Share

Mengadu

Perutnya mulai keroncongan minta diisi. Matahari pun mulai beranjak naik, tetapi Sadam belum juga pulang dari lari pagi setelah Subuh tadi.

Safira memutuskan untuk mandi saja setelah rasa lelahnya mulai hilang sambil menunggu Sadam pulang. Semalam ia minta diantar berkunjung ke rumah orang tuanya karena sudah rindu ingin bertemu ibu dan bapaknya. 

Safira duduk di depan meja rias, memandangi wajahnya yang cantik dan anggun. Sebenernya, Mirah sangat beruntung punya menantu secantik Safira, hanya karena Safira yang tak kunjung hamil. Jadi, Mirah membenci dirinya. 

"Safiraa, Safiraa," teriak Mirah lagi membuat menantunya itu tersentak. 

"Astaga, apa lagi, sih?" Safira membanting tempat skincare-nya ke atas kasur saat berdiri.

Safira berlari kecil keluar dari kamar menghampiri Mirah yang terus memanggil namanya. Ia berdiri di depan sang mertua yang berada dapur. 

Mata indahnya berkedip-kedip memandang wajah sang mertua yang tak enak dipandang. Ia merasa risih saat mata Mirah memindai setiap senti tubuhnya; dari ujung kepala yang masih terbalut handuk hingga kaki. Safira pun menunduk melihat penampilannya sendiri yang sudah rapi. 

"Mau ke mana kau?" tanya Mirah melotot.

"Mau, mau ke rumah Ibu dan Bapak," jawab Safira. 

"Bagus! Bagus sekali Safira! Menantu tak tahu diri!" bentak Mirah.

Wanita dengan kerutan di wajahnya itu mencengkram lengan atas Safira dan menariknya ke arah meja makan hingga menantunya itu mengaduh.

"Lihat! Meja ini masih kosong, mengapa kau tak menyiapkan makanan untuk sarapan pagi ini, hah? Kau ini benar-benar keterlaluan, ya!" sentak Mirah, jari-jarinya semakin kuat mencengkram lengan Safira. 

"A-aku sudah titip lontong sayur sama Mas Sadam, Bu," lirih Safira, meringis kesakitan dicengkeram Mirah. 

"Apa? Dasar menantu malas!" Mirah mendorong menantunya hingga terjerembap di lantai. 

"Aah," rintih Safira. 

Ia meringis menahan sakit di tangan dan lututnya yang beradu dengan lantai. Mertuanya benar-benar sangat keterlaluan, mendorong dirinya sampai terjatuh. Tak punya perasaan!

"Astaghfirullah, Ibu!" 

Seketika itu juga Sadam langsung meletakkan kantung plastik hitam berisi empat bungkus lontong sayur yang dipesan istrinya tadi saat mengirim pesan.

Ia membantu Safira berdiri. Pria bertubuh tinggi itu melihat dengan jelas saat ibunya mendorong sang istri. Ia baru saja sampai di rumah dan langsung masuk. 

"Ibu apa-apaan, sih?"

Sadam masih terengah-engah, keringat bercucuran di wajah dan tubuhnya sampai kaus yang dipakainya basah sebagian. 

"Tanya saja sama istrimu yang pemalas itu," ketus Mirah, menyilangkan tangan di depan dadanya seraya mendelik kepada Safira yang dirangkul putranya.

Mirah mendengkus kesal, melihat pemandangan di depannya. Ia merasa jijik dengan sikap sang putra yang terlalu baik dan memanjakan Safira.

"Memangnya ada apa lagi?" tanya Sadam lembut kepada sang istri.

Safira hanya bergeming menunduk. Ia memilih menutup mulut di depan mertuanya, percuma bicara yang ada dicemooh oleh Mirah apalagi kalau sampai membela diri. 

"Istrimu itu memang tak tahu diri, Sadam! Pemalas! Bisanya cuma menghabiskan uang," cela Mirah.

"Astaga, masih saja perkara mesin cuci yang Ibu bahas. Sudahlah, lagi pula tak pakai uang Ibu, 'kan?" bela Sadam.

"Bukan cuma mesin cuci, tapi perempuan ini tak mencuci baju Ibu dan Zafar malah menyuruhku mencuci sendiri. Istrimu itu juga tak menyiapkan makanan untuk sarapan pagi ini," cetus wanita ramping itu.

"Sadam sudah beli lontong sayur buat sarapan, Bu. Tadi Safira titip sama Sadam," balas putranya.

"Itulah istrimu, bisanya menghamburkan uang saja! Perempuan pemalas!" ejek Mirah.

Mirah memang selalu saja membuat hal kecil menjadi masalah besar. Tak puas rasanya kalau sehari saja ia tak membentak Safira. Perkara Safira yang tak masak pagi ini dan memilih untuk membeli pun jadi masalah besar bagi Mirah. 

"Sekali-sekali tak masak tak apa-apa," sahut Sadam. 

"Lain kali lebih baik masak saja, lebih hemat!" ketus ibunya itu.

"I-iya, Bu," lirih Safira, menunduk, tak ingin melihat wajah masam ibu suaminya itu.

Bukan tak mampu Safira melawan Mirah, tetapi sejak kecil ia selalu diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua apalagi ini adalah mertuanya sendiri. Bisa saja ia melawan sang mertua, tetapi Safira menghargai Sadam, suaminya. 

Pagi itu mereka bertiga duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan yang sudah dibeli Sadam. Mirah pun terpaksa menyantap lontong sayurnya karena sudah lapar sejak tadi. 

Sementara itu Safira tersenyum dalam hatinya melihat tingkah sang mertua yang menurutnya lucu. Tadi marah-marah karena ia menitip makanan kepada suaminya, tetapi akhirnya dimakan juga. Padahal Safira memang sengaja tak mencuci pakaian mertuanya dan tak memasak hari ini karena perkataan mertuanya kemarin masih sangat membekas di hati Safira.

Ia tak menyangka dirinya menjadi bahan perbincangan di kantor karena mulut Mirah yang tak bisa dijaga. Sebagai seorang ibu dari sang suami harusnya Mirah menjadi sosok pelindung bagi Safira. Namun, sebaliknya, Mirah malah menjadikan Safira sebagai musuhnya sampai menjelek-jelekkan dirinya di kantor.

"Oh iya, memangnya tadi baju Ibu dan Zafar tidak dicuci?" tanya Sadam saat mereka sudah berada di dalam mobil menuju ke rumah orang tua Safira.

"Iya. Aku cuma cuci baju kita, tapi Ibu marah-marah sampai menampar aku dan menyuruhku mencuci baju mereka pakai tangan pula. Badanku sampai pegal-pegal, makanya tadi titip makanan, aku lagi malas masak." Safira mengadukan kelakuan mertuanya kepada sang suami.

"Apa? Ibu menamparmu?" Sadam terkejut dengan pengakuan istrinya.

Selama ini yang ia tahu ibunya tak pernah sampai bermain tangan seperti itu kepada siapa pun, apalagi kepada anak-anaknya. 

"Kalau, Mas, tak percaya tanyakan langsung saja sama Ibu. Tadi lihat sendiri, 'kan, Ibu dorong aku sampai terjatuh?" Safira mulai mengeluarkan kekesalan dalam hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status