Alieen membuka matanya dan melihat sekitarnya. Ia menghela nafas saat mengetahui jika dirinya hanya sendirian saat ini, Alieen pun duduk di tepi kasurnya.Sebenarnya pikirannya sangat penuh berbagai pertanyaan dan kenyataan yang membingungkan dirinya. Namun bukan saatnya dirinya berdiam diri, Alieen memikirkan kembali perlahan apa yang baru terjadi kepadanya.“Baik, perlahan pikirkan kembali. Gue awalnya ada di panti asuhan yang Shintia kunjungi. Gue berasumsi dirinya sudah lama tinggal di sana dan gue juga dengar dia masih ada orang tua tapi kurang memperhatikannya. Tapi tiba-tiba gue di culik? Karena gue adiknya Bintara, padahal gue kurang paham masalahnya mereka. Yang pasti ini masalah sebuah organisasi WL itu kan? Gue enggak tahu apa saja organisasi itu lakukan. Gue harus cari tahu, tapi pertama gue harus lepas dari pengawasan Bintara. Selama ini dia sudah lama memasang alat pelacak diam-diam, berarti ada semacam CCTV tersembunyi atau alat perekam suara tersembunyi seperti di film
Alieen baru selesai menyantap sup, dan hendak akan keluar kamar untuk meletakkan mangkuk sup ke dapur di rumah ini. Namun ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah Shintia. Alieen langsung menjawab telepon tersebut.“Halo, Shintia?”“Gue rasa keadaan Lo baik-baik saja, dari suara yang terdengar segar.” Ketus Shintia.“Iya, bisa di bilang seperti itu. Kenapa telepon?” “Hah? Serius Lo tanya gue, kenapa telepon Lo? Yang benar saja Alieen! Lo itu tiba-tiba hilang di tengah kebakaran panti, susah di hubungi, ke mana saja Lo!”“Maaf bikin Lo khawatir, Hp gue rusak jadi susah di hubungi.”Alieen tidak sepenuhnya berbohong soal Hp nya yang rusak di temui oleh Bintara saat di panti asuhan karena jatuh dari genggaman Alieen saat dirinya di culik tiba-tiba. Tapi tetap saja ini terasa canggung saat dirinya di telepon Shintia seperti ini.“...Alieen, ada hal yang mau gue cerita ke lu. Gue merasa bersalah karena melibatkan Lo dalam masalah.” Shintia terdengar putus asa.“Kenapa dia
Alieen sedang berada di dapur dan mencuci mangkuk yang ia pakai untuk makan. Tapi pikirannya sedang bekerja keras mencari cara agar dirinya bisa pergi menemui Shintia tanpa siapa pun menemaninya. Ia meletakan mangkuk ke rak dan menghela nafasnya sesaat.Namun ia mendengar suara percakapan seseorang di ruang tengah. Alieen merasa penasaran dan berjalan mendekati sembari bersembunyi dengan hati-hati.“Bintara, gue tahu semuanya. Apa Lo enggak mau interogasi gue?” Ujar Bagas yang duduk di sofa dengan tangannya yang sibuk dengan tendo.Bintara menatapnya sesaat lalu memasang wajah terkejut. “Ah! Benar, kenapa gue enggak tanya Lo buat cari tahu alasan Lo gabung organisasi mereka!”Ekspresi Bintara yang terlihat terkejut polos itu seketika berubah datar. “Lo pikir gue enggak tahu soal Lo? Walau enggak semuanya karena enggak berguna buat gue. Tapi gue sudah tahu kenapa Lo gabung sama mereka, tentu dari kakak Lo. Kalau enggak, saat datang ke sini gue sudah pisahkan kepala sama badan Lo itu.”
