Share

4. Bertemu Lagi

Nalini dan Sivia langsung menoleh ke sumber suara. Nalini membelalakan mata. Sedang Sivia tersenyum melihat siapa yang datang. Namun senyumnya langsung pudar saat melihat ekspresi di wajah ayahnya.

"Oh. Kau lagi? Gadis turbulensi, mengapa kau ada di sini bersama putriku? Kau berencana menculiknya?" kini pegangan tangan pada Sivia pada tangan Nalini terlepas.

"Oh. Kau? Kau ayah dari gadis kecil ini?" Nalini baru menyadari jika pria itu adalah pria yang bertemu dengannya di pesawat. Dia sudah ingat sosok tampan itu. Sosok yang tak sengaja ia peluk.

"Sekarang ikut aku ke kantor polisi. Kau harus ditangkap karena berniat melakukan penculikan," pria itu menarik lengan Nalini dengan kasar.

"Tu-tunggu dulu. Aku tidak berniat menculik. Aku bertemu dengannya di gerbang sekolah. Dan dia sendiri yang memintaku menemaninya membeli ice cream," Nalini berusaha menjelaskan.

Ayah Sivia nampak berpikir lalu mengalihkan pandangan ke arah putrinya, "sayang, apakah kau mengenal wanita itu?"

Sivia menggeleng dengan wajah polosnya. Ayah Sivia nampak geram lalu kembali menatap Nalini dengan tajam. "Kau berbohong padaku? Bagaimana mungkin anakku meminta diantar oleh orang yang tidak dikenalnya".

"Pak, jika Anda tidak percaya, ayo kita masuk ke dalam. Aku datang kesini untuk menemui temanku yang bekerja sebagai guru di sini. Aku sama sekali tidak memiliki niat jahat. Jadi tolong tidak perlu membawa-bawa polisi,"

"Baiklah. Ayo kita masuk sekarang," jawab ayah Sivia sesaat setelah berpikir.

Mereka bertiga masuk ke gedung sekolah Sivia lalu mencari ruang guru. Nalini sama sekali belum mengenal gedung sekolah ini sehingga dia hanya mengikuti langkah dua orang di depannya.

"Selamat siang Pak Megantara. Senang bertemu dengan Anda," sambut ibu kepala sekolah yang melihat Megantara beserta Sivia masuk. Diikuti oleh Nalini.

"Oh, tunggu dulu. apakah ini calon ibu untuk Sivia?" Ibu kepala sekolah terlalu ceplas ceplos.

Mulut Nalini menganga. Megantara menghembuskan nafas kasar.

"Bukan bu, saya justru ingin menanyakan siapa gadis ini. Mengapa dia dengan berani menggandeng tangan anak saya dan mengajaknya berjalan menjauhi sekolah. Saya takut dia memiliki niat jahat pada Sivia,"

Ibu kepala mengerutkan keningnya, dia juga tidak mengenal siapa gadis di hadapannya.

"Nalini," panggil Sandra saat dia baru memasuki ruang guru. Nalini menoleh. Mengisyaratkan pada Sandra agar berjalan mendekat.

"San, kau mengenal gadis ini," tanya ibu Kepala yang sekarang sudah menatap Sandra.

"Iya bu. Dia teman yang saya ceritakan pada Anda tadi pagi," jawab Sandra.

"Oh Pak Megan, sepertinya terjadi kesalahpahaman kali ini," ibu Kepala mencoba meredakan kekesalan Megantara.

"Saya mohon dengarkan penjelasan saya," kemudian Nalini menjelaskan kronologi pertemuannya dengan gadis cilik yang bernama Sivia itu. Megan masih tampak tak mempercayai apa yang keluar dari mulut gadis itu.

"Sivia, apakah yang diceritakan oleh Nona ini betul?" tanya ibu Kepala pada Sivia

Sivia mengangguk. Nalini menghembuskan nafas lega. Megantara masih terlihat kesal.

"Baiklah saya tidak akan memperpanjang urusan ini. Tapi saya harap kejadian ini tidak terulang lagi. Bagaimana bisa anak saya berada di luar gerbang tanpa pengawasan guru,"

"Baik tuan. Ini kelalaian saya. Tadi saya pergi ke toilet sebentar saat Sivia masih bermain dengan temannya. Barusan saat saya cek diluar Sivia sudah tidak ada. Saya pikir Anda atau Nenek Sivia sudah menjemput. Ternyata masih disini dan ada Nalini, teman saya juga," Sandra menjelaskan karena ternyata seharusnya Sandralah yang menjaga Sivia.

