Share

Chapter 8

Mataku langsung silau. Ternyata, tadi malam aku lupa mematikan lampu kamar. Butuh sedikit waktu agar mataku bisa menyesuikan suasana. Kepalaku agak pusing. Aku rasa kali ini bukan karena kurang tidur seperti kemarin, tetapi karena alkohol. Aku dan Yui minum bir terlalu banyak.

Aku baru menyadari bahwa aku tidur di pinggir ranjang. Biasanya aku tidur di tengah-tengah. Ketika melihat benda-benda yang tergeletak di lantai kamar, aku langsung mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ah, sialan! Ini akan menjadi lebih rumit!

Aku yakin, apa yang terjadi antara aku dan Yui tadi malam karena alkohol, rasa sedih, dan perasaan senasib. Tiga hal itu bercampur menjadi satu menciptakan suasana yang melankolis sehingga membuat kami berdua tidak bisa mengendalikan diri. Namun, tetap saja rasanya salah.

Senin besok saat aku bercerita pada David, pria itu pasti tidak akan percaya dengan apa yang aku lakukan. Ia pasti akan menyebutku bodoh. Lalu, apa kira-kira yang akan terjadi padaku jika Tod mengetahui kejadian ini? Bayangkan, aku meniduri pacarnya!

Karena kesal, aku mengacak-acak rambutku sendiri.

Aku membayangkan Tod berdiri di depan pintuku dan mengetuknya dengan keras. Jika hal itu terjadi, mungkin aku tidak akan selamat. Otot-otot kekar Tod akan melingkar di leherku dan meremukkannya seperti kaleng soda. Meskipun aku tahu Yui telah menjadi mantan Tod, aku rasa pria itu akan tetap mengamuk bila mengetahui hal ini. Bukankah ia orang yang aneh? Tod mengancamku agar tidak mendekati wanita yang sama sekali belum aku kenal hanya gara-gara wanita itu tinggal di samping apartemenku. Bisa saja pria itu berpikir bahwa semua yang pernah ia miliki tidak boleh dijamah oleh siapa pun. Apalagi aku? Membayangkannya saja membuatku bergidik.

Aku berusaha menghibur diri dengan berpikir bahwa aku terlalu khawatir. Ini tidak akan menjadi rumit. Yui seorang gadis Asia yang dibesarkan dengan gaya Amerika. Seharusnya, hal seperti ini tidak berarti apa-apa baginya. Ia akan menganggap kejadian malam ini sebagai sebuah kesalahan lalu mengatakan padaku kalau kami harus melupakannya dan bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku yakin, pagi ini, aku dan Yui akan kembali menjadi dua orang asing.

Namun, hati kecilku berkata lain. Aku merasa seperti seorang pria yang sedang mengambil kesempatan. Seakan-akan, aku sengaja membuka pintu rumah pada seorang gadis yang sedang mengalami kesulitan. Berpura-pura memberikannya atap dan rasa aman sampai ia merasa nyaman lalu menerkamnya. Pasti orang lain akan menilaiku seperti itu.

Selain pikiran-pikiran itu, entah kenapa aku juga merasa bersalah pada Catherine. Perasaan itu menyelusup begitu saja. Aku seperti sedang bermain di belakang punggungnya. Hal ini memang terdengar aneh, tapi itulah yang aku rasakan.

Aku sudah bangun sejak tadi, tetapi masih pura-pura tidur. Yui tampaknya masih terlelap. Aku bisa merasakan lengannya melingkar di pinggangku. Aku melepaskan pelukan Yui dan sedikit menggeser tubuhku agak menjauh. Pikiranku benar-benar kacau. Aku belum siap menjadi pria yang terbangun di samping Yui.

Ketika pikiranku sibuk mencari di mana posisiku dalam situasi ini, aku merasakan gerakan tubuh Yui. Ia telah bangun. Aku merasakan tangannya yang lembut mengelus lenganku. Sepertinya, tubuhnya beringsut mendekat. Setelah itu, sebuah kecupan di leherku telah memastikan bahwa Yui memang sudah bangun dan aku tidak sedang berhalusinasi. Mau tidak mau, aku membalikkan tubuhku lalu membuka mata. Aku pura-pura baru bangun juga.

