Share

Bab 7

Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi.

"Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili.

Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi.

Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing.

Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu.

"Ada apa?" tanya Binar hati-hati.

"Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai.

"Ooh." Binar hanya mengangguk.

"Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada salahnya di mata dia. Tapi nanti kamu akan terbiasa. Yang penting jangan membantah. Kalau dimarahin, dengerin aja, tapi segera perbaiki," jelas Mili.

"Oke." Binar mendengarkan penjelasan rekan kerjanya itu dengan serius. Mendadak dia tidak yakin akan bisa melakukan segala sesuatu secekatan Mili.

Dia memperhatikan Mili sudah sangat lihai dalam pekerjaannya. Sambil ngobrol, dia bisa melakukan apa saja dengan sesuatu di depannya, termasuk ngemil makanan ringan yang disembunyikannya di salah satu file cabinet di atas mejanya. Tingkah gadis itu memang sangat lucu, tapi terlihat sekali dia sangat smart.

"Eh Binar, sebelum di sini kamu kerja dimana sih?" Tiba-tiba Mili mengajaknya ngobrol lagi. Mulutnya bahkan masih penuh dengan makanan, sementara jari-jarinya sibuk di keyboard komputernya.

"Nggak kerja kok, udah lama. Di rumah aja ngurusin anak," jawab Binar lirih.

"Hah?!" Mili nyaris tersedak mendengar jawaban itu. Saking kagetnya, sampai-sampai beberapa file yang tadi ada di atas mejanya jatuh berserakan di lantai akibat gerakan tangannya yang refleks.

"Anak?" Dahi Mili berkerut parah, menatap Binar tidak percaya setelah selesai membenahi barang-barangnya.

"Iya, Mil. Ada apa memangnya?"

"Kamu sudah punya anak? Sudah menikah, gitu maksudnya?"

"Iyaa … memangnya kenapa sih, Mil?" Binar yang melihat reaksi berlebihan Mili, justru dibuat penasaran.

"Astagaaa!" Mili meletakkan berat tubuhnya ke sandaran kursi kerja dengan salah satu tangan menepuk dahi. "Jadi gosip itu benar?" gumamnya kemudian, seperti sedang bertanya pada diri sendiri.

"Gosip? Gosip apa, Mil?" Binar nampak sangat kebingungan dengan pernyataan Mili.

"Gosip kalau kamu punya hubungan spesial dengan big bos. Itu benar kan?" tanya Mili serius.

"What?" Kali ini ganti Binar yang kaget luar biasa. "Hubungan? Hubungan apa maksudnya? Aku aja belum pernah ketemu sama bos kok."

Oops! Binar buru-buru menutup mulut dengan telapak tangannya. Tiba-tiba dia takut salah ucap.

"Jangan bercanda kamu, Binar!" Mili menatapnya penuh selidik.

"Ya Tuhan, Mil. Beneran, aku nggak ngerti kamu ini sedang ngomongin apa?"

Mili sebenarnya ingin menertawakan rekan kerja barunya itu, tapi melihat ekspresi wajah Binar yang kebingungan, Mili merasa wanita di sampingnya itu sangat jujur. Sepertinya dia bukan seperti yang dituduhkan orang-orang. Tapi, bagaimana mungkin orang se-biasa Binar bisa bekerja di tempat ini? Di bagian yang selalu dianggap VIP oleh karyawan lain ini?

"Dengar ya, Binar! Semua yang ada di ruangan ini tuh, kita semua single lho. Gak ada yang berkeluarga. Karena memang seperti itu syarat untuk kerja di sini. Khusus di ruangan ini maksudku," jelas Mili kemudian, masih dengan nada berbisik. Mulut Binar langsung membulat mendengarkan penjelasan Mili.

"Jadi benar, ini pasti ada kesalahan, Mil. Aku sudah bilang dari awal sama orang HRD tadi bahwa mungkin ada yang salah, karena aku sebenarnya tidak melamar untuk posisi sekretaris. Aku kirim aplikasi untuk staf administrasi." Kali ini Binar mencoba menjelaskan dengan sangat detail. Tentu saja dia juga harus berbisik karena tak ingin orang lain di ruangan itu mendengar percakapan mereka

"Are you sure?!" Mili menatap rekannya lekat, mencoba mencari kepastian atas pernyataannya. Ini fakta yang membuat Mili benar-benar tercengang.

"Yes, sure."

"Oh My God. Apa-apaan ini?" Kepala Mili mendadak jadi berputar-putar. Ini benar-benar tidak wajar. Binar sudah menikah dan punya anak, tapi dia dimasukkan ke dalam jajaran sekretaris yang salah satu syaratnya belum menikah, apalagi punya anak. Lalu tiba-tiba Binar bilang bahwa dia bahkan tidak melamar untuk posisi sekretaris. 'What the h*ll?' umpat Mili dalam hati.

"Kamu sudah komplain ke HRD?" tanya Mili kemudian.

"Sudah. Dan katanya tidak ada yang salah."

Sejenak keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.

"Okay, okay. Ya sudah, gini saja. Kayaknya mulai sekarang kamu nggak perlu lagi deh menyebutkan ke orang-orang bahwa kamu sudah menikah, Bin. Apalagi kalau kamu cerita sudah punya anak. Cukup aku saja yang tau. Okay?"

"Loh kenapa memangnya?" Binar makin penasaran dibuatnya.

"Sudahlah, nurut aja apa kataku. Daripada gosip yang beredar jadi makin nggak karuan. Oke?"

"Nggak mau jelasin dulu kenapa aku harus begitu, Mil?"

"Aku juga nggak tau. Tapi aku rasa itu yang terbaik buat kamu, Bin. Lebih baik keep silent 'bout your status walaupun Bu Gemma pastinya udah tau lah. Dan mulut dia itu ... you know, ember. Tapi yang penting kamu cukup diam aja, jangan melebarkan gosip. Got it?"

"Okay." Sedikit ragu, tapi Binar mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Dia sebenarnya sama sekali tidak mengerti apa maksud dari semua yang dibicarakan Mili. Tapi dari matanya, Mili tampak sangat tulus bersahabat dengannya. Dan Binar pikir, mungkin niat gadis itu memang baik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andrea RaffLesia
Nice...but too short hopefully masih berlanjut ya ...... smangatz
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status