Saat Bintara membuka mata, Ratih dan Alieen sudah berada di sampingnya. Ia baru saja melewati masa kritis akibat luka tusuk di perutnya.
“Ibu?”
“Astaga, Bintara. Kamu kenapa bisa seperti ini?”
“Aku tidak apa-apa bu. Jangan terlalu dipikirkan. Ibu lebih baik pulang saja, aku juga akan segera pulang.”
“Bagaimana Ibu tidak khawatir? Kamu itu anak Ibu loh!”
Ratih terlihat sangat sedih dan khawatir. Lalu ia mengambil teko yang ada di atas meja kecil di dekat tempat tidur pasien.
“Alieen, bisa tolong ambilkan dulu air minum untuk Bintara?” Ratih menyodorkan teko itu kepada Alieen.
“Iya bu.” Alieen segera pergi meninggalkan kamar itu.
Sedangkan Ratih segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Lalu ia menatap Bintara penuh dengan kecemasan.
“Siapa yang sudah melakukan hal ini? Bukan mereka, kan?”
“Enggak bu, bukan.”
“Lalu?”
“Ibu, lain waktu saja ya? Aku... Aku belum siap buat ceritakan hal ini kepada Ibu.”
“Baik lah, jika itu mau kamu. Tapi janji harus cerita ke Ibu secepatnya.”
“Iya bu, tapi Alieen jangan sampai tau ya!”
“Iya, sekarang kamu harus sembuh dulu.”
Alieen yang mengambil air untuk Bintara sudah berada di ambang pintu, tapi ia tidak segera masuk. Karena Alieen mendengar kata ‘Jangan sampai Alieen tau’ rasa penasarannya pun timbul. Namun ia memilih untuk melupakannya sejenak, dan memilih mulai masuk ke dalam. Lalu Alieen meletakkan teko yang berisi air itu di nakas.
“Ibu mau menginap di sini?” tanya Alieen kepada Ratih.
“Sepertinya Ibu akan menginap, kamu mau menemani ibu di sini atau pulang aja?” tanya balik Ratih kepada Alieen.
“Gak lah, bu. Biarin dia pulang. Malas sekali rasanya liat dia lebih lama di sini.” Cetus Bintara.
“Dih, siapa yang juga yang mau di sini terus!” Seru Alieen.
“Sudah, kalian ini. Kita lagi di rumah sakit, jangan ribut terus dong.” Rerai Ratih.
“Alieen coba ikut Ibu sebentar, ada yang mau ibu bicarakan.” Lanjut Ratih.
“Bu...” ucap Bintara.
“Bintara, kamu tenang di sini saja. Cuman mau mengobrol soal wanita.” Ratih mencoba menenangkan hati Bintara. Lalu membawa Alieen keluar kamar pasien yang sedang di tempat oleh Bintara.
Alieen dan Ratih duduk berdampingan di bangku yang tersedia di luar, Ratih menggenggam tangan putrinya dengan lembut.
“Ada apa bu?” Alieen membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Tidak, hanya saja Ibu penasaran dengan keadaan kamu di sekolah. Semua baik-baik saja bukan?”
Pertanyaan yang membuat Alieen kebingungan. Pasalnya selama ini ia sama sekali tidak pernah di permasalahan soal sekolah. Ratih sangat percaya dengan putrinya sama seperti ia percaya dengan Bintara. Apa ini artinya ia sudah tidak mempercayai dirinya lagi??
“Tidak ada hal yang istimewa, bu.”
“Walau sebenarnya ada, soal artikel di website sekolah itu.” Lanjutnya di dalam hati.
“Sungguh? Jangan ada yang kamu sembunyikan dari ibu ya.” Ratih memperingati Alieen.
“Iya bu, jika ada sesuatu pasti aku sudah memberitahukan kepada ibu.” Sekali lagi Alieen mencoba menyembunyikan sesuatu dari Ibunya. Walaupun begitu, Ratih mempercayainya untuk saat ini.
Sebenarnya Ratih memiliki kekhawatiran yang tidak bisa di ketahui penyebabnya oleh Alieen. Ratih juga tidak bisa memberikan kenyataan yang sebenarnya kepada Alieen untuk sekarang. Sedangkan Alieen hanya berpikir jika Ibunya hanya sayang kepada Bintara.
