Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online.
Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya.
Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman.
“Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja.
Abin memamerkan es krim berbentuk kerucut yang dia bawa di hadapan Jisya. Mati-matian Jisya menahan untuk tidak mengambil es krim itu. Tapi, tidak bisa. Es krim adalah makanan favoritnya yang bahkan rela dia tukar dengan ponselnya. Dan Abin sangat tahu itu.
Dengan cepat Jisya merampas es krim Abin dan langsung membukanya. Abin hanya memandanginya dengan bertopang pipi sambil tersenyum. “Kenapa sih cewek suka banget sama es krim?” tanyanya melihat Jisya yang lahap memakan es krim pemberiannya.
“Karena sama kayak kamu,” jawab Jisya dengan santainya masih berlagak tak acuh pada Abin.
“Sama-sama manis maksudnya?” Abin menaik-naikkan alisnya menggoda Jisya. Dia memang sangat percaya diri. “Iya. Sama-sama manis, tapi juga sama-sama bikin penyakit.”
Abin seketika mengerutkan keningnya mencerna jawaban dari Jisya. “Kok bikin penyakit?”
“Kamu kan suka bikin sakit hati.”
Abin tak pernah menampik penilaian Jisya. Memang dulu, nyatanya dia sering menyakiti perempuan. Tapi, herannya masih saja ada perempuan yang memuja-mujanya. Seperti Jisya contohnya. Meskipun awalnya Abin yang mengejar-ngejarnya, tapi lama-lama Jisya juga terlena dengan pesona Abin.
“Emangnya, kapan aku nyakitin kamu?” Jisya mencoba mengingat-ingat. Abin memang tidak pernah menyakitinya, bahkan selalu bersikap manis padanya. Tapi, entah mengapa Jisya merasa disakti oleh Abin.
“Nggak pernah, kan?” Padahal ketika marah pada Abin, biasanya Jisya mendapat banyak sekali keburukan laki-laki itu yang membuatnya sakit hati. Tapi, entah mengapa setiap di hadapannya, alasan sakit hatinya seolah sirna.
Tanpa sengaja Jisya melihat cincin di jari manis Abin. Prasangka-prasangka buruk kembali hinggap di kepalanya. Tapi tidak bisa dia ungkapkan. ”Itu cincin apa, Abin?”
Abin melihat cincin di jari manisnya. “Oh, ini cincin kawin papa. Dari pada nganggur aku pakai aja. Kamu mau juga?” Hebatnya, Abin sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Padahal itu cincin pertunangannya dengan Linzy. Jisya menggelengkan kepalanya. Prasangka buruknya pada Abin lagi-lagi sirna.
“Nggak dicari Papa?” tanya Jisya dengan polosnya. Papa Abin itu orang kaya. Mana mungkin mencari-cari cincin yang sudah tidak berarti baginya. “Nggak lah. Papa kan udah benci banget sama Mama. Malahan dia pacaran sama anak kuliahan. Keren kan Papaku?”
Jisya tak habis pikir dengan Abin. bisa-bisanya bangga kalau papanya pacaran dengan gadis yang seumuran dengannya. “Terus, Mama?”
“Sama aja. Mama bentar lagi nikah sama anak kuliahan juga. Heran banget sama Mama, mau-maunya diporotin sama brondong. Kalau papa sih mending, jadi sugar dady karena emang CEO kaya. Uangnya ngalir aja kayak pipa rucika. Kalau Mama kan harus kerja keras, sutting setiap hari.”
Jisya selalu miris mendengar cerita Abin yang menjadi anak broken home. Jisya bersyukur, meskipun ayahnya sudah meninggal, dia memiliki ibu yang baik. Tetap setia pada mendiang ayahnya dan menjadikannya prioritas meskipun jarang meluangkan waktu bersama.
Berapa kali dilamar pengusaha-pengusaha kaya, tapi dia menolak dengan alasan mau fokus membesarkan Jisya. Dia tidak lelah meskipun sudah menjada lebih dari dua puluh dua tahun lamanya. Baginya, tidak ada yang bisa menggantikan mendiang suaminya.
***
Sepulang kuliah Abin mengajak Jisya untuk ke studio musiknya. Kebetulan juga bandnya libur latihan. Kepandaian Jisya menulis puisi membuat Abin tertarik untuk mengajakanya menciptakan lagu bersama.
Abin sudah memetikkan beberapa nada di gitarnya dengan menggumamkan nada-nada yang berhasil dia susun. Dan Jisya mulai menuliskan bait demi baik lirik yang pas untuk nada yang keluar dari petikan gitar Abin. “Gimana? Bagus nggak liriknya?” tanya Jisya ketika Abin mulai membaca lirik yang dia tulis.
