Share

2. Turbulensi

"Aku tahu pangkuanku memang lebih hangat dari kursimu, tapi, bisakah Anda berdiri, Nona?"

Sebuah nada suara yang berat dan juga napas panas di telinganya membuatnya terkejut.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja terjatuh," Nalini merasa bersalah dan mencoba untuk berdiri. Namun guncangan masih belum reda sehingga dirinya tak sanggup. Ada rasa takut juga jika dia melepaskan pegangannya pada pria itu.

"Nona, pramugari menginstruksikan pada kita untuk duduk di kursi masing-masing dan memasang sabuk pengaman," pria tersebut terlihat kesal. Tapi wajah tampannya juga menunjukkan sedikit kepanikan dengan apa yang terjadi di dalam pesawat saat ini.

"Pak, maafkan saya. Tapi kondisi tidak memungkinkan bagi saya untuk kembali ke tempat duduk," Nalini tau posisinya dan pria di hadapannya sangatlah tidak nyaman saat ini. Pria tersebut hanya mendengus kesal.

Beberapa tas milik penumpang mulai berjatuhan dari kompartemen atas. Itu menunjukkan bahwa guncangan begitu terasa. Meskipun turbulensi adalah hal yang sering terjadi selama penerbangan, tetapi ketika mengalaminya para penumpang tetap tidak bisa menyembunyikan rasa panik. Ada yang berteriak dan merapalkan doa.

"Ya Tuhan, jangan biarkan pesawat ini jatuh. Aku belum sempat bertemu dengan kedua orangtuaku dan meminta maaf pada mereka," Nalini memeluk pria asing di depannya karena begitu panik dan takut.

Mimpi apa pria itu, kejatuhan gadis yang tak ia kenal lalu kini dipeluk oleh gadis itu. Namun, entah mengapa, pria itu tak berusaha untuk melepaskan pelukan dari gadis cantik itu.

"Hey Nona, jangan khawatir. Percayalah pada pilot dan awak pesawat lainnya. Mereka sudah profesional dan pasti akan mampu mengatasi masalah ini dengan baik." ucap sang pria, berusaha menenangkan wanita yang berada di pelukannya.

Nalini menatap pria itu, dia baru menyadari jika pria itu memiliki ketampanan di atas standar ketampanan pria biasa. Hidungnya yang mancung, alis mata yang tebal, garis rahangnya yang tegas dan lengannyapun kekar.

"Untuk apa menatapku dengan cara seperti itu?" tanya pria yang wajahnya hanya berjarak beberapa centimeter dari Nalini.

Nalini memalingkan muka. Wajahnya memerah. Tentu saja dia malu karena pria itu berkata terlalu blak-blakan. Dia mengedarkan pandangan dan baru menyadari jika guncangan sudah berhenti. Kini kondisi pesawat sudah aman.

Nalini sontak berdiri dari atas pangkuan pria tersebut, "Maaf dan terima kasih," Nalini tidak tau ungkapan apa yang harus ia berikan pada pria yang sebenarnya tidak menolongnya tapi sudah membuatnya  merasa tertolong karena tidak membiarkan Nalini terjatuh atau terbentur saat turbulensi tadi.

Nalini berjalan menuju ke tempat duduknya dengan rasa malu yang masih menghinggapinya. Dia berharap setelah ini dia tidak bertemu lagi dengan pria tampan yang tak ia ketahui namanya itu. Jika bukan karena terdesak, dia tidak mungkin melemparkan tubuhnya begitu saja ke pelukan orang asing. Dia bukan tipe gadis yang seperti itu. Dia selalu menjunjung tinggi harga dirinya sebagai seorang perempuan.

Dalam perjalanan menuju ke tempat duduknya dia membantu pramugari yang sedang membereskan tas-tas yang berserakan di lantai pesawat dan mengembalikan ke kompartemen atas.