“Pagi,” sapanya.

“Pagi, Yui.” Aku sebenarnya tidak yakin jika sekarang masih pagi. Aku belum melirik jam weker sejak tadi.

“Tidurmu nyenyak, Mikky? Aku harap begitu. Ini kali pertama aku tidur senyenyak ini dalam dua minggu terakhir. Terima kasih banyak.” Senyumnya mengembang lebar.

“Tidurku juga nyenyak,” balasku pendek.

Suara dari perut Yui menyela kami berdua. Matanya melebar dan bibirnya menahan senyum. Sesaat kemudian, ia terbahak-bahak karena suara perutnya sendiri. Mungkin juga karena melihat raut wajahku juga yang ikut terkejut. Aku harus jujur, suara tawa Yui serenyah keripik kentang.

 “Bukankah ini normal? Kita melewatkan makan malam,” katanya.

Bila aku ingat-ingat, kami memang melewatkan makan malam. Mungkin itulah yang membuat perut gadis itu sudah bernyanyi. Namun, kami menghabiskan banyak cemilan dan bir. Aku sendiri tidak terlalu lapar.

“Sebenarnya aku malas bangun dan lebih suka berada di sini. Kau tahu, Mikky? Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan yang tulus. Tapi, aku tidak bisa membuat kita berdua mati kelaparan. Khususnya, kau. Kau sudah sangat baik padaku. Jadi, sebaiknya aku membuat sarapan terbaik yang bisa aku masak.” Lagi-lagi ia mengembangkan senyumnya.

Yui tidak beringsut ke arah sisi kasur yang lain atau ke bawah, ia justru melewati tubuhku. Ia bergerak dengan lambat. Ketika telah berada di tengah-tengah pinggangku, ia berhenti. Jantungku berdebar tidak menentu. Aku berusaha bersikap setenang mungkin dan tidak menujukkan bertapa canggungnya aku.

Yui duduk di pinggangku seperti koboi kecil di atas seekor kuda. Dari posisiku, aku bisa melihat seluruh tubuhnya kali ini.

“Aku akan memasak sesuatu yang Asia. Aku lihat bahannya ada di kulkasmu,” katanya kembali. Matanya hampir hilang bila ia tersenyum.

Aku mengangguk. “Aku jarang makan masakan Asia.”

“Baiklah kalau begitu.” Yui memberikan sebuah ciuman singkat sebelum kembali bergeser dan turun dari kasur. Aku memperhatikannya dalam diam. Yui berjongkok di samping tempat tidur, memungut semua pakaian dalamnya satu persatu sambil menatapku dengan senyuman.

“Tadi malam itu luar biasa. Aku tidak menyangka kau sehebat itu.” Yui mendekatiku lagi dan kembali mencium pipik sekali lagi. “Kau pasti lelah, tidur saja lagi. Setelah semuanya siap, aku bangunkan kau kembali.” Kemudian Yui beranjak ke luar kamar.

Aku mendengkus, hampir saja berteriak. Yui tidak terlihat berpikir seperti yang aku pikirkan. Ternyata, ini tidak seperti yang aku harapkan.

Sialan! Aku baru ingat. Seharusnya tadi malam aku mencari Nelson. Pria tua itu harus membenarkan listrik. Ah, ini makin menyebalkan.

***

Mungkin ini tidak seburuk yang aku pikirkan sebelumnya. Meskipun aku mengatakan ini situasi yang rumit, ternyata aku cukup menikmatinya.

Di konter dapur, Yui yang hanya menggunakan pakaian dalam yang dibungkus celemek biru Catty sibuk dengan sarapan kami. Aku meringkuk di sofa, menonton berita pagi hanya menggunakan boxer. Sesekali ia berpaling ke arahku hanya untuk memberikan satu senyuman manis.

