Share

Chapter 6

Aku bangun terlalu siang. Weker di samping tempat tidurku menunjukkan pukul dua. Kepalaku berdenyut-denyut, seolah-olah seribu paku kecil menusuknya bersamaan, Aku membuka laci di samping kasur, mengambil sebutir aspirin, lalu langsung menelannya. Semoga obat itu bisa meredakan sakit kepalaku dengan cepat.

Dengan gontai aku berjalan menuju pintu dan agak terkejut karena pintu ternyata terkunci. Aku termenung sejenak sebelum mengingat bahwa tadi malam aku mengunci pintu kamar ini. Seorang gadis asing menginap. Namun, ketika membayangkan orang asing yang aku maksudkan dan menyadari bahwa aku bisa melewati malam dengan aman, aku merasa seperti pria bodoh. Tadi malam—mengunci pintu kamar—aku anggap sebagai keputusan yang tepat. Mungkin aku bisa mengelak dengan mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak aku kenal berada di luar kamarku dengan koper besar yang aku tidak tahu apa isinya. Tubuh Yui memang kecil tapi aku tidak ingin menebak benda yang dibawanya di dalam kopernya yang berat itu. Namun, sekarang hal ini terlihat begitu menyedihkan. Aku seperti seorang pria pengecut yang takut pada kecoa.

“Selamat pagi!” sapa Yui tanpa menoleh. Aku meliriknya sebentar sebelum mengambil botol air di kulkas. Pinggangnya yang kecil dan ramping dililit celemek biru. Kaos putih berada di balik celemek yang ia gunakan. Itu celemek milik Cataherine. Aku ingat menyimpannya di salah satu laci di konter dapur. Mungkin Yui menemukannya di sana. Gadis itu terlihat seperti seorang remaja yang sedang belajar memasak. Maksudku, tinggi badan Yui dan tinggi konter dapur yang hampir setara. Ia mungkin sedang menggoreng telur.

“Aku hanya bisa melakukan hal ini karena dompetku hilang. Jadi, bahan-bahannya aku ambil dari kulkasmu. Aku harap kau tidak keberatan,” kata Yui sambil sesekali menoleh ke belakang.

Tentu aku tidak keberatan.

“Apa yang kau masak?” tanyaku sambil berjalan menuju sofa dan merebahkan badanku di sana. Aku menyalakan televisi, tetapi tidak membesarkan suaranya. Entah, apa memang aku berniat ingin menonton atau tidak.

“Omlet. Aku harap kau menyukainya,” sahutnya. Suara terdengar cukup riang. Pantas saja ada bau telur, pikirku.

Aku juga bepikir kalau Tod adalah pria paling bodoh di dunia. Pria itu meninggalkan seorang wanita seperti Yui? Apa yang dilihat oleh pria tolol itu pada wanita yang bersamanya di taman selain rambut pirang dan badan yang tinggi? Dasar dangkal.

Yui mengingatkanku pada Catherine. Mantanku itu juga suka memasak. Catherine juga tidak sejangkung pacar Tod yang baru, tapi juga tidak sependek Yui. Aku pikir Yui dan Catherine memiliki sedikit kesamaan.

Aku menatap punggung Yui. Dulu, di saat seperti ini, aku akan menyelinap pelan-pelan di belakang Catherine lalu memeluknya. Aku akan menyusupkan tanganku ke balik celemeknya dan memelukknya dengan erat. Ia akan menggeliat di dalam pelukanku dan mengeluarkan suara yang seksi. Setelahnya, aku akan menghujani lehernya dengan ciuman.

Yui menoleh sebentar, mungkin ia merasa jika aku memperhatikannya.

“Aku jarang memasak di rumah. Aku biasanya memesan,” kataku. Aku tidak ingin ia berpikir aneh-aneh karena merasa aku memerhatikannya.

“Aku bisa melihatnya. Dapurmu sangat bersih.”

“Sudah berapa lama kau di Amerika?”

 “Aku lahir di sini. New Hampshire. Nenekku pindah sejak lama. Ibuku lahir di Jepang, sedang ayahku Amerika.”

“Kau pasti terlihat sangat mirip ibumu?”

“Ya, kau benar. Secara fisik. Tapi seperti katanya, aku sebodoh ayahku. Maksudku untuk masalah Tod. Sebenarnya bukan itu saja. Kuliahku, hidupku, pergaulanku ... masa depanku. Entahlah. Nenekku bahkan mengatakan bahwa aku adalah contoh yang sempurna untuk menunjukkan kegagalan Asia di Amerika. Jadi, mungkin sekarang kau cukup mengerti kenapa Tod penting bagiku.”

Sedangkan Tod mengabaikanmu, kataku dalam hati.

***

Omlet buatan Yui merupakan omlet paling enak yang pernah aku rasakan. Meskipun pengalaman mencicipi omlet bukan salah satu yang bisa aku andalkan, aku berani menjamin hal itu. Jika gadis itu selama seminggu ke depan membuatkan omlet sebagai sarapan pagi, makan siang, dan makan malam, aku sangat yakin tidak akan bosan. Yui koki yang bisa diandalkan.

