Share

Taruhan

Abin dan Jisya sudah berada di depan kos-kosan Yuna. Melihat Yuna dari dalam mobil tengah mengunci kos-kosannya. Lantas perlahan menghampiri mobil Abin.

“Sorry, nunggu lama ya?” tanya Yuna ketika sudah duduk di bangku belakang.

“Nggak kok, baru juga sampai,” jawab Jisya. Dan Abin pun mulai melajukan mobilnya. Dia melirik Yuna dari kaca spion. Yuna, gadis perantauan yang melanjutkan kuliah di kota itu. Tinggal sendirian di kos-kosan yang baginya sangat sempit. Bahkan luasnya hanya seperempat kamarnya. 

Rambut hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibir tipisnya terlihat manis ketika tersenyum. Abin sempat tidak percaya kalau gadis secantik Yuna belum pernah pacaran. Dia mendengar semua ceritanya dari Jisya.

Jisya pun sebenarnya sama. Dia baru pertama kali pacaran. Awalnya, Abin mati-matian mengejar gadis itu hingga akhirnya luluh. Memang sifat sahabat itu biasanya tidak jauh-jauh. Bahkan, semakin hari wajah Jisya dan Yuna semakin mirip. Hanya warna rambut saja yang berbeda.

“Nanti pulangnya mau aku jemput apa gimana?” tanya Abin ketika mau menurunkan Jisya dan Yuna di tempat tujuan mereka.

“Nggak usah. Nanti kamu jadi bolak-balik. Biar aku sama Yuna naik taksi aja.”

Abin tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Jisya yang tengah melepas setbeltnya. Pacarnya itu tidak pernah mau merepotkannya.

“Dunia serasa milik berdua ya?” sindir Yuna dengan terkekeh. Dia akhir-akhir ini sering melihat Jisya terlalu romantis dengan laki-laki. Biasanya hanya manja padanya.

“Enggak, Yuna... Abin nih. Suka banget nguyel-nguyel aku.”

“Kamu kan juga cerita ke aku kalau suka kalau Abin nguyel-nguyel kamu gitu.” Jisya dalam hati mengumpati Yuna. Temannya itu terlalu jujur sampai-sampai Abin juga ikut tertawa.

“Ya gitu, Na. Kalau dipegang sok-sokan nggak mau, tapi dalam hati jerat-jerit.” Abin dan Yuna tertawa terbahak-bahak. Puas sekali meledek Jisya. Wajah gadis itu semakin memerah karena menahan malu.

“Ih, Yuna kamu kok sekongkol sama Abin sih?” kesal Jisya sambil bersedekap dada.

“Bukan sekongkol, Sya. Emang kenyataannya kan gitu.”

“Ya udah, ayo turun. Lama-lama deket Abin nanti kamu ketularan ngeselin lagi.”

***

Setelah mengantar Jisya dan Yuna, Abin melajukan mobilnya ke tempat billiard. Dua temannya sudah menunggu di sana. Kebetulan juga Abin malas pulang ke rumah karena ada Alice yang membuatnya muak.

Kaffa dan Fras yang tengah memainkan tongkat billiard menyambut kedatangan Abin dengan sindiran. “Sejak pacaran sama Jisya gue perhatiin jarang banget lo nongkrong. Udah kayak anak mami aja. Padahal kan nggak punya mami,” sindir Kaffa sambil mendorong bola menggunakan stiknya di atas meja berwarna hijau.

Sudah biasa mereka menyindir kehidupan Abin yang orang tuanya berantakan. 

“Kan katanya mau berubah kalau Jisya mau jadi pacarnya,” sambung Fras. Dia masih menganalisa mau mengarahkan bolanya ke arah mana.

“Hallah! Cupu lo, Bin! Mau aja dikekang cewek. Gue jamin habis putus juga balik bangsat lagi,” ujar Kaffa. Dia tengah memutar-mutarkan stiknya menunggu giliran Fras selesai. 

“Abin dari dulu kan emang cupu. Mana pernah ngajak chek in anak orang.”

Kaffa dan Fras sangat puas meledek Abin. Dan seperti biasa, Abin menanggapinya dengan tak acuh. Dia tidak mudah tersulut emosi. Selalu tenang, tapi mematikan.

Kaffa memerhatikan Abin yang mulai memainkan stiknya di atas meja hijau. “Linzy balik, kan?” Tiba-tiba Kaffa punya topik baru untuk dibahas. Memang paling suka kalau membahas Abin.

Fras yang sudah tahu terkikik dengan kencang. “Jadi, gimana, Bin? Yang pelakor Jisya apa Linzy?”

Abin memutar matanya dan kembali mengukur stiknya karena gilirannya belum selesai. “Pilih satu aja, Bin. Kalau lo mau sama Linzy, biar Jisya sama gue.” tawar Kaffa.

Tangan Abin mencengkeram stik billiard dengan kuat ketika Kaffa menyebutkan nama Jisya. Abin dibuat mendidih, tapi, sebisa mungkin dia tidak memperlihatkan raut emosinya.

Kaffa melihat Abin tidak suka ketika dia membahas Jisya. “Wih, santai, Bos. Kan itu kalau lo milih Linzy. Kalau lo milihnya Jisya gue juga mau tuh sama Linzy. Belum lo unboxing, kan?”

“Wah, lo belum unboxing Linzy, Bin? Bertahun-tahun cuma pegangan tangan doang, ciuman. Udah? Datar banget pacaran lo,” ujar Fras dengan heboh.

“Ngapain unboxing cewek yang udah diunboxing orang?”

