Share

4. Peluang

“Kita mau ke mana Nona?” tanya Asher yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan kemeja dan celana kain yang membalut tubuh tingginya. 

Sebelum ke Indonesia, dia memang menjalani profesi sebagai marketing property di Kanada sana. Tidak heran koleksi baju-bajunya juga rapi dan bagus sekali.

“Mau ke mana? Emangnya gue ada bilang ke Lo, mau diantar ke mana gitu?” 

Sambil berdecak pinggang, Isyana menanyakan apa yang sebenarnya Asher katakan. Seingatnya dia tidak meminta untuk diantar ke mana pun hari ini. Toh demam di tubuhnya baru saja menghilang.

“Ya kan Nona seorang CEO. Layaknya CEO pada umumnya, pasti begitu sibuk. Benar tidak?” ucap Asher dengan tetap semangat.

Isyana memegang dahinya. Memang benar kata orang jika terserang demam bisa jadi akan menemukan masalah dalam hidup. Terbukti padanya yang langsung bertemu Asher yang menyebalkan.

“Lo banyak omong. Santai aja dulu sana. Gue mau mandi dulu.”

Isyana hampir balik badan saat kata-kata dari mulut Asher terdengar.

“Baik Nona. Panggil saya di balai samping ya. Terima kasih,” ucap Asher yang langsung berlalu pergi. 

Mendengar hal itu Isyana tentu saja terheran. Apa yang menjadi pertimbangan Asher mengatakan hal tersebut. Menurutnya terdengar tabu.

“Ah terserah deh. Biarin aja orang itu.”

Isyana meneruskan gerakannya untuk menuju ke kamar mandi. Udara di desa begitu sejuk. Dia sangat suka. Sepanjang malam tidak memakai pendingin ruangan pun tidak masalah. Karena tidak ada juga. 

Suasana kamar mandi juga begitu sederhana. Di pojok dekat kloset terdapat bak mandi super besar dengan keliling keramik. Tidak ada shower, tidak ada sumber air panas. Semua harus manual. 

“Seperti kembali ke jaman susah. Menyedihkan sekali. Gue sepertinya harus menganggarkan dana untuk pembangunan ulang rumah Nenek,” gumam Isyana. 

Dia mandi dengan cepat. Tidak bisa juga terlalu lama, karena perlengkapan mandi yang super mewah dan ribet di rumah, tidak dia bawa. 

“Ah ini aja alasan buat ke kota. Itung-itung biar gak makan gaji buta si Asher. Enak aja, udah jadi sopir jalur demam. Keenakan nganggur pula. Bisa kacau lama-lama dunia per-CEO-an.”

Isyana melilitkan handuk di badan. Seketika dia lupa untuk membawa baju. Kebiasaan ketika di rumah, dia tidak melakukan hal itu. Kamar mandi sudah ada di dalam kamarnya. Dia tidak perlu susah-susah berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Berbeda saat di sini. 

Kamar mandi di rumah neneknya hanya satu, dipakai bertiga. Harus bisa atur waktu, tidak bisa seenaknya.

“Alamakjang lupa lagi bawa baju kan. Masa keluar harus pakai handuk saja sih. Mana kamarnya ada di depan.”

Dengan mengintip terlebih dahulu, setelah memastikan aman. Barulah dia keluar sambil mengendap-endap.

Baru saja beberapa langkah. Pucuk kepalanya terbentur otot seseorang. 

“Eh Nona. Sedang apa mengendap-endap begitu?” tanya Asher yang heran dengan tingkah bos barunya itu.

“Eh Lo ngapain di sini hah?” ujar Isyana. Dia begitu terkejut melihat Asher ada di depan matanya. Seperti sedang tertangkap basah karena sesuatu.

“Maaf, diminta ambil mangkok. Sedang buka kelapa muda di depan.”

Mendengar kelapa muda yang dikatakan Asher, jiwa Isyana meronta-ronta. Dia begitu ingin menikmati minuman dingin itu juga.

“Oh ya. Di mana? Gue mau dong!” serunya.

“Iya Nona. Nanti dikasih kok. Tapi ....”

Asher melihat Isyana dengan gugup. Setelah menelan salivanya dia memalingkan wajah. Merasa malu sekali, terlihat semburat merah di wajah bulenya.

“Tapi kenapa?” 

Isyana memalingkan wajah mengikuti langkah Asher. Dia begitu heran dengan kelakuan sopir bulenya ini. 

“Gue gak boleh ikut minum?” tanya Isyana keheranan. “Enak aja si nenek Asma kagak ijinkan gue ikutan. Ya—”

“Sebentar Nona.”

Tangan Asher mengambil tangan Isyana dengan cepat. Membuat gadis itu terkejut bukan main karena ulah darinya.

“Ada apa Asher?” tanya Isyana dengan pandangan tidak suka.

“Nona sebaiknya berpakaian dahulu. Tidak enak jika dilihat orang lain hanya mengenakan ... handuk.”

