"Memangnya sampai kapan Mbak Nala di sini? Tapi tadi juga ia tak mau membantuku," kata Safira memajukan bibirnya."Entahlah, mungkin satu atau dua minggu seperti biasanya."Safira menghela napas panjang. Ia berharap apa yang dikatakan Sadam betul, kakak iparnya akan membantu di rumah selama berada di sini. Satu pekan berlalu, ternyata kedatangan Nala dan kedua anaknya malah menambah beban pekerjaan di rumah untuk Safira. Tetap saja, ia yang membereskan rumah dan memasak. Belum lagi mencuci dan menyetrika baju yang kini bertambah banyak karena Safira juga yang harus mencuci dan menyetrika baju kakak ipar dan dua keponakannya. Ditambah ia harus berkali-kali membersihkan dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah Oza dan Kieran. Seharusnya Nala yang bertanggung jawab atas kedua keponakannya itu. Safira tak menyalahkan Oza dan Kieran yang masih lucu karena memang kedua anak itu butuh bermain.Selama seminggu ini pula ia merengek dan mengeluh kepada suaminya untuk menegur Nala dan
Setelah membeli semua bahan makanan yang dibutuhkan Mirah, Sadam mengajak Safira untuk sarapan dulu. Namun, sang istri menolak. Ia tak ingin kejadian waktu itu terulang lagi. Gara-gara ia meminta Sadam membelikan lontong sayur untuk sarapan malah dimarahi oleh mertuanya."Ayolah, aku mau makan ketoprak mumpung kita lagi di pasar, banyak jajanan," rayu Sadam."Baiklah, tapi bungkuskan juga buat orang rumah, ya, Mas." Akhirnya, Safira menyerah juga dengan permintaan sang suami.Memang jarang juga mereka makan di luar berdua. Bukan tak ingin, tetapi Safira selalu memikirkan kebutuhan di rumah dulu. Selain itu, kalau mereka berdua tak makan di rumah dan mengatakan sudah makan di luar, Mirah selalu bilang kalau itu pemborosan."Iya, nanti minta dibungkus buat orang rumah," ucap Sadam.Selesai menyantap ketoprak, Sadam dan Safira langsung menuju arah pulang. Kedua tangan Safira menenteng beberapa kantung plastik yang cukup berat. "Dari pasar saja lama banget," ketus Mirah sudah berdiri di
Sekitar pukul sepuluh teman-teman Mirah mulai berdatangan. Hampir semua teman ibu mertuanya itu berpenampilan seperti Mirah. Pantaslah kalau sang mertua cukup sombong karena memang pergaulannya pun dengan ibu-ibu sosialita. "Kenalin, ini anak pertama saya, Nala," ucap Mirah merangkul anak pertamanya, memperkenalkan pada teman-temannya sebelum mulai acara. Safira sedang merapikan hidangan di atas meja panjang. Ia terihat sangat kelelahan dan pucat karena belum mengisi perutnya sama sekali. "Itu siapa, Jeng?" tanya wanita seumuran Mirah yang lengannya dipenuhi benda berkilau. "Oh, itu istri anak laki-laki saya," ketus Mirah."Oh, yang waktu itu ketemu di kantor, ya?" cetus ibu-ibu lain yang waktu itu ikut mengejek Safira di halaman kantor dan ternyata bernama Dahlia."Iya, Jeng. Sudah jangan urusi menantu saya yang tidak tahu diri itu. Bisanya cuma menghabiskan uang suami saja untuk membeli barang tak penting. Ia juga istri pemalas!" cerocos Mirah kesal. Sekitar tujuh orang ibu-ibu
Wajah putih Safira berubah merah padam, menahan amarah yang terus membara dalam dadanya. Ia menatap tajam wajah Mirah yang juga menegang dengan rahang mengeras. Tak mau terjadi keributan Safira memilih membalik badan dan berjalan ke kamarnya, lalu membanting pintu. Ia tak menghiraukan selusin sendok yang berantakan karena dibantingnya hingga mengenai beberapa piring yang ditumpuk.“Menantu kurang ajar!” geram Mirah menyusul Safira.Semua orang yang hadir bergeming menyaksikan pertarungan Mirah dan menantunya, lalu, beberapa di antara mereka ada yang saling berbisik membicarakan hal yang baru saja terjadi.“Ibu! Sudah, Bu! Biar nanti aku yang bereskan,” cegah Nala menarik lengan sang ibu.“Tidak bisa, Nala, perempuan itu sudah sangat kurang ajar dan tidak sopan di depan teman-teman Ibu, bikin malu saja!” kesal Mirah, dadanya kembang kempis dan melanjutkan kembali mengejar sang menantu.Safira tak mengindahkan suara sang ibu mertua yang terdengar melengking terus memanggil dirinya ser
