“Ternyata itu lo?” seru Alieen. Pria itu menatapnya bingung. Lalu ia berjalan melewati Alieen. Alieen yang mengenali pria tersebut lantas berbalik dan mencoba menghalanginya.
“Tunggu sebentar, Bagas!” Alieen merentangkan tangannya. Iya, pria itu adalah Bagas. Bagas hanya menatap matanya, mencari jawaban di sana.
Mendapat perlakuan tersebut, hati Alieen merasa terenyuh. Ia menyadari jika sorotan mata pria itu menyimpan banyak kesedihan. Sial, Alieen tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk membantu Bagas. Tapi ia tidak tau harus bagaimana.
“Apa mau lo?” ketus Bagas.
“Tidak ada.”ucap Alieen.
“Terus kenapa lo halangi jalan gue? Oh, atau diminta Shintia buat mengantarkan pesan dia ke gue?” tanyanya dingin.
“Apa? Gue masih punya kerjaan lain! Buat apa gue jadi babunya, gila lo ya!” kesal Alieen.
“Gue cuma mau tanya, apa lo tau tugas Pak Dayat sudah setinggi gunung?” lanjut Alieen.
“Tugas?” tanya nya.
“Iya, lo tau sendiri kalau Pak Dayat lebih mementingin nilai sama absen? Dia tidak peduli kalau muridnya itu bandel seperti apapun.” Ujar Alieen.
“Terus, lo rela melepas status sebagai kapten ke Widde?” lanjutnya.
Widde adalah satu-satunya anggota tim basket tidak berbakat. Dia bisa masuk tim karena kekuasaan ayahnya di sekolah ini. Tujuannya hanya untuk memikat perhatian para gadis di sekolah saja, berbeda dengan Bagas.
Tentu saja Bagas tidak setuju jika timnya dipimpin oleh orang yang seperti itu. Tapi percuma, dia sudah kehilangan semangatnya.
“Hei! Malah diam saja.” Alieen melambaikan tangan di depan wajah Bagas. Ia pun tersadar dari lamunannya.
“Peduli apa lo sama gue? Mau posisi kapten di ganti atau tidak. Itu bukan urusan lo!” Ucapnya dingin.
“Dih? Sombong banget. Ya I know lo memang salah satu murid yang berprestasi di sini. Bodoh ya, gue malah kasih tahu soal tugas Pak Dayat.” Alieen mengangkat bahunya dan membalik badan, berjalan ke tepi Rooftop. Bagas menatapnya heran.
“Kenapa liatin gue begitu?” tanya Alieen.
“Apa ada sesuatu di wajah gue? Atau lo naksir sama gue?” lanjutnya. Alieen mengeluarkan ponsel dan bercermin di layarnya.
“Wah kelewatan pede yang lo! Gue cuma heran aja kenapa lo kesini?” Tanya Bagas padanya.
“Apa dia tidak tau sama sekali soal artikel itu? Atau mau mengejek gue karena kabur dari masalah yang gue sendiri tidak tau.” Batinnya.
“Ya, gue cuma mencari udara segar. Di bawah sana gue merasa sesak, hehe.” ucap Alieen sambil tertawa garing.
“Kalau lo gimana? Apa selama ini ada di sini aja?” lanjutnya.
Bagas yang awalnya akan turun, kini berdiri di sampingnya dan bersandar di tepi pembatas Rooftop, sambil melihat langit biru yang tenang.
“Mungkin lo mau tau kemana aja gue selama ini, kan?” tanyanya tanpa menoleh.
“Ya, sih. Tapi jangan salah paham, ya. Gue cuman penasaran aja kenapa lo yang jenius ini memilih tidak masuk sekolah dalam jangka yang lama. Bahkan tanpa surat keterangan apapun.” jelasnya.
Tidak tahu kenapa Bagas merasa nyaman berbicara dengan Alieen. Ia pun berpikir untuk membicarakan masalahnya, tapi dirinya sadar jika mereka tidak dalam hubungan apapun.
Lalu tiba-tiba saja terdengar suara ribut dari arah pintu Rooftop. Alieen juga mendengar ada suara Shintia dan Deshi. Mereka membicarakan untuk menangkapnya dan meminta pengakuan kebenaran soal artikel yang tersebar di website sekolah.
