Share

7. Is Number One

Sesuai dengan keinginan Asher, dirinya memang bekerja dengan benar. Pukul delapan berangkat dan baru pulang pukul lima sore. 

Yang jadi masalah, dia hanya mengendarai kendaraan tanpa arah dan tujuan. Lebih tepatnya setelah pulang dari belanja di mall tadi.

Bosnya terus menerima telepon yang seakan tidak ada henti. Yang mana menyebabkan Isyana mingsuh-mingsuh sendiri.

“Nah turun di sini aja, Asher. Bener Lo, cerdas. Gak salah lulusan Toronto.”

Isyana menepuk pundak Asher. Yang mana membuat laki-laki itu seperti tersengat aliran listrik ribuan voltase.

“Eh iya Nona. Kalau tidak lulus, nanti diminta balik uangnya.”

Isyana yang sudah membuka seatbelt menoleh lagi. Dia merasa banyak sekali rahasia yang bisa dikulik dari si sopir barunya.  

“Maksud Lo apa sih Ash? Kok gue ngerasa asing bener sama Lo ya?” ucap Isyana yang merasa begitu heran.

“Baru beberapa hari bertemu, Nona. Masih panjang waktu untuk kita penjajakan.”

Isyana justru bergidik saat mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Asher berkata semacam itu. 

“Aneh-aneh aja lo. Udah gue masuk dulu. Lo parkir yang bener mobilnya. Awas lecet!”

Isyana meneruskan langkahnya. Dia membuka pintu dan menoleh berjalan ke depan. Tapi sebelum benar-benar masuk ke rumah, dirinya kembali lagi ke mobil.

“Asher. Barang belanjaan bawa masuk ya.”

Terlihat Asher mengangguk sepakat. Lantas setelahnya, Isyana masuk dahulu ke dalam rumah. Mendekati waktu Maghrib memang Nenek dan Kakeknya pergi ke surau terdekat. Mereka terbiasa melakukan hal itu. Sementara Isyana memilih beribadah di rumah saja. 

“Belanjaannya taruh di mana, Nona?”

Baru saja mendudukkan pantatnya, suara Asher sudah terdengar lagi. Isyana memandang pria bule itu dan menunjuk ke meja kosong di hadapannya.

“Taruh di sini aja. Oh ya, baju buat Lo dan nyokap lo ambil juga gih.”

“Nyokap?” Asher garuk-garuk kepala dengan perkataan Isyana tadi.

“Mommy Lo. Astaga, Asher. Lo juga harus update bahasa gih.”

Isyana geleng-geleng kepala melihat tingkah sopirnya yang sama sekali tidak tahu mengenai bahasa gaul yang seharusnya mereka gunakan sehari-hari.

“Em, bukan itu Nona. Maksud saya, Nona membelikan Mommy saya baju. Apa tidak berlebihan?”

Isyana tentu menggelengkan kepala. Dia berpikir apa yang salah untuk selembar pakaian saja.

“Ambil ya. Gue mandi. Tutup pintunya kalau udah keluar.”

Asher mengangguk. Dia menepis sudut matanya dengan jari telunjuknya. Untung saja Isyana sudah berlalu dari hadapannya.

Bagaimana tidak haru. Selama ini, Asher yang memimpikan membelikan Ibunya baju. Ini kerja pertamanya yang akan mendapatkan gaji tetap. 

Sudah jauh-jauh hari dirinya berniat membelikan ibunya baju. Karena biar bagaimanapun, pakaian yang dibawa dari Kanada, tidak banyak yang cocok dipakai di negara tropis seperti Indonesia ini.

Niatnya malah keduluan oleh bos besarnya. Tapi Asher bersyukur akan hal ini. Dia jadi bisa menilai selain pintar, bosnya juga memiliki hati. Ditambah cantik juga.

Untuk yang terakhir itu, Asher menggelengkan kepala. Dia tidak sampai hati untuk naksir bosnya sendiri.

“Terima kasih Nona bajunya. Saya akan bekerja lebih rajin lagi.”

Asher berteriak di dalam rumah. Meski tidak ada sahutan dari Isyana, dia tahu gadis itu mendengarkannya. 

Tidak masalah, Asher pergi dengan membawa tentengan paper bag dengan hati yang begitu riang. 

“Nona baik sekali. Mommy pasti suka. Sudah lama tidak memiliki baju baru.”

Sementara Isyana yang mendengar teriakan Asher barusan, berusaha menata jantungnya. Dia tahu bola mata Asher basah saat dia mengatakan membelikan baju untuk mommy-nya. Tapi tidak menyangka jika pria bule itu akan menangis haru.

“Duh apaan sih tuh bule. Perkara baju doang. Udah lagaknya kek menang togel lima M.”

Isyana menggelengkan kepala. Dia menyambar handuk dan berniat untuk mandi saja.

