“Jangan lupa untuk berkas rapat evaluasi bulanan disiapkan. Inget, ya, semua evaluasi dari tiap department nggak ada yang boleh kurang. Kalau sampai ada yang kurang, kreekk!” Reyhan berpura-pura menggorok lehernya menggunakan jarinya, “Kamu saya pecat!” ancamnya sambil memicingkan matanya.
“Si-siap, Pak! Semua berkas sudah disiapkan di atas meja! Berkas direksi juga sudah siap!” jawab Sabrina cepat.
Reyhan membuang mukanya. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan klien saat langit mulai petang. Jarum pendek di jam tangan Reyhan menunjukkan nyaris pukul enam dengan jarum panjangnya diangka sembilan. Mobil mereka sampai di lobi kantor saat para karyawan sudah pulang. Kantor sangat sepi. Hanya security yang tersisa, menjaga keamanan kantor.
Sabrina turun dari mobil Reyhan. Reyhan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sabrina hanya bisa
“Gimana sama rencana kamu ngerjain si Sabi itu?” tanya Selma saat ia dan Reyhan tengah menonton film streaming bersama di apartement milik Reyhan. “I had them,” Reyhan menunjuk ke setumpuk berkas di atas kursi. “Besok, dia pasti panik,” Reyhan tertawa puas membayangkan Sabrina tidur nyenyak malam ini dan panik keesokan harinya karena berkasnya tidak ada. Rapat sengaja ia agendakan pukul delapan pagi agar Sabrina tidak punya waktu untuk membuat ulang. “Good job, Baby,” Selma mencium pipi Reyhan mesra. “Orang-orang yang bekerja sama kamu haruslah orang-orang yang hormat sama kamu. Kalau dia nggak bisa hormat sama kamu, buat gimana caranya dia keluar atau dipecat,” ucapnya. “Ya, jadi mereka nggak akan bisa lagi meremehkan aku,” balas Reyhan. “Kamu punya power, Sayang. Kamu harus tunjukkan itu ke semua yang meragukan kamu
“Sab, sudah mau jam sembilan pagi. Kamu ketiduran!” tepukan Awang di bahunya membuat Sabrina terbangun kaget. Ia ketiduran. Bahkan kopi pun tidak mampu mengalahkan rasa kantuknya. “Oh!” Sabrina melihat ke arah jam tangannya. Kurang lima belas menit lagi sebelum rapat dimulai. Ia berdiri dari kursinya menuju kamar mandi. Ia membasuh mukanya agar segar kembali. Ia merapikan kembali rambutnya yang digelung. Tidak lupa ia menyemprotkan parfum ke sekujur tubuhnya untuk menutupi bau badannya yang belum sempat mandi. Terakhir, Sabrina memoles kembali wajahnya dengan bedak dan lipstick. “Huh!” Sabrina menepuk-nepuk pipinya. “Here we go!” Gumamnya. Sabrina bergegas kembali ke ruangannya. Ia menyimpan berkas yang telah ia susun ulang di dalam lemari kerjanya. Ia tidak ingin jika berkasnya kembali hilang. Hantu mana yang menyembunyikan berkasku, sih?!
Sabrina menghela nafas panjang. Akhirnya Rapat Evaluasi Bulanan selesai walaupun tadi berkali-kali Reyhan memarahinya karena mengantuk. Apa mau dikata? Sabrina tidak tidur semalaman. Sedangkan ia tidak memiliki kesempatan untuk memejamkan matanya lebih lama. Lancar tidaknya rapat yang dipimpin oleh Reyhan ada ditangan Sabrina. Sebab, ia sekretarisnya dengan segudang berkas yang harus ia siapkan. Belum lagi saat ada catatan dan temuan penting selama rapat berlangsung. Sabrina harus memasang telinga baik-baik dan mencatatnya untuk dijadikan bahan evaluasi. “Akhirnyaa, selesai juga,” Sabrina meregangkan tangannya ke atas. Suara ‘krek’ dari tulang-tulangnya membuat tubuh Sabrina sedikit lebih nyaman. “Belum,” Reyhan memotong kalimat Sabrina. Sabrina lupa kalau diruangan ini tinggal mereka berdua. “Masih ada Rapat Komisaris,” ujarnya dengan nada sinis. Sabrina mengangguk paham.
