“Apa maksud dari foto itu? Apa kau sudah menggoda suamiku?” tanya wanita yang merupakan majikannya dengan suara menggelegar. Wanita itu melemparkan beberapa lembar foto ke arah Nalini. Nalini memungut salah satu foto dan tercengang saat mendapati gambar dirinya sedang berpegangan tangan dengan seorang pria.
Dia mengenal pria di foto itu. Pria itu adalah suami dari majikannya, dan merupakan pria yang selama ini kerap menggodanya terutama saat shift kerjanya hampir selesai. Nalini sudah beberapa kali mencoba menepis pria itu, namun tetap saja dia tak pernah menyerah.
“Nyonya, ini tidak seperti apa yang Anda pikirkan,” Nalini tidak tau siapa gerangan yang memotret momen itu. Setaunya, tadi malam sudah tidak ada siapa-siapa.
“Lalu bagaimana kau akan menjelaskan hal ini? kau akan berkata bahwa suamikulah yang menggodamu? Berkacalah, Nalini. Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan aku,” Majikannya itu semakin tersulut emosinya.
“Nyonya, jika itu memang kenyataannya apakah Anda tidak akan percaya pada saya?” mata Nalini berkaca-kaca. Dia tau saat ini posisinya tidak aman.
“Tentu saja aku tidak akan mempercayaimu. Dan harus kau tau. Aku paling tidak suka dengan pengkhianatan. Apalagi dilakukan oleh karyawanku yang aku anggap punya kemampuan sepertimu. Oh. Atau jangan-jangan kau berharap bisa menaikkan karirmu dengan mendekati suamiku? Agar suamiku bisa membantumu cepat naik menjadi kepala koki di restoran ini? Kau salah jika melakukan cara licik itu. Semua keputusan dalam restoran ini ada di bawah kendaliku.” ucap wanita paruh baya itu, masih terus mencecar Nalini.
“Nyonya, maaf tapi aku bukan orang yang buruk seperti itu. Aku tidak pernah berniat untuk menggoda lelaki beristri. Aku juga memiliki harga diri,”
“Harga diri? persetan dengan harga dirimu. Tidak ada toleransi untukmu kali ini, Nalini. Kau lebih baik keluar dari restoran ini. dan jangan terkejut jika setelah ini kau akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di mana-mana. Reputasimu sudah buruk di mataku, jadi akan buruk juga di mata pemilik restoran lain,” hardik sang majikan.
“Nyonya, apa Anda tidak bisa memberiku waktu untuk mencari bukti bahwa aku tidak bersalah? Ini adalah fitnah. Aku yakin ada seseorang yang sengaja memotret dan menghasut Anda," Nalini masih mencoba membela diri.
“Tidak ada kesempatan untukmu Nalini. Pergi sekarang juga atau aku akan memanggil satpam di luar untuk menyeretmu!" Majikannya itu pun kini benar-benar tak mampu mengendalikan amarahnya.
Nalini tak bisa berbuat apa-apa selain keluar dari ruangan itu. Ada satu orang dalam pikirannya yang ia anggap adalah pelapor dari masalah ini. Sebelum dia dipanggil menghadap pemilik restoran tempatnya bekerja, salah satu rekan kokinya baru saja keluar dari ruangan. Nalini sangat yakin, bahwa rekannya lah yang memfitnahnya, karena wanita itu adalah koki yang paling tidak suka dengan keberhasilan Nalini.
Nalini tidak mau tinggal diam. Dengan langkah pasti dia mencari keberadaan rekan kerjanya. Nalini menemukan wanita itu sedang berada di dekat lemari pendingin dan tanpa berbasa basi Nalini langsung menarik rambut sang wanita dari belakang. Hal itu membuat rekannya langsung berteriak dan mencoba membela diri.
“Sedang apa kau?” ucap rekan kerjanya, mencoba menghempaskan cengkeraman tangan Nalini.
“Kau mengaku saja, kau yang menfitnahku di hadapan bos kita kan? Kau yang mengambil foto itu dan memprovokasi Nyonya!” cecah Nalini tanpa basa-basi.
"Enak saja menyalahkanku. Ini salahmu sendiri karena sudah berani menggoda suami boss. Kau pantas memperoleh akibatnya," Sang rekan kerja yang tidak terima langsung membalas dengan menarik rambut Nalini juga. Terjadilah perkelahian antar dua Chef yang menghebohkan dapur restoran. Semua karyawan yang berada di situ tercengang mendengar kalimat yang diucapkan oleh keduanya, tapi tak ada yang berani melerai.