"Ayo sayang, kita pulang," Megantara menarik pelan tangan anaknya dan berjalan keluar.

Setelah ayah dan anak itu tidak terlihat, ibu Kepala bertanya pada Nalini, "Mengapa kau berani menuruti permintaan Sivia? Kau bahkan dituduh sebagai penculik,"

"Maafkan saya bu. Saya hanya tidak ingin melihat gadis kecil itu sendirian dan bersedih," Nalini mengungkapkannya dengan tulus. Dan juga ada perasaan kehilangan saat gadis kecil itu pulang bersama ayahnya.

"Yasudah, mari kita lanjutkan obrolan kita bertiga di ruanganku," kata ibu Kepala Sekolah sambil berjalan ke ruangannya diikuti oleh Sandra dan Nalini.

***

Megantara dan Sivia kini sudah sampai rumah. Megantara berjalan dengan langkah tegapnya. Ekspresinya masih tak bersahabat. Membuat Sivia ketakutan.

"Nenek," panggil Sivia pada sang nenek yang menyambut kedatangan anak dan cucunya. Mata Sivia berkaca-kaca.

"Hallo cucu nenek. Mengapa kau terlihat bersedih?" tanya sang nenek. Diliriknya Megantara yang kini menjatuhkan tubuhnya di sofa dan memijat pelipisnya.

"Ayah marah padaku," tangis Sivia pecah. Nenek memeluk Sivia dan menenangkannya dengan mengusap punggung Sivia.

"Ada apa sebenarnya? Ada masalah yang terjadi di sekolah?" tanya nenek. Sivia tak menjawab. Megantara enggan menanggapi tapi emosinya membuatnya akhirnya berbicara.

"Sivia dengan tanpa takutnya meminta diantar oleh orang asing membeli es krim. Aku tidak tau apa jadinya jika orang itu penjahat,"

"Sivia, mengapa kau seperti itu? Bukankah kau boleh keluar dari sekolah jika sudah ada keluarga yang menjemput?"

"Nenek, tapi tante itu sangat ramah dan cantik. Dia tidak seperti orang jahat," Sivia membela diri.

"Bagaimanapun orang itu, jika kau belum mengenalnya. Kau tidak boleh berkomunikasi apalagi sampai pergi dengan orang itu. Kau mengerti?" Nenek memberi nasehat dengan lembut. Sivia mengangguk.

Lalu sang nenek meminta Sivia pergi ke kamarnya untuk berganti baju. Sudah waktunya Sivia makan siang. Setelah Sivia meninggalkan ruang keluarga, tinggalah Megantara dan sang ibu.

"Mengapa akhir-akhir ini kau tidak bisa bersikap lembut pada Sivia?" tanya ibu.

"Ibu, Sivia sudah mulai sering membantah omonganku," jawab Megantara kesal. Padahal di dalam hatinya dia begitu mengkhawatirkan anaknya. Dia takut terjadi sesuatu pada anak semata wayangnya. Namun justru kemarahannyalah yang muncul. Dia akan sangat menyalahkan diri sendiri jika sampai terjadi hal buruk pada Sivia.

"Sebenarnya dia sudah menunjukkan kemandiriannya. Hanya saja terkadang sedikit agak nekat. Jika kau justru menekannya dengan amarahmu, itu tidak akan baik untuk psikisnya. Kau harusnya bersyukur. Meskipun tanpa seorang ibu, Sivia bisa tumbuh dengan baik, cantik dan cerdas,"

Megantara terlihat berpikir. Sivia memang tumbuh dengan sangat baik walaupun dia tidak pernah mengenal sosok ibunya. Dia tak pernah mendapat kasih sayang dari sang ibu. Di saat pertama kali dia membuka matanya di dunia ini, sang ibu justru menutup mata untuk selama-lamanya.

"Andaikan kau mau mencari kekasih untuk kau nikahi sekaligus menjadi ibu untuk Sivia, pasti keadaannya akan berbeda," kata ibu sambil mengerlingkan matanya.

"Maksud ibu, aku harus menikah lagi?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status