Share

Chapter 10

Awalnya aku tidak terlalu memikirkan kejadian-kejadian yang aku alami. Meskipun merasakan kejanggalan, aku tidak terlalu khawatir. Namun, pendapat David dan fakta yang aku dapatkan siang itu cukup membuatku berpikir kembali. Apa yang terjadi jika aku ditipu? Aku sudah mengecek beberapa hal sebelum memutuskan untuk pindah apartemen. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Nyonya Borden terlihat begitu alami.

Aku menyangka Nyonya Borden orang lokal. Ia terlihat sangat Irlandia seperti halnya Tod. Rambutnya agak kemerahan dengan tulang hidung yang tegas. Rahangnya lancip dan tubuhnya cukup jangkung. Ia memiliki mata hijau yang unik. Sebenarnya wanita itu cukup menarik. Gaya bicaranya juga teratur dan mampu menjelaskan detil dengan cepat dan singkat. Apalagi dengan balutan blazer hitam dengan rok pendek serta high heel yang sesuai dengan warna kulitnya. Ia sangat meyakinkan sebagai agen perumahan. Itulah kenapa aku masih mengingatnya hingga sekarang.

Aku bahkan tidak berpikir kembali setelah bertemu dengannya dan mengajakku berkeliling apartemen. Ia menjelaskan kelebihan apartemen seperti taman bermain dan suasana lingkungan yang nyaman seolah-olah itu adalah harta paling berharga yang tidak boleh dilewatkan. Sedangkan untuk kekurangannya, ia gambarkan seperti sesuatu yang lumrah.

Aku mulai berpikir kalau aku kena hipnotis waktu itu. Apa mungkin saat itu aku begitu terpaku pada bibirnya yang merah dan tulang pipinya yang tinggi. Aku menandatangi semua dokumen yang diperlukan dengan cepat. Semua dokumen itu terdapat tulisan Greenwood House and Apartment sebagai latar belakang kertasnya.

Aku benar-benar kesal. Saat ini, aku sedang berjuang untuk karirku. Aku sangat membutuhkan fokus. Ini bukan saat yang tepat untuk mendapatkan masalah lain. Aku harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Jadi, siang ini dengan cukup menggebu, aku melajukan Nissan-ku ke Old Harbor Street. Dari alamat yang tertera di kartu nama Nyonya Borden, kantornya tidak jauh dari Thomas Park, Dochester Heights.

“Cukup meyakinkan. Yang aku dengar, kawasan perumahan yang paling berkembang di daerah Southie adalah tempat ini. Old Harbor. Tempat ini menawarkan pemandangan yang luar biasa. Kau bisa melihat Boston Harbor dari sini,” kata David sambil mengunyah hotdognya.

“Jangan sampai saosmu berceceran di jokku. Itu masih baru.” Aku melirik ke arah David dengan tajam.

“Jokmu adalah hal yang terakhir yang harus kau khawatirkan sekarang, Mikky.”

David benar. Aku lalu membuang pandanganku ke arah rumah yang berjejer di sepanjang jalan Old Harbor.

“Apakah tempat ini cukup lumrah untuk dijadikan kantor?” tanyaku. Aku agak ragu dengan tempat ini.

“Entahlah.”

Mobilku menyusuri jalan menanjak dengan perlahan. Daerah Old Harbor berada di Dochester Heights. Kawasan ini adalah yang paling tinggi di South Boston. Monumen Dochester Heights berdiri di titik tertinggi. Monumen itu merupakan simbol perang revolusi Amerika pada awal tahun 1770an.

Rumah-rumah di daerah itu rata-rata memiliki jendela-jendela yang banyak dan tinggi. Sebagian rumah bertingkat tiga dengan bentuk bangunan yang ramping menjulang. Mereka tampak seperti gadis-gadis pantai yang langsing yang sedang memandang ke arah laut lepas.

“Nomor berapa?” tanya David.

“102.”

“Sebentar lagi. Di depan sana. Turunkan jendelamu.”

Angin sepoi menerpa wajahku saat kaca jendela mobil telah aku turunkan. Bau laut samar-samar menggelitik penciumanku. Kawasan ini harusnya cukup mahal jika melihat apa yang ditawarkannya.