“Bagus. Pinter banget sih pacarku ini,” rayu Abin dengan mencubit pipi Jisya dengan gemas.
Jisya tersenyum mendengar pujian dari Abin. “Lagunya kamu rilis apa cuma buat koleksi aja?”
“Lihat nanti. Kalau jadinya bagus dan momennya pas, bakal aku rilis. Kalau Kaffa sama Fras setuju sih.” Meskipun kesal dengan kenakalan Abin, Jisya bangga dengan kekasihnya itu. Dia punya kelebihan bisa menciptakan karya-karya yang luar biasa.
Tiba-tiba ponsel Abin berbunyi memunculkan panggilan dari papanya. Abin memutar matanya dengan malas sebelum menggeser tombol hijau di layarnya. “Ada apa, Pa?” tanya Abin ketika teleponnya sudah tersambung.
“Ke ruangan Papa. Ada yang mau papa kasih buat kamu,” ucap Papa Abin dari sebrang. Setelah mengiyakan perintah papanya, Abin menutup sambungan teteponnya dan menatap Jisya yang juga tengah menatapnya dengan kerutan di kening. “Kenapa?” tanya Jisya khawatir.
“Aku ke ruangan papa dulu. Kamu tunggu sebentar ya?” Abin kembali tersenyum melihat wajah Jisya sambil mengusap pipinya.
“Ya udah, aku pulang aja ya?” Jisya takut Abin kembali menelantarkannya. Tapi, baru saja Jisya meraih slingbagnya, Abin Menahannya. “Nggak lama kok. Ruangan papa juga Cuma di bawah.” Jisya bernapas lega. Dia kira Abin akan meninggalkannya lagi.
Abin berjalan membuka pintu ruangan papanya yang sedikit terbuka. Di dalamnya sudah ada papanya dengan seorang perempuan muda di pangkuannya membuat Abin memutar mata. Pemandangan yang sangat tak pantas disaksikan meskipun Abin bukan lagi anak-anak.
“Ehem. Ada apa, Pa?” Suara Abin mengalihkan perhatian Papanya dari gadis itu.
“Ini, ada undangan dari kolega Papa. Dia mengundang bandmu tampil di acara ulang tahun anaknya.” Papa Abin mengulurkan undangan tebal berwarna hitam. Setelah undangan hitam berpindah ke tangannya, Abin langsung keluar tanpa pamit. Terlalu malas melihat kelakuan papanya dengan sugar babynya itu.
Ketika kembali ke studionya, Abin tersenyum melihat Jisya tengah memoleskan gincu di bibir tipisnya. Tingkah gadis itu terlihat lucu hingga membuatnya mengulas senyum. “Kok udah gincuan aja. Mau kemana?” tanya Abin seraya melemparkan tubuhnya kembali ke sofa.
“Yuna minta ditemenin beli sepatu. Kamu anterin aku ke kos-kosannya Yuna ya?”
“Yah, kamu ninggalin aku buat Yuna?” Abin berpura-pura merajuk membuat Jisya menghela napas.
“Kamu dan Yuna itu sama-sama penting buat aku, Abin… kan seharian aku udah sama kamu. Sekarang gantian sama Yuna. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia kan tinggal di sini sendirian.”
Abin harusnya beruntung memiliki kekasih seperti Jisya. Sudah pintar, cantik, kaya, berhati malaikat pula. Sayangnya, hanya menjadikannya selingkuhan. Dia masih bingung, harus memilih antara Jisya atau Linzy, tunangannya. Untuk saat ini Abin memilih untuk tidak memikirkannya dulu. Dia belum ingin melepas salah satunya.
“Ya udah, iya. Aku anter pakai mobil aja kalau gitu. Sekalian nganter kalian sampai tujuan biar nggak usah pesen taksi.”
Mata Jisya langsung berbinar mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Abin. Spontan memeluk Abin karena bangga. Kekasihnya itu ternyata sangat baik. Sepertinya, satu bulan berpacaran belum cukup untuk mengenal lebih jauh tentang laki-laki itu. Abin terlalu sulit dipahami oleh Jisya. “Makasih, Abin. Kamu baik banget. Sumpah. Nggak nyangka kamu peduli sama aku sama bestieku juga.”
