Alieen pada akhirnya tetap pulang ke rumahnya. Tapi sampainya di rumah justru ia kembali melihat sosok yang ia benci. Siapa lagi jika bukan kakak yang tidak ingin orang lain ketahui statusnya itu. Bintara.
“Baru pulang? Kenapa kalian tidak pulang bareng saja?” Tanya sang Ibu.
“Tadi aku—“ ucapan Alieen terpotong.
“Tadi udah mau pulang bareng bu, tapi anak gadis ibu yang enggak mau. Malu katanya.” Ujar Bintara yang menyela nya.
Alieen menatap wajah Bintara dengan kesal. Bintara berbohong dengan Ratih, Ibu mereka. Ratih juga percaya dengan ucapan Bintara yang justru menambah kekesalan dalam diri Alieen.
Alieen sudah muak dengan ini semua, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Walau Ratih memintanya untuk kembali segera turun agar bisa makan malam bersama tapi Alieen tidak ada niatan menuruti perintah ibunya.
Alieen menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, dengan seragam yang masih lengkap. Ia memandang langit-langit kamarnya, lalu ia membuat ruang di kamarnya menjadi gelap.
“Ok G**gle, matikan lampu kamar.” Perintah Alieen.
Lampu pun padam, membuat ia bisa melihat rasi Bintang yang terbentuk di langit-langit kamarnya. Hal kecil seperti ini sudah membuatnya sedikit tenang, dan tiba-tiba banyak notifikasi yang masuk ke ponsel milik. Alieen mengerutkan dahi ketika melihat notifikasi itu.
“Unknow? Siapa ini, kok dia bisa tau kontak gue?” Alieen bertanya-tanya dan mencoba kembali mengingat kembali. Apakah ia pernah memberikan nomornya kepada orang lain atau tidak.
“Perasaan gue enggak kasih nomor gue ke siapa pun. Oh, apa karena masalah itu? Pasti orang iseng. “ ujar Alieen.
Saat ia membuka notifikasi itu Alieen semakin terkejut, karena ‘Unknow’ ini tau apa masa yang sedang ia hadapi.
Unknow : Apa lo baik-baik aja, setelah di paksa masuk ke dalam mobil itu?
Unknow : Lo pasti ketakutan bukan?
Alieen : Kok lo tau?
Alieen : Dan dari mana lo tau nomor gue?
Alieen : Siapa lo!
Unknow : Engga penting siapa gue sekarang.
Unknow : Lo harus Jawab dulu pertanyaan gue tadi.
Alieen : Gue tau siapa lo.
Unknow : Lo tau? Bagaimana caranya?
Alieen berjalan menuju balkon kamarnya dan dari balkon kamarnya, ia dapat melihat jika Bintara sedang memegangi ponsel, dan jari jemarinya tidak berhenti mengetik sesuatu. Di saat bersamaan si pengirim pesan misterius itu juga terlihat sedang mengetik. Ting! Satu pesan kembali muncul, seketika Alieen segera melihat pergerakan jari Bintara. Ternyata juga terdiam.
Alieen segera memperingati pengirim pesan aneh itu, agar tidak mengganggu dirinya lagi. Lalu segera ia memblokir nomor misterius itu. Alieen pun segera kembali masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu, membuat Bintara seketika terkejut mendengar bantingan pintu.
“Tuh anak kenapa sih?” heran Bintara.
“Itu suara apa tadi, Bin?” tanya Ratih.
“Eung, suara tv bu.”
“Astaga, tv? Kamu kalau nonton jangan terlalu kencang suaranya.”
“Iya Bu, maaf.”
Ratih kembali ke dalam dapur untuk mempersiapkan makan malam mereka. Tapi apa alasan Bintara berbohong kepada Ibunya?
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, tapi Alieen masih saja di dalam kamarnya. Padahal Bintara dan Ibunya sudah menunggu dirinya di meja makan.
“Kenapa adikmu tidak kunjung keluar kamar, Bintara?”
“Aku tidak tau, bu. Mungkin dia sedang diet?”
“Ibu akan menghampiri kamarnya.”
“Eung, baik bu. Tapi Ibu jangan memarahinya ya?”
“Buat apa Ibu marah kepadanya, dia kan tidak melakukan apa pun yang salah.”
