Share

Mantan Abin

Abin dan Jisya berjalan dari parkiran menuju gedung kampus. Semenjak berpacaran dengan Jisya, Abin banyak berubah. Yang sebelumnya sering bolos kuliah, mendadak rajin masuk. Tentunya atas paksaan Jisya. Gadis itu tak main-main dengan keinginannya mengubah Abin.

Di sepanjang jalan, tak ada pasang mata yang lepas memandangi mereka. Meskipun tak terlihat saling bersentuhan satu sama lain, hanya jalan bersebelahan saja sudah membuat iri semua pengagum Abin. Bahkan, Abin dan Jisya disebut sebagai Couple goals di kampusnya. 

Jisya adalah mahasiswi yang berprestasi. Selalu mendapatkan IPK tertinggi setiap semester hingga namanya selalu menjadi buah bibir dosen. Dia juga memiliki pekerjaan sampingan menjadi model di bebagai majalah dan brand ambassador kosmetik ternama. Sedangkan Abin, personel band terkenal di kotanya. Dia juga menjadi standar pacar idaman mahasiswi di kampusnya.

Begitulah perempuan, ingin pacar bad boy, tapi tidak siap disakiti. Kalau sudah disakiti bilangnya, semua laki-laki sama saja. Itulah yang harusnya juga disiapkan oleh Jisya.

“Nanti pulangnya jadi nganterin aku pemotretan, kan?” tanya Jisya ketika mereka sampai di lorong yang cukup sepi.

Abin berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tatapannya lurus ke depan seolah tak peduli dengan kanan dan kirinya. Tapi, dia selalu mendengarkan apa yang diucapkan Jiysa. “Jadi,” jawab Abin tanpa menoleh ke Jisya.

Sikap cuek Abin itu membuat Jisya menggerutu. “Ih, Abin! Kalau bicara sama orang itu dilihat orangnya! Nggak sopan!”

Abin pun mendadak menghentikan langkahnya dan membuat Jisya juga berhenti. Abin tak membuka mulutnya sedikit pun. Hanya menatap Jisya dengan tajam membuat ludah Jisya tersangkut di kerongkongan.

“A—Abin… jangan gitu dong lihatinnya,” ucap Jisya dengan nada yang melirih. Dia paling tidak suka ditatap dengan intens oleh seseorang. Terlebih, Abin yang menatapnya.

Abin tetap tak menjawabnya. Tiba-tiba saja dia mendorong kening Jisya menggunakan keningnnya hingga membuat gadis itu berjalan mundur dan punggungnya membentur tembok. “A—bin… nanti kita dikira ngapa-ngapain.” Abin tetap bergeming dan matanya semakin menelisik manik Jisya yang terlapisi softlens biru.

“Ih, Abin….”

Perlahan Abin menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkungkan senyuman yang terlihat menawan. Jisya lemah kalau ditatap seperti itu.

“Katanya, kalau bicara suruh lihat orangnya. Ini aku lihat kamu deket banget malah. Masih kurang?”

Jisya terdiam ketika napas Abin menerpa setiap inci kulit wajahnya. Aromanya sudah berubah, tidak seperti pertama kali mereka kenal. Aroma rokok yang menyengat. Jisya cukup lega, itu artinya Abin menuruti perintahnya untuk berhenti merokok.

Jisya menghela napasnya dengan Jenuh. “Tapi, jangan deket-deket gini juga, Abin.” Jisya melirik di sekitarnya. Takut kalau ada orang yang tiba-tiba melihat kelakuan Abin padanya.

Abin mengikuti arah pandang Jisya. “Nggak bakal ada yang ngelihat.

“Jauhan dong, Abin!” Abin memang pandai menggoda Jisya hingga membuat gadis itu kesal. Akhirnya, dia pun menjauhkan keningnya dan berganti menyisipkan kelima jarinya di sela-sela jemari Jisya. Melanjutkan langkah mereka.

***

Jam kuliah telah usai beberapa menit yang lalu. Jisya juga sudah nangkring di atas motor Abin dan melingkarkan tangannnya di pinggang kekasihnya itu. “Jangan ngebut!” peringat Jisya sebelum Abin menarik gasnya.

Abin hanya menjawabnya dengan memutar kepalanya sejenak, tanpa suara. Jisya tak tahu apa maksudnya. Laki-laki itu menyeringai dan langsung menarik gasnya dengan kencang. Tak peduli dengan Jisya yang mengomel di belakang.

Sampai di depan gedung tempat Jisya akan melakukan pemotretan, Abin memarkirkan motornya dan melepas helmnya. Tak lupa juga melepaskan helm Jisya. Jisya sebenarnya bukan gadis manja, hanya saja Abin yang ingin membuat gadis itu merasa istimewa.

