Share

5. Salah Tujuan

Sesuai keinginan sang Nona, Asher menjalankan mobil ke satu-satunya mal yang ada di kota tersebut. 

Rencananya, Isyana memang akan berbelanja banyak barang. Dia sudah mengutarakan keinginannya pada Asher. Jadi sebagai sopir, nantinya Asher akan berlaku sebagai pengangkut barang.

“Lo harus ada di belakang gue. Pokoknya jangan sampai enggak. Ngerti?” ucap Isyana yang menekankan pada Asher tugasnya kali ini.

“Iya Nona. Saya akan selalu bersama Nona. Dalam suka mau pun duka,” sahut Asher yang mana langsung mendapat pelototan tajam dari Isyana.

“Lo bisa enggak sih ngomong yang normal. Mana logat bule banget. Udah berapa lama sih di Indonesia?” tanya Isyana yang mana lumayan kesulitan mengimbangi gaya bahasa Asher.

Asher berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sementara Isyana semaunya sendiri. Kadang Indonesia baku, tapi lebih sering bahasa Jakarta yang seperti anak gaul. Belum saja dia mengucapkan bahasa gaul ala Jaksel. Yang mana membuat sakit asma neneknya kambuh kala mendengarnya.

Jadi sebenarnya siapa yang aneh di sini?

“Mau enam bulan Nona,” sahut Asher jujur.

“Oh udah lumayan lama. Selama ini enggak kerja?” tanya Isyana yang mulai kepo dengan kehidupan sang sopir.

“Iya. Paling sering bantu Nenek Asma jual kelapa ke pasar. Lumayan dikasih uang jajan.”

Isyana manggut-manggut mendengar perkataan Asher. Nenek dan Kakeknya memang mendapatkan kebun yang ditanami kelapa. Karena anaknya hanya satu dan merantau, jadi mereka berdua saja yang mengurusnya.

“Memangnya enggak cari kerjaan lain?” tanya Isyana lagi. Entah apa yang mendorongnya untuk kepo terhadap Asher. Rasanya unik saja untuk mengetahui kehidupan si bule kampung ini.

“Mencoba. Tapi banyak lowongan pabrik. Sementara Mommy tidak bisa ditinggal bekerja terlalu lama. Pabrik itu dua belas jam bekerja, belum lagi siap-siap dan akhir yang memakan waktu.”

Asher bercerita dengan jujur. Saat ini ibunya memang fokus utamanya. Tapi dia juga tidak bisa hanya berdiam diri saja. 

“Memangnya Mommy lo sakit apa sih? Gue lihat sehat-sehat aja tuh.”

Isyana seperti tidak bisa mengontrol mulutnya. Dia selalu menganggap semua pertanyaan pasti ada jawaban. Termasuk apa yang tengah ia tanyakan pada Asher kali ini. Pasti anak itu akan menjawabnya.

“Sakit magh sih Nona. Butuh perhatian. Karena kalau tidak diingatkan atau disiapkan makannya, beliau tidak mau makan. Kalau kambuh begitu bahaya.”

Isyana mengangguk sepakat. Mamanya juga punya penyakit itu, tapi tidak pernah sampai masuk rumah sakit. 

“Lalu kalian hidup dengan apa dong? Em, sorry maksud gue ya kan, enggak kerja berarti gak dapat penghasilan dong.”

Isyana sebenarnya tidak enak untuk mengatakan hal ini. Akan tetapi, rasa penasarannya begitu tinggi. Hingga tidak bisa mengontrol mulutnya.

“Masih ada tabungan. Juga uang pensiunan Daddy kan ada.”

Isyana menganggukkan kepala. Merasa wajar sekali dengan hal itu. Dia pun sekarang mewajibkan karyawan tetap di perusahaannya memiliki dana pensiun. Agar hidup di hari tua lebih terjamin.

“Kenapa gak tinggal di sana saja. Lo negara mana? Lulusan apa?”

Asher menengok ke arah Isyana. Semenjak pertanyaan demi pertanyaan yang meluncur mulus dari bibir perempuan itu, baru kali ini dia menoleh dengan sempurna. Seperti terkejut dengan apa yang Isyana tanyakan.

“Saya dari Toronto. Lulusan universitas Toronto juga. Baru strata dua sih, jurusan komunikasi.”

Isyana menganga mendengar perkataan Asher. Dia memiliki sopir seorang bule, plus lulusan magister di Toronto. Apa dia tidak minder jika orang lain tahu hal ini.

“Lo tidak mau bekerja di kantor?” tanya Isyana lagi.