Yui membuat sup. Sudah sangat lama aku tidak sarapan dengan menu itu. Aku mengingat ibuku suka membuatnya. Sup yang dibuat Yui dengan bahan-bahan seadanya yang tersisa di kulkas ternyata sangat enak. Yui benar-benar gadis yang luar biasa. Apakah Tod memang sebodoh itu? Tidak ada pria yang cukup bodoh untuk meninggalkan gadis semenarik Yui. Ia cantik, berkomitmen, dan seorang koki yang hebat. Seperti yang aku pikirkan sebelumnya, montir bodoh itu mungkin sedang kehilangan pikirannya dan sekarang sedang menyesalinya. Aku yakin, ia bisa kembali kapan saja.

Meskipun sup buatan Yui sangat enak, aku tidak bisa menikmatinya dengan tenang. Pikiranku menjalar ke mana-mana. Aku butuh udara segar.

“Aku akan ke taman,” kataku pada Yui.

“Aku ikut!” sambutnya. Tangannya dengan cepat meraih lenganku seperti seorang anak kecil yang takut ditinggalkan ibunya.

Sejenak aku bingung, akan mengizinkannya bersamaku atau tidak. Namun, setelah aku pikir, akan lebih baik jika Tod melihat kami di luar ruangan daripada di dalam ruangan. Akhirnya aku mengiyakan.

Aku kemudian kembali ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Saat melewati tempat Yui meletakkan kopernya, aku tidak menemukan benda itu. Namun, aku tidak mengatakan apa pun. Ternyata, koper Yui berdiri di sudut kamar dekat lemari. Dan benar saja, ketika aku membuka lemari, aku menemukan kalau bukan hanya pakaianku  saja di tempat itu. Kapan Yui meletakkannya?

Yui juga masuk ke kamar, menggodaku sebentar dengan mengatakan kalau ia tidak perlu mengganti apa pun.

***

Tidak seperti hari sebelumnya, taman tidak terlalu ramai. Mungkin orang-orang memilih ke taman Joe Moekley.

Aku memilih sebuah tempat duduk yang berada di bawah pohon elm. Tempat yang langsung menghadap matahari. Hari belum beranjak siang, udara hangat akan cukup menyenangkan.

South Boston berada di pesisir. Kadang-kadang bau laut terbawa angin. Tadi malam angin mungkin berembus cukup kencang sehingga daun-daun yang gugur lumayan banyak.

 Hanya beberapa anak yang terlihat di area bermain kali ini. Sebagain besar berkumpul di kotak pasir. Tampaknya kotak pasir menjadi tempat favorit. Salah seorang dari anak-anak yang bermain dengan ember dan sekop berhasil membuat sebuah kastil. Tidak sempurna, tapi itu lumayan hebat kalau mengingat yang membuatnya seorang bocah lima tahun. Anak-anak yang lain tampak berusaha untuk membuat hal yang sama.

“Kau suka anak-anak?” tanya Yui. Mungkin Yui memperhatikan caraku menatap bocah-bocah itu.

Aku mendesah, “Iya.”

“Kau pernah merencanakan memiliki anak bersama Catherine?” sambungnya. Matanya melirik menyelidik.

Pertanyaan yang menusuk. Tentu saja aku pernah membayangkannya. Bukan hanya pernah, justru terlalu sering. “Begitulah. Catty sangat suka anak-anak. Dia anak tunggal.”

“Pantas.”

“Apakah kau tidak merencakan hal itu juga dengan Tod?” Aku membalas pertanyaannya.

Yui tidak langsung menjawab. Jarinya malah memunguti kerikil kecil di bawah bangku taman. Ia menghela napas.“Aku memikirkannya, tapi sepertinya Tod tidak. Maksudku, aku tidak tahu apakah dia benar-benar menginginkannya juga sepertiku. Dia pria hari ini, bukan pria masa depan. Tod hidup untuk hari ini dan dia tidak memikirkan apa pun tentang esok hari.”

Jika Yui menoleh padaku, aku yakin ia akan melihat keningku berkerut. Untunglah ia melihat lurus ke depan.

