartemen sebelahku. Mungkin maksudnya, cucu nenek tua yang bersamamu waktu itu. Aku hanya ingin memastikan agar aku tidak terlibat masalah yang lain.”

“Sudahlah, sebaiknya kau naik dan tidur. Besok pagi kau harus pergi ke dokter untuk memeriksakan matamu. Kau tahu? Aku tidak melihat siapa pun keluar dari gedung sejak jam makan malam.”

“Kamu serius dengan kata-katamu?”

“Kau ingin membuktikannya? Ayo kita ke taman sekarang.”

 “Bukankah kau tadi tidak berada di sini? Aku minta maaf, Nelson. Sekali lagi aku katakan padamu, aku merasa bersalah karena kau merasa aku mengerjaimu dengan cerita wanita tadi. Sekarang, mungkin kau juga merasa aku sedang mengerjaimu. Tapi demi Tuhan, aku melihat Tod bersama seorang wanita, yang ... tunggu. Bukankah wanita tua yang bersamamu saat kita bertemu pertama kali menggunakan baju polkadot dan bandana biru? Gadis yang duduk bersama Tod juga berpakaian sama.”

“Dengar, Mikky. Apakah kau menyimak apa yang kau katakan sekarang ini? Kau terdengar seperti orang gila. Kau mungkin kelelahan. Sepanjang minggu kau pulang hampir dini hari. Sebaiknya kau masuk apartemenmu, cuci wajahmu, gosok gigi, dan tidur dengan nyaman. Saranku, kalau kau susah tidur, kau bisa meminum segelas susu hangat terlebih dahulu. Itu selalu berhasil pada Adam, cucuku.”

Aku benar-benar terpaku karena jawaban pria tua itu.

“Hah ... lupakan, Nelson. Anggap aku tidak pernah mengatakan apa pun padamu.” Aku mengibaskan tangan pada Nelson dan meninggalkannya menuju lift. Suara tawanya terdengar lagi saat aku makin menjauh. Sepertinya percuma membahas apa pun dengan pria tua itu.

Saat di dalam lift, aku menunggu sebentar sebelum memencet nomor lantai, berharap lampu-lampu itu akan berkedip-kedip lagi. Namun, tidak ada yang terjadi.

Aku menyadari akhir-akhir ini aku kurang tidur. Hampir setiap hari aku lembur. Dua puluh empat jam terasa kurang. Aku mungkin stres karena tekanan di kantor. Ini kali pertama aku menjadi penanggung jawab proyek. Bisa jadi yang terakhir jika aku tidak melakukannya dengan lebih baik. Aku tidak boleh mengecewakan atasanku. Ini satu-satunya cara agar karirku lebih cepat naik. Klien menginginkan sebuah iklan yang berbeda dari biasanya. Beberapa ide yang telah timku sodorkan ditolak mentah-mentah.

Selain karena proyek ini, kenangan Catherine masih menggelayut di kepalaku. Aku masih sering membuka kotak berisi barang-barang yang pernah aku berikan padanya. Aku masih mengingat hari itu, saat ia mengembalikan semua yang pernah aku berikan. Semua bukti perjalanan kisah kami selama tiga tahun. Aku yakin Catty memilih orang lain, meskipun ia membantahnya. Aku sangat terpukul sampai memutuskan untuk pindah dari apartemenku. Terlalu banyak kenangan di sana.

Ketika sampai di apartemenku, aku mencoba mengintip Tod dan pacarnya dari jendela besar. Namun, aku  tidak melihat siapa-siapa di taman. Mungkin ia sudah pergi atau aku memang berhalusinasi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Binar Senja
wuihhh ... makin seru.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status