“Mau sekali, saya Nona. Nanti tunggu kondisi Mommy. Sekalian perpanjangan visa.”

Satu hal yang Isyana bisa tangkap dari seorang Asher. Sopirnya itu begitu sayang dengan sang ibu. Dia begitu mau menjaga ibunya. 

“Lo Sayang banget sama Mommy ya?” 

Asher mengangguk. “Hanya dia yang saya punya. Setelah Daddy saya. Sama seperti Mommy yang hancur, saya juga demikian.”

Iri. Satu kata itu yang melingkupi hatinya. Ibu Asher begitu mencintai suaminya. Termasuk Asher sendiri yang mencintai mendiang ayahnya. Betapa dia bisa melihat perbedaan itu. 

Orang tuanya masih lengkap, tapi seperti bercerai. Ayahnya tidak menafkahi ia dan ibunya. Ditambah Omanya yang begitu membenci Sukma, entah apa sebabnya. 

Isyana tumbuh dengan hasil keringatnya sendiri. Sedangkan Daddy dari Asher, sudah meninggal pun, dia masih memberikan nafkah untuk anak dan istrinya.

“Sudah sampai Nona. Silakan.”

Mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya Asher menepuk dahinya. Dia lupa kalau Isyana merupakan CEO. Sudah pasti harus dilayani keperluannya. Termasuk membuka pintu.

“Ah maaf. Sebentar.”

Asher membuka pintu untuk Isyana. Dia juga menundukkan badan. Terlihat sekali seperti menyambut putri bangsawan yang telah dia antarkan.

“Silakan Nona,” ucapnya juga.

“Iya ... iya. Lo berlebihan tahu gak, Asher. Astaga, gue pusing sekali ngeliatnya.”

Isyana turun dengan hati yang dongkol. Dia tentu saja merasa heran dengan tingkah Asher yang begitu kaku padanya. 

Saat sampai di mal, Isyana merasa aneh dengan pusat perbelanjaan ini. Tidak sebesar di ibukota, tapi cukup ramai, meski pun bukan akhir pekan.

“Ah iya, kita belanja baju dulu. Di mana tempatnya?” tanya Isyana pada Asher.

Pemuda itu juga sebenarnya bingung. Dia juga belum pernah masuk ke dalam. Dulu hanya pernah untuk mengantarkan Bu Lurah yang akan berbelanja. Itu pun tidak sampai masuk. Hanya menunggu di parkiran.

“Sebentar Nona. Saya tanya petugas dahulu.”

Isyana membolakan mata. Dia pikir sebagai sopir, Ashser sudah hatam dengan wilayah ini.

Seketika dia ingat apa alasannya ke kota. Bukankah dia memang berniat ke toko alat bahan bangunan? Mengapa jadi ke mall. Telebih alasannya membeli baju lagi.

“Nona, katanya di lantai dua. Ayo kita ke sana,” ucap Asher yang sudah menunjuk eskalator yang bisa membawa mereka ke lantai dua. 

“Ayo Nona.”

Melihat tidak ada pergerakan dari Isyana. Asher memaksakan diri untuk menyentuh bahu gadis itu. Awalnya dia takut Isyana kesambet jin penunggu mall. Tapi sebuah pelototan sudah berhasil terlihat matanya. Yang artinya Isyana baik-baik saja.

“Apa sih Asher. Cari-cari kesempatan aja,” sungut Isyana yang tidak terima dicolak-colek.

“Maaf Nona. Ada apa kok melamun? Saya hanya memastikan Nona baik-baik saja,” sahut Asher yang khawatirnya natural. Tidak dibuat-buat.

“Ya ... ya. Terserah Lo aja deh. Eh by the way. Ini sebenarnya kita salah tujuan deh,” ucap Isyana dengan jujur. Dia menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Membuat Asher juga turut mengikutinya.

“Salah tujuan bagaimana Nona?” tanya Asher yang kepalanya mulai pusing mengikuti gerakan Isyana.

“Ya kita salah tujuan ini,” sahut Isyana dengan lantang.

“Memangnya Nona mau ke mana sebenarnya?”

Mata Isyana menatap ke arah Asher. Pandangan mereka bertemu dan saling mengunci satu sama lain.

“Gue mau ke toko bangunan. Mau bangun kamar mandi di kamar.”

Kalimat itu sukses membuat Asher menepuk keningnya. 

Kalau hanya sekedar alat bangunan, untuk apa ke kota. Di desa mereka juga ada.

“Tujuh ratus meter dari tempat tinggal Nona, itu juga ada tokonya.”

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status