Abin dan Jisya berjalan dari parkiran menuju gedung kampus. Semenjak berpacaran dengan Jisya, Abin banyak berubah. Yang sebelumnya sering bolos kuliah, mendadak rajin masuk. Tentunya atas paksaan Jisya. Gadis itu tak main-main dengan keinginannya mengubah Abin.
Di sepanjang jalan, tak ada pasang mata yang lepas memandangi mereka. Meskipun tak terlihat saling bersentuhan satu sama lain, hanya jalan bersebelahan saja sudah membuat iri semua pengagum Abin. Bahkan, Abin dan Jisya disebut sebagai Couple goals di kampusnya.
Jisya adalah mahasiswi yang berprestasi. Selalu mendapatkan IPK tertinggi setiap semester hingga namanya selalu menjadi buah bibir dosen. Dia juga memiliki pekerjaan sampingan menjadi model di bebagai majalah dan brand ambassador kosmetik ternama. Sedangkan Abin, personel band terkenal di kotanya. Dia juga menjadi standar pacar idaman mahasiswi di kampusnya.
Begitulah perempuan, ingin pacar bad boy, tapi tidak siap disakiti. Kalau sudah disakiti bilangnya, semua laki-laki sama saja. Itulah yang harusnya juga disiapkan oleh Jisya.
“Nanti pulangnya jadi nganterin aku pemotretan, kan?” tanya Jisya ketika mereka sampai di lorong yang cukup sepi.
Abin berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tatapannya lurus ke depan seolah tak peduli dengan kanan dan kirinya. Tapi, dia selalu mendengarkan apa yang diucapkan Jiysa. “Jadi,” jawab Abin tanpa menoleh ke Jisya.
Sikap cuek Abin itu membuat Jisya menggerutu. “Ih, Abin! Kalau bicara sama orang itu dilihat orangnya! Nggak sopan!”
Abin pun mendadak menghentikan langkahnya dan membuat Jisya juga berhenti. Abin tak membuka mulutnya sedikit pun. Hanya menatap Jisya dengan tajam membuat ludah Jisya tersangkut di kerongkongan.
“A—Abin… jangan gitu dong lihatinnya,” ucap Jisya dengan nada yang melirih. Dia paling tidak suka ditatap dengan intens oleh seseorang. Terlebih, Abin yang menatapnya.
Abin tetap tak menjawabnya. Tiba-tiba saja dia mendorong kening Jisya menggunakan keningnnya hingga membuat gadis itu berjalan mundur dan punggungnya membentur tembok. “A—bin… nanti kita dikira ngapa-ngapain.” Abin tetap bergeming dan matanya semakin menelisik manik Jisya yang terlapisi softlens biru.
“Ih, Abin….”
Perlahan Abin menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkungkan senyuman yang terlihat menawan. Jisya lemah kalau ditatap seperti itu.
“Katanya, kalau bicara suruh lihat orangnya. Ini aku lihat kamu deket banget malah. Masih kurang?”
Jisya terdiam ketika napas Abin menerpa setiap inci kulit wajahnya. Aromanya sudah berubah, tidak seperti pertama kali mereka kenal. Aroma rokok yang menyengat. Jisya cukup lega, itu artinya Abin menuruti perintahnya untuk berhenti merokok.
Jisya menghela napasnya dengan Jenuh. “Tapi, jangan deket-deket gini juga, Abin.” Jisya melirik di sekitarnya. Takut kalau ada orang yang tiba-tiba melihat kelakuan Abin padanya.
Abin mengikuti arah pandang Jisya. “Nggak bakal ada yang ngelihat.
“Jauhan dong, Abin!” Abin memang pandai menggoda Jisya hingga membuat gadis itu kesal. Akhirnya, dia pun menjauhkan keningnya dan berganti menyisipkan kelima jarinya di sela-sela jemari Jisya. Melanjutkan langkah mereka.
***
Jam kuliah telah usai beberapa menit yang lalu. Jisya juga sudah nangkring di atas motor Abin dan melingkarkan tangannnya di pinggang kekasihnya itu. “Jangan ngebut!” peringat Jisya sebelum Abin menarik gasnya.
Abin hanya menjawabnya dengan memutar kepalanya sejenak, tanpa suara. Jisya tak tahu apa maksudnya. Laki-laki itu menyeringai dan langsung menarik gasnya dengan kencang. Tak peduli dengan Jisya yang mengomel di belakang.