Mendengar keributan di dapur yang letaknya tepat di sebelah ruangannya, pemilik restoran merasa geram lalu langsung keluar dari ruangannya dan berjalan ke dapur.
“Apa yang kau lakukan, Nalini!”
Dua orang yang sedang terlibat perang itu segera menghentikan kegiatan mereka dan menoleh ke sumber suara. Nalini yang mendapat tatapan murka dari majikannya langsung menundukkan kepala.
Menyaksikan wajah pemilik restoran yang memerah dengan mata yang terus menatap Nalini, rekan kerjanya pun mengaitkan tangannya ke lengan sang majikan, memanfaatkan kesempatan untuk membuat majikannya itu mengambil sisinya.
"Nyonya, Nalini menuduhku, mengatakan bahwa aku memfitnahnya, padahal jelas-jelas aku sering melihatnya bermesraan dengan suamimu," ucapnya sembari memelas.
Tuduhan itu beserta jari milik si rekan kerja yang terus menunjuknya, membuat Nalini tak kuasa menahan amarah. Wanita itu pun melangkahkan kakinya, ingin memberikan pelajaran untuk rekan kerjanya. Namun, langkahnya dihentikan oleh tatapan bosnya yang menatapnya tajam.
“Berhenti. Bisa-bisanya menuduh karyawan yang lebih senior daripada kau! Sudah, aku sudah tidak ingin melihat wajahmu lagi. Pergi dari sini, dan jangan kembali lagi!”
Hentakan itu berhasil meluruhkan air mata Nalini. Perintah yang keluar dari mulut majikannya sudah benar-benar tidak bisa diganggu gugat. Para pegawai di restoran tersebut memusatkan perhatian pada Nalini. Mereka tidak menyangka dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Bisa-bisanya seorang koki berbakat seperti Nalini rela mengorbankan karirnya hanya demi mendekati lelaki yang notabene adalah suami bosnya.
Setelah mengemasi barang-barang miliknya, Nalini berjalan dengan langkah lunglai keluar dari restoran. Tepat di saat yang bersamaan, Nalini berpapasan dengan suami majikannya, pria yang menjadi sumber masalah utama dalam pemecatannya.
Pria itu menghampirinya dengan wajah murung seolah ikut merasa sedih dengan kepergiannya. Namun, dalam sekejap, senyuman itu berubah menjadi seringai paling menjijikkan yang pernah Nalini lihat.
"Selamat tinggal, Nalini. Aku sudah lama ingin menyingkirkanmu, agar aku bisa lebih sering bermesraan dengan rekan kerjamu."
****
Meskipun Nalini kini telah berada dalam pesawat menuju ke Indonesia, ucapan suami dari majikannya masih terus terngiang di dalam pikirannya. Jadi, dia bukan hanya difitnah, tapi dijadikan kambing hitam?
Nalini terus memikirkan kekesalannya kepada dua bedebah itu, bahkan ketika dia baru saja keluar dari toilet pesawat dan berjalan menuju ke tempat duduknya. Belum sampai di tempat duduknya, tiba-tiba terjadi guncangan di dalam pesawat. Para penumpang terkejut akibat turbulensi yang terjadi secara tiba-tiba. Nalini berdiam sambil berpegangan pada sandaran kursi milik penumpang lain.
"Para penumpang diharap untuk duduk di tempatnya dan pakailah sabuk pengaman Anda, harap tenang dan tidak perlu panik, pilot kami sudah terlatih dan profesional dalam menangani segala kondisi yang biasa terjadi saat penerbangan," salah satu pramugari memberikan pengumuman dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Nalini kebingungan karena posisi tempat duduknya masih lumayan jauh.
Guncangan yang semakin kencang membuat Nalini terjatuh. Tak hanya itu, kepalanya juga terbentur ke bangku pesawat yang ada di depannya. Hal itu membuat Nalini tak sadar bahwa dia terduduk di pangkuan seorang penumpang yang berada di sebelahnya saat posisi berdiri tadi.
"Aku tahu pangkuanku memang lebih hangat dari kursimu, tapi, bisakah Anda berdiri, Nona?"