Wajah Isyana memerah sempurna. Dia lantas melihat bagian bawah tubuhnya. Tanpa menunggu reaksi dari Asher, Isyana berlari secepat kilat ke dalama kamarnya. 

Harga dirinya seakan telah runtuh. Sang CEO muda yang selama ini dipuja-puja karena tangan dinginnya, harus menahan malu telah dilihat setengah telanjang oleh sopirnya.

“Asher sialan! Bukannya bilang sejak tadi. Pasti dia lihat dulu sampai puas baru ngomong. Sialan ... bule, sialan! Awas aja entar. Gue gantung di bawah pohon cabe, baru tahu rasa Lo.”

Isyana kesal sendiri. Dia tidak suka dengan Asher yang begitu santai saat melihatnya telanjang seperti tadi. Dia pikir, sopirnya itu termasuk laki-laki yang benar adanya. Tidak menyangka jika sama saja mesum seperti pemuda lainnya. 

Isyana mengacak rambutnya kesal. Karena kejadian ini dia harus segera melebarkan kamar untuk bisa dimuat satu kamar mandi baru untuknya. Bisa gila dia lama-lama jika terus begini. 

“Asher sialan. Awas aja gue aduin ke nenek. Biar dimutilasi tuh punya burung. Ya kali, main seenaknya tengok-tengok hal yang indah begini. Meksi bukan bule, keturunan Nenek Asma bisa bikin jantungan juga kan lo.” 

Isyana menjeda omelan saat satu pakaian terusan lolos dari lehernya. Dia sengaja mengenakan pakaian santai agar lebih leluasa dalam beraktivitas.

“Pantas saja tadi dia sempat melengos. Gak tahunya gak tahan lihat body ini toh. Gila Lo Isyana!” 

Isyana masih begitu kesal. Entah apa yang harus dia lakukan saat bertemu dengan Asher nanti. Bisa-bisa dia giling laki-laki itu nanti. Wajah merahnya tidak bisa disembunyikan begitu saja. Dia harus mengatur detak jantungnya yang begitu kencang sejak tadi.

“Napasku kok sesek banget ya. Apa udah ketularan Nenek Asma lagi. Serem.”

Isyana buru-buru merapikan riasan. Dia harus segera keluar sebelum si bule kampung itu disuruh memanggilnya. Karena sesuai feeling Isyana, pasti kelapa muda itu telah selesai dibuka.

“Oke, sip.”

Dia melihat penampilannya kembali. Tidak ada yang salah dari ujung rambut ke kaki. Semua tampil sempurna selayaknya dia berada di Jakarta dulu.

“Isyana, kau mau kelapa muda gak? Kata Asher baru selesai mandi kan lo. Sini buruan keburu abis sama kakekmu.”

Teriakan nenek membuat Isyana cepat-cepat dengan rutinitasnya. Dia tidak mau untuk kehabisan. Makan kelapa muda di kampung, merupakan suatu kenikmatan.

“Ah iya Nek.”

Isyana keluar kamar dan bersiap untuk ikut minum kelapa muda yang sudah disisakan untuknya.

“Mana Nek bagian gue,” ucap Isyana. 

Memang dia akan memakai kata saja jika berhadapan dengan yang lebih tua. Terutama ini neneknya.

“Noh.”

Nenek Asma hanya menunjuk dengan dagunya. Sebuah kelapa muda sudah diletakkan di gelas bumbung tinggi. Sudah lengkap dengan sedotan dan sendok.

Isyana dengan sumringahnya langsung menghampiri, dia menyeruput airnya yang sudah diberi gula itu, dan menyendok buahnya. Terasa nikmat sekali di tenggorokan.

“Ah nikmatnya Nek. Petik sendiri ini? Di awetin jual botolan bisa kali ya. Nanti saya pikirkan deh caranya.”

Nenek Asma manyun saja. Sudah lumrah mendengar cucunya selalu melihat peluang yang bisa dia lakukan saat begini. Padahal dia ingin sekali saja tidak mendengar hal tersebut.

“Nikmati aja kenapa sih Isyana. Bisa-bisanya kau lagi minum di depan rumah nenek aja pakai lihat pelampung segala,” gerutu nenek Asma.

“Peluang Nek yang benar,” koreksi Isyana. 

“Ya apa lah itu namanya. Mana masih muda Isyana.”

Isyana hanya cemberut dia lantas memalingkan wajah dan baru sadar ada kehadiran Asher dan seorang perempuan paruh baya yang sedang mengaduk-aduk air kelapa di gelas. 

Wajahnya seketika terasa panas, saat Asher juga sedang memandangnya.

“Jadi pergi Nona?” tanya Ashser yang menyibak canggung di antara mereka.

“Ah iya jadi,” sahut Isyana dengan gugup. Entah mengapa dia merasakan tabiat aneh di dalam dadanya, saat berinteraksi dengan Asher.

“Ya sudah, ayo Nona.”

“Eh iya.”

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status