Sampai di depan gedung tempat Jisya akan melakukan pemotretan, Abin memarkirkan motornya dan melepas helmnya. Tak lupa juga melepaskan helm Jisya. Jisya sebenarnya bukan gadis manja, hanya saja Abin yang ingin membuat gadis itu merasa istimewa.
Bahkan mereka memasuki gedung itu dengan bergandengan tangan. Sampai-sampai semua karyawan di sana tahu kalau mereka berpacaran.
Abin menganga melihat Jisya yang sudah berganti pakaian dan wajah berlapis make up tipis yang terlihat natural. “Kok gitu lihatinnya?”
“Kurang pendek itu roknya,” komentar Abin melihat pakaian yang dikenakan Jisya. Kemeja putih dengan dua kancing yang tidak dikaitkan dan rok jeans yang sangat pendek.
“Ini udah pendek banget, Abin!” Kalau saja tidak demi pekerjaan, Jisya tidak mau memakai pakain yang terbuka.
“Bercanda,” jawab Abin terkekeh. Menangkup pipi Jisya sekilas dan menyuruhnya segera atur posisi karena fotografernya sudah siap.
Abin duduk nyaman di sebuah sofa dengan tangan yang sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel. Sesekali mengarahkan pandangannya pada Jisya yang tengah berpose di depannya. Melihat betapa profesionalnya kekasihnya itu ketika bekerja. Jisya juga sesekali melirik ke arahnya. Meksipun tidak suka dengan Abin yang sibuk dengan ponselnya, Jisya tak pernah protes. Dia mencoba memahami Abin yang memang memiliki banyak koneksi.
Di sela-sela pemotretan, Abin memberi kode pada Jisya untuk meminta izin keluar ruangan sebentar dan dijawab berupa anggukan kepala oleh Jisya.
Sampai waktu pemotretan habis, Abin belum juga kembali. Hilangnya Abin membuat Jisya mengkhawatirkannya. Akan tetapi, mencoba terlihat tenang di depan rekan-rekan kerjanya.
Bahkan jisya sudah selesai mengganti pakaian, pun Abin belum juga kembali. Sampai akhirnya Jisya memutuskan untuk meneleponnya. Tapi, sia-sia. Nomornya tidak aktif. Jisya masih bisa berpikir positif. Barangkali baterainya lowbat.
Karena sudah cukup lama menunggu, Jisya mencoba melihatnya di parkiran. Siapa tahu dia menunggu di sana, begitu pikir Jisya. Tapi, nihil. Laki-laki itu juga tidak ada di sana.
Jisya berjalan dengan gontai menuju depan kantor untuk mencari taksi. Ternyata di luar hujan turun cukup deras membuat Jisya kesulitan menghentikan taksi. Untuk memesan taksi online pun tidak bisa karena ponselnya sebentar lagi mati.
Rasanya Jisya ingin menangis. Dia tidak suka dengan situasi itu. Tidak ada orang yang bisa dia andalkan.
Jisya mencoba menyalakan ponselnya kembali. siapa tahu masih bisa digunakan untuk memesan taksi online. Hampir membuka aplikasi pemesan taksi online, muncul notifikasi pesan dari Abin. “Sya, maaf aku nggak bisa nungguin sampai selesai. Aku udah suruh Kaffa buat jemput kamu.”
Jisya menurunkan bahunya dengan lemas. Kenapa harus Kaffa? Kenapa bukan dia sendiri yang datang untuk menjemput.
Tak lama kemudian, sebuah mobil terparkir di depannya dan orang yang ada di dalam itu membuka kaca jendelanya. Telihat gadis duduk di bangku sebelah kiri beramput hitam sebahu dengan kaca mata hitam yang terlihat angkuh bagi Jisya. Tidak sedkit pun menoleh ke arahnya.
Tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di bangku kemudi memunculkan wajahnya pada Jisya. “Buruan naik!” perintah laki-laki itu dengan menggidikkan kepala.
Dia Kaffa. Voklais band AFK, teman Abin. Orang yang disuruh Abin untuk menjemput Jisya. Jisya pun berlari membuka pintu mobil Kaffa dan masuk ke dalamnya.
“Sorry, nunggu lama ya?” tanya Kaffa ketika Jisya sudah duduk manis sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit terciprat air hujan.