“Ah! Ibu lupa sesuatu.” Seru Ratih.
“Alieen kamu bisa bantu Ibu?” lanjut ibu.
“Memangnya ada apa, bu? Ibu lupa kalau ada order-an kue yang belum selesai dibuat?” Alieen memang selalu mengerti Ibunya. Ratih memang tidak pernah meminta macam-macam kepada anaknya. Alieen memang anak yang beruntung walau hanya memiliki orang tua tunggal.
“Kamu memang selalu bisa mengerti apa yang ibu mau ya,” Ratih menekan pelan hidung putrinya.
“Ibu tidak perlu cemas soal kue, aku kan tidak sekali membantu membuat kue.”
“Iya, kamu selalu bisa diandalkan. Pesanan ini buat Pak Saleh, Selasa harus selesai. Ibu kurang satu loyang kue lagi. Kamu buat ya, tapi kamu buat kue basah. Bisa kan?”
“Bisa bu!”
“Oh ya, sekalian...” Ratih merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan beberapa pecahan mata uang. Lalu memberikannya beberapa kepada Alieen. “Ini sekalian kamu ke toko kuenya, beli beberapa bahan yang habis di rumah, bisa?” lanjut Ratih.
“Bisa, ke toko yang biasa itu kan?” tanya kembali Alieen, meyakinkan dirinya sekali lagi apa benar itu tujuannya atau tidak.
“Iya, tolong ya?” Alieen menganggukkan kepalanya, dan berpamitan kepada Ibunya untuk pulang sekarang.
***
Di sisi lain, Shintia keluar dari mobil yang mengkilap dan mewah. Ia tersenyum sangat lebar, dan melambaikan tangannya begitu bahagia ke arah mobil itu. Lalu ia berjalan ke suatu Cafe yang jaraknya lumayan dari tempat ia turun sebelumnya.
Sekali lagi ia tersenyum, tapi kali ini memiliki arti yang berbeda dari sebelumnya. Dari seberang sana, seorang gadis dengan pakaian yang membuat setiap pria terpesona itu melambaikan tangan kepadanya.
Gadis itu adalah Rini. Shintia duduk dengan meja yang sama dengannya dan bertanya, “Jadi lo siap lakukan apa yang gue bilang?” Rini terlihat ragu, tapi akhirnya mengiyakannya. Ia tidak berhenti berterima kasih kepada Shintia karena mau membantunya. Tidak lama Shintia melihat Alieen yang sedang sibuk berjalan dengan tangan yang penuh dengan belanjaan.
“Lihat itu di luar. Alieen membawa belanjaan banyak tapi isinya bahan-bahan buat kue. Pasti dia mau buat kue ultah buat Rafandi. Bentar lagi dia ulang tahun, kan?” Shintia memanas-manasi Rini, dan hanya seperti itu ia berhasil mencapai tujuannya saat ini.
Rini segera keluar lalu membuat belanjaan Alieen berserakan dan rusak. Alieen sendiri terkejut dengan belanjaannya yang di rusak, tapi lebih kaget lagi melihat siapa pelakunya.
“Rini?”
“Belum puas lo ya kegatelan sama Rafandi?”
“Maksud lo apa Rin?”
“Alah lo sok suci juga! Lo sama kayak yang lain! Munafik!”
Rini yang selama ini berbuat baik kepadanya, kini menampar pipi Alieen. Hal ini diluar dugaannya, walau Alieen sering membuat Rini kesal dan marah. Tapi baru saat ini Rini mulai bermain tangan kepadanya.
Tapi ada satu tangan lain yang menahan tangan kasar Rini untuk menyentuh pipi Alieen. Ia adalah Bagaskara. Shintia yang melihat itu dari kejauhan seketika mengepalkan tangannya karena lagi-lagi rencana nya kembali gagal karena pria tersebut.
“Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya Bagas, tangannya tetap menahan pergelangan tangan Rini.“Lepasin tangan gue!” Seru Rini. Bagas akhirnya melepaskan tangan itu, dan pandangannya beralih melihat Alieen.“Gue sama sekali enggak nyangka kalau Rini akan tega begini sama gue,” Ujar Alieen di dalam hatinya.Rini pergi berlari meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Alieen mencoba untuk memungut kembali belanjaan nya, tapi Bagas merebutnya dari tangan Alieen.“Apa yang mau lo lakuin?”“Buang, apa lagi?”Alieen ingin mencegahnya membuang belanjaannya, tapi Bagas sudah terlanjur menempatkan itu ke dalam tempat sampah. Alieen menatap tajam ke arahnya, padahal masih ada yang bisa di pakai lagi tapi Bagas membuang semuanya.“Lo tenang aja, kita belanja lagi.”Alieen menatap Bagas bingung, padahal ia tidak berkata apa pun seakan Bagas tau apa isi pikirannya.
Akhirnya mereka sampai di bengkel dan Bagas segera mencari bangku agar mereka dapat beristirahat sejenak, lalu berbicara kepada montir di sana untuk memperbaiki atau periksa bagian-bagian tertentu.“Gue kira dia Cuma pintar soal pelajaran, ternyata hebat juga soal motor.”Alieen tidak bisa memalingkan pandangannya dari Bagas, sampai akhirnya pria tersebut menoleh kearahnya. Seketika Alieen menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Alieen berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke sisi lain, berusaha agar tidak langsung berkontak mata kepadanya.Bagas yang melihat tingkah gadis tersebut hanya bisa menatap heran, lalu ia memesankan taksi melalui ponselnya. Tidak butuh waktu lama, taksi itu datang untuk menjemput Alieen. Bagas menarik lengan Alieen lembut agar mengikuti dirinya. Alieen pun hanya pasrah mengikuti Bagas, hingga akhirnya mereka berdiri di samping taksi itu.“Cepat naik, ini udah di pesan dan siap n
Saat orang misterius itu hendak akan menggapai pundaknya, Alieen langsung memukul kuat sosok itu dengan botol yang digenggamnya. Suara rintihan sosok itu seolah tidak asing lagi di telinganya. Alieen lantas mendongakkan kepalanya sedikit, dan ia melihat jika orang misterius itu adalah orang yang sangat ia kenal. Ia sangat terkejut dengar kehadiran sosok tersebut.“Aw, sebegitu dendamkah lo sama gue?”“Shintia! Kok lo ada di sini?”“Iya, gue kesini karena mau belanja bahan kue. Btw lo...”“Apa?”“Lo pasti belum ada kelompok kan buat bazar minggu depan. Lo sekelompok sama gue saja, ya?”“Huh? Sekelompok sama lo, yakin?”“Iya lah, gue kurang satu anggota kelompok lagi. Lumayan kan nanti kalau kita bisa dapat nilai plus gede?”Sejujurnya Alieen terkejut mendengar ajakan Shintia, ini sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasi nya.
“Kenapa baru sampai rumah?” tanya Bintara yang menatap sinis Alieen dan Bagas. “Kok lo udah di rumah sih? Gak mau tinggal lama aja di rumah sakit?” Alieen berusaha mengubah topik, tapi Bintara tidak menghiraukannya. “Apa kepentingannya dengan lo? Begini kelakuan lo di luar rumah ya, Alieen?” Bintara melipat kedua tangannya di dada, dan membusungkan dada. Ia terlihat marah besar kali ini. Tapi Alieen hanya diam tidak menjawab apa pun, dan menundukkan kepalanya. Bagas yang melihat itu merasa sakit hati. “Kenapa bapak bisa ada di rumah ini? Bukannya ini...” “Ini rumah saya, kenapa? Kamu mau protes?” ucap Bintara memotong pertanyaan Bagas. Bagas tidak bisa percaya dengan ucapan Bintara, ia juga tidak mau terima jika Bintara dan Alieen tinggal satu atap. Alieen yang sedari tadi hanya bisa menundukkan kepala kini memutar tubuhnya me
