Share

7. JANGAN SAMPAI IA TAU

Saat Bintara membuka mata, Ratih dan Alieen sudah berada di sampingnya. Ia baru saja melewati masa kritis akibat luka tusuk di perutnya.

“Ibu?”

“Astaga, Bintara. Kamu kenapa bisa seperti ini?”

“Aku tidak apa-apa bu. Jangan terlalu dipikirkan. Ibu lebih baik pulang saja, aku juga akan segera pulang.”

“Bagaimana Ibu tidak khawatir? Kamu itu anak Ibu loh!” 

Ratih terlihat sangat sedih dan khawatir. Lalu ia mengambil teko yang ada di atas meja kecil di dekat tempat tidur pasien.

“Alieen, bisa tolong ambilkan dulu air minum untuk Bintara?” Ratih menyodorkan teko itu kepada Alieen.

“Iya bu.” Alieen segera pergi meninggalkan kamar itu.

Sedangkan Ratih segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Lalu ia menatap Bintara penuh dengan kecemasan.

“Siapa yang sudah melakukan hal ini? Bukan mereka, kan?”

“Enggak bu, bukan.”

“Lalu?”

“Ibu, lain waktu saja ya? Aku... Aku belum siap buat ceritakan hal ini kepada Ibu.”

“Baik lah, jika itu mau kamu. Tapi janji harus cerita ke Ibu secepatnya.”

“Iya bu, tapi Alieen jangan sampai tau ya!”

“Iya, sekarang kamu harus sembuh dulu.”

Alieen yang mengambil air untuk Bintara sudah berada di ambang pintu, tapi ia tidak segera masuk. Karena Alieen mendengar kata ‘Jangan sampai Alieen tau’ rasa penasarannya pun timbul. Namun ia memilih untuk melupakannya sejenak, dan memilih mulai masuk ke dalam. Lalu Alieen meletakkan teko yang berisi air itu di nakas.

“Ibu mau menginap di sini?” tanya Alieen kepada Ratih.

“Sepertinya Ibu akan menginap, kamu mau menemani ibu di sini atau pulang aja?” tanya balik Ratih kepada Alieen.

“Gak lah, bu. Biarin dia pulang. Malas sekali rasanya liat dia lebih lama di sini.” Cetus Bintara.

“Dih, siapa yang juga yang mau di sini terus!” Seru Alieen.

“Sudah, kalian ini. Kita lagi di rumah sakit, jangan ribut terus dong.” Rerai Ratih.

“Alieen coba ikut Ibu sebentar, ada yang mau ibu bicarakan.” Lanjut Ratih.

“Bu...” ucap Bintara.

“Bintara, kamu tenang di sini saja. Cuman mau mengobrol soal wanita.” Ratih mencoba menenangkan hati Bintara. Lalu membawa Alieen keluar kamar pasien yang sedang di tempat oleh Bintara.

Alieen dan Ratih duduk berdampingan di bangku yang tersedia di luar, Ratih menggenggam tangan putrinya dengan lembut.

“Ada apa bu?” Alieen membuka pembicaraan terlebih dahulu.

“Tidak, hanya saja Ibu penasaran dengan keadaan kamu di sekolah. Semua baik-baik saja bukan?”

Pertanyaan yang membuat Alieen kebingungan. Pasalnya selama ini ia sama sekali tidak pernah di permasalahan soal sekolah. Ratih sangat percaya dengan putrinya sama seperti ia percaya dengan Bintara. Apa ini artinya ia sudah tidak mempercayai dirinya lagi??

“Tidak ada hal yang istimewa, bu.”

“Walau sebenarnya ada, soal artikel di website sekolah itu.” Lanjutnya di dalam hati.

“Sungguh? Jangan ada yang kamu sembunyikan dari ibu ya.” Ratih memperingati Alieen.

“Iya bu, jika ada sesuatu pasti aku sudah memberitahukan kepada ibu.” Sekali lagi Alieen mencoba menyembunyikan sesuatu dari Ibunya. Walaupun begitu, Ratih mempercayainya untuk saat ini.