Bahkan mereka memasuki gedung itu dengan bergandengan tangan. Sampai-sampai semua karyawan di sana tahu kalau mereka berpacaran.

Abin menganga melihat Jisya yang sudah berganti pakaian dan wajah berlapis make up tipis yang terlihat natural. “Kok gitu lihatinnya?”

“Kurang pendek itu roknya,” komentar Abin melihat pakaian yang dikenakan Jisya. Kemeja putih dengan dua kancing yang tidak dikaitkan dan rok jeans yang sangat pendek.

“Ini udah pendek banget, Abin!” Kalau saja tidak demi pekerjaan, Jisya tidak mau memakai pakain yang terbuka.

“Bercanda,” jawab Abin terkekeh. Menangkup pipi Jisya sekilas dan menyuruhnya segera atur posisi karena fotografernya sudah siap.

Abin duduk nyaman di sebuah sofa dengan tangan yang sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel. Sesekali mengarahkan pandangannya pada Jisya yang tengah berpose di depannya. Melihat betapa profesionalnya kekasihnya itu ketika bekerja. Jisya juga sesekali melirik ke arahnya. Meksipun tidak suka dengan Abin yang sibuk dengan ponselnya, Jisya tak pernah protes. Dia mencoba memahami Abin yang memang memiliki banyak koneksi.

Di sela-sela pemotretan, Abin memberi kode pada Jisya untuk meminta izin keluar ruangan sebentar dan dijawab berupa anggukan kepala oleh Jisya.

Sampai waktu pemotretan habis, Abin belum juga kembali. Hilangnya Abin membuat Jisya mengkhawatirkannya. Akan tetapi, mencoba terlihat tenang di depan rekan-rekan kerjanya.

Bahkan jisya sudah selesai mengganti pakaian, pun Abin belum juga kembali. Sampai akhirnya Jisya memutuskan untuk meneleponnya. Tapi, sia-sia. Nomornya tidak aktif. Jisya masih bisa berpikir positif. Barangkali baterainya lowbat.

Karena sudah cukup lama menunggu, Jisya mencoba melihatnya di parkiran. Siapa tahu dia menunggu di sana, begitu pikir Jisya. Tapi, nihil. Laki-laki itu juga tidak ada di sana.

Jisya berjalan dengan gontai menuju depan kantor untuk mencari taksi. Ternyata di luar hujan turun cukup deras membuat Jisya kesulitan menghentikan taksi. Untuk memesan taksi online pun tidak bisa karena ponselnya sebentar lagi mati.

Rasanya Jisya ingin menangis. Dia tidak suka dengan situasi itu. Tidak ada orang yang bisa dia andalkan.

Jisya mencoba menyalakan ponselnya kembali. siapa tahu masih bisa digunakan untuk memesan taksi online. Hampir membuka aplikasi pemesan taksi online, muncul notifikasi pesan dari Abin. “Sya, maaf aku nggak bisa nungguin sampai selesai. Aku udah suruh Kaffa buat jemput kamu.”

Jisya menurunkan bahunya dengan lemas. Kenapa harus Kaffa? Kenapa bukan dia sendiri yang datang untuk menjemput.

Tak lama kemudian, sebuah mobil terparkir di depannya dan orang yang ada di dalam itu membuka kaca jendelanya. Telihat gadis duduk di bangku sebelah kiri beramput hitam sebahu dengan kaca mata hitam yang terlihat angkuh bagi Jisya. Tidak sedkit pun menoleh ke arahnya.

Tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di bangku kemudi memunculkan wajahnya pada Jisya. “Buruan naik!” perintah laki-laki itu dengan menggidikkan kepala.

Dia Kaffa. Voklais band AFK, teman Abin. Orang yang disuruh Abin untuk menjemput Jisya. Jisya pun berlari membuka pintu mobil Kaffa dan masuk ke dalamnya.

“Sorry, nunggu lama ya?” tanya Kaffa ketika Jisya sudah duduk manis sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit terciprat air hujan.

“Enggak kok. Eh, ini pacar kamu?” Jisya menanyakan gadis yang duduk di depannya.

“Sepupu gue. Tadi lama soalnya masih jemput anak ini pulang les.”

Jisya mengangguk paham. Kaffa yang memiliki prioritas saja mau menyempatkan diri menjemputnya, sedangkan Abin? Terkadang Jisya penasaran dengan laki-laki itu. Sepenting apa urusannya sampai tega meninggalkannya sendirian.

Jisya ingin berkenalan dengan sepupu Kaffa itu, tapi melihat auranya yang menyeramkan, Jisya jadi mengurungkan niatnya.

Melihat gerak-gerik Jisya melalui kaca, Kaffa tahu maksudnya. Dia lantas melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. “Namanya Alice. Dia mantannya Abin juga.”

To be continue....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status