Aku agak sangsi dengan jawaban Yui. Apakah benar Tod seperti itu? Bukankah orang-orang yang berolah raga dan membesarkan otot kebanyakan berpikiran ke depan? Mereka merencanakan otot yang akan mereka miliki nanti dengan latihan dan makanan saat ini. Orang-orang yang gila dengan kesehatan, mereka penuh dengan jadwal dan ukuran.

Yui memang paradoks, mungkin itulah kenapa ia cocok dengan Tod, karena sama-sama paradoks.

“Aku berharap memiliki seorang anak perempaun yang mirip sepertiku. Aku akan mencurahkan seluruh tenagaku untuk kebahagiaannya. Dia bebas memilih menjadi apa saja,” lanjut Yui.

Aku pikir, Yui sedang membicarakan dirinya sendiri.

“Gadis yang aku ceritakan berada di sebelah apartemenku. Kau tidak ingin bertemu dengannya? Membicarakan sesuatu mungkin. Aku kira kau mungkin penasaran dengan beberapa hal,” kataku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin Yui menemukan banyak persamaan denganku dan merasakan hal itu. Ini terlalu cepat bagi kami berdua.

“Awalnya aku merasa begitu. Tapi, mungkin dia tidak tahu tentangku. Sangat mungkin Tod tidak menceritakan apa-apa padanya, bukan? Jadi, mungkin agak sia-sia menemuinya. Kalau memang Tod lebih memilih bersama dia, aku tidak bisa melakukan apa-apa.”

Apa yang dikatakan Yui banyak benarnya. Sangat tidak masuk akan jika pria bodoh itu akan mengaku memiliki seorang tunangan. Seharusnya sikapnya bisa mencerminkan otot-ototnya yang besar. Tod harus berani menghadapi Yui dan bukan kabur seperti pengecut.

“Aku sebenarnya penasaran dengan gadis itu. Aku tidak pernah melihatnya secara langsung selama ini,” kataku. Aku memang penasaran dengan gadis yang tinggal dengan neneknya yang berada di sebelah apartemenku.

“Apakah dia sangat cantik sampai kau penasaran begitu?” wajah Yui terlihat berbeda.

“Bukan begitu maksudku. Dia tidak pernah muncul. Aku tidak pernah mendengar suaranya dari balik tembok.”

“Kau suka menguping, Mikky?”

“Tentu saja tidak. Ah, lupakan saja.”

Tiba-tiba terdengar keributan dari arah kotak pasir. Seorang gadis kecil dengan baju polkadot dengan rok mini berbandana biru dengan rambut pirang berdiri di atas bekas istana pasir yang telah hancur. Gadis itu berdiri seperti sebuah manekin sambil menggenggam sebuah boneka dengan dandanan yang sama dengan dirinya. Dia diam mematung saat gadis pembuat istana pasir berteriak-teriak padanya.

“Kau merusak istanaku!”

Gadis kecil itu menatapku dengan sangat tajam. Tiba-tiba dia mulutnya bergerak melengkung membentuk sebuah senyuman. Aku berdiri perlahan. Entah kenapa. Yui mengikuti gerakanku. Tiba-tiba Yui bergeser dan berdiri di depanku dengan tangan direntangkan.

Aku bingung dengan apa yang dia lakukan.

Tangan kiri gadis kecil itu menunjuk ke arahku. Tangan kanannya masih erat memeluk bonekanya. Apakah anak itu kesurupan? Kenapa dia bertingkah sangat aneh? Begitu juga dengan Yui.

Bocah kecil itu menurunkan tangannya, lalu membalik badannya dan berlari pergi. Dia pergi menuju gedung apartemenku. Bocah kecil pemilik istana pasir menangis kencang. Ibunya berlari ke arahnya.

“Apa yang terjadi pada anak itu?” kataku kemudian.

Yui telah menurunkan tangannya. “Kenapa kau begini, Yui? Kau mengenal anak itu tadi?”

Yui berbalik. Senyumnya mengembang lebar. “Aku tidak akan membagimu dengan siapa pun, meskipun dengan anak kecil.” Yui kemudian tertawa terbahak-bahak. Meskipun aku tidak begitu paham maksud perkataan Yui, aku ikut tertawa juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status