Kaffa dan Fras meledakkan tawanya seolah meledek Abin yang lambat dalam bertindak. “Lama sih lo, Bin!” sindir Fras.

“Gue nggak suka celap-celup sembarangan kayak kalian. Apa lagi lo Fras. Orang gila pinggir jalan aja lo sikat.”

Kaffa dan Fras sudah biasa disindir Abin seperti itu. Fras pun mengalihkan pembicaraan. “Temennya Jisya, siapa tuh? Yuna? Iya, Yuna, kan? Yang manis banget kalau senyum bikin diabetes. Nggak pernah pakai baju seksi, tapi bodynya...  Beuh... Kayak gitar Itali. Sabi juga tuh kayaknya buat sensasi baru.”

“Belum pernah pacaran tuh anak,” ucap Abin tiba-tiba.

Kaffa mengerutkan keningnya. “Kok lo tahu?”

“Jisya kalau sama gue yang diceritain dia mulu. Sampai bosen gue dengernya.”

“Asik nih kayaknya.” Kaffa memberi kode pada Fras dengan tatapannya.

“Taruhan aja gimana?” tawar Fras.

“Maksudnya?” Abin tidak suka ada yang main-main dengan orang yang berhubungan dengan Jisya.

“Kalau dari kita bertiga bisa unboxing si Yuna, taruhannya sepuluh juta.”

Kaffa langsung menempeleng kepala Fras. “Bangsat lo! Murah banget sepuluh juta. Masih segel nih, Bos. Cewek baik-baik lagi. Seratus. Gimana? Berani nggak lo?” tantang Kaffa. Dia percaya sekali bisa mendapatkan Yuna. Selain itu dia juga merasa cukup dekat dengan Jisya yang bisa mempermudah rencananya. 

Fras akhirnya berpikir dua kali. “Cewek baik-baik. Bodynya asoy. Masih segel lagi. Cocok lah harga segitu. Deal ya?”

“Gimana lo, Bin? Jangan bilang lo takut sama Jisya,” tebak Kaffa.

“Males gue. Nggak suka sama cewek kayak Yuna.”

“Lah, Yuna kan sebelas dua belas sama Jisya.”

“Tetep aja beda.”

“Emang cupu lo, Bin! Gini aja kalau gitu, gue tantang lo unboxing Jisya. Kalau bisa. Gue kasih dah mobil gue,” tantang Fras.

Abin benar-benar tidak minat dengan tantangan teman-temannya. Dia merasa dirinya memang berubah sejak pacaran dengan Jisya. Jarang cium sana-sini. Jarang mabuk, jarang ngerokok. Kalau seks, Abin memang belum pernah. Dia tidak sebejat dua temannya.

“Nggak usah bacot aja kalian. Siapin tuh perform buat minggu depan.” Band Abin diundang oleh kolega Rama di acara ulang tahun.

***

Seperti biasa, Abin selalu pulang larut malam setelah nongkrong dengan Fras dan Kaffa. Dia menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya. Ketika sampai di depan kamarnya berpapasan dengan Alice yang membawa segelas susu. Alice memang sering menginap di rumah Abin untuk menemani sugar dadynya.

Perempuan itu menghalangi jalan Abin masuk ke kamarnya. “Minggir, Lice!” bentak Abin karena mulai kesal dengannya. Bukannya takut, Alice justru terkekeh. Dia selalu suka melihat wajah Abin ketika marah. Terlihat seksi baginya.

“Papa kamu mabuk parah. Kamu nggak mau sama aku malam ini?”

Abin menarik sebelah bibirnya. Bisa-bisanya setelah menggoda papanya, perempuan itu menggodanya juga. Sayangnya, Abin tak berminat. "Gue nggak minat sama cewek murahan kayak lo!" jawab Abin dengan lugas dan mendorong Alice dari depannya.

Alice membuntuti Abin memasuki kamar dan mengunci pintunya. Abin memutar mata melihat sikap murahan Alice yang menawarkan dirinya sendiri. Tak beda jauh dari Linzy. Abin bukan maniak seks. Tidak mudah terpancing hanya dengan kemolekan tubuh seorang perempuan nakal.

Tanpa mau memedulikan Alice, Abin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dan Alice pun mengikuti. Meletakkan gelas susunya di atas nakas, lantas ikut duduk di tepian ranjang Abin. "Kalau kamu mau balikan sama aku, aku siap kok kalau harus ninggalin papa kamu."

Sebelah ujung bibir Abin naik seketika. Dia sangat meremehkan ucapan Alice. "Lo lupa kalau gue anti balikan sama mantan? Apa lagi bekas bokap gue."

Tangan Alice meraba tangan Abin. "Bin, serius. Aku masih cinta banget sama kamu."

Abin langsung menepis tangannya. "Lo pikir gue peduli?"

Alice tak menyerah begitu saja. Dia mencari cara untuk menarik perhatian Abin. 

“Alice, di mana kamu?" Baru ingin membuka tali lingerin, tiba-tiba suara Rama menghentikan pergerakan tangan Alice.

Abin melihat Alice memutar matanya. Terlihat dari sikapnya kalau Alice tak benar-benar tertarik dengan Rama. Abin tahu, Alice hanya ingin hartanya saja. “Pergi sana!” Abin mendorongnya tidak perlalu kencang. Malas saja kalau harus cekcok dengan papanya hanya karena wanita murahan itu

“Next time aku bakal buat kamu mohon-mohon ke aku,” ucap Alice sambil membenarkan lingerinnya dan berjalan keluar.

“Cewek sinting!”

To be continue....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status