Setelah meninggalkan restoran, Abin langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Masih dengan setelan jas rapinya, Abin berlari menyusuri koridor mencari ruangan seseorang. Sampai di ruangan tujuannya, Abin berpapasan dengan dokter yang memeriksa orang yang dia cari. “Gimana, Dok kondisi teman saya?”
Dokter pria paruh baya itu tersenyum pada Abin. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Hanya luka ringan. Tidak perlu menginap juga.” Abin menghela napasnya dengan lega dan bergegas memasuki ruangan itu.
Belum sempat melewati pintu, Abin spontan menghentikan langkahnya. Mengambil sebuah cincin dari saku kemeja, lantas memakainya di jari manis.
Ketika membuka pintu, Abin melihat seorang gadis berambut pirang seumuran dengannya sedang tiduran di ranjang sambil memainkan ponsel dengan santai. “Bikin orang khawatir aja,” omel Abin pada gadis itu.
Gadis itu berdecak kesal dan meletakkan ponselnya di atas nakas. “Kamu nggak lihat nih jidat aku benjol?”
“Lagian siapa suruh nyetir malem-malem?”
“Siapa suruh nolak ajakan aku?” tanya gadis itu kembali.
Abin mendesah menghadapi gadis keras kepala itu. “Kamu kok bisa kecelakaan gimana ceritanya?”
“Aku rencananya mau ke rumah kamu. Eh, sampai di jalan bannya bocor, terus nabrak pohon.”
Dengusan kesal keluar dari mulut Abin. Langkahnya perlahan mendekati gadis itu dan duduk di tepian ranjang, lantas menyentuh keningnya. “Kata dokter, kamu nggak perlu nginep. Pulang sekarang, yuk!”
“Yah, padahal aku mau ditungguin kamu di sini,” gerutu gadis itu.
“Jangan aneh-aneh, Zy… aku nggak mau nginep di rumah sakit. Ayo, buruan pulang!”
“Nginep di rumah kamu ya?” Abin memelototkan matanya mendengar permintaan gadis itu.
“Aku di rumah sendirian, Bin…. Takut. Kita kan udah tunangan. Lagian kita juga nggak bakal ngapa-ngapain,” rengek gadis itu. Mau bagaimana lagi, Abin pasrah saja dan segera membawanya pulang.
Dia, Linzy. Tunangan Abin sejak lulus SMA. Mereka bertunangan bukan karena dijodohkan, melainkan keinginan mereka berdua.
Abin mulai berpacaran dengan Linzy sejak kelas sepuluh. Setelah lulus sekolah mereka menjalin hubungan jarak jauh karena Linzy harus melanjutkan kulian di New York mengikuti orang tuanya. Karena takut Abin selingkuh di belakangnya, Linzy mengikat Abin dengan sebuah pertunangan. Dan dengan santainya Abin menyetujui.
Padahal, setelah kepergian Linzy dia sering gonta-ganti pacar. Seperti saat ini contohnya, dia menjalin hubungan dengan Jisya sebulan terakhir.
Kemarin baru saja Linzy pulang dan Abin yang menjemputnya di bandara sampai terpaksa meninggalkan Jisya yang tengah pemotertan.
“Ya udah, iya. Tapi, kita tidur di apartemen aja ya? Papa lagi di rumah soalnya.” Bukannya lebih baik kalau papanya ada dirumah? Abin memang selalu mencurigakan. Tak mau mikir panjang, Linzy menyetujuinya saja.
Ketika Abin membantunya turun dari ranjang, Linzy menarik tangan Abin. “Tunggu, Bin! Kamu kok rapi banget? Habis dari mana?” tanya Linzy dengan curiga.
“Ketemu kolega Papa,” jawab Abin dengan santai. Sebenarnya Linzy masih curiga dengan jawaban Abin. Tapi, dia memilih pura-pura percaya. Dia akan menyelidikinya sendiri apa yang di lakukan tunangannya itu di belakangnya.
***
Sampai di apartemen, Linzy langsung memeluk Abin dari belakang. Dengan manjanya dia bergelayut seperti koala yang tak ingin lepas dari dahannya. "Abin... Kangen...," rengek Linzy dengan manja.