Reyhan mondar-mandir di ruangannya. Ia sangat kesal hari ini. Pak Indera baru saja merendahkan dirinya dihadapan semua komisaris. Pun Pak Narendra, Sang Ayah, tidak memasang badan untuk putranya sendiri. Reyhan merasa Pak Narendra mencari aman dengan tidak membelanya. Kepala Reyhan terasa pening dan nyut-nyutan. Belum lagi saat Pak Indera membahas tentang banyaknya karyawan yang resign. Reyhan merasa tidak ada yang salah dengan cara kepemimpinannya. Ia justru sudah berbaik hati menaikkan gaji semua karyawannya. Gaji mereka berkali-kali lipat jauh di atas upah minimum kerja di Ibukota. “Hai,” dari depan pintu terdengar sapaan. Reyhan mengenali suara seksi itu. Itu adalah suara Selma, kekasihnya. Dia tampak cantik mempesona dengan rok pendek dan blazer menutupi tube top yang menyembulkan belahan dadanya. “Selma,” gumam Reyhan. “Baby, what happ
Clak. Sabrina pulang kerumah disaat hari belum gelap. Jam masih menunjukkan pukul empat sore. Jam kerja pun belum berakhir. Jam kerja? Sabrina tertawa dalam hati. Rumah dalam keadaan kosong saat ia pulang. Bunda sedang arisan dengan tetangga sedangkan Ayah belum pulang dari kantornya. Ia menghempaskan tubuhnya kasar ke atas sofa. Ia memandang kosong langit-langit rumahnya. Kejadian dua hari terakhir membuat kepalanya pening bukan main. “Brengsek!” Sabrina mengumpat marah. Matanya terasa panas. Ia berkaca-kaca. Mengapa dunia tidak adil padaku? Apa kesalahanku hingga diperlakukan oleh dunia sekeji ini? Air matanya jatuh. Dalam sekejab ia mendapatkan pekerjaan dan dalam sekejab pula ia kehilangan pekerjaan. Yang lebih menyebalkan, ia kehilangan pekerjaan atas alasan yang tidak bisa ia terima. Performa kerja yang
Sabrina sudah tidak bisa lagi menyembunyikan status jobseeker yang kembali ia sandang setelah beberapa minggu bekerja di Barilga Group. Bunda dan Ayah sangat sedih namun mereka berdua berusaha untuk tenang menghadapi berita buruk ini. “Ya sudah nggak apa-apa, Sayang. Masih banyak lowongan pekerjaan di luar sana yang sesuai sama kamu. Mungkin Barilga itu bukan tempat yang tepat buat kamu,” Bunda menghibur Sabrina. Sabrina menghela nafas berat. Untuk masalah pekerjaan, Sabrina sudah mencoba untuk ikhlas dan tidak memikirkannya terlalu berat. Namun masih ada ganjalan di hati soal Dewa. Dewa sama sekali tidak membalas pesan Sabrina satupun. Bahkan panggilan telepon yang berkali-kali ia kirim tidak terjawab satupun. Dewa seperti hilang ditelan bumi. “Sudah, sarapan dulu!” Bunda menepuk bahu Sabrina keras sembari menyemangatinya. Bunda lalu mengambilkan sepiring nasi beserta l
Dewa terdiam. Ia menelan ludah tengah menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan pada Sabrina. “Kenapa diam?” Sabrina menatap Dewa sedih. Dewa menghela nafas panjang. “Jangan tanya aneh-aneh begitu, Sayang. Aku ini pacar kamu,” jawab Dewa. “Kalau kamu sudah bukan pacar aku, mana mungkin aku nemuin kamu begini,” tambahnya. “Aw Sayang,” Sabrina bernafas lega. Ia mendapatkan jawaban sesuai dengan ekspektasinya. “Sekarang gimana perasaan kamu? Sudah baikan?” tanya Dewa. Sabrina memanyunkan bibirnya. “Aku nggak tahu ya bos aku itu manusia yang dibuat dari tanah apa. Jangan-jangan dibuat dari tanah sengketa makanya kelakuannya begitu!” Sabrina mengumpat. “Hush!” Dewa tertawa. “Ya habis gimana, lho, Sayang, aku ini dipecat sepihak dengan alasan yang nggak masuk aka
Suara derap langkah kaki yang memasukki lobi menjadi background suara kantor pagi itu. Para karyawan terlihat saling menyapa. Diantara mereka ada yang langsung naik ke ruangan kerja mereka, dan sisanya memilih untuk duduk santai di lobi sembari mengecek berita terbaru pagi ini melalui gadget mereka masing-masing. Beberapa tamu perusahaan juga datang menghampiri Resepsionis. Diantara banyak karyawan yang datang, salah duanya adalah Awang dan Irene. Mereka berdua berjalan bersisian memasukki lobi setelah memarkirkan kendaraan mereka di basement. Lift yang penuh dan malas menunggu membuat mereka sepakat menaiki tangga menuju lobi. Ekspresi mereka tampak datar, terutama Awang yang sedikit murung dibanding biasanya. Sudah seminggu berlalu sejak Sabrina dipecat secara sepihak oleh Reyhan. Selama itu juga komunikasi mereka tersendat. Pesan dari Awang jarang Sabrina balas. Kadang