Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
“Apa maksud dari foto itu? Apa kau sudah menggoda suamiku?” tanya wanita yang merupakan majikannya dengan suara menggelegar. Wanita itu melemparkan beberapa lembar foto ke arah Nalini. Nalini memungut salah satu foto dan tercengang saat mendapati gambar dirinya sedang berpegangan tangan dengan seorang pria. Dia mengenal pria di foto itu. Pria itu adalah suami dari majikannya, dan merupakan pria yang selama ini kerap menggodanya terutama saat shift kerjanya hampir selesai. Nalini sudah beberapa kali mencoba menepis pria itu, namun tetap saja dia tak pernah menyerah. “Nyonya, ini tidak seperti apa yang Anda pikirkan,” Nalini tidak tau siapa gerangan yang memotret momen itu. Setaunya, tadi malam sudah tidak ada siapa-siapa. “Lalu bagaimana kau akan menjelaskan hal ini? kau akan berkata bahwa suamikulah yang menggodamu? Berkacalah, Nalini. Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan aku,” Majikannya itu semakin tersulut emosinya. “Nyonya, jika itu memang kenyataannya apakah Anda tida
"Aku tahu pangkuanku memang lebih hangat dari kursimu, tapi, bisakah Anda berdiri, Nona?" Sebuah nada suara yang berat dan juga napas panas di telinganya membuatnya terkejut."Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja terjatuh," Nalini merasa bersalah dan mencoba untuk berdiri. Namun guncangan masih belum reda sehingga dirinya tak sanggup. Ada rasa takut juga jika dia melepaskan pegangannya pada pria itu. "Nona, pramugari menginstruksikan pada kita untuk duduk di kursi masing-masing dan memasang sabuk pengaman," pria tersebut terlihat kesal. Tapi wajah tampannya juga menunjukkan sedikit kepanikan dengan apa yang terjadi di dalam pesawat saat ini. "Pak, maafkan saya. Tapi kondisi tidak memungkinkan bagi saya untuk kembali ke tempat duduk," Nalini tau posisinya dan pria di hadapannya sangatlah tidak nyaman saat ini. Pria tersebut hanya mendengus kesal. Beberapa tas milik penumpang mulai berjatuhan dari kompartemen atas. Itu menunjukkan bahwa guncangan begitu terasa. Meskipun turbulensi
"Ayah, tau darimana tentang fitnah yang ditujukan padaku?" tanya Nalini sambil menatap sang ayah. "Memangnya kau pikir aku tidak tau apa saja yang kau lakukan selama di sana?" ayahnya memberikan pernyataan yang sontak membuat Nalini terperangah. "Ayah memata-mataiku selama ini?" tanya Nalini tak habis pikir. Ayah tak menjawab, tapi dari tatapannya sudah menjelaskan bahwa apa yang ia pikirkan benar adanya. "Ayah, aku harap kau tidak percaya dengan berita yang beredar. Aku sama sekali tidak memiliki hubungan dengan suami Nyonya Rebecca. Kejadiannya tidak seperti yang dituduhkan. "Apa kau punya bukti jika itu tidak benar?" tanya ayah dengan suara beratnya. Mata Nalini berkaca-kaca, "Tidak masalah jika orang lain tidak mau mempercayaiku. Tapi aku berharap keluargaku sendiri bisa percaya padaku. Aku tidak mungkin melakukan hal semenjijikkan itu". "Sejak kau keluar dari rumah ini. Tidak ada kewajiban bagiku untuk mempercayai anak pembangkang sepertimu," tatapan mata ayahnya menampakk
Nalini dan Sivia langsung menoleh ke sumber suara. Nalini membelalakan mata. Sedang Sivia tersenyum melihat siapa yang datang. Namun senyumnya langsung pudar saat melihat ekspresi di wajah ayahnya."Oh. Kau lagi? Gadis turbulensi, mengapa kau ada di sini bersama putriku? Kau berencana menculiknya?" kini pegangan tangan pada Sivia pada tangan Nalini terlepas."Oh. Kau? Kau ayah dari gadis kecil ini?" Nalini baru menyadari jika pria itu adalah pria yang bertemu dengannya di pesawat. Dia sudah ingat sosok tampan itu. Sosok yang tak sengaja ia peluk."Sekarang ikut aku ke kantor polisi. Kau harus ditangkap karena berniat melakukan penculikan," pria itu menarik lengan Nalini dengan kasar."Tu-tunggu dulu. Aku tidak berniat menculik. Aku bertemu dengannya di gerbang sekolah. Dan dia sendiri yang memintaku menemaninya membeli ice cream," Nalini berusaha menjelaskan.Ayah Sivia nampak berpikir lalu mengalihkan pandangan ke arah putrinya, "sayang, apakah kau mengenal wanita itu?"Sivia menggel
"Tentu saja kau harus menikah lagi, mau sampai kapan kau akan bertahan dengan status dudamu. Apa kau tidak ingin memiliki pendamping hidup?" Ibu Megantata mencoba membujuk anaknya."Bu, menikah itu bukan sebuah keputusan yang mudah," Megantara menunduk."Ibu tau. Kau masih menyimpan penyesalan dan rasa bersalah pada mendiang istrimu bukan?" Ibu duduk di sebelah Megantara."Ibu sudah tau, tapi masih saja memaksaku menikah lagi," Megantara tertawa miris."Ibu dan ayah yang bersalah. Seandainya dahulu ibu dan ayah tidak bersikeras menjodohkanmu. Kau tidak akan menjalani pernikahan dengan setengah hati. Lalu menyia-nyiakan istri yang begitu tulus dan perhatian padamu," sesal ibu."Aku tidak menyalahkan ayah dan ibu. Memang sudah jalan takdirku. Jika ayah dan ibu menyesal, itu artinya kalian juga menyesali keberadaan Sivia," tutur Megantara."Tentu saja tidak. Sivia adalah cucu yang sangat kami sayangi,""Dia hadiah terindah dari istriku," Megantara mengenang kembali wajah cantik sang istr