Tapi, nampaknya perlakukan Linzy membuat Abin tak nyaman. Laki-laki itu perlahan berusaha melepas kaitan tangan Linzy yang melilit di depan perutnya. “Zy, apaan sih? Lepas nggak!” ucap Abin dengan nada kesalnya. Bahkan membuat Linzy menekuk bibir. Dia semakin curiga kalau ada yang Abin sembunyikan di belakangnya.
Cukup kesal dengan sikap dingin Abin, Linzy akhirnya melepaskan pelukannya. "Kenapa sih, Bin? Nggak boleh aku kangen sama kamu? Udah bertahun-tahun kita pisah masa kamu nggak kangen juga sama aku?" tanya Linzy dengan penuh selidik.
Abin langsung memegang bahu Linzy dan membenturkan punggungya di tembok dengan perlahan. "Aku juga kangen sama kamu, Zy... Tapi, nggak perlu kan aku ungkapin? Kangen bukan berarti kita harus peluk-pelukan juga, kan?"
Tatapan mereka saling beradu. Abin dengan sikap dinginnya dan Linzy dengan wajah penuh harap. Sampai akhirnya Abin melepaskan tangannya dari bahu Linzy. Bibir Linzy lagi-lagi harus tertekuk karena Abin mengabaikannya.
“Bin, kamu serius kan nggak selingkuh di belakang aku?” Abin mengabaikan pertanyaan Linzy dan memilih duduk di sofa sambil menyalakan televisi. “Terserah kalau nggak percaya sama aku.” Itulah jawaban yang selalu diberikan Abin setiap Linzy menanyakan kesetiaannya.
Linzy langsung duduk di pangkuan Abin dan melingkarkan lengannya di leher laki-laki itu. “Aku percaya sama kamu kok, Bin.”
Abin kembali tidak nyaman dengan sikap Linzy. Perlahan laki-laki itu menurunkan Linzy dari pangkuannya dan kembali menatap televisi.
Linzy mengulas senyum kecut karena kecewa dengan reaksi Abin. Gadis itu akhirnya duduk di sebelah Abin dan ikut menonton televisi dengan bibir yang tertekuk. Abinnya yang dulu sudah sangat jauh berubah.
Merasa bersalah telah bersikap kasar pada Linzy, Abin mengalihkan pandangannya untuk menatap tunangannya itu. Dia melihat wajah Linzy yang murung. Bagaimana pun Linzy tunangannya. Tidak seharusnya Abin mengabaikannya.
"Sayang... Maafin aku. Aku nggak bermaksud nyuekin kamu. Aku cuma nggak suka kamu nuduh-nuduh aku kayak gitu. Kalau aku selingkuh beneran gimana coba?"
Linzy enggan menjawab ucapan Abin. Dia terlanjur sakit hati dengan perlakuan laki-laki itu.
"Zy...." Abin mencoba meraih tangannya, tapi Linzy menepis. Dia benar-benar ingin menunjukkan pada Abin kalau dirinya sedang merajuk.
Sikap kekanakan Linzy itu membuat Abin jenuh. Bahkan sampai terdengar dengusan kesal dari mulut laki-laki itu. Abin akhirnya menangkup pipi Linzy dan memaksanya untuk saling bertatapan. "Aku beneran minta maaf, Zy... Kamu jangan nyuekin aku gitu dong. Oke, aku bakal lakuin apa pun biar kamu maafin aku."
Diberikan penawaran itu perlahan Linzy mengulas senyumannya. "Kalau gitu aku mau kamu cium."
Tanpa basa-basi Abin pun langsung mengecup bibir merah Linzy sekilas. Tapi, Linzy justru menariknya hingga mereka terbaring di atas sofa. Bahkan tangan Lizny mulai bergerak menyingkap kaos Abin.
Abin segera menahan tangan Linzy dan kembali bangkit. Laki-laki itu berjalan menuju kamar meninggalkan Linzy yang masih membaringkan diri di atas sofa.
Linzy terdiam mencerna sikap Abin. Laki-laki itu seperti kucing yang menolak ikan asin. Bisa-bisanya menganggurkan gadis yang dengan senang hati dia jamah. Linzy hanya bisa menghela napas dengan kesal.
"Bin... kamu nggak tertarik sama aku?" tanya Linzy yang belum mengubah posisinya sambil melirik Abin yang memasuki kamar.