Meski niat mandinya juga digagalkan oleh jeritan ponsel pintar yang menyala-nyala sejak tadi.

Ternyata dari ibunya— Sukma.

Isyana : “Sendikodawuh Kanjeng Ratu. Ada yang bisa saya bantu?”

Isyana mengatakan dengan nada yang penuh ejekan. Benar saja, ejekan berhasil membuat napas seseorang sampai terdengar di ujung telepon.

Sukma : “Isyana! Bagaimana sama jodohmu? Kau sudah pergi ke mana saja? Alun-alun kota sudah?”

Isyana memutar bola matanya. Ibunya ini bukannya menanyakan kabarnya terlebih dahulu, malah justru menanyakan perihal jodoh terus menerus.

Isyana : “Ya kali Ma, nyari jodoh kek nyari singkong. Ketemu kebun langsung cabut.”

Tidak peduli sekali jika Sukma kesal dengan petuah tidak jelasnya itu.

Sukma : “Lo anak bener-bener ya! Jangan macam-macam loh. Pakai singkong punya orang juga mau Lo cabut. Mending Lo jual aset sebiji, Isyana. Mama gak ajari Lo buat nyuri. Istighfar Nak.”

Isyana garuk-garuk kepala. Ini ibunya kesambet setan di mana kah? Masa perumpamaan saja tidak dimengerti olehnya. Benar-benar keterlaluan.

Isyana : “Terserah Mama deh. Berbincang beda generasi memang rawan sekali bertengkar. Hamba mengalah saja. Maafkan Nyai. Maafkan diriku ini.”

Sukma melihat ke arah Isyana dengan begitu malas. Dia sebenarnya lelah sekali jika harus meladeni kelakuan anaknya yang super ajaib ini.

Sukma : “Isyana ingat ya waktu kau cuma tiga bulan.”

Isyana yang tadinya cengengesan mendengar apa yang dikatakan ibunya, seketika membulatkan mata. Apanya yang tiga bulan? Dia tidak paham dengan yang ibunya katakan. 

Isyana : “Maksud Mama apa sih? Isyana tidak mengerti Ma. Yang benar saja kalau berucap. Maksudnya Mama mau pisah atau bagaimana sih ini?”

Sukma sebenarnya kesal memiliki anak gadis macam Isyana. Kalau urusan bisnis, anaknya memang tidak diragukan. Tapi mengenai kehidupan sehari-hari dan bergaul, Sukma sering kali harus mengelus dada. 

Sukma : “Waktu cari jodohnya. Kau kan tidak bisa lama-lama meninggalkan kantor. Mama tidak sangguplah pegang sebanyak itu, Isyana.”

Isyana beroh ria mendengar jawaban Mamanya. Sebenarnya dia tidak yakin akan mendapatkan jodoh secepat itu. Mengingat wajah laki-laki yang dia temui saja baru Asher— yang mana sopirnya sendiri.

Isyana : “Iya Mama tenang saja. Isyana bakal cari jodoh yang tampan, rupawan, hartawan, solehwan. Is number one.”

Sukma mengacungkan jempolnya ke arah kamera. Dia juga memberikan semangat kepada anaknya. Semoga saja cita-cita anak tercapai kali ini.

Suara adzan Maghrib memutus panggilan antara ibu dan anak itu. Isyana yang berniat mandi, melanjutkan keinginannya itu. Paling tidak sebelum Kakek dan neneknya pulang, tiga rakaat harus sudah dia tunaikan.

*** 

“Isyana ...!” 

Suara teriakan neneknya membuat Isyana yang baru saja menoleh salam kedua, buru-buru melepas mukenanya. Dia keluar dari kamar dan mendapati neneknya sedang mengintip apa-apa yang ada di dalam paper bag tersebut.

“Apa sih Nek. Ngagetin aja tahu gak?” ucap Isyana yang agak dongkol dengan tingkah laku sang nenek.

“Isyana kau habis belanja rupanya ini?” ucap Asma yang matanya tidak lepas dari paper bag di atas meja.

“Iya. Isyana kan juga butuh healing, Nek.”

“Hah? Kau butuh giling? Giling apa? Giling padi. Tuh Pak RT yang punya.”

Isyana justru hanya mengangkat bahunya tidak acuh. Dia pikir untuk meladeninya Neneknya membutuhkan waktu yang lama. Hingga dia mengangkat saja paper bag miliknya untuk dibawa ke kamar. 

“Itu buat nenek dan kakek. Jangan berebut ya. Semua kebagian porsinya masing-masing kok,” sahut Isyana. 

Sementara itu nenek Asma hanya terbengong saja. Dia menantap tumpukan paper bag yang ada di hadapannya. Sambil mulutnya komat-kamit seperti sedang melafalkan mantra.

“Tahu Isyana pergi, tahu gitu nitip gorden tadi,” ucap Nenek Asma dengan wajah begitu menyesal.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status