Share

2. INSIDEN ROOFTOP

“Ternyata itu lo?” seru Alieen. Pria itu menatapnya bingung. Lalu ia berjalan melewati Alieen. Alieen yang mengenali pria tersebut lantas berbalik dan mencoba menghalanginya.

“Tunggu sebentar, Bagas!” Alieen merentangkan tangannya. Iya, pria itu adalah Bagas. Bagas hanya menatap matanya, mencari jawaban di sana.

Mendapat perlakuan tersebut, hati Alieen merasa terenyuh. Ia menyadari jika sorotan mata pria itu menyimpan banyak kesedihan. Sial, Alieen tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk membantu Bagas. Tapi ia tidak tau harus bagaimana.

“Apa mau lo?” ketus Bagas.

“Tidak ada.”ucap Alieen.

“Terus kenapa lo halangi jalan gue? Oh, atau diminta Shintia buat mengantarkan pesan dia ke gue?” tanyanya dingin.

“Apa? Gue masih punya kerjaan lain! Buat apa gue jadi babunya, gila lo ya!” kesal Alieen.

“Gue cuma mau tanya, apa lo tau tugas Pak Dayat sudah setinggi gunung?” lanjut Alieen.

“Tugas?” tanya nya.

“Iya, lo tau sendiri kalau Pak Dayat lebih mementingin nilai sama absen? Dia tidak peduli kalau muridnya itu bandel seperti apapun.” Ujar Alieen.

“Terus, lo rela melepas status sebagai kapten ke Widde?” lanjutnya.

Widde adalah satu-satunya anggota tim basket tidak berbakat. Dia bisa masuk tim karena kekuasaan ayahnya di sekolah ini. Tujuannya hanya untuk memikat perhatian para gadis di sekolah saja, berbeda dengan Bagas.

Tentu saja Bagas tidak setuju jika timnya dipimpin oleh orang yang seperti itu. Tapi percuma, dia sudah kehilangan semangatnya.

“Hei! Malah diam saja.” Alieen melambaikan tangan di depan wajah Bagas. Ia pun tersadar dari lamunannya.

“Peduli apa lo sama gue? Mau posisi kapten di ganti atau tidak. Itu bukan urusan lo!” Ucapnya dingin.

“Dih? Sombong banget. Ya I know lo  memang salah satu murid yang berprestasi di sini. Bodoh ya, gue malah kasih tahu soal tugas Pak Dayat.” Alieen mengangkat bahunya dan membalik badan, berjalan ke tepi Rooftop. Bagas menatapnya heran.

“Kenapa liatin gue begitu?” tanya Alieen.

“Apa ada sesuatu di wajah gue? Atau lo naksir sama gue?” lanjutnya. Alieen mengeluarkan ponsel dan bercermin di layarnya.

“Wah kelewatan pede yang lo! Gue cuma heran aja kenapa lo kesini?” Tanya Bagas padanya.

“Apa dia tidak tau sama sekali soal artikel itu? Atau mau mengejek gue karena kabur dari masalah yang gue sendiri tidak tau.” Batinnya.

“Ya, gue cuma mencari udara segar. Di bawah sana gue merasa sesak, hehe.” ucap Alieen sambil tertawa garing.

“Kalau lo gimana? Apa selama ini ada di sini aja?” lanjutnya.

Bagas yang awalnya akan turun, kini berdiri di sampingnya dan bersandar di tepi pembatas Rooftop, sambil melihat langit biru yang tenang.

“Mungkin lo mau tau kemana aja gue selama ini, kan?” tanyanya tanpa menoleh.

“Ya, sih. Tapi jangan salah paham, ya. Gue cuman penasaran aja kenapa lo yang jenius ini memilih tidak masuk sekolah dalam jangka yang lama. Bahkan tanpa surat keterangan apapun.” jelasnya.

Tidak tahu kenapa Bagas merasa nyaman berbicara dengan Alieen. Ia pun berpikir untuk membicarakan masalahnya, tapi dirinya sadar jika mereka tidak dalam hubungan apapun.

Lalu tiba-tiba saja terdengar suara ribut dari arah pintu Rooftop. Alieen juga mendengar ada suara Shintia dan Deshi. Mereka membicarakan untuk menangkapnya dan meminta pengakuan kebenaran soal artikel yang tersebar di website sekolah.