“Iya, kali aja ibu mau marah sama dia karena tidak kunjung keluar kamar?”
“Kamu khawatir adikmu ibu terkam, ya? Haha.”
Bitara mengiyakan nya, membuat Ratih semakin senang. Karena ia melihat Bintara sangat menyayangi adik perempuannya.
Ratih pun menghampiri putrinya yang mengurung diri di dalam kamarnya.
“Tok-tok, apa ada orang di dalam?” Ratih membuka pintu kamarnya, dan Alieen menoleh ke arah dirinya.
“Ibu?”
“Kamu tidak mau makan malam? Sedang diet ya?”
“Enggak bu, hanya lagi enggak nafsu makan saja.”
“Apa kamu sakit?” Ratih segera menempelkan punggung tangannya ke dahi putrinya. Lalu ia merasa lega karena tidak merasakan panas di dahinya.
“Ibu, Alieen enggak sakit.”
Ratih mengajak putrinya untuk duduk berdampingan di tepi kasur.
“Lalu ada apa?”
“Tidak ada bu.”
“Yakin? Apa karena ada Bintara?”
Mata Alieen membulat ketika mendengar nama itu lagi dari mulut sang Ibu. Ratih sebenarnya tau, jika Alieen tidak senang dengan Bintara yang kadang bersikap berlebihan padanya. Ia tau jika Alieen pasti takut dan tidak senang.
“Alieen, kamu ingat apa pesan Ayah terakhir kali?”
“Ingat bu.”
“Apa pesannya?”
“Agar Alieen sama kak Bintara akur.”
“Nah, itu kamu paham. Terus kenapa masih tidak akur?”
Alieen tidak bisa menjawabnya, ia tidak ingin Ibunya tau jika Bintara itu terlihat berbeda jika di belakangnya. Karena itu bisa saja melukai hati Ibunya yang sudah mempercayai Bintara adalah anak baik.
“Alieen, Ibu juga berharap kamu sama Bintara itu akur seperti kakak dan adik lainnya. Sepertinya akan terlihat adem jika kalian tidak saling cuek seperti sekarang.”
Ucapan Ratih dapat dimengerti oleh Alieen, tapi hati Alieen tetap tidak bisa terima. Lalu Bintara datang membuka pintu kamar Alieen.
“Bu, aku langsung pergi ya?” pamit Bintara.
“Loh? Kamu tidak menginap di sini?” tanya Ibu mereka.
“Tidak, aku harus segera kembali. Ada urusan lain di kos-an.” Jawab Bintara.
“Kenapa tidak tinggal di sini saja, sih?” cetus Ratih.
“Ibu...” ucap Alieen.
“Udah bu, aku harus segera pulang nanti terlalu malam pasti dimarahi ibu kosnya.” Ucap Bintara.
“Ya sudah, hati-hati di jalan.”
“Iya, bu.”
Keesokan harinya, kebetulan hari ini adalah minggu. Jadi Alieen tidak perlu bangun lebih pagi seperti biasanya. Tepat jam tujuh lewat tiga puluh, Alieen bangun dan ponselnya kembali mendapatkan pesan dari Unknow itu membuatnya geram. Di saat yang bersamaan Bintara menghubunginya. Alieen dengan malas menerima panggilan itu.
“Halo, ada apa pagi-pagi telepon?”
“Maaf, apa anda keluarga dari Pemilik ponsel ini?”
Ternyata yang menelepon dirinya bukan Bintara, melainkan suara perempuan. Seketika Alieen bangkit dari ranjangnya, dan mulai berpikir macam-macam.
“Iya, benar. Saya Adiknya. Ada apa ya? Apa terjadi sesuatu sama kakak saya?”
“Pasien mengalami kecelakaan, dan sedang di rawat di rumah sakit—“
“Apa dia terluka parah? Kalau begitu kami segera kesana!”
Alieen menutup panggilan itu, lalu ia baru melihat isi pesan yang di kirim oleh Unknow itu. Ternyata isi pesan dan situasi Bintara tidak sinkron. Membuat Alieen kembali penasaran, siapa dia ini?