Abin tersenyum simpul menerima pelukan kekasihnya itu. Biasanya, Jisya selalu menolak skinship. Tapi, tiba-tiba memulai pelukan membuat Abin seolah memenangkan lotre. Dia semakin tahu bagaimana cara mengendalikan Jisya. “Sama-sama, Sya. Kamu kan pacar aku. Jadi, udah seharusnya ada setiap kamu butuh,” jawab Abin sambil mengusap punggung Jisya.
Jisya perlahan melepas pelukannya, lantas memundukkan kepala malu-malu. Dia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan kebahagianya.
“Ayo, aku anter.” Abin langsung menyisipkan kelima jarinya di sela-sela jari Jisya. Menariknya untuk segera meninggalkan studio musiknya itu.
Sampai di ruang tamu mereka berpapasan dengan papa Abin dan seorang perempuan yang memakai rok sejengkal dan kemeja putih transparan hingga bra hitamnya bisa terlihat dari luar. “Bin!” papa Abin memanggilnya.
Abin pun menghentikan langkahnya dan Jisya otomatis mengikuti. Abin selalu malas setiap berhadapan dengan papanya. Orang tua yang harusnya mencontohkan hal yang baik pada anaknya, justru mencemari pikiran anaknya sendiri. Itulah salah satu yang melatar belakangi Abin menjadi seorang player.
“Kenapa lagi, Pa?” tanya Abin dengan malas. Dia malu harus mengenalkan Jisya pada papanya yang brengsek itu.
“Itu pacar baru kamu?”
Abin sekilas melirik ke arah Jisya yang terlihat tidak nyaman berhadapan dengan papanya yang tengah memeluk pinggang ramping seorang perempuan seusianya. Abin mengeratkan pegangan tangannya pada Jisya. “Iya,” jawab Abin dengan singkat.
“Baguslah, akhirnya dapet cewek baik-baik.” Dalam hati Abin mengumpati ucapan papanya itu. Apa papanya itu tidak pernah berkaca? Bukankah selama ini dia sendiri juga mendapatkan pasangan tidak baik.
Papa Abin masih ingat kalau Abin punya tunangan. Tapi, dia tidak terlalu suka dengan tunangan Abin yang manja itu. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan anaknya. Mau dia selingkuh dengan seribu waita pun akan dia biarkan. Asalkan menikahnya dengan perempuan yang tepat.
Meskipun menyadari bukan orang baik-baik, papa Abin selalu meginginkan Abin mendapatkan pasangan yang baik. Dia tidak mau nasib Abin sama sepertinya yang salah memilih pasangan hidup.
Lima belas tahun menikah dengan mamanya Abin, dia baru sadar ternyata telah menikahi seorang peselingkuh. Sampai akhirnya memutuskan bercerai dan mencari pelampiasan dengan mengencani banyak wanita.
Abin tak mau lagi menanggapi papanya dan kembali menarik Jisya. Jisya memelot pada Abin karena telah bersikap tidak sopan pada papanya sendiri. Dia pun menahan Abin terlebih dulu. “Bin, aku belum kenalan sama Papa kamu,” bisik Jisya.
“Nggak usah. Nggak penting juga.” Baru akan melangkahkan kakinya kembali, Papa Abin kembali bersuara. “Kamu nggak mau kenalin papa sama pacar cantikmu itu?”
Jisya langsung melepas tangan Abin dan tersenyum pada pria paruh baya itu. Abin hanya bisa bernapas jenuh. Papanya itu pasti ingin berbasa-basi dengan Jisya.
“Hai, Om. Kenalin, aku Jisya.”
Papa Abin tersenyum dan menerima jabat tangan Jiysa. “Hai, Jisya. Kenalkan, Om Rama. Papanya Abin.”
Jisya tersenyum mengetahui nama Papa Abin. Abin tidak banyak cerita tentangnya. Lantas, pandangan Jisya beralih pada perempuan di sebelah Rama. Perempuan itu tidak asing baginya.
Rama mengikuti arah pandang Jisya dan sepetinya tahu maksudnya. “Kenalkan juga, ini Alice. Calon mamanya Abin.”
Jisya tersenyum dengan paksa melihat Alice. Dia tidak berani menatapnya lama-lama karena tatapan Alice padanya cukup mematikan seolah siap menerkamnya. Jisya ingat kalau perempuan itu sepupu Kaffa sekaligus mantan Abin. Pantas saja Abin bersikap dingin pada papanya.
“Ayo, Sya. Keburu malem.” Abin menarik paksa Jisya untuk segera pergi dari hadapan Rama dan Alice.
“Om, saya pamit ya?” Jisya berjalan sambil melihat ke belakang ke arah Rama karena Abin menariknya.
To be continue....