***

Sebuah rumah berwarna merah marun setinggi tiga lantai menjulang di seberang jalan. Aku menghitung ada sembilan jendela yang tampak di depan rumah itu. Halaman depan seluruh rumah di daerah ini adalah trotoar jalan. Hanya saja di depan rumah terdapat tangga menuju pintu depan. Tepat di samping pintu rumah tersebut terdapat plang bertuliskan, “Benjamin Law Firm: Old Harbor 102.” Aku memakirkan mobilku tepat di seberang rumah itu.

“Kau yakin ini tempatnya, Mikky?” tanya David.

Aku menyerahkan kartu nama Nyonya Borden pada David agar ia bisa melihat sendiri alamat yang tertera pada kartu itu. Ia menyambar kartu itu dengan cepat. Lalu aku mendengar gumam samar darinya.

“Coba kau telepon lagi.”

“Buat apa? Aku sudah meneleponnya tadi. Kecuali aku mau membuat seseorang jengkel.”

“Apa mungkin kantor pengelola apartemen itu sudah pindah?” David menyeruput diet coke-nya dalam-dalam lalu mengembalikan gelasnya ke cup holder dekat transmisi.

“Bisa jadi, tapi kenapa Nelson tidak memberitahukan informasi padaku. Maksudku dia tidak membuat pengumuman apa pun.”

Di depan rumah itu terdapat sedan tua yang lusuh. Warna putihnya sudah kusam. Jok-jok tua yang berderet di dalamnya terlihat dari luar karena kacanya yang bening. Jok kiri bagian atas dekat bahu pengemudi robek. Sedan itu tampak mencolok di antara kendaraan lain yang diparkir paralel.

“Ini kantor pengacara yang baru memulai bisnisnya.” David mengembalikan kartu kecil itu padaku.

“Bisa benar. Bisa tidak. Aku yakin sewa tempat di daerah ini cukup mahal.”

“Jadi, apa kira-kira yang dilakukan kantor pengacara di sini? Membela nelayan yang dituduh mencuri ikan?” Nada suara David terdengar sinis.

“Aku tidak tahu. Apakah kita akan masuk?” tanyaku pada David. Entah kenapa aku menjadi ragu untuk masuk ke dalam kantor yang lebih mirip rumah tinggal itu.

“Tentu kita harus masuk ke sana agar mengetahui kebenarannya. Jika agen wanita yang melayanimu dulu itu ternyata penipu, kau harus segera melaporkannya ke polisi.”

“Tapi, sikap Nelson saat bertemu denganku pertama kali tidak terlihat kalau aku sedang ditipu. Aku menyangka kalau dialah yang membersihkan apartemnku sebelum aku menempatinya. Karena dia tahu kalau akulah yang akan menempatkan aaprtemen 508. Paling tidak, itu berarti, seseorang telah memberitahukannya.”

“Pria itu juga sama mencurigakan. Bisa saja mereka bekerjasama.”

“Menurutmu begitu? Si Cantik Nyonya Borden berkerja sama dengan si Tua Nelson? Kalau begitu aku akan ke sana. Kau di sini saja. Biar aku menyelesaikannya sendiri.”

David melepas sabuk pengamannya. “Tidak. Aku akan ikut denganmu.” Ia membuka pintu lalu beringsut ke luar.

Aku mengikutinya. Aku melihat ke kaca spion untuk melihat kendaraan di belakang sebelum membuka pintu. Setelah merasa aman, aku keluar. Belum sempat aku menutup pintu mobilku, David berteriak, “Awas, Mikky!”

Aku menyadari sebuah mini van di belakangku melaju cepat. Mobil itu melaju sangat ke kanan. Aku melompat masuk kembali ke dalam mobil dan menarik pintu mobilnya dengan cepat agar tidak terserempet. Keterkejutanku sama besar dengan suara berdebum dari pintu mobil yang menutup dengan kasar.

“Woi! Sialan!” Aku keluar sambil mengumpati mobil mini van hitam yang hampir menyerempetku. Orang itu benar-benar gila. Ia ngebut di tempat seperti ini. Jalanan menanjak. “Kau lihat, David. Orang itu menyetir dengan mata kakinya!” David tidak menanggapi, ia diam saja.

Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Sungguh aku tak menyangka akan mendapat peristiwa seperti itu. Orang itu benar-benar gila. Setelah menenangkan diri, aku segera menyeberang jalan. David mengekor di belakangku.

“Hampir saja,” gumamku.

“Iya. Ini sudah seperti film misteri saja. Saat-saat pemeran utama akan dicelakakan karena mengetahui sebuah kebenaran.” David lalu tertawa kecil dengan leluconnya sendiri.

Aku dan David berada di bawah anak tangga rumah merah tersebut. Aku mengedarkan pandanganku dan jatuh pada: jendela-jendela besar, pintu yang kokoh, dan plang nama. Aku sendiri bingung, apa yang sebenarnya sedang aku cari.

“Pintu rumah itu tidak akan terbuka sendiri. Kau harus menekan bel-nya, Mikky!” David sepertinya lelah melihatku ragu.

“Aku tahu.”

Aku harus menaiki lima anak tangga untuk benar-benar berada di depan pintu. Kemudian, aku menekan bel yang berada di sisi kiri. Suara berat seorang pria menjawab dari dalam. Tidak berapa lama, pintu terbuka dengan lebar. Seorang pria paruh baya berdiri di depanku. Rambutnya putih, wajahnya agak kurus. Tulang pipinya menonjol sekali. Ia menggunakan setelah jas yang rapi.

“Halo. Aku Benjamin Black. Mari masuk,” katanya dengan sopan dan berani. Ia bahkan tidak menanyakan siapa kami dan apa keperluan kami. Seolah-olah, pria itu telah menunggu kedatangan kami. Aku yakin, ia adalah orang yang memiliki tempat ini, namanya sama seperti tulisan plang di samping rumah. Namun, kalau aku ingat-ingat, suara Benjamin tidak seperti pria yang menjawab teleponku tadi. Mungkin yang menjawab teleponku saat itu anak buahnya.

Aku mengikuti Benjamin dari belakang, begitu pula dengan David. Benjamin langsung membawa kami ke ruang tengah.

“Silakan duduk. Kalian ingin segelas teh? Kebetulan aku sedang memanaskan air,” katanya sambil tersenyum.

“Terima kasih. Jika hal itu tidak merepotkan,” jawab David.

“Tentu tidak.” Benjamin kemudian pamit sebentar ke dapur.

Ruangan itu tidak terlalu besar. Mungkin 4x4 meter. Dari pintu depan, aku hanya perlu berjalan menyusuri lorong kecil lalu berbelok ke kiri. Dindingnya dipenuhi foto-foto kegiatan Benjamin Black: Benjamin yang sedang memancing, Benjamin mengikuti rapat, Benjamin di dalam persidangan, dan sebuah foto besar Benjamin. Aku merasa bangunan itu tidak seperti kantor, malah benar-benar mirip rumah tinggal. Mungkin, rumah yang dijadikan kantor. Aku jadi teringat Sherlock Holmes. Benjamin tinggal di 102 Old Harbor, ketukannya cukup serasi dengan 221B Backer Street.

Dari sini, aku bisa melihat jendela besar di belakang sofa coklat yang ditempatkan hampir menyentuh jendela itu. Jalan raya Old Harbor yang menanjak terlihat jelas. Aku juga bisa melihat mobilku dari sini. Jika Benjamin berada di sini tadi, ia telah tahu kedatangan kami.

Meja kayu mahoni setinggi lutut menjadi pusat ruangan tersebut. Meja itu hanya berupa akar mahoni yang bagian atasnya diratakan lalu diplamir dan dipernis. Sepertinya dipesan khusus karena meja itu sangat senada dengan warna sofa coklat.

“Ada yang bisa kubantu tuan-tuan?” tanya Benjamin yang datang dengan tiga gelas bening di atas nampan dan sebuah teko keramik. Dua kotak kecil yang berada dalam nampan kutebak berisi gula. Setelah meletakkan nampan di atas meja mahoni, Benjamin duduk di sofa yang berada di seberang meja. “Anak buahku sedang keluar sebentar, jadi sementara waktu hal-hal seperti ini aku lakukan sendiri.”

