Share

6. Nama Gue Isyana Akleema

Lantaran sudah telanjur ada di dalam mal, Isyana memutuskan untuk berkeliling. Jiwa hemat yang sejak dulu terpatri dalam benaknya seakan menghilang sudah.

Di tangan Asher sudah berkantong-kantong paper bag yang lelaki itu lilitkan di jari-jarinya. Kebayangkan Isyana membeli baju dan perlengkapan kerja lainnya. Dia juga membelikan Nenek dan kakeknya. Tidak ketinggalan Asher pun dapat jatah.

“Em ... Ash,” panggil Isyana pada Asher.

“Iya Nona.”

“Ukuran baju nyokap lo berapa besar?” tanyanya malu-malu.

Sebenarnya Isyana tidak ada niatan. Tapi berhubung melihat gamis ibu-ibu seusai mamanya, matanya langsung menyala terang. Dia ingin membelikan Sukma, tapi terlalu jauh. Sehingga alternatif lain membelikan Mamanya Asher.

“Nyo-kap?” tanya Asher yang tidak mengerti.

Isyana menepuk dahi. Dia lupa Asher lama di luar negeri. Belum banyak gaul dan berkembang dalam kosakata bahasa.

“Mommy Lo.”

Asher kini manggut-manggut mengerti.

“Mommy pakai L atau large, Nona,” sahut Asher dengan santainya.

“Oh oke.” Isyana mengangguk-angguk mengerti. Dia kemudian mencari-cari pakaian yang cocok untuk dikenakan Mommy dari sopirnya ini.

“Mommy Lo suka warna apa?” tanya Isyana lagi.

Kali ini kening Asher mengerut dalam. Sebenarnya untuk apa bosnya ini menanyai mommy terus menerus.

“Brown,” ucap Asher yang tetap menjawab pertanyaan Isyana.

“Oke.”

Isyana hanya menjawab singkat. Tidak lama dia menghampiri pelayan. Pelayan itu tersenyum dan mengangguk ramah. Dia lantas membayar dan tetap menyerahkan pada Asher.

“Nih,” ucap Isyana sambil menyodorkan paper bag.

“Nona belanjanya sudah banyak sekali. Apa tidak habis uangnya?” tanya Asher dengan hati-hati. Dia tahu ini bukan ranahnya. Tapi sejak tadi mereka menjadi pusat perhatian.

Asher yang seorang bule nurut-nurut saja sekarang dijajah Lokal. Begitu mungkin pandangan kebanyakan orang.

“Lo tuh sebenarnya tahu gak sih orang yang lagi Lo nasihati ini siapa?” tanya Isyana dengan tangan memeluk pinggang.

“Tahu Nona. Nona Isyana kan, cucunya Nenek Asma,” sahut Asher enteng.

“Ya ngerti. Maksud gue, pekerjaannya apa? Sumber kekayaannya dari mana, gitu loh.”

Isyana merasa malas harus mengencangkan urat lehernya. Bicara dengan bule lempeng memang susah-susah gampang.

“Ya CEO kan Nona.”

Isyana ingin sekali menonjok wajah Asher. Pria itu memang benar-benar keterlaluan terhadapnya. Masa begitu saja dia tidak paham. Sebenarnya Asher ini niat kerja atau tidak sih.

“Oke kalau gitu kita kenalaan aja. Nama gue Isyana Akleema. Hanya dua itu saja. Bokap gue bukan sultan soalnya yang nurunin marga,” ucap Isyana.

Asher manggut-manggut mendengar penuturan itu.

“Eh bukan. Maksudnya ya Lo tahu kan nama gue, Isyana Akleema. Ingat kan?”

Asher manggut-manggut lagi. Tapi kali ini dengan ucapan, “Mengerti Nona.”

“Nah Lo tahu snack kacang dua gigi gingsul?”

“Tahu Nona.”

”Tahu wafer teng-go?“

”Tahu Nona.“

”Tahu biskuit Engkong Gue, yang sering ada di setiap lebaran tapi isinya rengginang?“

Asher kali ini berpikir sejenak. Lalu dia ingat saat momen lebaran di Indonesia saat kecil dulu. Waktu itu masih ada neneknya dan iya mereka menyajikan kaleng engkong gue yang isinya berbeda dari gambarnya.

”Tahu Nona.“

Isyana kali ini yang manggut-manggut.

”Bagus kalau Lo tahu.“

Selanjutnya Isyana berjalan mendahului Asher. Yang mana hal tersebut membuat Asher keheranan.

”Lah Nona menanyakan hal itu kenapa memangnya?“ tanya Asher yang penasaran. Kini langkahnya sudah sejalan dengan Isyana.

”Ya mau tes pengetahuan Lo aja tentang dunia persnackan di Indonesia,“ jawab Isyana enteng.

”Ya. Saya pikir itu semua produk yang anda hasilkan,“ sahut Asher yang tampaknya kecewa dengan perkataan Isyana.

Di luar dugaan Isyana mengangguk.