Setelah menggosok gigi dan mengganti baju, aku berniat keluar. Selain ingin membeli beberapa keperluan, aku juga ingin menghirup sedikit udara segar. Aku pikir hal itu baik untuk kepalaku meskipun sudah tidak sepening tadi. Mungkin, itu hanya gara-gara kurang tidur.

“Aku akan keluar sebentar. Kau mau ikut?” tanyaku pada Yui. Gadis itu sedang menonton televisi. Aku melirik ke arah dapur, seluruh piring kotor telah dicuci. Namun, wajan teflon masih teronggok di pancuran cuci piring.

“Maaf, aku masih merasa lelah. Aku perlu mandi juga. Aku belum mandi dari pagi kemarin. Tidak apa-apa kan kalau aku menggunakan kamar mandimu?” Yui balik bertanya.

“Tentu, tidak apa-apa. Kau mau menitip sesuatu?”

Yui tersenyum. “Kalau tidak merepotkan, bisakah kau membelikanku Vernors?”

“Ada yang lain?” Aku tidak akan keberatan bila gadis itu menitipkan barang yang lebih pribadi untuk dibeli. Aku terbiasa membelikan barang kebutuhan wanita untuk Catty.

“ Tidak, terima kasih. Itu saja sudah cukup.”

“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu.”

Yui berdiri, hendak mengantarku ke pintu, tapi aku mencegahnya. Kurasa itu berlebihan. Aku kemudian meninggalkan Yui di apartemen. Mungkin dengan begitu, ia memiliki sedikit privasi.

Aku keluar dari lift dan menemukan lobi yang kosong. Nelson hanya berjaga setelah gelap. Siang begini, tidak ada siapa pun di biliknya. Bukahkah seharusnya pengelola memperkerjakan seorang penjaga di siang hari? Akan sangat merepotkan jika ada keperluan. Aku sebaiknya bicara dengan pengelola untuk masalah ini.

Aku melewati taman bermain. Siang ini cerah dan hangat. Taman kecil itu penuh dengan anak-anak. Suara mereka yang ramai membuatku tenang. Aku jadi menyadari bahwa semuanya masih berjalan normal.

Tidak ingin tergesa-gesa ke minimarket, aku menyempatkan diri duduk di sebuah bangku di pinggir taman. Aku sudah tinggal cukup lama di lingkungan ini tapi belum pernah menikmati taman ini dengan benar. Aku edarkan padangan ke segala penjuru. Di dekatku, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir berusia sekitar tiga tahun berkejaran dengan anjingnya. Ayah anak itu mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Di sisi timur, aku mengasihani jungkat-jungkit yang malang. Kedua ujungnya diisi masing-masing dua anak perempuan. Salah satu gadis menunjuk-nunjuk pada kawannya yang agak gendut. Temannya sudah pasti menganggapnya biang masalah karena menyebabkan jungkat-jungkit itu tidak bergerak semestinya. Kotak pasir juga penuh dengan anak-anak yang membawa ember dan sekop plastik.

“Yeeeuh. Tai anjing!” Seorang anak berteriak. Yang lain menertawakannya. Seorang wanita dewasa bergerak cepat. Ia mendekati anak tersebut lalu memasukkan kotoran itu ke dalam sebuah plastik. Wanita itu segera menuju tempat sampah.

Itulah kenapa aku tidak memelihara anjing. Jika kau memiliki anjing dan mau mengajaknya berjalan-jalan keluar, kau harus membawa sebuah plastik kecil dan penjepit kotoran. Kau tidak bisa membiarkan anjingmu membuang kotorannya sembarangan. Anjingmu adalah tanggung jawabmu, termasuk kotorannya.

Suasana itu membuatku agak melankolis. Aku juga pernah bermimpi memiliki anak. Sepasang: lelaki dan perempuan. Jika menjadi ayah, mungkin aku akan mirip seperti pria yang mengawasi anaknya itu. Aku akan membiarkan ia bebas bermain dan belajar dari sekelilingnya dan juga pengalaman. Seperti ayahku. Dulu, aku berharap mewujudkan mimpi itu bersama Catherine. Namun, sekarang ia telah pergi.

Aku tersentak dari lamunanku karena merasa di kejauhan seperti melihat Tod. Meskipun sosoknya tidak terlihat jelas, aku merasa cukup yakin. Bentuk tubuh dan kepalanya yang botak benar-benar seperti Tod. Orang-orang yang berkelintaran di depan pria itu membuatku susah untuk memastikan. Apa ini efek aspirin? Apa aku berhalusinasi lagi? Pria berotot mirip Tod berdiri di bawah pohon elm yang teduh. Ia memandang lurus ke arahku.

Aku berdiri, “Hei, Tod!” Aku berharap ia mendengar.

