Share

Bab 6 Menjadi Pelayan

Julio melemparkan senyum liciknya lalu beranjak pergi.



Fiolina baru berhasil mencerna ucapan Julio tersebut. Dia baru sadar bahwa ponselnya tidak ada.



Seketika dia mengejar Julio yang ternyata sudah keluar dari rumah dengan mengendarai mobilnya.



Fiolina merasa putus asa. Sekarang dia seperti berada di kandang para macan yang kelaparan. Semua macan ingin menyantap dirinya. Apa yang harus dia lakukan

"Tenang, Fio. Semua demi keluargamu," lirih Fiolina pedih lalu memikirkan jalan keluar sampai akhirnya tertidur kembali.

*****

BYURRR!!!

Seember penuh air menyiram kepala Fiolina yang sedang tertidur pulas.

Gelagapan, Fiolina tersentak bangun akibat rasa dingin yang tiba - tiba menyerangnya.

"Kamu mau jadi tuan puteri siang begini belum bangun, hah?"

"Kamu siapa? Kenapa kamu siram saya?"

Wanita itu tersenyum mengejek, "Saya Nirmala, saya adalah kepala pelayan di sini. Cepet bangun! Siap-siap sana! Jam 5 saya tunggu di ruang sebelah dapur. Jangan lupa pakai seragam yang rapi!"

Dengan enggan, Fiolina bangun untuk mandi. Saat dia hendak mengenakan pakaiannya, dia ingat bahwa Nirmala menyuruhnya untuk mengenakan seragam. Dilihatnya beberapa seragam sudah bertumpuk di samping kopernya.

Fiolina menghela nafas dengan pasrah. Dia meraih seragamnya dan mengenakannya.

Butiran air matanya menetes. Dia tak menyangka akan mengalami nasib seperti ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 04.55. Fiolina bergegas menuju ruangan sebelah dapur.

"Ayo cepat Fiolina!" perintah Nirmala saat melihat Fiolina baru muncul.

"Oke. Semua sudah berkumpul ya. Kita punya satu orang baru, namanya Fiolina. Fiolina akan bertugas mencuci baju, setrika dan membersihkan seluruh rumah. Sementara untuk tim dapur tetap, tim kebun dan kolam renang juga tetap. Untuk yang sebelumnya bertugas cuci, setrika, dan bersih-bersih rumah, setelah ini kalian temui saya karena ada tugas baru untuk kalian. Tugas lama kalian akan diberikan untuk Fiolina."

"Maaf, saya mau tanya." Fiolina mengacungkan tangannya.

"Ya, Fiolina?"

"Jadi, siapa yang bersama saya bertugas untuk mencuci, setrika, dan bersihkan rumah?"

Nirmala tersenyum. "Gak ada"

"Gak ada? Maksudnya saya sendirian kerjakan itu semua?"

"Iya betul," jawab Nirmala dengan enteng.

"Tapi itu gak masuk akal. Rumah ini terlalu besar!" protes Fiolina tak habis pikir.

"Itu tugas dari Nyonya Besar. Kamu gak ada pilihan lain selain mengerjakannya. Titik! Kalau gak ada pertanyaan lain, kalian semua bisa sarapan dulu. Setelah itu langsung kerja. Ingat, waktu sarapan cuma 15 menit."

Fiolina lagi-lagi bersikap pasrah. Jika dipikir-pikir lagi, dia tidak akan sanggup untuk hidup seperti ini selama 100 hari ke depan.

Julio dan Omanya telah memberikan tugas yang tidak masuk akal. Membersihkan rumah sebesar ini seorang diri pasti akan sangat melelahkan.

Fiolina sudah bertekad. Jika ada kesempatan, dia akan kabur saja.

Benar saja! Setelah telapak tangan Fiolina terasa panas dan kering karena mencuci pakaian dalam jumlah yang sangat banyak, dia masih harus bercucuran keringat menyapu dan mengepel rumah.

"Wow, gak nyangka seorang Fichow akan mengepel di rumah ini," ujar wanita tiba-tiba.

Fiolina ingat, wanita ini adalah yang menahan cekikikannya saat pertama kali Oma menyebutnya barang murah tak berguna.

"Aku, Rossi. Dulu, aku penggemarmu. Tapi, begitu perilaku menjijikanmu terendus media, semua majalahku yang ada foto kamunya langsung aku bakar."

Sepupu Julio yang masih kuliah itu duduk dengan santai di sofa sambil memakan biskuit. Sesekali, dengan sengaja, dia menjatuhkan remahan biskuitnya ke bagian lantai yang sudah di pel oleh Fiolina.

"Bisa gak kamu gak terus menerus mengotori lantainya pakai remahan biskuit? Aku capek kalau harus pel bagian yang sama berkali-kali," tegur Fiolina yang mulai lelah.

Rossi tertawa sinis. "Tapi, aku suka lihat kamu repot! Hahaha!" 

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu gak minta uang ke sugar daddy kamu yang orang Singapura itu, sih? Kenapa justru minta uang ke Julio?" tanya Rossi mendadak.

"Karena sugar daddy itu tokoh fiktif. Semua skandal itu fitnah."

"Ck! Bilang aja kalau kamu dicampakkan, ya kan?"

Fiolina memutar matanya malas. Entahlah, sepertinya tidak penting menanggapi orang yang tidak mau mendengar penjelasannya sama sekali. "Terserah."

"Jangan ganggu Fiolina terus Ross, biarin dia kerja!" kata seorang wanita yang baru saja turun dari tangga.

"Kak Glins? Kok ada di rumah jam segini?" Rossi sontak menggelayut manja di lengan Glins.

"Cuma ambil beberapa dokumen yang ketinggalan. Ini mau balik ke kantor lagi habis ini. Ayo, jangan di sini!"

Glins langsung menarik Rossi menjauh dari Fiolina, seolah dirinya adalah hama yang menjijikan.

"Kak, kenapa sih aku gak boleh gangguin Fiolina? Kak Glins bukannya gak suka juga sama dia? Kan gara-gara dia, Julio--si kakak tirimu itu--jadi punya alasan buat kembali ke rumah ini. Dan, Om Ferdinan pasti semakin pilih kasih nanti."

Glins menyunggingkan senyum liciknya. "Rossi sayang. Maksudku, jangan buang waktu kasih dia gangguan kecil kayak gitu. Aku punya ide lebih bagus."

"Gimana gimana?" Rossi menjadi sangat bersemangat.

"Kamu inget gak waktu dulu kamu gak dikasih uang jajan selama sebulan alasannya apa?"

Rossi mengerutkan keningnya, mencoba mengingat momen itu. Wajahnya berubah menjadi ceria seketika setelah dia berhasil ingat. "Aku inget. Karena aku ngerusak salah satu barang peninggalan Opa, kan? Oma marah besar waktu itu."

"Yup. Itu dulu kamu bikin rusak satu barang aja. Gimana kalau semua barang di ruang peninggalan Opa rusak semua?"

"Wow, ide brilian kak! Si Fiolina itu pasti langsung diusir sama Oma." Rossi tampak riang sekali.

Glins yang melihatnya--langsung mengangguk setuju. "Betul. Begitu juga Julio. Dia juga akan diusir dari sini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status