“Aduh! Gimana nih? Padahal gue tidak lakuin apapun. Tapi kenapa mereka marah banget sama gue?” panik Alieen sangat jelas dari raut wajahnya. Bagas juga mendengar pembicaraan itu dan segera menarik tangannya ke suatu tempat. Sebelum semuanya semakin runyam.
Tepat saat pintu di buka, Bagas dan Alieen bersembunyi di balik tumpukan kursi dan meja yang sebagian tertutup terpal biru laut.
Deshi dan Shintia sibuk mencari dirinya. Jantung Alieen berdegup kencang. Bagaimana tidak, saat ini mereka berdua sedang bersembunyi di tempat yang sempit, dan deru nafas Bagas terdengar jelas olehnya.
“Awas, rambut lo kelihatan sama mereka!” bisik Bagas yang langsung merapikan rambutnya ke depan.
“Ah, I.. Iya. Makasih,” ucapnya berusaha menahan rasa gugup.
Tanpa disengaja, mata mereka saling beradu satu sama lain. Seperti ada aliran aneh diantara keduanya. Mereka terdiam dan saling memandang dalam waktu yang tidak sebentar.
Bagas yang melihat ada sepasang kaki di belakang Alieen, spontan memeluknya dan mengisyaratkan agar tidak berisik.
Mereka mendengar suara Shintia yang frustrasi berkata, “Dia tidak ada di sini.” Lalu suara Deshi terdengar kembali dan bertanya, “Lalu kemana dia pergi? Atau dia bolos?”. Perlahan mereka berjalan menjauh sambil membicarakan Alieen. Lambat laun suara langkah kaki itu menghilang. Bagas mencoba memastikan jika tidak ada orang selain mereka berdua di Rooftop.
“Apa sudah aman?” tanya nya memastikan.
“Sudah aman.” jawab Bagas. Alieen menghela nafasnya dan keluar dari persembunyian tersebut.
Mereka diam sesaat , ,mencoba menghilangkan beban dengan menikmati sejuknya angin yang berhembus dan melihat sisi lain gedung sekolah. Hal seperti ini kadang dibutuhkan untuk menenangkan diri mereka.
“Jadi... Apa lo mau bolos juga sekarang?” tanya Bagas, dan melirik Alieen.
Kali ini Alieen yang terdiam, ia tidak tau apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dirinya tidak bersalah tapi dicari seperti kriminal. Bahkan Rina sahabatnya pun lebih mempercayai orang lain dari pada dirinya. Air mata Alieen perlahan membasahi pipinya. Dia tidak dapat menjelaskan masalahnya pada siapa pun.
“Gue benci lihat cewek yang nangis. Mending gue pergi.” ucapnya dingin. Lalu ia meninggalkannya.
“Kenapa semuanya benci gue? Hiks!” Ia akhirnya bisa menangis dengan bebas dan mengeluarkan semua beban pikirannya.
***
Bagas turun ke kantin dan membeli beberapa jajanan. Lalu berpapasan dengan Shintia saat menunggu makanan.
“Sudah lihat artikel sekolah?” Bisik Shintia. Tapi Bagas hanya meliriknya.
“Ternyata Rafandi itu udah punya pacar, ya? Pantes aja mereka keliatannya akrab banget!” sambungnya.
“Kenapa kamu tanya soal itu? Bukannya urusan kita belum selesai?” gumam Bagas.
“Yakin belum selesai? Oh ya, kamu itu kan bucin banget sama aku.” celetusnya.
Setelah makanan di pesan Bagas jadi, ia menarik tangan Shintia ke belakang sekolah dan tidak ada satu pun yang akan melihat mereka.
“Aduh! Pelan-pelan dong sayang...” godanya dengan senyuman licik itu lagi.
“Kenapa kita harus putus seperti ini? Beri aku jawaban! “ geram Bagas. Shintia hanya tertawa, lalu pergi tanpa menjawabnya sama sekali. Bagas meraih tangannya, tapi dengan kuat Shintia menghempasnya. Bayangan gadis itu perlahan hilang dari pandangannya.
“Dulu lo deketin gue, bilang suka, cinta, sayang, dan akan selamanya sama gue.” lirihnya.
“Kenapa lo tega sama gue, Shintia? Apa salah gue?!” Bagas benar-benar frustrasi, perasaannya benar-benar sedang dipermainkan oleh gadis itu.