“Rina! Kenapa dia ada di sana!” Alieen terkejut dengan kemunculan Rina di dalam berita. “Lokasi Cafe itu enggak jauh dari sini.” Ucap Bagas yang melirik ke arah Bintara. “Kenapa dia lihat gue begitu? Seperti lagi mengejek gue karena gue polisi tapi malah enggak bertindak apa pun. Menyebalkan. Gue tahu maksud nya.” “Kalau begitu kita harus segera kesana!” Seru Alieen dan dirinya bergegas akan pergi keluar namun Bintara menahannya. “Jangan ke sana. Lebih baik Lo ikut gue dulu ke tempat Ibu berada. Ibu sudah khawatir banget sama Lo.” Ucap Bintara dengan lembut. Alieen selama ini belum pernah melihat Bintara selembut ini. Membuatnya merasa aneh. “Tapi...” “Kalau Lo masih tetap menghawatirkan teman Lo yang munafik itu biar si Bagas dan Kapten, si kakaknya Bagas yang urus. Toh di sana ada beberapa anak buah organisasi yang di ikuti Bagas, dan Kapten pasti sudah di jalan. Jadi Lo sekarang ikut gue. Jangan menjauh dari gue buat sementara, gue mohon sama Lo Alieen.” Bintara memegangi ta
“Heran deh, kenapa bangku Bagas masih kosong? Ini sudah hari kelima belas dia tidak masuk sekolah,” batin Alieen. Ia terus memandang kursi di sampingnya yang kosong. Pluk! Seorang gadis dari sisi kirinya menepuk pundak Alieen, membuat ia seketika sadar dari lamunannya. “Astaga, lo bikin gue kaget aja!” seru Alieen. “Haha maaf, lagian dari tadi lo bikin gue pengen lakuin hal jail,” ejek Rina. Alieen memutar kedua bola matanya malas. “Ingin rasanya gue getok kepala lo ya, Rin!” kesal Alieen. Tapi gadis yang bernama Rina Fitria itu tertawa lepas, karena sekali lagi ia berhasil mengerjainya. Tiba-tiba seorang murid masuk ke kelasnya dan menggebrak meja guru. Sontak hal itu membuat kaget seisi kelas. “Lo semua dengerin gue, gue minta kalian semua bayar uang kas kalian sekarang! Ini diminta sama Pak Dayat, Wali kelas kita!” seru Shintia. Shintia, salah satu
“Ternyata itu lo?” seru Alieen. Pria itu menatapnya bingung. Lalu ia berjalan melewati Alieen. Alieen yang mengenali pria tersebut lantas berbalik dan mencoba menghalanginya. “Tunggu sebentar, Bagas!” Alieen merentangkan tangannya. Iya, pria itu adalah Bagas. Bagas hanya menatap matanya, mencari jawaban di sana. Mendapat perlakuan tersebut, hati Alieen merasa terenyuh. Ia menyadari jika sorotan mata pria itu menyimpan banyak kesedihan. Sial, Alieen tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk membantu Bagas. Tapi ia tidak tau harus bagaimana. “Apa mau lo?” ketus Bagas. “Tidak ada.”ucap Alieen. “Terus kenapa lo halangi jalan gue? Oh, atau diminta Shintia buat mengantarkan pesan dia ke gue?” tanyanya dingin. “Apa? Gue masih punya kerjaan lain! Buat apa gue jadi babunya, gila lo ya!” kesal Alieen. “Gue cuma mau tanya, apa lo tau tugas Pak Dayat sudah setinggi gunung?” lanjut Alieen.
Saat ini Bagaskara bersiap seperti bisa, lalu tiba-tiba saja ia teringat oleh Alieen. Pertanyaan dari temannya itu terus berputar di kepalanya . “Kalau gue di tanya rela melepas status itu, jelas tidak! Buat dapatin status itu bukan hal yang mudah.” ucapnya. Tiba-tiba saja ponselnya terus berbunyi, notifikasi tidak berhenti bermunculan. Bagas yang risih berakhir menjadi penasaraan saat ia melihat nama Rafandi. Ketika ia mengklik notifikasi tersebut tidak sedikit yang menghina bahkan mencaci maki seseorang yang bernama Alieen. “Kenapa ada nama Rafandi sama Alieen? Bukannya Alieen ini cewek kemarin?” Rasa penasarannya terus memunculkan beberapa pertanyaan di benaknya. Lalu ia baru ingat jika Shintia pernah menanyakan soal, sudah melihat artikel sekolah atau belum. Tanpa ia berpikir panjang, Bagas segera mengirim link artikel itu kepada Rafandi melalui pesan online. Bagaskara : Apa yang lu lakukan sama gadis di artikel ini?
“Oh, hoo! Dia mulai marah girls haha.”ejek Deshi.“Lo pasti mau mengadu kan ke ‘Rafa tersayang’ nya itu.” kelakarnya.“Udah puas kalian?!” pekik Alieen. Semua murid yang menertawakannya kini terdiam, setelah mendengar nada bicaranya yang benar-benar serius dan marah.“Jangan pakai teriak dong! Santai saja. Dasar nyari sensasi terus lo kerajaannya.” kesal Deshi. Ia mendorong bahu Alieen keras hingga terpental dan hampir jatuh.Bagas datang di saat yang tepat. Ia menahan tubuh Alieen dan berkata. “Kalian memang suka banget ngebully ya?”Alieen menatap Bagas bingung. Ia sangat tahu betul jika pria itu sangat acuh, dan jarang sekali berbicara jika bukan dengan yang ia kenal. Tidak hanya Alieen, semua murid di kelas juga kebingungan. Bagaimana bisa Bagas si raja peringkat satu dan terkenal acuh dengan sekitar itu justru membantu menangkap tubuh Alieen. Hanya satu o