"Tidur, Zy...." Abin menegurnya dengan lembut dari dalam kamar. Dengan bibir yang tertekuk, Linzy duduk dan membenarkan kaosnya yang sedikit tersingkap.
“Bin, kamu janji ya, cuma ngelakuin itu ke aku aja. Jangan ke perempuan lain. Aku siap kok ngasih apa pun ke kamu termasuk buka segel aku asalkan kamu nggak selingkuh.”
Pergaulan di New York yang bebas membuat Linzy terbiasa berhubungan seks. Dia bohong jika mengatakan masih bersegel. Bahkan, dia berkali-kali melakukannya dengan laki-laki lain dan tentu saja tanpa sepengetahuan Abin.
Abin mendengus dengan malas dan merebahkan diri di atas ranjang. “Jangan jadi murahan, Zy. Aku masih jaga kamu artinya masih hargain kamu sebagai perempuan.”
Seketika Abin membandingkan Linzy dengan Jisya. Jika Jisya selalu menolak skinship bentuk apa pun, Linzy justru dengan senang hati menawarkannya. Kalau dibiarkan bersama Linzy terus, usaha Abin untuk berubah menjadi laki-laki lebih baik bisa gagal.
Tidak mau terlibat cekcok lebih lanjut dengan Abin, Linzy memilih merebahkan tubuhnya di sebelah Abin. Heran saja dengan tunangannya itu yang tidak tergoda padahal umpan sudah di depan mata.
"Kamu tidur di kamar sebelah aja, Zy...," tegur Abin dengan lembut ketika melihat Linzy berbaring di sebelahnya.
Linzy berdecak kesal dan bergerak memunggungi Abin. "Aku takut tidur sendirian, Bin... Apa gunanya aku nginep di sini kalau ujung-ujungnya kamu suruh tidur sendiri?" protes Linzy.
"Terserah kamu aja," ucap Abin dengan pasrah seraya menarik selimutnya dan tidur membelakangi Linzy.
Linzy membalik tubuhnya dan menatap punggung Abin dengan bibir mencebik. Lagi-lagi Abin mengabaikannya. Wajar jika Linzy curiga karena Abin memang jauh berubah. Seolah jijik berada di dekat gadis itu.
Tidak tahan dengan sikap dingin Abin, Linzy pun membuang guling yang membatasi mereka dan memeluk laki-laki itu dari belakang. Dia seketika terisak hingga air matanya membasahi kaos Abin. "Kamu kenapa berubah sih, Bin? Apa kamu nggak cinta lagi sama aku?"
Karena tidak tega dengan Linzy, Abin pun membalik tubuhnya dan membalas pelukan Linzy. Membiarkan gadis itu menenggelamkan wajah di dadanya. "Ngomong apa sih kamu, Zy? Ya aku sayang lah sama kamu. Kalau aku nggak sayang, nggak mungkin kan rela hujan-hujan jemput kamu, terus biarin kamu nginep di sini?"
"Habis, dari kemarin kamu nyuekin aku."
Abin mengusap air mata Linzy dengan lembut. "Aku minta maaf kalau kamu ngerasa aku kayak gitu. Aku lagi pusing mikirin tugas."
"Sejak kapan seorang Abin peduli tentang tugas? Bukannya kamu biasa bayar orang buat ngerjain?"
"Orang kan bisa berubah, Zy... Ini aku berusaha berubah jadi cowok baik-baik." Linzy menatap Abin dengan mata yang masih memerah.
Cukup mengejutkan bagi Linzy mendengar Abin ingin berubah menjadi laki-laki yang baik. "Kenapa kamu tiba-tiba pengen berubah?"
"Capek, Zy jadi bajingan terus."
"Terus kamu nggak mau lagi peluk-peluk aku, cium-cium aku kayak dulu?"
Seolah enggan membahasnya lagi, Abin lantas menarik selimut untuk menutupi keduanya. "Sttt... Tidur, Zy...."
"Bin...."
Abin berguman menjawab panggilan lembut dari Linzy seraya mengusap kepala belakang gadis itu
"Aku mau kuliah di sini."
Abin menghentikan pergerakan tangannya dan menatap wajah Linzy. "Jangan aneh-aneh, Zy... Katanya kamu cuma tiga hari di sini?"