—Kadang melihat dari sampul terlebih dahulu itu penting, tapi tidak semua sampul bagus memiliki isi yang bagus juga bukan?—
Saat ini Bagaskara bersiap seperti bisa, lalu tiba-tiba saja ia teringat oleh Alieen. Pertanyaan dari temannya itu terus berputar di kepalanya . “Kalau gue di tanya rela melepas status itu, jelas tidak! Buat dapatin status itu bukan hal yang mudah.” ucapnya. Tiba-tiba saja ponselnya terus berbunyi, notifikasi tidak berhenti bermunculan. Bagas yang risih berakhir menjadi penasaraan saat ia melihat nama Rafandi. Ketika ia mengklik notifikasi tersebut tidak sedikit yang menghina bahkan mencaci maki seseorang yang bernama Alieen. “Kenapa ada nama Rafandi sama Alieen? Bukannya Alieen ini cewek kemarin?” Rasa penasarannya terus memunculkan beberapa pertanyaan di benaknya. Lalu ia baru ingat jika Shintia pernah menanyakan soal, sudah melihat artikel sekolah atau belum. Tanpa ia berpikir panjang, Bagas segera mengirim link artikel itu kepada Rafandi melalui pesan online. Bagaskara : Apa yang lu lakukan sama gadis di artikel ini?
“Oh, hoo! Dia mulai marah girls haha.”ejek Deshi.“Lo pasti mau mengadu kan ke ‘Rafa tersayang’ nya itu.” kelakarnya.“Udah puas kalian?!” pekik Alieen. Semua murid yang menertawakannya kini terdiam, setelah mendengar nada bicaranya yang benar-benar serius dan marah.“Jangan pakai teriak dong! Santai saja. Dasar nyari sensasi terus lo kerajaannya.” kesal Deshi. Ia mendorong bahu Alieen keras hingga terpental dan hampir jatuh.Bagas datang di saat yang tepat. Ia menahan tubuh Alieen dan berkata. “Kalian memang suka banget ngebully ya?”Alieen menatap Bagas bingung. Ia sangat tahu betul jika pria itu sangat acuh, dan jarang sekali berbicara jika bukan dengan yang ia kenal. Tidak hanya Alieen, semua murid di kelas juga kebingungan. Bagaimana bisa Bagas si raja peringkat satu dan terkenal acuh dengan sekitar itu justru membantu menangkap tubuh Alieen. Hanya satu o
“Aduh, kamu kok kasar sama aku?” ucap Shintia. “Kasar? Bukannya kamu yang kasar? Kamu yang udah membuat orang-orang di sekolah ini meributkan hal konyol,” Bagas memojokkan tubuh Shintia ke satu sudut tembok. “Dengan aku yang hanya menarikmu paksa seperti ini?” lanjut Bagas. Shintia memasang wajah lugu tidak berdaya, berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tertawa lepas ketika menyadari maksud dan tujuan Bagas membawanya ke belakang sekolah seperti ini. “Akhirnya lo menunjukkan wajah asli lo,” Bagas selangkah mundur. “Hah? Sejak kapan lo tahu?” Shintia justru melangkah maju bahkan menyentuh dagunya, dan segera di tangkis oleh Bagas. “Hahaha, kenapa kali ini kamu menolak sentuhan tangan ini?” Shintia memiringkan kepalanya. “Lo tahu, kan? Ketika cewek dan cowok hanya berdua di...” ucap Shintia tertahan sesaat. Lalu ia memutarkan keadaan. Saat ini bukan lagi dirinya yang sedang disudutkan, melainkan Bagas. Lalu Shintia tersenyum san
Alieen pada akhirnya tetap pulang ke rumahnya. Tapi sampainya di rumah justru ia kembali melihat sosok yang ia benci. Siapa lagi jika bukan kakak yang tidak ingin orang lain ketahui statusnya itu. Bintara.“Baru pulang? Kenapa kalian tidak pulang bareng saja?” Tanya sang Ibu.“Tadi aku—“ ucapan Alieen terpotong.“Tadi udah mau pulang bareng bu, tapi anak gadis ibu yang enggak mau. Malu katanya.” Ujar Bintara yang menyela nya.Alieen menatap wajah Bintara dengan kesal. Bintara berbohong dengan Ratih, Ibu mereka. Ratih juga percaya dengan ucapan Bintara yang justru menambah kekesalan dalam diri Alieen.Alieen sudah muak dengan ini semua, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Walau Ratih memintanya untuk kembali segera turun agar bisa makan malam bersama tapi Alieen tidak ada niatan menuruti perintah ibunya.Alieen menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, dengan seragam yang masih lengkap. Ia