"Terima kasih, Nona. Maaf membuat perjalanan Anda tidak nyaman," kata pramugari yang berdiri di sampingnya.

"Ya, perjalanan yang tidak pernah akan aku lupakan, aku ketakutan setengah mati tadi," jawab Nalini setengah berbisik.

Pramugari itu tersenyum lalu menjawab, "Tenang saja Nona, saat ini kondisi pesawat sudah stabil dan akan mendarat dengan selamat".

"Syukurlah kalau begitu," Nalini menghembuskan nafas lega lalu duduk di kursinya dan menatap ke jendela pesawat untuk melihat pemandangan awan.

Satu jam kemudian, pesawat berhasil landing dengan sempurna di Bandara. Nalini bergegas keluar, berjalan menuju tempat pengambilan koper dan menunggu kopernya datang. Setelah mengecek jika tidak ada yang tertinggal, dia segera berjalan menuju pintu keluar bandara.

Ada sebuah taksi yang berhenti tepat di depannya namun seorang pria bergegas memegang handle pintu bagian penumpang di taksi itu sambil menoleh ke arah Nalini yang terkejut karena taksinya diserobot.

"Jika kau merasa berhutang budi dengan bantuanku tadi di pesawat, kau harus merelakan taksi ini untukku. Aku sangat terburu-buru. Terima kasih," kata pria itu  sesaat sebelum masuk ke dalam taksi, supir dengan sigap memasukkan barang bawaan pria itu ke dalam bagasi dan taksipun segera melaju meninggalkan Nalini yang terbengong-bengong.

Sangat menyebalkan, tapi Nalini mencoba untuk bersikap sabar karena mau tidak mau dia harus mengakui jika pria itu sudah menolongnya, dengan tidak sengaja. Tapi pertemuan singkat barusan menunjukkan bahwa doa Nalini untuk tidak dipertemukan lagi dengan pria itu tidak dikabulkan. Baru keluar dari Bandara saja sudah berpapasan lagi.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam menggunakan taksi, Nalini sampai di depan rumahnya. Ada keraguan untuk masuk kesana. Tapi dia tidak punya tempat tujuan lain dan diapun merindukan keluarga yang sudah lama tidak pernah ia temui.

Kejadian mendebarkan di pesawat tadi ternyata membuatnya menyesal jika tidak segera menemui orangtuanya untuk meminta maaf. Dia berandai-andai, jika saja tadi nyawanya tak selamat, maka dia pasti akan langsung dimasukkan ke neraka dan mendapatkan siksa.

Dengan memberikan semangat pada dirinya sendiri. Nalini berjalan memasuki gerbang rumahnya lalu membukanya karena jika sore hari seperti ini pintu rumah biasanya tak terkunci karena ibu biasanya menunggu kepulangan ayah.

Nalini membuka pintu lalu berjalan masuk. Derap langkah kakinya membuat seseorang yang sedang menikmati secangkir tehnya menoleh.

"Ayah," panggil Nalini ragu. Dia mengesampingkan rasa malu dan tidak tau dirinya untuk menghadap sang ayah.

Bola mata sang ayah hampir keluar saat melihat kedatangan putri yang sudah lama meninggalkan rumah. Tapi beberapa detik kemudian ayah bisa mengatasi keterkejutannya dan memasang tampang dingin.

"Masih ingat untuk pulang?" tanya ayah dengan nada sarkas.

Nalini tak menjawab. Dia menundukkan kepalanya. Rasa rindu berada di pelukan ayahnya kian mencuat. Tapi apa daya, menatap bola mata ayahnya pun dia tak sanggup.

Tak memeluknya, atau bahkan sekadar menyapanya yang sudah lama tak pulang, ayahnya justru langsung mengatakan hal yang membuatnya benar-benar putus asa.

"Jauh-jauh pergi ke Swiss, meninggalkan rumah bertahun-tahun. Hanya berakhir menjadi selingkuhan suami bosmu? Dasar tidak tahu malu!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status