“Enggak kok. Eh, ini pacar kamu?” Jisya menanyakan gadis yang duduk di depannya.
“Sepupu gue. Tadi lama soalnya masih jemput anak ini pulang les.”
Jisya mengangguk paham. Kaffa yang memiliki prioritas saja mau menyempatkan diri menjemputnya, sedangkan Abin? Terkadang Jisya penasaran dengan laki-laki itu. Sepenting apa urusannya sampai tega meninggalkannya sendirian.
Jisya ingin berkenalan dengan sepupu Kaffa itu, tapi melihat auranya yang menyeramkan, Jisya jadi mengurungkan niatnya.
Melihat gerak-gerik Jisya melalui kaca, Kaffa tahu maksudnya. Dia lantas melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. “Namanya Alice. Dia mantannya Abin juga.”
To be continue....
Jisya meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Sejak pagi dia enggan untuk beranjak dari kursinya. Yuna, teman yang duduk di sebelahnya mengernyitkan kening melihat Jisya yang tak sesemangat biasanya. Tangan lembutnya terulur menyentuh kening Jisya. “Nggak panas kok,” ujarnya.Jisya perlahan menepis tangan Yuna menjauh dari kepalanya. “Aku nggak sakit, Yuna.” Yuna bernapas lega karena akhirnya Jisya mau bersuara. Pasalnya, sejak pagi Jisya murung seperti tak memiliki semangat hidup.Bagaimana mau semangat kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Semalaman penuh dia memikirkan tentang Abin yang berubah beberapa hari terakhir. Jujur saja, Jisya khawatir kalau Abin pindah ke lain hati.Bukannya apa-apa. Abin dulu terkenal playboy dan suka gonta-ganti pacar. Jisya sebenarnya sudah mempersiapkan itu. Tapi, tetap saja ada rasa tidak rela melepas Abin untuk perempuan lain.“Kamu mau ke kantin, kan? Duluan aja. Aku nggak ke
Setelah meninggalkan restoran, Abin langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Masih dengan setelan jas rapinya, Abin berlari menyusuri koridor mencari ruangan seseorang. Sampai di ruangan tujuannya, Abin berpapasan dengan dokter yang memeriksa orang yang dia cari. “Gimana, Dok kondisi teman saya?” Dokter pria paruh baya itu tersenyum pada Abin. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya luka ringan. Tidak perlu menginap juga.” Abin menghela napasnya dengan lega dan bergegas memasuki ruangan itu. Belum sempat melewati pintu, Abin spontan menghentikan langkahnya. Mengambil sebuah cincin dari saku kemeja, lantas memakainya di jari manis. Ketika membuka pintu, Abin melihat seorang gadis berambut pirang seumuran dengannya sedang tiduran di ranjang sambil memainkan ponsel dengan santai. “Bikin orang khawatir aja,” omel Abin pada gadis itu. Gadis itu berd
Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online. Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya. Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman. “Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Abin memamerkan es krim ber
Abin dan Jisya sudah berada di depan kos-kosan Yuna. Melihat Yuna dari dalam mobil tengah mengunci kos-kosannya. Lantas perlahan menghampiri mobil Abin. “Sorry, nunggu lama ya?” tanya Yuna ketika sudah duduk di bangku belakang. “Nggak kok, baru juga sampai,” jawab Jisya. Dan Abin pun mulai melajukan mobilnya. Dia melirik Yuna dari kaca spion. Yuna, gadis perantauan yang melanjutkan kuliah di kota itu. Tinggal sendirian di kos-kosan yang baginya sangat sempit. Bahkan luasnya hanya seperempat kamarnya. Rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibir tipisnya terlihat manis ketika tersenyum. Abin sempat tidak percaya kalau gadis secantik Yuna belum pernah pacaran. Dia mendengar semua ceritanya dari Jisya. Jisya pun sebenarnya sama. Dia baru pertama kali pacaran. Awalnya, Abin mati-matian mengejar gadis itu hingga akhirnya luluh. Memang sifat sahabat itu biasanya tidak jauh-jauh. Bahkan, semakin hari wajah Jisya dan Yuna semakin mirip