"Aku tahu pangkuanku memang lebih hangat dari kursimu, tapi, bisakah Anda berdiri, Nona?" Sebuah nada suara yang berat dan juga napas panas di telinganya membuatnya terkejut."Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja terjatuh," Nalini merasa bersalah dan mencoba untuk berdiri. Namun guncangan masih belum reda sehingga dirinya tak sanggup. Ada rasa takut juga jika dia melepaskan pegangannya pada pria itu. "Nona, pramugari menginstruksikan pada kita untuk duduk di kursi masing-masing dan memasang sabuk pengaman," pria tersebut terlihat kesal. Tapi wajah tampannya juga menunjukkan sedikit kepanikan dengan apa yang terjadi di dalam pesawat saat ini. "Pak, maafkan saya. Tapi kondisi tidak memungkinkan bagi saya untuk kembali ke tempat duduk," Nalini tau posisinya dan pria di hadapannya sangatlah tidak nyaman saat ini. Pria tersebut hanya mendengus kesal. Beberapa tas milik penumpang mulai berjatuhan dari kompartemen atas. Itu menunjukkan bahwa guncangan begitu terasa. Meskipun turbulensi
"Ayah, tau darimana tentang fitnah yang ditujukan padaku?" tanya Nalini sambil menatap sang ayah. "Memangnya kau pikir aku tidak tau apa saja yang kau lakukan selama di sana?" ayahnya memberikan pernyataan yang sontak membuat Nalini terperangah. "Ayah memata-mataiku selama ini?" tanya Nalini tak habis pikir. Ayah tak menjawab, tapi dari tatapannya sudah menjelaskan bahwa apa yang ia pikirkan benar adanya. "Ayah, aku harap kau tidak percaya dengan berita yang beredar. Aku sama sekali tidak memiliki hubungan dengan suami Nyonya Rebecca. Kejadiannya tidak seperti yang dituduhkan. "Apa kau punya bukti jika itu tidak benar?" tanya ayah dengan suara beratnya. Mata Nalini berkaca-kaca, "Tidak masalah jika orang lain tidak mau mempercayaiku. Tapi aku berharap keluargaku sendiri bisa percaya padaku. Aku tidak mungkin melakukan hal semenjijikkan itu". "Sejak kau keluar dari rumah ini. Tidak ada kewajiban bagiku untuk mempercayai anak pembangkang sepertimu," tatapan mata ayahnya menampakk
Nalini dan Sivia langsung menoleh ke sumber suara. Nalini membelalakan mata. Sedang Sivia tersenyum melihat siapa yang datang. Namun senyumnya langsung pudar saat melihat ekspresi di wajah ayahnya."Oh. Kau lagi? Gadis turbulensi, mengapa kau ada di sini bersama putriku? Kau berencana menculiknya?" kini pegangan tangan pada Sivia pada tangan Nalini terlepas."Oh. Kau? Kau ayah dari gadis kecil ini?" Nalini baru menyadari jika pria itu adalah pria yang bertemu dengannya di pesawat. Dia sudah ingat sosok tampan itu. Sosok yang tak sengaja ia peluk."Sekarang ikut aku ke kantor polisi. Kau harus ditangkap karena berniat melakukan penculikan," pria itu menarik lengan Nalini dengan kasar."Tu-tunggu dulu. Aku tidak berniat menculik. Aku bertemu dengannya di gerbang sekolah. Dan dia sendiri yang memintaku menemaninya membeli ice cream," Nalini berusaha menjelaskan.Ayah Sivia nampak berpikir lalu mengalihkan pandangan ke arah putrinya, "sayang, apakah kau mengenal wanita itu?"Sivia menggel
"Tentu saja kau harus menikah lagi, mau sampai kapan kau akan bertahan dengan status dudamu. Apa kau tidak ingin memiliki pendamping hidup?" Ibu Megantata mencoba membujuk anaknya."Bu, menikah itu bukan sebuah keputusan yang mudah," Megantara menunduk."Ibu tau. Kau masih menyimpan penyesalan dan rasa bersalah pada mendiang istrimu bukan?" Ibu duduk di sebelah Megantara."Ibu sudah tau, tapi masih saja memaksaku menikah lagi," Megantara tertawa miris."Ibu dan ayah yang bersalah. Seandainya dahulu ibu dan ayah tidak bersikeras menjodohkanmu. Kau tidak akan menjalani pernikahan dengan setengah hati. Lalu menyia-nyiakan istri yang begitu tulus dan perhatian padamu," sesal ibu."Aku tidak menyalahkan ayah dan ibu. Memang sudah jalan takdirku. Jika ayah dan ibu menyesal, itu artinya kalian juga menyesali keberadaan Sivia," tutur Megantara."Tentu saja tidak. Sivia adalah cucu yang sangat kami sayangi,""Dia hadiah terindah dari istriku," Megantara mengenang kembali wajah cantik sang istr