“Aduh! Gimana nih? Padahal gue tidak lakuin apapun. Tapi kenapa mereka marah banget sama gue?” panik Alieen sangat jelas dari raut wajahnya. Bagas juga mendengar pembicaraan itu dan segera menarik tangannya ke suatu tempat. Sebelum semuanya semakin runyam.

Tepat saat pintu di buka, Bagas dan Alieen bersembunyi di balik tumpukan kursi dan meja yang sebagian tertutup terpal biru laut.

Deshi dan Shintia sibuk mencari dirinya. Jantung Alieen berdegup kencang. Bagaimana tidak, saat ini mereka berdua sedang bersembunyi di tempat yang sempit, dan deru nafas Bagas terdengar jelas olehnya.

“Awas, rambut lo kelihatan sama mereka!” bisik Bagas yang langsung merapikan rambutnya ke depan.

“Ah, I.. Iya. Makasih,” ucapnya berusaha menahan rasa gugup.

Tanpa disengaja, mata mereka saling beradu satu sama lain. Seperti ada aliran aneh diantara keduanya. Mereka terdiam dan saling memandang dalam waktu yang tidak sebentar.

Bagas yang  melihat ada sepasang kaki di belakang Alieen, spontan memeluknya dan mengisyaratkan agar tidak berisik.

Mereka mendengar suara Shintia yang frustrasi berkata, “Dia tidak ada di sini.” Lalu suara Deshi terdengar kembali dan bertanya, “Lalu kemana dia pergi? Atau dia bolos?”. Perlahan mereka berjalan menjauh sambil membicarakan Alieen. Lambat laun suara langkah kaki itu menghilang. Bagas mencoba memastikan jika tidak ada orang selain mereka berdua di Rooftop.

“Apa sudah aman?” tanya nya memastikan.

“Sudah aman.” jawab Bagas. Alieen menghela nafasnya dan keluar dari persembunyian tersebut.

Mereka diam sesaat , ,mencoba menghilangkan beban dengan menikmati sejuknya angin yang berhembus dan melihat sisi lain gedung sekolah. Hal seperti ini kadang dibutuhkan untuk menenangkan diri mereka.

“Jadi... Apa lo mau bolos juga sekarang?” tanya Bagas, dan melirik Alieen.

Kali ini Alieen yang terdiam, ia tidak tau apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dirinya tidak bersalah tapi dicari seperti kriminal. Bahkan Rina sahabatnya pun lebih mempercayai orang lain dari pada dirinya. Air mata Alieen perlahan membasahi pipinya. Dia tidak dapat menjelaskan masalahnya pada siapa pun.

“Gue benci lihat cewek yang nangis. Mending gue pergi.” ucapnya dingin. Lalu ia meninggalkannya.

“Kenapa semuanya benci gue? Hiks!” Ia akhirnya bisa menangis dengan bebas dan mengeluarkan semua beban pikirannya.

***

Bagas turun ke kantin dan membeli beberapa jajanan. Lalu berpapasan dengan Shintia saat menunggu makanan.

“Sudah lihat artikel sekolah?” Bisik Shintia. Tapi Bagas hanya meliriknya.

“Ternyata Rafandi itu udah punya pacar, ya? Pantes aja mereka keliatannya akrab banget!” sambungnya.

“Kenapa kamu tanya soal itu? Bukannya urusan kita belum selesai?” gumam Bagas.

“Yakin belum selesai? Oh ya, kamu itu kan bucin banget sama aku.” celetusnya.

Setelah makanan di pesan Bagas  jadi, ia menarik tangan Shintia ke belakang sekolah dan tidak ada satu pun yang akan melihat mereka.

“Aduh! Pelan-pelan dong sayang...” godanya dengan senyuman licik itu lagi.

“Kenapa kita harus putus seperti ini? Beri aku jawaban! “ geram Bagas. Shintia hanya tertawa, lalu pergi tanpa menjawabnya sama sekali. Bagas meraih tangannya, tapi dengan kuat Shintia menghempasnya. Bayangan gadis itu perlahan hilang dari pandangannya.

“Dulu lo deketin gue, bilang suka, cinta, sayang, dan akan selamanya sama gue.” lirihnya.

“Kenapa lo tega sama gue, Shintia? Apa salah gue?!” Bagas benar-benar frustrasi, perasaannya benar-benar sedang dipermainkan oleh gadis itu.

—Kadang melihat dari sampul terlebih dahulu itu penting, tapi tidak semua sampul bagus memiliki isi yang bagus juga bukan?—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status