Abin dan Jisya sudah berada di depan kos-kosan Yuna. Melihat Yuna dari dalam mobil tengah mengunci kos-kosannya. Lantas perlahan menghampiri mobil Abin. “Sorry, nunggu lama ya?” tanya Yuna ketika sudah duduk di bangku belakang. “Nggak kok, baru juga sampai,” jawab Jisya. Dan Abin pun mulai melajukan mobilnya. Dia melirik Yuna dari kaca spion. Yuna, gadis perantauan yang melanjutkan kuliah di kota itu. Tinggal sendirian di kos-kosan yang baginya sangat sempit. Bahkan luasnya hanya seperempat kamarnya. Rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibir tipisnya terlihat manis ketika tersenyum. Abin sempat tidak percaya kalau gadis secantik Yuna belum pernah pacaran. Dia mendengar semua ceritanya dari Jisya. Jisya pun sebenarnya sama. Dia baru pertama kali pacaran. Awalnya, Abin mati-matian mengejar gadis itu hingga akhirnya luluh. Memang sifat sahabat itu biasanya tidak jauh-jauh. Bahkan, semakin hari wajah Jisya dan Yuna semakin mirip
Jisya mengunjungi kos-kosan Yuna sekalian numpang mengerjakan skripsi. Duduk lesehan di atas karpet dengan laptop di depannya dan tumpukan kertas. Jisya selalu semangat mengerjakan skripsinya karena dia punya target lulus lebih cepat dari teman-temannya. “Abin kayaknya beneran berubah deh sejak pacaran sama kamu," ucap Yuna di tengah kesibukan Jisya. Dia istirahat sejenak untuk menonton drama Korea karena lelah mengerjakan skripsi dari pagi. Sejenak Jisya pun menghentikan tangannya yang sedang mengetik di atas keyboard laptop karena mendengar nama Abin disebutkan Yuna. “Nggak tahu juga sih. Kalau emang beneran berubah ya syukur. Semoga aja berubahnya bukan karena aku.” Yuna mengernyitkan keningnya. “Kok gitu?” “Kalau Abin berubah karena aku, kalau kita putus, pasti dia balik lagi kayak dulu. Aku nggak mau. Aku maunya Abin berubah memang niat dari dirinya sendiri.” Yuna menganggukkan kepala menyetujui ucapan Jisya. “Bener juga ya? Eh, tapi, aku
Brak! "What the fuck!" Pagi itu di kampus Abin dan Jisya tengah ramai membicarakan mahasiswi baru yang sudah membuat ulah. Siapa lagi kalau bukan Linzy. Baru saja masuk di area kampus, mobil mercy merah kesayangannya sudah menabrak sepeda motor matic milik salah satu mahasiswi di kampus itu sampai rusak parah. Kemampuan mengemudi Linzy memang payah, tapi tetap saja nekat menyetir sendiri. Pemilik motor itu sudah sesenggukan meratapi nasib motornya yang sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak sedih bagaimana, dia mahasiswi perantauan yang jauh dari orang tua. Susah mencari uang lagi. Dan tega-teganya Linzy memperparah keadaannya. "Keluar kamu!" Mahasiswi itu mengetuk kaca mobil Linzy dengan keras. Linzy tak berhenti mengumpat di dalam mobil. Dia membuka pintunya dan turun dengan gaya ala selebriti seraya melepas kaca mata hitamnya. Jadi, you yang punya motor butut ini?" "Kamu harus ganti motor aku!" bentak mahasiswi itu.
