Share

Remahan Roti dan Selai Cokelat

"Mertuamu itu memang tak bisa masak enak, ya, Sadam," cetus Mirah. "Ayamnya ini terlalu pedas! Mau bikin Ibu sakit perut, iya, hah?" imbuh Mirah yang mengalihkan pandangan ke menantunya.

"Bukannya Ibu suka makan pedas. Lagi pula ini tak terlalu pedas," bela Sadam.

"Kau selalu saja membela perempuan ini," ketus wanita berkulit putih itu. "Lihat, Nala! Adikmu selalu tidak mempedulikan Ibu," ucapnya kepada putri pertamanya.

"Kalau Ibu memang tak suka masakan ibuku, tak perlu dimakan," sela Safira.

Selera makannya kembali hilang, padahal sebelumnya ia sangat senang dibawakan makanan oleh ibunya sendiri. Masakan sang ibu membuat nafsu makannya bertambah, tetapi malah dihina oleh ibu dari suaminya.

"Diam kau!" bentak Mirah.

"Cukup! Cukup, Bu! Sikap Ibu terhadap Safira sudah keterlaluan, selalu saja ada hal yang dipermasalahkan. Ibu juga sudah berani menampar Safira, istri Sadam, yang selalu dijaga dengan baik. Aku, suaminya, tak pernah sedikit pun menyakiti Safira." Sontak Sadam berdiri dengan wajah merah padam.

Ia sudah mulai kesal kepada Mirah yang selalu saja membesarkan hal kecil dan seharusnya tidak dipermasalahkan.

"Sudah, sudah! Aku baru datang, loh, masa kalian malah bertengkar," lerai Nala.

Demi menghargai Nala, Sadam menekan rasa marahnya kepada Mirah meskipun dalam hatinya terasa ada yang mengganjal. Ia lebih memilih mengajak Safira ke kamar saja, meninggalkan ibu dan kakaknya.

"Perempuan tukang ngadu!" gerutu Mirah.

Safira tak mengacuhkan ucapan sang mertua yang terdengar jelas di telinga. Ia mengekor suaminya memasuki kamar. Perutnya masih kosong dan berteriak minta diisi, tetapi gara-gara Mirah, ia jadi tak menikmati makanan dari ibunya.

Sebenarnya Safira tak terima Mirah menghina sang ibu, tetapi untuk menghargai Nala yang baru tiba ia mencoba menahan diri untuk tidak melawan Mirah. Safira merasa tak enak malah menyuguhkan pertengkaran kepada Nala.

Seperti biasa pagi hari Safira sudah bangun. Ia tertegun melihat piring kotor di wastafel yang masih menumpuk dan piring miliknya yang masih penuh dengan makanan semalam berada di atas meja. Padahal Mirah dan Nala yang terakhir berada di sana.

Ia segera mencuci piring dan membuat sarapan pagi itu, tetapi tak membereskan rumah karena harus segera berangkat ke kantor. Safira pikir ada Nala yang akan membantunya mengerjakan pekerjaan di rumah.

Namun, dugaan Safira sangat tidak tepat. Saat sore hari pulang dari kantor, ia dikejutkan dengan rumah yang masih berantakan. Di meja makan penuh dengan piring kotor dan makanan sisa. Remahan roti dan selainya berceceran di lantai. Ternyata Oza dan Kieran, kedua anak Nala, sedang bermain-main dengan selai cokelat. Ia membiarkan keduanya bermain dan berpikir semua keributan yang disebabkan Oza dan Kieran akan dibereskan oleh Nala. Safira tersenyum melihat tingkah dua keponakannya, lalu, berjalan ke kamarnya.

"Safira, Safiraa," teriak Mirah memanggil menantunya.

Safira yang baru merebahkan diri di atas kasur kembali bangkit dengan wajah masam dan kesal. Ia berjalan menghampiri mertuanya.

"Ada apa, Bu?" tanya Safira lesu.

"Kau ini buta, ya? Lihat! Meja makan berantakan begitu, roti dan selai berceceran di lantai, kenapa tak dibersihkan, hah?"

Lagi-lagi Mirah meributkan dan menyalahkan Safira yang tidak membereskan rumah. Padahal ia tahu kalau menantunya itu baru saja pulang kerja.

"Aku baru sampai, Bu. Lagi pula ini semua kerjaan Oza dan Kieran," jawab Safira dengan wajah memelas.

"Jadi, kau menyalahkan cucu-cucuku?" bentak Mirah, berkacak pinggang.

"Bukan begitu. Ada Mbak Nala yang bisa membereskannya, 'kan?"

Mendengar namanya disebut Nala pun menghampiri ibu dan istri adiknya itu seraya menggendong Kieran, anak bungsunya, yang masih berusia empat tahun.

"Ada apa ini?" tanya Nala.

Mirah pun menunjuk remahan roti dan selai yang berceceran di lantai. Ia juga menyuruh Safira untuk membersihkan semuanya karena tak biasa melihat rumah yang berantakan dan kotor.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status