"Nggak jadi. Aku mau kuliah sama kamu aja. Papa juga udah izinin kok," jawab Linzy seraya mempererat pelukannya pada Abin.
Abin lagi-lagi dibuat mendesah dengan pasrah menghadapi tunangannya itu. Dia harus putar otak bagaimana caranya agar Linzy tidak mengetahui hubungannya dengan Jisya.
To be continue....
Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online. Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya. Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman. “Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Abin memamerkan es krim ber
Abin dan Jisya sudah berada di depan kos-kosan Yuna. Melihat Yuna dari dalam mobil tengah mengunci kos-kosannya. Lantas perlahan menghampiri mobil Abin. “Sorry, nunggu lama ya?” tanya Yuna ketika sudah duduk di bangku belakang. “Nggak kok, baru juga sampai,” jawab Jisya. Dan Abin pun mulai melajukan mobilnya. Dia melirik Yuna dari kaca spion. Yuna, gadis perantauan yang melanjutkan kuliah di kota itu. Tinggal sendirian di kos-kosan yang baginya sangat sempit. Bahkan luasnya hanya seperempat kamarnya. Rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibir tipisnya terlihat manis ketika tersenyum. Abin sempat tidak percaya kalau gadis secantik Yuna belum pernah pacaran. Dia mendengar semua ceritanya dari Jisya. Jisya pun sebenarnya sama. Dia baru pertama kali pacaran. Awalnya, Abin mati-matian mengejar gadis itu hingga akhirnya luluh. Memang sifat sahabat itu biasanya tidak jauh-jauh. Bahkan, semakin hari wajah Jisya dan Yuna semakin mirip
Jisya mengunjungi kos-kosan Yuna sekalian numpang mengerjakan skripsi. Duduk lesehan di atas karpet dengan laptop di depannya dan tumpukan kertas. Jisya selalu semangat mengerjakan skripsinya karena dia punya target lulus lebih cepat dari teman-temannya. “Abin kayaknya beneran berubah deh sejak pacaran sama kamu," ucap Yuna di tengah kesibukan Jisya. Dia istirahat sejenak untuk menonton drama Korea karena lelah mengerjakan skripsi dari pagi. Sejenak Jisya pun menghentikan tangannya yang sedang mengetik di atas keyboard laptop karena mendengar nama Abin disebutkan Yuna. “Nggak tahu juga sih. Kalau emang beneran berubah ya syukur. Semoga aja berubahnya bukan karena aku.” Yuna mengernyitkan keningnya. “Kok gitu?” “Kalau Abin berubah karena aku, kalau kita putus, pasti dia balik lagi kayak dulu. Aku nggak mau. Aku maunya Abin berubah memang niat dari dirinya sendiri.” Yuna menganggukkan kepala menyetujui ucapan Jisya. “Bener juga ya? Eh, tapi, aku
Brak! "What the fuck!" Pagi itu di kampus Abin dan Jisya tengah ramai membicarakan mahasiswi baru yang sudah membuat ulah. Siapa lagi kalau bukan Linzy. Baru saja masuk di area kampus, mobil mercy merah kesayangannya sudah menabrak sepeda motor matic milik salah satu mahasiswi di kampus itu sampai rusak parah. Kemampuan mengemudi Linzy memang payah, tapi tetap saja nekat menyetir sendiri. Pemilik motor itu sudah sesenggukan meratapi nasib motornya yang sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak sedih bagaimana, dia mahasiswi perantauan yang jauh dari orang tua. Susah mencari uang lagi. Dan tega-teganya Linzy memperparah keadaannya. "Keluar kamu!" Mahasiswi itu mengetuk kaca mobil Linzy dengan keras. Linzy tak berhenti mengumpat di dalam mobil. Dia membuka pintunya dan turun dengan gaya ala selebriti seraya melepas kaca mata hitamnya. Jadi, you yang punya motor butut ini?" "Kamu harus ganti motor aku!" bentak mahasiswi itu.