Sebenarnya Ratih memiliki kekhawatiran yang tidak bisa di ketahui penyebabnya oleh Alieen. Ratih juga tidak bisa memberikan kenyataan yang sebenarnya kepada Alieen untuk sekarang. Sedangkan Alieen hanya berpikir jika Ibunya hanya sayang kepada Bintara.

“Ah! Ibu lupa sesuatu.” Seru Ratih.

“Alieen kamu bisa bantu Ibu?” lanjut ibu.

“Memangnya ada apa, bu? Ibu lupa kalau ada order-an kue yang belum selesai dibuat?” Alieen memang selalu mengerti Ibunya. Ratih memang tidak pernah meminta macam-macam kepada anaknya. Alieen memang anak yang beruntung walau hanya memiliki orang tua tunggal.

“Kamu memang selalu bisa mengerti apa yang ibu mau ya,” Ratih menekan pelan hidung putrinya.

“Ibu tidak perlu cemas soal kue, aku kan tidak sekali membantu membuat kue.”

“Iya, kamu selalu bisa diandalkan. Pesanan ini buat Pak Saleh, Selasa harus selesai. Ibu kurang satu loyang kue lagi. Kamu buat ya, tapi kamu buat kue basah. Bisa kan?”

“Bisa bu!”

“Oh ya, sekalian...” Ratih merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan beberapa pecahan mata uang. Lalu memberikannya beberapa kepada Alieen. “Ini sekalian kamu ke toko kuenya, beli beberapa bahan yang habis di rumah, bisa?” lanjut Ratih.

“Bisa, ke toko yang biasa itu kan?” tanya kembali Alieen, meyakinkan dirinya sekali lagi apa benar itu tujuannya atau tidak.

“Iya, tolong ya?” Alieen menganggukkan kepalanya, dan berpamitan kepada Ibunya untuk pulang sekarang.

***

Di sisi lain, Shintia keluar dari mobil yang mengkilap dan mewah. Ia tersenyum sangat lebar, dan melambaikan tangannya begitu bahagia ke arah mobil itu. Lalu ia berjalan ke suatu Cafe yang jaraknya lumayan dari tempat ia turun sebelumnya.

Sekali lagi ia tersenyum, tapi kali ini memiliki arti yang berbeda dari sebelumnya. Dari seberang sana, seorang gadis dengan pakaian yang membuat setiap pria terpesona itu melambaikan tangan kepadanya.

Gadis itu adalah Rini. Shintia duduk dengan meja yang sama dengannya dan bertanya,  “Jadi lo siap lakukan apa yang gue bilang?” Rini terlihat ragu, tapi akhirnya mengiyakannya. Ia tidak berhenti berterima kasih kepada Shintia karena mau membantunya. Tidak lama Shintia melihat Alieen yang sedang sibuk berjalan dengan tangan yang penuh dengan belanjaan.

“Lihat itu di luar. Alieen membawa belanjaan banyak tapi isinya bahan-bahan buat kue. Pasti dia mau buat kue ultah buat Rafandi. Bentar lagi dia ulang tahun, kan?” Shintia memanas-manasi Rini, dan hanya seperti itu ia berhasil mencapai tujuannya saat ini.

Rini segera keluar lalu membuat belanjaan Alieen berserakan dan rusak. Alieen sendiri terkejut dengan belanjaannya yang di rusak, tapi lebih kaget lagi melihat siapa pelakunya.

“Rini?”

“Belum puas lo ya kegatelan sama Rafandi?”

“Maksud lo apa Rin?”

“Alah lo sok suci juga! Lo sama kayak yang lain! Munafik!”

Rini yang selama ini berbuat baik kepadanya, kini menampar pipi Alieen. Hal ini diluar dugaannya, walau Alieen sering membuat Rini kesal dan marah. Tapi baru saat ini Rini mulai bermain tangan kepadanya.

Tapi ada satu tangan lain yang menahan tangan kasar Rini untuk menyentuh pipi Alieen. Ia adalah Bagaskara. Shintia yang melihat itu dari kejauhan seketika mengepalkan tangannya karena lagi-lagi rencana nya kembali gagal karena pria tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status