Share

Chapter 4

Aku berusaha mati-matian agar mataku memejam, tetapi tidak berhasil. Padahal, seluruh sendiku terasa berkarat: rasanya pegal dan letih. Akan tetapi, hingga beberapa jam setelah masuk ke kamar, aku masih terjaga.

Menyebalkan sekali.

Untunglah besok akhir pekan. Tidak masalah kalau aku harus bergadang malam ini. Aku bisa membalaskan dendamku esok siang. Namun, aku tetap berharap bisa tidur sejenak.

Setelah memutuskan keluar kamar, aku berpikir sekaleng bir sepertinya ide yang bagus. Siapa tahu alkohol bisa membuatku rileks dan mengudang rasa kantuk. Aku mengambil sekaleng bir di kulkas lalu melangkah menuju jendela yang mengarah ke taman. Kemudian, menyandarkan bahuku di dinding samping jendela sambil memandangi mainan anak-anak di taman itu.

Mataku tak bisa lepas dari bangku taman. Tod dan teman wanitanya duduk di sana sebelum menghilang. Rasa penasaran pada wanita yang bersamanya diam-diam memenuhi pikiranku. Aku tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas sehingga rasa penasaran itu makin besar. Aku ingin tahu, kenapa Tod bisa begitu posesif.

Mendadak lampu penerangan di atas bangku taman berkedip-kedip. Secara spontan, aku menoleh pada lampu ruang tengah untuk memastikan apakah lampu itu akan mengalami hal yang sama. Namun ternyata, lampu tengah tidak terpengaruh sama sekali.

Aku sedikit menggerutu, menyalahkan pengelola yang lambat. Lampu taman yang bekedip-kedip membuatku menyadari bahwa masalah listrik sudah menjangkit ke lingkungan sekitar apartemen.

Saat menoleh kembali ke bangku taman, aku melihat seorang gadis sedang duduk di bangku itu seorang diri. Ia menatap lurus ke depan sehingga aku hanya bisa melihat pucuk kepalanya dari jendela. Namun, aku tahu, rambutnya pirang dan panjang.

Dari atas gadis itu persis wanita yang bersama Tod. Kenapa ia kembali ke taman?

Kilas terang lampu yang berkedip membuatku bisa menangkap citra gadis itu. Seperti yang aku katakan sebelumnya, ia berambut panjang, rambutnya  berwarna pirang. Pakaiannya masih sama seperti saat bersama Tod tadi. Ia mengenakan baju polkadot dengan rok mini.

Tiba-tiba lampu taman menyala terang. Gadis itu terlihat lebih jelas. Bandana birunya terlihat janggal dengan baju polkdot dan rok mini yang ia pakai. Ia seperti terlalu berusaha terlihat muda.

“Mendongaklah. Aku ingin melihat wajahmu,” kataku dalam hati. Permohonan yang konyol akibat terlalu penasaran. Padahal, aku berada di lantai lima dan tidak mungkin melihat wajah seseorang dengan jelas. Jaraknya terlalu jauh dan ini malam hari.

Oh, Tuhan.

Aku terkesiap karena gadis itu tiba-tiba mendongak. Ia seakan-akan mendengar isi hatiku. Apalagi, aku merasakan bila ia benar-benar menatap ke arahku dan bukan sedang mendongak bebas ke atas langit. Aku berani memastikan hal itu karena bibirnya sedang melengkung. Gadis itu tersenyum kepadaku.

Jantungku langsung berdebar lebih kencang. Aku sampai bisa mendengar suara berdegubnya. Sebelum aku bisa menenangkan diri, telepon apartemenku seketika berdering. Aku terperanjat.

Susah payah aku menenangkan diri dengan mengatur helaan napasku baik-baik. Sambil mengumpat, aku berjalan menuju telepon yang berada dekat konter dapur. Sebelum ke tempat itu, aku menyempatkan diri menoleh ke arah bangku taman. Wanita di tempat itu sudah tidak ada lagi.

Telepon terus berdering.

 “Halo!”sapaku.

“Mikky. Jangan buka pintumu! Jangan buka pintumu!”Ini kali pertama aku mendengar suara menggelegar itu dari seberang sambungan. Akan tetapi, aku sudah yakin bahwa itu suara Nelson. Ia setengah berteriak dengan nada ketakutan.

“Nelson? Apa itu kau?” tanyaku. Aku sempat tercekat karena tiba-tiba lampu apartemenku berkedip-kedip. Penjaga tua itu harus segera melakukan sesuatu untuk memperbaiki listrik sialan ini. Aku sudah mulai bosan. “Nelson. Tukang listrik itu harus segera memperbaiki masalah lampu ini. Lampuku kembali berkedip-kedip. Dan, untuk apa kau menelepon selarut ini?”

“Mikky. Demi Tuhan, kau pria baik. Jangan buka pintumu! Jangan buka pintumu!”

Pria itu mengabaikan ucapanku. “Kau mau membalasku?” Aku yakin Nelson ingin membalasku karena masalah tadi. Ia masih menyangka bila aku mengerjainya. “Aku tidak pernah berniat mengerjaimu, Nelson. Berapa kali harus kukatakan?”

Ia tidak menjawab. Aku menunggu suara cekikakan atau suara terbahak yang keras, tetapi ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Apa ia benar-benar sedang ketakutan?

Lampu apartemenku masih berkedip-kedip. Mendadak, aku mendengar suara pintu dibuka disusul suara pintu dibanting, lalu suara benda diseret. “Nelson. Mungkin cucu wanita tua di sampingku membutuhkan pertolongamu. Sepertinya dia akan memindahkan neneknya.”

“Dia tidak memiliki cucu, Mikky. Itu Nyonya Orsey.”

“Siapa itu Nyonya Orsey?” tanyaku cepat.

“Bodoh! Tentu saja nenek tua yang berada di kantorku saat kau datang, Mikky. Siapa lagi? Jangan buka pintu untuknya kalau kau masih ingin hidup.” Penjaga tua itu benar-benar berusaha keras mengerjaiku.

Ia tidak sadar sedang bertingkah sangat konyol. Bagaimana bisa seorang nenek lumpuh bisa keluar seorang diri dari apartemennya? Penjaga tua itu tidak bisa membedakan kapan harus serius dan bercanda. “Ini sama sekali tidak lucu. Sebaiknya kau segera naik ke lantai atas. Cucunya akan memindahkan neneknya. Mungkin kursi rodanya sedikit bermasalah. Sebaiknya kau membantunya, Nelson.”

Nelson tidak menjawab. Bersamaan dengan hilangnya suara benda yang diseret, aku mendengar seseorang mengetuk pintu apartemenku.

“Hello!” Seseorang memanggil dari luar pintu. Itu pasti cucu Nyonya Orsey karena suaranya seperti gadis muda. Aku yakin, ia sempat menelpon Nelson, tetapi karena salurannya sibuk dan ia tidak ingin menunggu, ia memilih mengeluarkan neneknya sendiri.  

“Dengar Nelson, cucu Nyonya Orsey meminta bantuanku. Dia sedang berdiri di depan pintuku sekarang. Kau membuat saluranmu sibuk. Aku pergi dulu.”

Sebelum aku menutup telepon, aku masih masih mendengar Nelson berteriak, “Jangan buka pintunya!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Binar Senja
hhhhhh, mendebarkan ceritanya. ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status