Share

Gosip di Kantor

Ia langsung menghampiri sang istri dan membantunya membereskan pecahan cangkir teh itu. 

"Bela saja terus istrimu. Jelas - jelas perempuan itu mau melukai bibir dan lidahku!" dengkus Mirah menengadah.

"Kamu salah pilih istri, Sadam!" teriak Mirah kepada putranya. "Istri macam apa itu? Cuma bisa menghamburkan uang! Sekarang ingin melukaiku," lanjutnya.

"Safira sudah meminta maaf, Bu. Kalau Ibu seperti ini terus lebih baik Sadam dan Safira keluar dari rumah ini," tegas Sadam.

Bak di sambar petir hati Safira hancur berkeping-keping mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang mertua hingga tak terasa darah menetes dari telunjuknya terkena pecahan cangkir. 

Ia memejamkan mata sampai bulir bening yang dibendungnya kini menetes ke lantai. Safira masih tertegun tak menyangka kalau Mirah akan tega berkata seperti itu.

"Sampai kapan pun aku tak akan pernah mengizinkanmu keluar dari rumah ini! Aku yang sudah melahirkanmu. Sudah seharusnya kau berbakti kepadaku sebagai ibumu! Mau jadi anak durhaka, kau, hah?" bentak Mirah. 

"Kalau Ibu terus memperlakukan Safira seperti ini, terpaksa kami akan keluar dari rumah ini," sahut Sadam mendongak memandang wajah ibunya yang mulai terlihat kerutan.

"Tak ingatkah kau pesan ayahmu untuk selalu menjagaku?" Di balik kacamatanya, mata Mirah mulai berkaca-kaca. 

Sadam paling tak bisa melihat ibunya menangis. Apalagi jika sudah bawa-bawa pesan almarhum ayahnya. Sebenarnya, ia tak tega keluar dari rumah sang ibu, tetapi sikap dan ucapan Mirah terlalu sering membuat hati Safira terluka.

"Makanya Sadam minta tolong sama Ibu perlakukan Safira dengan baik. Sadam tak pernah merasa salah memilih Safira sebagai seorang istri. Sadam mohon perlakukan Safira dengan baik," pinta Sadam menurunkan kedua ujung alis tebalnya. 

"Sudahlah, Bu. Kalau memang Mas Sadam tak ingin tinggal di rumah ini, biarkan saja," timpal Zafar, yang sedang menikmati sarapannya.

"Diam! Aku sedang tak bicara denganmu," tukas Mirah.

Anak bungsu Mirah pun terdiam dan melanjutkan sarapannya. Ia hanya mencibir kejadian pagi ini yang penuh drama. 

Akhirnya, tak sia-sia Mirah dengan susah payah mengeluarkan air mata dustanya. Sang putra kesayangan pasti akan luluh kalau ia sudah berpura-pura menangis, apalagi mengingatkan pesan sang suami. 

Tak banyak bicara lagi Mirah meraih tas tangan yang disandarkan ke kursinya di bawah. Kemudian berlalu meninggalkan makanan yang masih utuh di atas piring. Tak sedikit pun ia menyentuh sarapannya pagi itu. Dengan begitu Mirah mengira kalau putranya akan merasa bersalah. Seiring langkah kaki wanita berhidung bulat itu, ada senyum licik yang tergambar di wajahnya.

Sadam membiarkan ibunya pergi. Ia menghela napas panjang, lalu, membantu sang istri membereskan pecahan cangkirnya. Setelah itu ia membalut luka di telunjuk Safira dengan plester.

"Aku pergi duluan," ucap Zafar meninggalkan pasangan suami istri itu dengan tak mempedulikan mereka. 

Sadam tak menghiraukan adiknya, ia sedang fokus kepada sang istri yang terluka. Pria jangkung itu merasa kasihan kepada Safira. Sadam mengajak istrinya untuk melanjutkan sarapan.

Meski dengan dada yang sakit hingga membuat Safira sulit menelan makanannya, ia masih melanjutkannya. 

"Aku antar ke kantor, ya," ucap Sadam menutup dan mengunci pintu rumah.

"Tak perlu. Kantor kita beda arah, nanti Mas kesiangan. Aku bisa berangkat sendiri," balas Safira.

"Tak apa kau pergi sendiri?" tanya Sadam, mendorong pagar rumahnya dan dibalas anggukan oleh sang istri.

"Baiklah, kalau begitu aku antar sampai depan," ujar Sadam, membukakan pintu mobil untuk Safira. 

***

Siang itu saat jam istirahat kantor, Safira yang sudah setengah jalan menuju warung nasi di seberang jalan kembali masuk ke kantornya dengan tersedu-sedu sedih. Ia mengurungkan niatnya untuk makan siang dan memilih izin pulang dengan alasan tak enak badan. 

Safira berlari kecil buru-buru keluar kantor dan menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang. Air mata yang turun semakin deras. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya, tetapi tak mungkin di tempat umum seperti ini. Terpaksa ia menangis tanpa suara. 

Sesampainya di rumah, ia langsung masuk dan mengurung diri di kamar. Ia bertelungkup di atas kasur dan membenamkan wajahnya ke bantal, berteriak sekencang-kencangnya sampai puas. 

Beban dalam dadanya sedikit ringan meskipun ia masih mengingat dengan jelas kejadian di kantor tadi saat baru tiba. 

Perempuan berkaki jenjang terbalut celana putih panjang dipadukan dengan blouse navy berjalan melewati halaman kantor yang luas. 

Beberapa pasang mata memperhatikannya dari ujung kepala sampai kaki dan saling berbisik, membuat Safira merasa risih. Tak biasanya ia diperhatikan orang seperti itu apalagi oleh orang yang tak dikenalnya. 

Tiba-tiba tiga wanita berumur berpapasan dengannya. Salah satu di antara mereka adalah Mirah, sang mertua. Langkah ketiganya berhenti.

"Bukannya itu menantumu, ya, Jeng?" tanya salah satu wanita yang bersama Mirah dengan suara cemprengnya.

Langkah Safira pun terhenti mendengar suara itu dan membalik badannya. Awalnya ia tak ingin menghiraukan sang mertua karena kejadian di rumah tadi. 

"Oh, yang suka menghambur-hamburkan uang itu, ya?" tanya wanita yang satunya. 

"Iya, menantu tak tahu diri yang bisanya cuma menghabiskan uang suami," sindir Mirah seraya mendelik ke arah Safira.

Kedua teman Mirah tersenyum sinis. Mereka sama saja dengan mertuanya Safira. Tak punya hati dan perasaan! Seenaknya bicara, tanpa mengetahui kenyatannya seperti apa.

Safira menelan air liurnya dan menghela napas, mencoba untuk tetap tenang. Ia tak ingin terpancing emosi oleh ketiga wanita yang berdiri di depannya. 

"Eh, Neng! Jangan suka boros kalau jadi istri! Nanti diganti, loh!" kikik wanita dengan bibir sama meronanya dengan Mirah.

"Iya, loh, harus hemat kalau jadi istri. Masa mesin cuci rusak sedikit saja langsung diganti. Pemborosan itu!" cibir yang satunya seraya mengerling.

"Maaf, ya, ibu-ibu. Itu bukan urusan kalian," kata Safira memandang kedua teman Mirah bergantian dengan air mata yang dibendungnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status