Seketika lampu kamar Bintara menyala, dan ia datang mendekati Alieen dengan cemas ketika mendengar teriakan Alieen.“Hei! Ada apa?”Alieen perlahan membuka matanya dan ia kembali berteriak untuk kedua kalinya.“Eh! Hei kenapa lo teriak lagi?”“Woyy, lo gak pakai baju kak!” Teriak Alieen yang segera beranjak keluar dari kamar itu. Bintara juga terkejut, ia lupa sedang mengganti pakaiannya. Lalu lampu kamarnya tiba-tiba saja mati.Alieen masih menggerutu dan mencaci dirinya sendiri, karena bodoh. Seharusnya ia terlebih dahulu mengetuk pintu kamar itu, bukan asal buka dan masuk.“Tapi walau sekilas, ternyata Bintara punya otot perut yang...”“Astaga! Apa sih yang lagi lo pikiran Alieen! Gila lo, ya?”Alieen merasa malu, sampai wajahnya memerah. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari kamar Bintara.Alieen segera membuk
Pagi hari yang cerah tepatnya sesaat sebelum upacara di mulai. Rini sedang tertawaria dengan teman-teman nya. “Eh lo tau? Gue kemarin ketemu sama siapa?” ujar Rini yang duduk di atas meja dengan kaki menyilang dan sebatang permen lollipop di mulutnya. Semua temannya memandang penasaran dengan kisah yang akan di ceritakan Rini. Hal ini membuat ia senang danmeminta semuanya untuk saling mendekat. “Gue kemarin ketemu sama Bagas!” serunya. Mereka menatap tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan, sekali lagi Rini menegaskan kebenaran ucapannya. Lalu menambahkan sebuah kisah lain, di mana ia bertemu dengan Alieen yang masih di cap sebagai gadis yang buruk. Di saat itu Alieen kebetulan baru saja memasuki ruang kelasnya, membuat semua murid yang membicarakannya terdiam, hanya menyisakan Rini yang tertawa. Rini pun menyadari jika ada sesuatu di belakangnya, dan saat menoleh alien berdiri di dengan sorotan mata yang tidak pernah ia da
Alieen akhirnya berhasil menggapai tangan Rini yang tidak berhenti untuk melangkah. Rini segera menghempaskan tangan Alieen kasar.“Apa lagi yang mau lo lakuin? Apa belum puas lo membuat gue menunjukan siapa gue sebenarnya? Huh!” Rini bertolak pinggang, karena ia mengira jika dirinya sudah tidak lagi berurusan dengan Alieen.“Lo belum jelasin ke gue soal foto ini!” Alieen menunjukan foto yang ia dapat dari nomor misterius sebelumnya.Foto itu ternyata wajah Rini yang sedang memposting sesuatu di ruang khusus untuk para murid yang berekstraklikurer di penyiaran sekolah.“Oh, itu. Gue gak tau kalau ada cctv di depan ruangan itu, ternyata menyerot kelakuan mulia gue, ya? Maaf tapi artinya gue gak perlu merasa bersalahkan?” Rini menaikan sudut bibirnya ke atas, membuat Alieen terdiam seribu bahasa.Ia membiarkan Rini pergi kali ini, Alieen tidak lagi memiliki tempat untuk bersandar, tidak ada lagi yang mau mend
Bel sekolah berdering panjang, menandakan sekolah hari ini telah berakhir. Kebetulan hari ini adalah jadwal Alieen untuk piket, tapi tidak ada satu murid pun yang mau mengerjakan tugas ini bersama dirinya. Ia sudah mulai terbiasa dengan situasi baru di kelasnya ini, dan memilih untuk acuh dengan pandang orang lain tentang dirinya. Tiba-tiba seseorang merebut sapu dari tangannya. “Ngapain lo masih di sini?” tanya Alieen kepada seseorang di hadapannya ini. Belum sempat menjelaskannya, Shintia datang dan merebut sapu itu lagi. Bahkan ia tersenyum dan berkata, “Gue bantu ya, biar lo cepat kelar.” Alieen merasa itu senyuman yang tidak wajar, dan ia tau jika itu tidak lah sungguhan. Apa kali ini ia hanya mengenakan sebuah topengnya semata? “Ngapain lo ke sini?” Bagas yang tidak akan tertipu lagi dengan senyuman manis berbisa itu, sekali lagi menanyakan tujuan sesungguhnya kepada Shintia. Tapi shintia hanya tersenyum dan tidak mengakui tujuan utamanya.