Sadam meminta Mirah untuk membicarakannya baik-baik. Kali ini ia cukup marah dengan sikap sang ibu pada istrinya. Namun, Mirah selalu saja membuat Sadam kalah dengan dalih seorang anak harus berbakti pada ibunya.“Cepat!” bentak Mirah pada Safira.Ia berlalu dari kamar anak dan menantunya, kembali bergabung bersama teman-temannya dengan raut wajah masih terlihat tidak enak dipandang. “Ibu apa-apaan, sih? Malu dilihatin yang lain,” bisik Nala, mendekatkan bibir ke kuping Mirah.“Sst,” balas Mirah, melirik anak sulungya.“Maaf, ya, semuanya. Kalian jadi menyaksikan kejadian yang tidak enak di rumah saya,” ungkap Mirah dengan senyum palsunya.Beberapa orang yang hadir masih saling berbisik, tetapi tidak dengan teman-teman dekat Mirah yang tersenyum dan mendukung aksinya memperlakukan Safira dengan kasar. Sementara itu Sadam menghampiri Safira yang masih duduk sembari terisak. Lagi-lagi ia meminta maaf atas perbuatan ibunya pada Safira. “Aku sudah tak tahan tinggal di sini, Mas,” ungka
“Tapi, Bu, Safira istri Sadam. Ia harus ikut, dong,” bantah Sadam.Menurutnya kalau Mirah ingin mengenalkan dirinya pada orang, Safira pun harus ikut dikenalkan karena mereka adalah sepasang suami istri. Namun, Mirah tak mengizinkan Safira berada di tengah-tengah tamu yang hadir. Selain kejadian tadi yang membuat amarah Mirah tersulut, menurutnya Safira tidak pantas berada di tengah orang-orang kaya dan terhormat. Malahan wanita yang lebih sering menggunakan gincu merah merona di bibirnya itu merasa malu punya menantu seperti Safira.Sepeninggal sang ibu, Sadam menghela napas kasar. Ia merasa malas menuruti permintaan ibunya itu. Selain masih kesal dengan perlakuan sang ibu pada istrinya, Sadam juga merasa tidak enak dengan Safira. “Ibu itu aneh-aneh saja,” keluh Sadam, mengusap wajah dengan telapak tangannya.“Sudah turuti saja, Mas. Mungkin Ibu ingin mengenalkanmu pada temannya karena ada maksud lain,” cetus Safira bersandar ke ujung tempat tidur.“Tujuan apa?” Sadam mulai memilih-
Di halaman belakang rumah Zafar sedang duduk memandangi kolam ikan seraya memeluk gitar kesayangannya. Sesekali anak bungsu Mirah itu menyesap kopi hitam dalam gelas kaca yang diletakkan di atas meja di sebalahnya.Ia kurang suka dengan acara-acara yang mengundang banyak orang seperti yang diadakan ibunya hari ini. Sebenarnya ia ingin keluar rumah saja, nongkrong bersama teman-teman di kafe, tetapi uang jajannya sudah menipis dan Mirah tak akan memberikan uang jajan tambahan sampai awal bulan selanjutnya. Ya, Zafar menerima uang jajan sebulan sekali dari sang ibu dan itu harus cukup sampai bulan berikutnya. Tak banyak yang diberikan Mirah pada Zafar hanya satu juta setiap bulannnya meskipun memang hanya untuk bekal sehari-hari dan membeli bensin, tetapi sikap sang ibu yang selalu pilih kasih dan membandingkan dirinya dengan sang kakak menumbuhkan sifat iri dan benci dalam diri Zafar.Semua kebutuhan pemuda berambut sebahu itu memang sudah diurus Mirah, tetapi setiap ia mengungkapkan k
Safira hanya menghela napas ditinggal begitu saja oleh Zafar. Ia hanya merasa kasihan pada adik iparnya, tak bermaksud apa pun. Ia juga tidak merasa sok baik karena selama ini tak pernah mengusik hidup zafar. Pernah beberapa kali menawarkan bantuan pada Zafar seperti jika kekurangan uang jajan boleh minta padanya, tetapi Zafar selalu bersikap dingin dan terkadang sama saja seperti Mirah, malah menghinanya. Namun, Safira memaklumi karena ia tahu Zafar merasa cemburu pada Sadam dengan perlakuan sang ibu yang berbeda.Perempuan berkulit putih itu hanya merasa haus. Setelah meneguk segelas air mineral, ia kembali ke kamarnya. Berdiam diri sesuai perintah sang ratu di rumah itu, tetapi ia sambil menunggu saat semua tamu dipersilakan untuk menikmati hidangan. Sementara itu di ruang tengah Mirah masih berbincang bersama teman-temannya. Ia juga memperkenalkan Sadam pada sahabatnya, Dahlia. “Aku tidak akan nolak, kok, Jeng, kalau kita jadi besanan,” kikik Dahlia mengipasi wajahnya dengan ki