“Tidak masalah, Sir. Aku pribadi sangat terkesan,” jawab David. David selalu bisa diandalkan untuk membuat suasana menjadi cair. Terbukti, Benjamin tersenyum mendengar jawaban David.

Akan tetapi, aku langsung mengambil peran. Aku tidak punya banyak waktu dan juga lelah menahan rasa penasaran. “Aku mohon maaf, Tuan Black—“

“Benjamin saja,” potong pria itu. Tampaknya ia ingin langsung mengakrabkan diri.

“Oh, tentu saja. Jadi, begini ... Benjamin. Aku Mikky dan teman di sampingku ini David. Langsung saja. Kami tidak datang untuk keperluan hukum. Kami hanya ingin sedikit bertanya tentang bangunan yang Anda sewa ini.” Aku menjelaskan dengan singkat.

“Ada apa dengan bangunan ini? Apa yang menarik bagi Saudara berdua?” Benjamin melihatku dengan sorot matanya yang teduh. Tebakan David sebelumnya bahwa bangunan ini adalah adalah milik pengacara yang memulai usahanya sepertinya salah total. Benjamin pastilah bukan pengacara baru, mengingat usia dan caranya menghadapi kami. Ia tenang sekali.

“Sebulan yang lalu aku pindah ke apartemen yang dikelola sebuah perusahaan perumahan. Nyonya Borden—agen yang mengurusku—memberikan kartu nama yang beralamat di sini.” Aku menjelaskan sesingkat mungkin.

Pria tua itu mengangguk-angguk kecil, “Oh, jadi saudara yang mencari-cari Nyonya Borden itu?” 

“Benar, Tuan.”

“Menarik. Tapi mari kita nikmati teh terlebih dahulu.” Benjamin lalu menuangkan teh ke dalam gelas kami, menanyakan jumlah gula yang kami inginkan lalu mengaduknya. Kemudian, ia menyerahkan gelas padaku dan David dengan sopan.

“Apakah sebelum Anda tinggal di sini, seseorang pernah menyewanya?” lanjutku. Aku menyeruput teh itu, masih panas ternyata.

“Ini kantorku, Mikky. Aku telah berkantor selama 15 tahun di sini. Tempat ini cukup strategis bukan? Jadi buat apa aku menyewakannya?”

Benjamin benar. Pengusaha yang mengandalkan layanan jasa sangat bergantung pada lokasi dan alamat. Mereka tidak bisa sembarangan untuk pindah tempat. Aku terdiam. Ini benar-benar masalah.

“Sepertinya kau butuh bantuan hukum sekarang. Kau sepertinya mempunyai masalah dengan pengelolamu. Atau kau sedang kena tipu?” Benjamin langsung mengungkapkan inti masalah.

Aku menatap pria kurus itu lebih dalam. “Anda yakin tidak pernah menyewakan tempat ini, Tuan Black?” tanyaku sekali lagi.

Pria itu tersenyum. “Tentu saja. Aku memang sudah cukup tua, tapi tidak kehilangan ingatan. Aku mengandalkan pikiran dan ingatan untuk mencari nafkah.”

Aku melihat ke arah David. Ia mengendikkan bahunya. Ini menjadi semakin rumit. Artinya, aku harus mencari tahu siapa sebenarnya pemilik apartemen itu. Aku harus bicara dengan Nelson.

“Kita sudah berada di kantor pengacara. Tidak ada salahnya kau menceritakan masalahmu padanya,” kata David.

“Tentu. Aku gratiskan nasihat hukum yang bisa aku berikan pada kalian. Firasatku mengatakan ini akan menarik sekali.” Benjamin malah menyambar saran David dan menambahkan tawaran yang menggiurkan.

Aku diam cukup lama, mempertimbangkan semua sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bercerita pada Benjamin. Aku pun mulai menceritakan dari awal kepindahanku, lampu yang berkedip-kedip sampai kartu nama Nyonya Borden yang beralamat di rumah Benjamin. Namun, aku tidak bercerita tentang Yui. Aku rasa itu terlalu pribadi dan tidak ada hubungannya dengan masalah apartemenku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status