Yuna sangat tidak nyaman berada di dalam satu mobil yang sama dengan Kaffa dan Fras. Dia duduk di bangku belakang seraya menatap jalanan dari jendela. Kalau bukan Jisya yang menyuruh, tidak mungkin mau pulang bersama dua laki-laki dalam satu mobil. Kaffa melirik Fras dan mengarahkan lirikannya pada Yuna. Tingkah mereka berdua sangat mencurigakan. Untung saja Yuna tak melihat ke depan hingga tidak tahu kode apa yang saling mereka lemparkan. "Yun, kok lo jarang bales chat gue sih?" tanya Kaffa memecah kesunyian dalam mobil. "Lagi males aja." Sikap cuek Yuna membuat Kaffa dan Fras terkekeh. Mereka semakin tertantang memenangkan pertaruhan yang mereka jalankan. "Kalau chat dari gue masih males bales juga nggak?" tanya Fras. Dalam hatinya mengumpati Kaffa karena mendahului start. "Sama aja. Udah, deh, kalian jangan ngomong aja. Tuh, kos-kosan aku udah di depan." Kaffa dan Fras sama-sama tertawa. Mereka kira kos-ko
Linzy melihat Jisya masuk ke dalam toliet. Gadis itu dan geng barunya membututinya dan langsung mengunci Jisya dari luar. Setelah berhasil mengunci Jisya dari luar, mereka bertiga melakukan tos dan segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang tahu. Jisya yang ingin keluar pun mulai kebingungan tak bisa membuka pintunya. "Tolong... ada orang di luar? Aku kekunci di dalam." Jisya mulai panik karena lima menit dia berteriak tidak ada yang menyahut. Udara yang pengap di dalam ruangan itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan luluasa dan dadanya terasa sesak. "Tolong.... " Teriakannya semakin parau dengan terisak. Air matanya juga sudah menggenang di pelupuk matanya. Jisya sudah merasa napasnya semakin sesak. Menyandarkan punggungnya di pintu dengan pasrah. Berharap ada orang yang segera memasuki toilet. Dia ada janji dengan Abin untuk menemaninya latihan band. Tapi, sudah satu jam Jisya belum bisa keluar dari toilet. Keb
Yuna dibuat pusing oleh Jisya yang tengah sakit. Sudah seharian penuh dia tidak mau makan. Bahkan, mamanya justru ada pekerjaan di luar kota. Jisya di rumah sendirian dan hanya berbaring lemah di kamarnya. Kalau saja Yuna tidak nekat datang ke rumahnya, pasti tidak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu. "Ayo dong, Jisya makan sedikit aja buat minum obatnya." Jisya masih menutup rapat mulutnya dan kembali menarik selimut. "Yuna, aku cuma butuh istirahat kok. Besok juga udah bisa ngampus." Yuna tidak yakin dengan keadaan Jisya yang seperti itu hanya memerlukan istirahat. Bahkan, Jisya seharusnya dirawat di runah sakit. Tapi, apa daya Yuna yang tidak bisa memaksanya sedikit pun hanya bisa menghela napas panjang. "Ya udah, kamu istirahat aja. Tapi, kamu nggak mau gitu cerita ke aku tentang masalah kamu?" Yuna tahu, Jisya kalau sudah jatuh sakit pasti memikirkan masalah yang berat. "Masalah sama Abin Ya?" tebak Yuna. Terakhir Yuna bertemu
Warning! Part khusus 18+ "Ini bukan kos-kosanku, Bin," racau Yuna ketika Abin menuntunnya masuk. "Kos-kosan lo jauh, Na. Kita istirahat di apartemen gue aja ya?" Bukannya membawanya pulang, Abin membawa Yuna ke apartemennya. Yuna yang sudah kehilangan kesadarannya pun hanya bisa pasrah Abin membawanya ke mana. Tubuhnya sudah lunglai di dekapan Abin. Sampai di kamar apartemennya, Abin merebahkan tubuh Yuna di atas kasur dengan perlahan. Membelai wajah gadis yang setengah terpejam dengan raut wajah gelisah itu. Tidak bisa menampik kalau wajah Yuna sangat cantik. Sebelumnya Abin sangat tidak suka dengan Yuna karena Jisya selalu membahasnya ketika mereka tengah berdua. Bahkan mendengar namanya saja membuatnya muak. Tapi, kini gadis yang sangat tidak dia sukai itu berada dalam satu ruangan yang sama dengannya. Mendadak rasa tidak sukanya pada Yuna lenyap dan berganti menjadi nafsu yang sudah tak bisa tertahan.
Warning! Part khusus 18+ Yuna mengerjapkan matanya dengan perlahan. Entah mengapa badannya terasa remuk semua. Tangannya terulur memegangi kepalanya yang berdenyut. Sama sekali tak mengingat apa yang terjadi semalam. Dia juga merasa pinggangnya terasa berat seperti ada tangan yang melilitnya. Matanya seketika terbelalak ketika menyadari dia berada di balik selimut tebal tanpa busana dan merasakan nyeri di bagian organ kewanitaannya. Gadis itu membalik tubuhnya dan melihat Abin tidur dengan memeluk pinggangnya erat. Tanpa basa-basi, gadis itu langsung mendoronnya dengan kencang. "Abin! Kamu ngapain aku!" bentak Yuna dengan wajah yang menahan amarah. Abin yang merasa lelah karena aktivitasnya semalam, perlahan mulai membuka matanya dengan malas. "Kenapa sih?" keluhnya seraya mengusap kedua kelopak mata dengan punggung tangan. Yuna sangat kesal dengan respons Abin yang