Yuna sangat tidak nyaman berada di dalam satu mobil yang sama dengan Kaffa dan Fras. Dia duduk di bangku belakang seraya menatap jalanan dari jendela. Kalau bukan Jisya yang menyuruh, tidak mungkin mau pulang bersama dua laki-laki dalam satu mobil. Kaffa melirik Fras dan mengarahkan lirikannya pada Yuna. Tingkah mereka berdua sangat mencurigakan. Untung saja Yuna tak melihat ke depan hingga tidak tahu kode apa yang saling mereka lemparkan. "Yun, kok lo jarang bales chat gue sih?" tanya Kaffa memecah kesunyian dalam mobil. "Lagi males aja." Sikap cuek Yuna membuat Kaffa dan Fras terkekeh. Mereka semakin tertantang memenangkan pertaruhan yang mereka jalankan. "Kalau chat dari gue masih males bales juga nggak?" tanya Fras. Dalam hatinya mengumpati Kaffa karena mendahului start. "Sama aja. Udah, deh, kalian jangan ngomong aja. Tuh, kos-kosan aku udah di depan." Kaffa dan Fras sama-sama tertawa. Mereka kira kos-ko
Linzy melihat Jisya masuk ke dalam toliet. Gadis itu dan geng barunya membututinya dan langsung mengunci Jisya dari luar. Setelah berhasil mengunci Jisya dari luar, mereka bertiga melakukan tos dan segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang tahu. Jisya yang ingin keluar pun mulai kebingungan tak bisa membuka pintunya. "Tolong... ada orang di luar? Aku kekunci di dalam." Jisya mulai panik karena lima menit dia berteriak tidak ada yang menyahut. Udara yang pengap di dalam ruangan itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan luluasa dan dadanya terasa sesak. "Tolong.... " Teriakannya semakin parau dengan terisak. Air matanya juga sudah menggenang di pelupuk matanya. Jisya sudah merasa napasnya semakin sesak. Menyandarkan punggungnya di pintu dengan pasrah. Berharap ada orang yang segera memasuki toilet. Dia ada janji dengan Abin untuk menemaninya latihan band. Tapi, sudah satu jam Jisya belum bisa keluar dari toilet. Keb
Yuna dibuat pusing oleh Jisya yang tengah sakit. Sudah seharian penuh dia tidak mau makan. Bahkan, mamanya justru ada pekerjaan di luar kota. Jisya di rumah sendirian dan hanya berbaring lemah di kamarnya. Kalau saja Yuna tidak nekat datang ke rumahnya, pasti tidak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu. "Ayo dong, Jisya makan sedikit aja buat minum obatnya." Jisya masih menutup rapat mulutnya dan kembali menarik selimut. "Yuna, aku cuma butuh istirahat kok. Besok juga udah bisa ngampus." Yuna tidak yakin dengan keadaan Jisya yang seperti itu hanya memerlukan istirahat. Bahkan, Jisya seharusnya dirawat di runah sakit. Tapi, apa daya Yuna yang tidak bisa memaksanya sedikit pun hanya bisa menghela napas panjang. "Ya udah, kamu istirahat aja. Tapi, kamu nggak mau gitu cerita ke aku tentang masalah kamu?" Yuna tahu, Jisya kalau sudah jatuh sakit pasti memikirkan masalah yang berat. "Masalah sama Abin Ya?" tebak Yuna. Terakhir Yuna bertemu
Warning! Part khusus 18+ "Ini bukan kos-kosanku, Bin," racau Yuna ketika Abin menuntunnya masuk. "Kos-kosan lo jauh, Na. Kita istirahat di apartemen gue aja ya?" Bukannya membawanya pulang, Abin membawa Yuna ke apartemennya. Yuna yang sudah kehilangan kesadarannya pun hanya bisa pasrah Abin membawanya ke mana. Tubuhnya sudah lunglai di dekapan Abin. Sampai di kamar apartemennya, Abin merebahkan tubuh Yuna di atas kasur dengan perlahan. Membelai wajah gadis yang setengah terpejam dengan raut wajah gelisah itu. Tidak bisa menampik kalau wajah Yuna sangat cantik. Sebelumnya Abin sangat tidak suka dengan Yuna karena Jisya selalu membahasnya ketika mereka tengah berdua. Bahkan mendengar namanya saja membuatnya muak. Tapi, kini gadis yang sangat tidak dia sukai itu berada dalam satu ruangan yang sama dengannya. Mendadak rasa tidak sukanya pada Yuna lenyap dan berganti menjadi nafsu yang sudah tak bisa tertahan.