'Makanan ini, rasanya mirip sekali dengan buatan mendiang istriku,' batin Megantara takjub. Mulutnya tidak bisa berhenti mengunyah. Spagetty yang berisi potongan seafood tersebut ludes dalam hitungan kurang dari lima menit. "Chef, siapapun yang memasak makanan ini, pekerjakan dia di restoran hotel ini," kata Megantara pada kepala koki yang masih bingung di depannya. Megantara juga tak lupa mengusap jejak air mata di pipinya. "Apakah makanannya sangat enak sehingga membuat Anda menangis Tuan?" tanya koki hati-hati. Megantara hanya mengangguk sekilas. Tidak mungkin dia terlalu blak-blakan mengatakan rasa makanan ini begitu lezat di mulutnya setelah bertahun-tahun hanya merasakan makanan yang hambar. Dia sendiri masih takjub dan tidak percaya dengan keanehan ini. Dan kebetulannya, spagetty seafood memang makanan favorit mendiang istrinya. "Bagaimana dengan dua kandidat yang lainnya tuan?" tanya kepala koki lagi. "Aku hanya menginginkan yang satu itu. Tapi jika kau ingin menerima lebi
Nalini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia dipertemukan lagi dengan lelaki itu. Lelaki yang bertemu dengannya di pesawat sekaligus seorang ayah yang menuduhnya menculik seorang anak perempuan.“Kau seperti sedang melihat hantu saja Nona,” cibir Megantara.“Anda memang seperti hantu karena berada dimana-mana,” celetuk Nalini. kemudian dia menutup mulutnya dengan tangan. Dia menyadari bahwa yang sedang ia hadapi adalah CEO hotel ini. itu artinya lelaki di hadapannya adalah bos dari bosnya.Megantara terkekeh, “Akupun tak menyangka jika kau adalah chef yang diterima di restoran hotelku. Aku pikir chefnya seorag pria. Dan dari penampilanmu tidak menunjukkan jika kau bisa mengelola dapur”.Kata-kata Megantara terdengar meremehkan di telinga Nalini.“Saya juga tidak menyangka jika Anda adalah CEO sekaligus pemilik hotel sebesar ini,” Nalini memberanikan diri untuk membalas. Tapi memang betul, pada kenyataannya Nalini pikir pemilik hotel ini adalah seorang pria yang sudah berumur, b
“Ya, aku akan menerima tugas dari Anda jika aku diperbolehkan untuk mengambil libur dua hari. Hari Minggu dan Senin. Karena aku ingin menikmati akhir pekanku dan Senin aku ingin mengajar di TK,” kata Nalini memberanikan diri menyuarakan keinginannya.“Di restoran ini tidak ada karyawan yang mengajukan libur di akhir pekan karena restoran akan lebih ramai saat akhir pekan,” Megantara merasa syarat yang diajukan Nalini sulit untuk di penuhi.“Inilah mengapa aku meminta ijin khusus, karena tugas yang harus aku jalani juga khusus,” Nalini mencoba bernegosiasi.Megantara terdiam dan berpikir sejenak. Gadis di hadapannya pintar juga. Dia pasti merasa sangat dibutuhkan sehingga berani mengajukan syarat. Padahal dia bukan siapa-siapa jika bukan karena makanan buatannya terasa enak di lidah Megantara.“Bagaimana Pak? Apakah syarat saya diterima? Jika tidak, maka dengan berat hati saya memilih untuk menjadi koki restoran biasa saja. Karena tugas khusus dari Anda akan cukup sulit untuk di lakuka
Nalini berjalan mendorong troli berisi makanan masuk ke ruangan Megantara.“Apakah kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu ketika memasuki ruangan bosmu?”“Maaf pak, saya terburu-buru karena restoran siang hari ini sangat ramai. Saya harus cepat-cepat kembali ke tempat kerja saya,” jawab Nalini memberikan alasan. Dia segera meletakkan makanan di meja tamu milik Megantara. Karena dia tidak mungkin menghidangkannya langsung di meja kerja Megantara yang penuh dengan berkas.Megantara beranjak dari duduknya, mengendorkan dasinya dan duduk di sofa. Menatap makanan yang tersaji dengan mulut menganga. Dia sudah tidak sabar untuk memindahkan makanan itu ke mulutnya.“Banyak koki lain yang bisa mengurus pelanggan restoran. Tugas utamamu adalah mengurus makanku,” Megantara memberikan ultimatum dengan nada ketusnya. Tapi ekspresinya berubah manis saat sudah menyendokkan spagetty ke mulutnya. Dia benar-benar bisa memanjakan lidahnya.Nalini menahan senyumnya melihat sang bos yang bersikap a