Saat Bintara membuka mata, Ratih dan Alieen sudah berada di sampingnya. Ia baru saja melewati masa kritis akibat luka tusuk di perutnya. “Ibu?” “Astaga, Bintara. Kamu kenapa bisa seperti ini?” “Aku tidak apa-apa bu. Jangan terlalu dipikirkan. Ibu lebih baik pulang saja, aku juga akan segera pulang.” “Bagaimana Ibu tidak khawatir? Kamu itu anak Ibu loh!” Ratih terlihat sangat sedih dan khawatir. Lalu ia mengambil teko yang ada di atas meja kecil di dekat tempat tidur pasien. “Alieen, bisa tolong ambilkan dulu air minum untuk Bintara?” Ratih menyodorkan teko itu kepada Alieen. “Iya bu.” Alieen segera pergi meninggalkan kamar itu. Sedangkan Ratih segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Lalu ia menatap Bintara penuh dengan kecemasan. “Siapa yang sudah melakukan hal ini? Bukan mereka, kan?” “Enggak bu, bukan.” “Lalu?” “Ibu, lain waktu saja ya? Aku... Aku belum siap buat ceritakan hal ini
“Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya Bagas, tangannya tetap menahan pergelangan tangan Rini.“Lepasin tangan gue!” Seru Rini. Bagas akhirnya melepaskan tangan itu, dan pandangannya beralih melihat Alieen.“Gue sama sekali enggak nyangka kalau Rini akan tega begini sama gue,” Ujar Alieen di dalam hatinya.Rini pergi berlari meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Alieen mencoba untuk memungut kembali belanjaan nya, tapi Bagas merebutnya dari tangan Alieen.“Apa yang mau lo lakuin?”“Buang, apa lagi?”Alieen ingin mencegahnya membuang belanjaannya, tapi Bagas sudah terlanjur menempatkan itu ke dalam tempat sampah. Alieen menatap tajam ke arahnya, padahal masih ada yang bisa di pakai lagi tapi Bagas membuang semuanya.“Lo tenang aja, kita belanja lagi.”Alieen menatap Bagas bingung, padahal ia tidak berkata apa pun seakan Bagas tau apa isi pikirannya.
Akhirnya mereka sampai di bengkel dan Bagas segera mencari bangku agar mereka dapat beristirahat sejenak, lalu berbicara kepada montir di sana untuk memperbaiki atau periksa bagian-bagian tertentu.“Gue kira dia Cuma pintar soal pelajaran, ternyata hebat juga soal motor.”Alieen tidak bisa memalingkan pandangannya dari Bagas, sampai akhirnya pria tersebut menoleh kearahnya. Seketika Alieen menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Alieen berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke sisi lain, berusaha agar tidak langsung berkontak mata kepadanya.Bagas yang melihat tingkah gadis tersebut hanya bisa menatap heran, lalu ia memesankan taksi melalui ponselnya. Tidak butuh waktu lama, taksi itu datang untuk menjemput Alieen. Bagas menarik lengan Alieen lembut agar mengikuti dirinya. Alieen pun hanya pasrah mengikuti Bagas, hingga akhirnya mereka berdiri di samping taksi itu.“Cepat naik, ini udah di pesan dan siap n
Saat orang misterius itu hendak akan menggapai pundaknya, Alieen langsung memukul kuat sosok itu dengan botol yang digenggamnya. Suara rintihan sosok itu seolah tidak asing lagi di telinganya. Alieen lantas mendongakkan kepalanya sedikit, dan ia melihat jika orang misterius itu adalah orang yang sangat ia kenal. Ia sangat terkejut dengar kehadiran sosok tersebut.“Aw, sebegitu dendamkah lo sama gue?”“Shintia! Kok lo ada di sini?”“Iya, gue kesini karena mau belanja bahan kue. Btw lo...”“Apa?”“Lo pasti belum ada kelompok kan buat bazar minggu depan. Lo sekelompok sama gue saja, ya?”“Huh? Sekelompok sama lo, yakin?”“Iya lah, gue kurang satu anggota kelompok lagi. Lumayan kan nanti kalau kita bisa dapat nilai plus gede?”Sejujurnya Alieen terkejut mendengar ajakan Shintia, ini sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasi nya.