Aku langsung berjalan dengan cepat untuk melintasi taman. Sebenarnya, aku ingin berlari. Namun, aku takut menabrak salah satu anak yang sedang bermain.

Meski hanya berjalan, aku hampir menabrak bocah kecil tiga tahun yang bermain dengan anjingnya. Aku terlalu tergesa-gesa.

“Hei. Lihat jalanmu,Bung!” Ayah anak itu berteriak padaku.

“Maaf, Sir!” Aku tidak ada waktu untuk meladeni pria itu. Aku terus saja berjalan melintasi taman.

 Saat aku melintasi bak pasir, debu pasir tiba-tiba terbang ke wajahku. Sekilas aku melihat seorang anak menutup mulutnya.

 “Ups, maaf!”

Aku terlambat melindungi wajahku. Sepertinya, ada pasir yang masuk ke dalam mataku. Aku menunduk sambil menggosok-gosoknya dengan ujung lengan kardigan. Mataku berair. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, seperti agak berbayang. Aku kembali melihat ke arah Tod. Meskipun tidak jelas, aku yakin dia masih berdiri di sana, di bawah pohon elm.

Setelah penglihatanku agak lumayan, aku segera berjalan kembali menuju Tod. Namun, setelah sampai di sisi itu—dimana Tod berdiri sebelumnya—aku tidak menemukan siapa-siapa.

Aku menyapukan pandangan ke seluruh tempat itu mencari keberandaannya. Pada seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari pohon elm itu, aku menanyakan Tod.

“Aku tidak melihat siapa-siapa di sana. Maksudku, mungkin ada yang pernah berdiri di sana tapi aku tidak memperhatikan. Tapi, aku cukup yakin, tidak ada siapa-siapa sejak tadi,” kata wanita itu.

“Terima kasih, Mam. Semoga harimu menyenangkan.” Aku berlalu.

Aku pikir kejadian aneh ini telah berhenti. Kejadian ini benar-benar membuatku makin frustasi. Apakah tadi benar Tod? Jangan-jangan ia dan Nelson bekerjasama untuk mengerjaiku. Mereka akan menjadi pasangan yang sempurna. Tod merasa aku akan menjadi pesaingnya dan Nelson salah paham, mengira aku mengerjainya. Mereka berdua memiliki motif.

Jangan-jangan, suara yang aku dengar tadi malam dari lorong adalah suara Tod. Ia bersembunyi dari Yui; Membiarkan gadis malang itu kebingungan. Ini benar-benar membuatku kesal.

Aku akhirnya pergi ke Rotary Variety. Pemilik minimarket itu bernama Watson Blank. Sepertinya, aku sudah mengatakan sebelumnya. Ia pria yang suka mengobrol. Berdasarkan ceritanya, ia termasuk orang lama di lingkungan ini. Ia mengatakan bahwa ia mengenal pemilik gedung apartemenku dan juga Nelson. Sayangnya, ia tidak pernah mengatakan nama pemiliknya.

“Nenekmu sedang berkunjung?” tanya Watson setelah menerima keranjang berisi belajaan di meja kasir.

Watson Blank adalah pria Amerika pendek dengan tubuh tambun. Bukan sesuatu yang ganjil karena obesitas menjadi salah satu masalah negara ini. Yang menarik dari Watson selain keramahannya adalah bola matanya yang berwarna abu-abu. Ia bilang, itu warisan terbaik dari nenek moyangnya yang berasal dari Jerman. Namun, anehnya, namanya sendiri sangat Amerika.

“Apa maksudmu?” Aku bingung apa yang sebenarnya Watson maksudkan.

Dia mengangkat pesanan Yui. “Vernors?”

“Bukan. Itu pesanan orang. Seorang gadis ... ah lupakan. Eh, ngomong-ngomong, apakah kau melihat Tod beberapa waktu belakangan ini?”

“Tod?” Watson tampak kebingungan.

“Penghuni gedungku juga. Pria Irlandia besar berotot. Berkepala botak.”

“Oh, Maksudmu Horgan? Tod Horgan?”

Aku mengangguk. “Ya benar, dia.”

“Yeah. Beberapa hari ini aku tidak melihatnya. Ada masalah, Mikky? Waktu itu aku melihatmu dengannya di lorong rak. Aku pikir kalian tidak akrab.”

Aku mendengkus. Pastilah orang lain akan melihat hal ini sedikit aneh. Aku tidak akrab dengan Tod tapi mencari-carinya.

“Aku pikir kau melihatnya. Aku memiliki sedikit urusan dengannya. Jika kau tidak pernah melihatnya, tidak apa-apa. Abaikan saja. Anggap saja aku tidak pernah bertanya. Berapa semuanya, Tuan Blank?”

Watson lalu menyebutkan jumlah yang harus aku bayar. Ia memasukkan semua belanjaanku ke dalam paperbag. Saat aku mendorong pintu untuk keluar, Watson berkata, “Mikky! Sebaiknya kau jangan berurusan dengan Tod.”

Aku mengangguk, lalu segera pergi dari tempat itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status