Share

Nona CEO Looking for Love
Nona CEO Looking for Love
Penulis: Hayu Ayaka

1. Pergi ke Desa Nenek

“Kau yakin kan akan ke rumah Nenek untuk mencari jodoh. Nanti kau bukannya ke sana malah pergi liburan ke Eropa.”

Isyana mendengkus sebal. Pasalnya sang ibu tidak ada henti-hentinya dalam meragukan keseriusan Isyana. Dia sendiri yang meminta mencari jodoh, dia pula yang meragukan akan hal tersebut.

“Tentu saja Bu. Tenanglah, tidak perlu panik. Aku akan kembali dengan calon jodoh yang ibu idam-idamkan.”

Sukma hanya menghela napas. Berat juga melihat kepergian anaknya. Tapi ini yang ia inginkan. Usia Isyana sudah seperempat abad lebih. Tapi dia sama sekali belum memikirkan untuk menikah. Sementara saat pergi ke rumah mertuanya, Isyana dan juga dirinya harus mendapatkan sindirian keras dari Oma-nya.

“Ibu tenang saja. Aku baik-baik saja. Aku titip perusahaan ya. Kita akan lebih baik lagi dan lagi. Jangan pikirkan Oma. Biarkan saja perempuan tua itu berkicau.”

“Hussh.”

Sukma langsung menegur anaknya. Bukan sekali dua kali, anak itu mengolok-olok Oma-nya yang merupakan ibu dari Ayahnya sendiri. Anak itu tidak kenal rasa takut. Bahkan karena keberanian dia, hingga akhirnya memiliki banyak usaha yang berkembang lewat tangan dinginnya.

“Isyana, pergi dulu ya Bu. Ibu jaga kesehatan. Bye.”

Dengan menarik koper yang berisi pakaiannya, Isyana berlalu dari rumah yang dia bangun sendiri. Mobilnya sudah terparkir rapi di depan halamannya.

Tangannya melambai ke arah Sukma. Salam perpisahan untuk bertemu di lain kesempatan.

“Yosh, waktunya mencari jodoh,” ucap Isyana dengan semangat.

Sebenarnya jika ada pilihan, Isyana lebih memilih untuk kuliah strata dua, sembari mengembangkan bisnis rumahan yang saat ini sudah berkembang menjadi perusahaan multi nasional.

Setelah hampir sepuluh jam mengendarai mobil, Isyana tiba di sebuah desa di bawah kaki gunung Slamet. Udaranya cukup sejuk hingga dia memutuskan keluar dari mobil.

Jangan ditanya mengapa dia bisa sampai berkendara sejauh itu. Isyana merupakan perempuan tangguh yang terbentuk dari cacian orang-orang di sekelilingnya. Jangankan ke tengah pulau Jawa. Berkendara sampai menyebrang ke Bali saja dia pernah melakukannya, untuk mencari pelanggan dari usaha makanan ringan yang dia kelola.

Tidak heran, dalam waktu kurang dari tiga tahun dua cabang perusahaan, dan dua pabrik makanan ringan sudah dia pegang di dalam negeri. Serta satu cabang yang ada di Malaysia.

“Ini benar bukan sih alamatnya?” ucapnya sembari melihat sobekan kertas yang bertuliskan alamat rumah neneknya.

“Sepi banget. Ini desa. Tidak yakin gue bakal ketemu cowok tampan, idaman di sini!” keluhnya kesal.

“Awas Nona!”

Tin ... tin ... tin ....

Brak!

Sebuah motor bebek yang sudah cukup berumur menabrak mobil mewah yang sedang berhenti di depannya. Sang pemilik yang ternyata seorang perempuan, baru saja turun dan bersandar di badan mobil. Hingga dia tidak sadar ada seorang pemuda yang mengendarai motor dengan berlenggak-lenggok, berujung menabrak dirinya.

Hari ini memang sudah ketiga kali bagi Asher menabrak apa saja yang ada di depannya. Namun, kali ini kejadian terlihat begitu fatal.

Begitu mendekat Asher tidak mendapati siapa pun di dalam sana. “Duh ini mobil kosong toh. Alhamdulillah, tidak ada yang lihat,” ucap Asher sembari mengelus dada. Tapi seketika dia teringat dengan seorang perempuan yang tadi ada di hadapan matanya. Dia mengucek mata untuk memastikan tidak ada orang yang dia lihat.

“Tidak ada siapa-siapa. Apa tadi setan ya?” ucapnya perlahan.