Jisya mengunjungi kos-kosan Yuna sekalian numpang mengerjakan skripsi. Duduk lesehan di atas karpet dengan laptop di depannya dan tumpukan kertas. Jisya selalu semangat mengerjakan skripsinya karena dia punya target lulus lebih cepat dari teman-temannya. “Abin kayaknya beneran berubah deh sejak pacaran sama kamu," ucap Yuna di tengah kesibukan Jisya. Dia istirahat sejenak untuk menonton drama Korea karena lelah mengerjakan skripsi dari pagi. Sejenak Jisya pun menghentikan tangannya yang sedang mengetik di atas keyboard laptop karena mendengar nama Abin disebutkan Yuna. “Nggak tahu juga sih. Kalau emang beneran berubah ya syukur. Semoga aja berubahnya bukan karena aku.” Yuna mengernyitkan keningnya. “Kok gitu?” “Kalau Abin berubah karena aku, kalau kita putus, pasti dia balik lagi kayak dulu. Aku nggak mau. Aku maunya Abin berubah memang niat dari dirinya sendiri.” Yuna menganggukkan kepala menyetujui ucapan Jisya. “Bener juga ya? Eh, tapi, aku
Brak! "What the fuck!" Pagi itu di kampus Abin dan Jisya tengah ramai membicarakan mahasiswi baru yang sudah membuat ulah. Siapa lagi kalau bukan Linzy. Baru saja masuk di area kampus, mobil mercy merah kesayangannya sudah menabrak sepeda motor matic milik salah satu mahasiswi di kampus itu sampai rusak parah. Kemampuan mengemudi Linzy memang payah, tapi tetap saja nekat menyetir sendiri. Pemilik motor itu sudah sesenggukan meratapi nasib motornya yang sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak sedih bagaimana, dia mahasiswi perantauan yang jauh dari orang tua. Susah mencari uang lagi. Dan tega-teganya Linzy memperparah keadaannya. "Keluar kamu!" Mahasiswi itu mengetuk kaca mobil Linzy dengan keras. Linzy tak berhenti mengumpat di dalam mobil. Dia membuka pintunya dan turun dengan gaya ala selebriti seraya melepas kaca mata hitamnya. Jadi, you yang punya motor butut ini?" "Kamu harus ganti motor aku!" bentak mahasiswi itu.
Yuna sangat tidak nyaman berada di dalam satu mobil yang sama dengan Kaffa dan Fras. Dia duduk di bangku belakang seraya menatap jalanan dari jendela. Kalau bukan Jisya yang menyuruh, tidak mungkin mau pulang bersama dua laki-laki dalam satu mobil. Kaffa melirik Fras dan mengarahkan lirikannya pada Yuna. Tingkah mereka berdua sangat mencurigakan. Untung saja Yuna tak melihat ke depan hingga tidak tahu kode apa yang saling mereka lemparkan. "Yun, kok lo jarang bales chat gue sih?" tanya Kaffa memecah kesunyian dalam mobil. "Lagi males aja." Sikap cuek Yuna membuat Kaffa dan Fras terkekeh. Mereka semakin tertantang memenangkan pertaruhan yang mereka jalankan. "Kalau chat dari gue masih males bales juga nggak?" tanya Fras. Dalam hatinya mengumpati Kaffa karena mendahului start. "Sama aja. Udah, deh, kalian jangan ngomong aja. Tuh, kos-kosan aku udah di depan." Kaffa dan Fras sama-sama tertawa. Mereka kira kos-ko
Linzy melihat Jisya masuk ke dalam toliet. Gadis itu dan geng barunya membututinya dan langsung mengunci Jisya dari luar. Setelah berhasil mengunci Jisya dari luar, mereka bertiga melakukan tos dan segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang tahu. Jisya yang ingin keluar pun mulai kebingungan tak bisa membuka pintunya. "Tolong... ada orang di luar? Aku kekunci di dalam." Jisya mulai panik karena lima menit dia berteriak tidak ada yang menyahut. Udara yang pengap di dalam ruangan itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan luluasa dan dadanya terasa sesak. "Tolong.... " Teriakannya semakin parau dengan terisak. Air matanya juga sudah menggenang di pelupuk matanya. Jisya sudah merasa napasnya semakin sesak. Menyandarkan punggungnya di pintu dengan pasrah. Berharap ada orang yang segera memasuki toilet. Dia ada janji dengan Abin untuk menemaninya latihan band. Tapi, sudah satu jam Jisya belum bisa keluar dari toilet. Keb