“Kenapa baru sampai rumah?” tanya Bintara yang menatap sinis Alieen dan Bagas. “Kok lo udah di rumah sih? Gak mau tinggal lama aja di rumah sakit?” Alieen berusaha mengubah topik, tapi Bintara tidak menghiraukannya. “Apa kepentingannya dengan lo? Begini kelakuan lo di luar rumah ya, Alieen?” Bintara melipat kedua tangannya di dada, dan membusungkan dada. Ia terlihat marah besar kali ini. Tapi Alieen hanya diam tidak menjawab apa pun, dan menundukkan kepalanya. Bagas yang melihat itu merasa sakit hati. “Kenapa bapak bisa ada di rumah ini? Bukannya ini...” “Ini rumah saya, kenapa? Kamu mau protes?” ucap Bintara memotong pertanyaan Bagas. Bagas tidak bisa percaya dengan ucapan Bintara, ia juga tidak mau terima jika Bintara dan Alieen tinggal satu atap. Alieen yang sedari tadi hanya bisa menundukkan kepala kini memutar tubuhnya me
Seketika lampu kamar Bintara menyala, dan ia datang mendekati Alieen dengan cemas ketika mendengar teriakan Alieen.“Hei! Ada apa?”Alieen perlahan membuka matanya dan ia kembali berteriak untuk kedua kalinya.“Eh! Hei kenapa lo teriak lagi?”“Woyy, lo gak pakai baju kak!” Teriak Alieen yang segera beranjak keluar dari kamar itu. Bintara juga terkejut, ia lupa sedang mengganti pakaiannya. Lalu lampu kamarnya tiba-tiba saja mati.Alieen masih menggerutu dan mencaci dirinya sendiri, karena bodoh. Seharusnya ia terlebih dahulu mengetuk pintu kamar itu, bukan asal buka dan masuk.“Tapi walau sekilas, ternyata Bintara punya otot perut yang...”“Astaga! Apa sih yang lagi lo pikiran Alieen! Gila lo, ya?”Alieen merasa malu, sampai wajahnya memerah. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari kamar Bintara.Alieen segera membuk
Pagi hari yang cerah tepatnya sesaat sebelum upacara di mulai. Rini sedang tertawaria dengan teman-teman nya. “Eh lo tau? Gue kemarin ketemu sama siapa?” ujar Rini yang duduk di atas meja dengan kaki menyilang dan sebatang permen lollipop di mulutnya. Semua temannya memandang penasaran dengan kisah yang akan di ceritakan Rini. Hal ini membuat ia senang danmeminta semuanya untuk saling mendekat. “Gue kemarin ketemu sama Bagas!” serunya. Mereka menatap tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan, sekali lagi Rini menegaskan kebenaran ucapannya. Lalu menambahkan sebuah kisah lain, di mana ia bertemu dengan Alieen yang masih di cap sebagai gadis yang buruk. Di saat itu Alieen kebetulan baru saja memasuki ruang kelasnya, membuat semua murid yang membicarakannya terdiam, hanya menyisakan Rini yang tertawa. Rini pun menyadari jika ada sesuatu di belakangnya, dan saat menoleh alien berdiri di dengan sorotan mata yang tidak pernah ia da
Alieen akhirnya berhasil menggapai tangan Rini yang tidak berhenti untuk melangkah. Rini segera menghempaskan tangan Alieen kasar.“Apa lagi yang mau lo lakuin? Apa belum puas lo membuat gue menunjukan siapa gue sebenarnya? Huh!” Rini bertolak pinggang, karena ia mengira jika dirinya sudah tidak lagi berurusan dengan Alieen.“Lo belum jelasin ke gue soal foto ini!” Alieen menunjukan foto yang ia dapat dari nomor misterius sebelumnya.Foto itu ternyata wajah Rini yang sedang memposting sesuatu di ruang khusus untuk para murid yang berekstraklikurer di penyiaran sekolah.“Oh, itu. Gue gak tau kalau ada cctv di depan ruangan itu, ternyata menyerot kelakuan mulia gue, ya? Maaf tapi artinya gue gak perlu merasa bersalahkan?” Rini menaikan sudut bibirnya ke atas, membuat Alieen terdiam seribu bahasa.Ia membiarkan Rini pergi kali ini, Alieen tidak lagi memiliki tempat untuk bersandar, tidak ada lagi yang mau mend