“Tolong ....”

Kakinya disentuh sebuah tangan yang dingin. Bulu kuduk Asher merinding seketika. Terlebih ini merupakan jalanan sepi yang jarang dilalui warga.

“Ya Allah tolonglah hambamu!” Asher mengangkat kedua tangannya tinggi. Tidak lupa bacaan ayat kursi terlantun dari bibirnya.

Satu kali berdoa, cengkeraman aneh itu tidak kunjung lepas. Dua kali berdoa, Asher merapalkan ayat kursi dengan suara yang cukup keras.

Yang aneh, bukan lepas cengkeramnya, kedua kaki itu justru semakin berat. Kini resmi terasa ada dua tangan yang menggantung di pergelangan kakinya.

“Baca ayat kursi dua kali, dua tangan. Kalau baca yang ketiga, nanti jadi tiga tangan? Ih serem kali itu makhluk. Bukannya lari terbirit-birit malah menambah pasukan.”

Asher bergidik ngeri. Bulu kuduknya sudah pesta pora di atas kulitnya. Dia begitu takut saat ini. Terlebih cengkeraman kuat di bawah sana semakin memperberat beban tubuhnya.

“Goublog, tangan gue cuma dua. Cepetan tolongin.”

Terdengar suara perempuan yang cukup keras. Asher sampai celingukan mencari sumber suara.

“Siang hari bolong, ada setan di mana sih ya?”

Tidak tahan dengan monolog yang dilakukan Asher, Isyana menggoyang-goyang kaki pemuda itu. Dia begitu kuat menggoyangkan kakinya dengan harapan pemuda itu melihatnya segera. Tubuhnya sudah amat bau air kubangan yang dia masuki tadi.

“Ya Allah gempa bumi. Tolong!” teriak Asher yang begitu ketakutan. Semenjak pindah ke Indonesia, pikirannya mulai dipenuhi hal-hal mistis. Asher berniat melarikan diri tapi kakinya begitu berat. Makhluk yang menempel padanya pasti menginginkan tumbal untuk disantap.

“Tolong, saya masih muda. Baru saja dua puluh enam tahun. Belum menikah. Ibu lagi sakit-sakitan, ditinggal Daddy. Tolong ya Allah.”

Isyana tidak tahan untuk memegang kaki Asher. Dengan tenaga yang melemah, dia menarik kaki itu. Bermaksud untuk naik ke atas dengan segera. Tapi sayangnya, pijakan yang dilakukan Asher tidaklah kuat. Pemuda itu justru tertarik ke bawah.

“Ah ...!”

Asher menindih satu tubuh di bawahnya. Dia begitu takut saat melihat semburat marah dan sakit yang datang bersamaan.

“Nona manusia?” tanyanya dengan begitu polos.

“Bukan. Gue macan!” sahut Isyana dengan kesal.

Sudah dandan cantik mengikuti nasihat ibunya mencari cinta sejati ke desa tempat neneknya, justru dia malah diragukan kemanusiaannya. Bagaimana mau dapat jodoh jika begini adanya. Baru bertemu satu orang, sudah kesialan yang dia dapatkan.

“Aih sejak kapan di desa ini ada macam?”

Isyana mendengkus sebal. Dia mendekatkan dahinya ke dahi Asher. Dengan sekali benturan cukup untuk membuat keduanya mengaduh.

“Aduh Nona ada apa? Sakit tahu tidak?” keluh Asher sambil memegang dahinya.

“Iya tahu. Makanya cepat bangun. Ini berat tahu!”

Asher baru sadar tubuhnya masih berada di atas tubuh Isyana. Dengan cepat dia mengangkat tubuhnya dan gadis itu, agar bisa duduk dengan baik terlebih dahulu.

“Maaf Nona. Saya tidak sengaja. Apa ada yang sakit?” tanya Asher dengan raut penuh perhatian.

“Ah Lo gimana sih hah? Bisa-bisanya tidak ngeh udah nabrak gue. Basah semua kan ini baju! Mana bau!”

Isyana terus melayangkan protes. Terlebih wajah Asher begitu menyebalkan untuk dia tampar hidungnya.

“Maaf Nona. Saya tidak tahu, kalau ternyata Nona malah kecebur di sini. Ayo saya bantu keluar dari sini.”

Beberapa kali bangun, Isyana terjatuh lagi. Kakinya begitu sakit untuk menapak di atas tanah kubangan, yang mana membuatnya jijik sendiri.

