Share

Bab 3

Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri.

Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya.

Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini.

Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasanya paling match dengan baju itu.

Dalam ingatan wanita yang kini tengah menginjak 30 tahun itu, dress dengan setelan blazer pilihannya itu dulunya sepertinya sedikit longgar di badan. Tapi sekarang baju itu menjadi sangat pas sekali dipakainya. Sepertinya dia memang sudah bertambah gemuk saja.

"Sayang, mainan pesawat Aaron dimana sih?" tanya sebuah suara dari luar kamar. Dhimas Haninditya–sang suami–sudah terjaga beberapa menit yang lalu dan langsung berinisiatif mengajak bermain Aaron di ruang tengah, setelah dilihatnya Binar sangat sibuk pagi itu.

"Ada di kotak mainan kayaknya," sahut sang istri.

"Nggak ada, Sayang. Sudah kuperiksa di situ."

Binar segera menghentikan sapuan bedak di pipinya. Dahinya mulai berkerut, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya malam sebelumnya dia telah merapikan semua mainan anaknya dan memasukkannya ke dalam kotak. Kenapa Dhimas bilang tidak ada?

Hari itu Binar benar-benar sedang sangat terburu-buru. Rasanya tidak akan cukup waktu jika harus ikut mencari benda itu. Tangannya pun segera bergerak cepat memoles tipis lipstik berwarna nude di bibirnya yang ranum, sementara pikirannya sibuk mengingat-ingat keberadaan mainan anaknya.

'Ah iya!' Tiba-tiba dia memekik pelan. "Pesawatnya ada di kamar Aaron, Mas. Semalam dia bawa mainan itu pas mau tidur!" ucapnya dengan nada lega.

"Dimana, Sayang?" Dhimas yang rupanya tidak mendengar apa yang diucapkan oleh istrinya, segera melongokkan kepala ke dalam kamar. Tapi lelaki itu justru kaget saat melihat Binar yang sudah berdandan rapi dengan pakaian formalnya.

"Kamu mau kemana?" tanyanya penuh selidik. Tampak jelas ada raut tidak suka melihat istrinya sudah bersiap pergi sepagi itu.

"Maaf Mas, aku belum sempat kasih tau kamu. Habisnya semalam pas aku dapat email, kamu sudah tidur sih. Hari ini aku ada panggilan wawancara kerja. Jadi aku minta tolong kamu jagain Aaron sebentar ya?" pintanya penuh harap.

"Apa?! Kerja? Kamu ngelamar kerja?!" Raut kecewa langsung terpasang di wajah Dhimas.

"Maaf ya Mas, aku belum sempat bilang. Aku takut kamu nggak ngijinin. Makanya aku masih cari waktu yang tepat buat ngomong," katanya dengan muka memelas.

"Tentu saja aku nggak akan ngijinin kamu kerja, Binar! Kalau kamu kerja, terus Aaron gimana? Sama siapa? Memangnya belum cukup ya uang yang aku kasih ke kamu tiap bulan?" Dhimas terlihat mulai gusar.

"Bu-kan gitu, Mas. Cukup kok, uang yang kamu kasih itu cukup. Tapi kan kebutuhan kita makin hari makin banyak. Lagipula, aku nggak mau terus-terusan jadi beban orang tua kamu, Mas." Binar menatap suaminya dengan wajah yang sama ketika mereka membahas hal yang sama lagi berulang kali selama ini. Nelangsa.

"Jadi kamu keberatan nerima uang bantuan dari orang tuaku?" Dhimas menghela nafas panjang. "Itu kan hanya sementara, Binar. Setidaknya sampai aku dapat kerjaan lagi. Kamu kan bilang, kamu butuh uang buat belanja bulanan. Aaron juga butuh bayaran sekolahnya kan? Apa salahnya sih terima bantuan dari mereka dulu? Toh, mereka nggak keberatan bantu kita." Dhimas bersikeras.

"Iyaa, aku tahu Mas. Bapak sama ibu memang sangat pengertian. Tapi … plis, kamu juga tolong ngertiin aku. Aku nggak enak hidup kayak gini terus, Mas. Aku nggak mau keluarga kita terus jadi beban buat mereka."

Dhimas menarik nafas berat. Dia tahu, Binar memang selalu keberatan dengan pemberian dari orang tuanya, meskipun selama ini istrinya itu hanya berani mengeluh padanya saja. Tapi apa mau dikata? Dia sendiri sebagai kepala rumah tangga sedang tak memiliki pekerjaan, sementara kebutuhan rumah tangga tetap harus dipenuhi.

Dhimas bukannya tak berusaha mencari kerja. Bahkan entah sudah berapa banyak modal yang diperbantukan kedua orang tuanya untuk mendukungnya memulai usaha. Tapi semua yang dia lakukan selalu gagal. Entah apa yang salah dengan dirinya. Dia tak tahu kenapa begitu susah mencari pekerjaan untuknya beberapa tahun belakangan.

"Kita bicarakan ini nanti lagi aja ya, Mas? Sekarang aku buru-buru banget. Jadwal interviewnya jam setengah 9. Aku takut telat. Tolong jagain Aaron sebentar ya, Mas?" Binar bergerak cepat mencium punggung tangan suaminya, lalu mengecup kedua pipi lelaki itu setelah sebelumnya menyambar tas kerja dan map berisi resume yang sudah disiapkannya malam sebelumnya.

Dhimas yang masih belum siap dengan semua itu tampak hanya terbengong di tempatnya. Hingga saat akhirnya tersadar, lelaki itu pun setengah berlari mengejar sang istri sampai di teras rumah.

"Kalau gitu biar aku antar saja ya?" teriaknya pada Binar yang sudah berjalan hampir mencapai pagar.

"Nggak usah, Mas. Aku udah pesan taksi online kok. Tuh taksinya udah datang," tunjuk wanita berambut hitam lurus sepunggung itu pada sebuah mobil yang berjalan mendekat ke arahnya. Dhimas pun hanya bisa menelan ludah.

"Nitip Aaron sebentar ya, Mas?" teriak Binar sebelum akhirnya masuk ke dalam taksi online yang membawanya pergi. Dan Dhimas hanya menanggapinya dengan anggukan pelan yang hampir tak terlihat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status