”Iya emang. Tapi perusahaan aja yang udah gue akuisisi. Produknya ya tetap hasil pemikiran yang punya produk lah.“

Asher tidak mengerti. Dia memandang Isyana dengan tatapan yang sulit diartikan. Yang mana perempuan yang sedang ditatapnya pun melihat balik ke arahnya.

”Apa sih Ash. Masa gitu aja gak ngerti. Udah buruan balik.“

Isyana mempercepat langkahnya lebih dulu. Dia malas harus satu aliran dengan Asher. Sedikit tahu juga dengan arti tatapan puluan pasang mata yang menatapnya.

”Nona, kenapa terburu-buru? Apa ada sesuatu yang terjadi?“ Asher mengejar langkah kaki Isyana. Dia panik mengapa Nonanya berjalan terlalu cepat ke depan.

”Gak usah ikut-ikutan cepet deh Ash. Lo gak lihat tatapan tuh orang-orang. Kek pengin gue colok aja tuh mata.“

Asher menatap ke sekeliling mereka. Benar saja banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka. Begitu heran, Asher juga tidak menyadari hal ini. Lantaran sudah melihat, rasanya begitu tidak nyaman sekali.

”Maaf Nona.“

Asher menunduk. Dia langsung menghentikan langkahnya. Menunggu Nonanya jalan beberapa langkah ke depan dahulu. Barulah kemudian dia menyusul.

Sampai akhirnya Asher memutuskan untuk berjalan lebih dulu ke depan, saat Isyana menerima telepon.

Dia meletakkan Barangnya di bagasi. Lantas membuka pintu untuk Isyana. Tapi Isyana menolak untuk duduk di belakang. Dia lebih suka di depan. Sambil mengamati gaya berkendara Asher.

”Baik Pak. Semua sudah diselesaikan dengan sekretaris saya. Jadi nanti bisa langsung di follow up saja.“

”Ah tentu. Kami menjamin produksi makanan ini halal. Produk kami bersertifikat majelis ulama Indonesia. Kami juga memiliki pabrik sendiri untuk memprosesnya. Jadi tenang saja tidak akan bercampur dengan makanan non halal lainnya.“

”Terima kasih Pak. Selamat siang.“

Isyana mengembuskan napas berat. Dia sudah membuat pengumuman kalau dirinya akan cuti. Tapi tetap saja banyak klien yang langsung menghubunginya tanpa bertanya lebih dulu pada sekretaris.

”Nona? Apa baik-baik saja?“ tanya Asher yang khawatir dengan keadaan bosnya.

”Yes, off course. Tenang saja, gue udah biasa begini kok. Lagian gila aja kali ya orang fitnah bikin isu miring gak jelas. Udah tahu gue muslim, gak makan babi, tapi masih aja ada yang fitnah pabrik gue pernah bikin kornet dari hewan tersebut.“

Isyana mengembuskan napas lelah. Bukan sekali dua kali ini. Pabrik miliknya memproduksi makanan ringan kemasan. Tentu saja pasarnya sebagian besar ada di Indonesia. Tidak mungkin dia membuat produk halal tercampur.

”Biasanya ada yang menjatuhkan Nona. Orang semacam itu akan selalu ada Nona. Saya harap Nona bisa melebarkan lagi dadanya.“

Isyana menatap tajam ke arah Asher. Lantas dia melihat juga dadanya. Yang mana gerakannya itu juga diikuti laki-laki itu.

”Maksud Lo apa ngomong begitu?“ tanya Isyana yang sebentar lagi semburan hawa lava panas akan keluar.

”Eh apa Nona? Saya tidak mengatakan apa pun.“

Asher bingung sendiri. Dia hanya memberi motivasi. Tapi mengapa Nonanya justru marah terhadapnya.

”Em kita pulang atau Nona ingin pergi ke mana dulu?“ tanya Asher yang sebenarnya dadanya juga ketar-ketir.

”Menurut Lo?“

Asher menggeleng. Dia tidak ada ide kalau begini. Mana Isyana mengatakan itu dengan begitu jutek.

”Maaf Nona. Bisa tidak jangan kode-kode. Saya tidak paham.“

Isyana mengembuskan napas dan mengeluarkan napasnya berat.

”Ya menurut Lo! Emang gak dengar tadi gue ngomong apa? Kita pulang sekarang!“

Asher terperangah dengan suara barbar Isyana. Dia terperanjat dari tempat duduknya.

”Maaf Nona. Tapi Nona juga belum bilang dengan saya.“

Asher gemetaran di balik kemudi. Lantas tanpa menunggu jawaban dari Isyana dia menjalankan mesinnya.

Mobil melaju kencang membelah jalanan. Untung saja siang ini lenggang. Sehingga tidak ada alasan untuk Isyana marah-marah telat sampai rumah.

Tapi namanya juga Isyana. Saat sudah masuk ke kawasan desanya, dia baru sadar.

”Gue belum makan. Putar balik cari fast food!“

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status