Got tersebut memang cukup tinggi. Setinggi orang dewasa rata-rata. Karena tubuh Asher melebihi rata-rata, dia dengan mudah bisa naik ke atas.

“Lo naik lalu gue bagaimana?” tanya Isyana yang tidak terima begitu saja. Dia pun dengan kuat memegang pakaian belakang pemuda itu untuk menahan naik ke atas tanpa dirinya.

“Ya sudah, saya gendong belakang saja ya. Ayo naik ke punggung saya Nona.”

Meski kesal, Isyana tidak ada pilihan lain. Dia pun menurut pada Asher. Tangannya dilingkarkan ke leher Asher, berpegangan selagi pemuda itu naik ke atas.

Asher cukup jago untuk urusan panjat tebing ini. Dulu di Kanada, panjat tebing adalah olahraga yang paling dia sukai. Maka, tidak sulit baginya untuk mengadaptasikan di desa dia tinggal saat ini.

“Nona namanya siapa? Ingin diantar ke mana?” tanya Asher yang sudah berada di atas. Tinggal dia kebingungan mau meletakkan gadis di punggungnya di mana.

“Gue mau ke rumah Nenek. Namanya Asma,” ucap Isyana dengan lemah. Sepertinya efek mandi lumpur kali ini, telah menyedot seluruh kekuatannya.

“Baiklah. Ini mobilnya dikunci dulu Nona. Saya antarkan ke rumah Nenek Asma. Nanti saya ambil mobilnya, antar ke sana lagi.”

Isyana berpikir keras. Apa pemuda ini bisa dipercaya begitu saja. Tadi saja dia tidak bisa mengendalikan sepeda motornya yag sedang melaju.

“Tenang saja Nona. Saya jago untuk mengendarai mobil. Justru sepeda motor yang tidak bisa. Tadi sedang belajar dan justru menabrak Nona.”

Asher berkata dengan begitu lembut. Dengan jarak sedekat ini, Isyana bisa merasakan kalau pemuda ini begitu tulus.

“Maafkan saya ya Nona. Nama saya Asher Kalandra Miller. Ibu saya namanya Anita. Kebetulan kami tetangga nenek anda.”

Isyana begitu tercengang dengan apa yang baru saja Asher sampaikan. Pantas saja saat dia menyebutkan nama neneknya, Asher sudah hafal sekali. Ternyata mereka memang tetanggaan.

“Oke deh. Gue percaya sama lo. Ya udah buruan jalan. Gue udah gerah mau mandi. Masa CEO terhebat kayak gue bau air comberan. Bisa berabe kalau ada staff yang ngeliat.”

Mata Asher berbinar-binar. Dia tidak menyangka akan menemukan seseorang yang bergelar CEO di desa kecil ini.

“Nona seorang CEO?” tanya Asher dengan semangat.

“Iya. Lo kira gue bohong apa?” sahut Isyana dengan begitu ketus.

“Tidak sih. CEO perusahaan apa Nona?”

Isyana memutar bola matanya. Wajahnya ada di mana-mana sejak tiga tahun terkahir. Bagaimana bisa pemuda ini tidak tahu siapa dirinya.

“Cari tahu aja sendiri! Males banget sih!” ucapnya kesal.

“Ah begitu? Siap Nona.”

Asher masih menggendong tubuh Isyana di belakangnya. Sampai akhirnya dia sampai di pemukiman warga. Banyak pasang mata yang menuju ke arah mereka.

“Eh cie, Pemuda kampung gendong siapa tuh? Cewek baru ya?”

Sorak tepuk tangan mewarnai perjalanan Asher menggendong Isyana. Rumah nenek Asma memang cukup terpojok. Tidak heran dia harus melewati puluhan rumah yang tidak henti menyoraki mereka.

“Ish kurang ajar sekali sih. Orang sini pada kurang kerjaan apa?” gerutu Isyana. Tubuhnya sudah mulai tidak nyaman berada di gendongan Asher.

“Nona, mohon jangan gerak-gerak, nanti jatuh. Biarkan saja orang-orang ingin berkomentar apa.”

Isyana tidak mendengarkan suara Asher. Dia terus bergerak, hingga Asher kehilangan keseimbangan dan akhirnya ... mereka jatuh tepat di dua orang perempuan yang sedang duduk di balai depan rumah.

“Aw Nenek ...!”

“Ya Allah Isyana ...!”

Niat mencari jodoh, di hari pertama ... GAGAL.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status