Saat Bintara membuka mata, Ratih dan Alieen sudah berada di sampingnya. Ia baru saja melewati masa kritis akibat luka tusuk di perutnya. “Ibu?” “Astaga, Bintara. Kamu kenapa bisa seperti ini?” “Aku tidak apa-apa bu. Jangan terlalu dipikirkan. Ibu lebih baik pulang saja, aku juga akan segera pulang.” “Bagaimana Ibu tidak khawatir? Kamu itu anak Ibu loh!” Ratih terlihat sangat sedih dan khawatir. Lalu ia mengambil teko yang ada di atas meja kecil di dekat tempat tidur pasien. “Alieen, bisa tolong ambilkan dulu air minum untuk Bintara?” Ratih menyodorkan teko itu kepada Alieen. “Iya bu.” Alieen segera pergi meninggalkan kamar itu. Sedangkan Ratih segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Lalu ia menatap Bintara penuh dengan kecemasan. “Siapa yang sudah melakukan hal ini? Bukan mereka, kan?” “Enggak bu, bukan.” “Lalu?” “Ibu, lain waktu saja ya? Aku... Aku belum siap buat ceritakan hal ini
“Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya Bagas, tangannya tetap menahan pergelangan tangan Rini.“Lepasin tangan gue!” Seru Rini. Bagas akhirnya melepaskan tangan itu, dan pandangannya beralih melihat Alieen.“Gue sama sekali enggak nyangka kalau Rini akan tega begini sama gue,” Ujar Alieen di dalam hatinya.Rini pergi berlari meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Alieen mencoba untuk memungut kembali belanjaan nya, tapi Bagas merebutnya dari tangan Alieen.“Apa yang mau lo lakuin?”“Buang, apa lagi?”Alieen ingin mencegahnya membuang belanjaannya, tapi Bagas sudah terlanjur menempatkan itu ke dalam tempat sampah. Alieen menatap tajam ke arahnya, padahal masih ada yang bisa di pakai lagi tapi Bagas membuang semuanya.“Lo tenang aja, kita belanja lagi.”Alieen menatap Bagas bingung, padahal ia tidak berkata apa pun seakan Bagas tau apa isi pikirannya.
Akhirnya mereka sampai di bengkel dan Bagas segera mencari bangku agar mereka dapat beristirahat sejenak, lalu berbicara kepada montir di sana untuk memperbaiki atau periksa bagian-bagian tertentu.“Gue kira dia Cuma pintar soal pelajaran, ternyata hebat juga soal motor.”Alieen tidak bisa memalingkan pandangannya dari Bagas, sampai akhirnya pria tersebut menoleh kearahnya. Seketika Alieen menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Alieen berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke sisi lain, berusaha agar tidak langsung berkontak mata kepadanya.Bagas yang melihat tingkah gadis tersebut hanya bisa menatap heran, lalu ia memesankan taksi melalui ponselnya. Tidak butuh waktu lama, taksi itu datang untuk menjemput Alieen. Bagas menarik lengan Alieen lembut agar mengikuti dirinya. Alieen pun hanya pasrah mengikuti Bagas, hingga akhirnya mereka berdiri di samping taksi itu.“Cepat naik, ini udah di pesan dan siap n
Saat orang misterius itu hendak akan menggapai pundaknya, Alieen langsung memukul kuat sosok itu dengan botol yang digenggamnya. Suara rintihan sosok itu seolah tidak asing lagi di telinganya. Alieen lantas mendongakkan kepalanya sedikit, dan ia melihat jika orang misterius itu adalah orang yang sangat ia kenal. Ia sangat terkejut dengar kehadiran sosok tersebut.“Aw, sebegitu dendamkah lo sama gue?”“Shintia! Kok lo ada di sini?”“Iya, gue kesini karena mau belanja bahan kue. Btw lo...”“Apa?”“Lo pasti belum ada kelompok kan buat bazar minggu depan. Lo sekelompok sama gue saja, ya?”“Huh? Sekelompok sama lo, yakin?”“Iya lah, gue kurang satu anggota kelompok lagi. Lumayan kan nanti kalau kita bisa dapat nilai plus gede?”Sejujurnya Alieen terkejut mendengar ajakan Shintia, ini sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasi nya.