Share

Minta ART

Ia hanya bisa mengadu kepada Sadam. Tak mungkin mengadu pada kedua orang tuanya kalau ia selalu diperlakukan buruk oleh sang mertua. Perempuan berwajah cantik itu tak ingin ibu dan bapaknya khawatir. Untungnya Sadam selalu membela dirinya selama ini. Hal itu adalah salah satu alasannya tetap bertahan meskipun terkadang merengek minta pindah rumah, mengontrak pun tak masalah bagi Safira.

"Keterlaluan sekali Ibu berani menamparmu. Biar nanti aku bicara dengannya," kata Sadam, sedikit marah kepada sang ibu.

"Sudah, biarlah, Mas. Mau bicara apa pun juga tak akan pernah mengubah sikap Ibu terhadap aku. Ia memang tak menyukaiku, Mas," tutur Safira, menatap lurus ke depan.

Namun, Sadam tetap akan bicara dengan ibunya. Sebagai suami, ia tak terima istrinya sampai ditampar seperti itu. Ia pun tak pernah berlaku kasar kepada Safira apalagi sampai memukul dan menamparnya. 

"Ya sudah, terserah, Mas, saja," balas Safira, menghela napas panjang.

Tak lupa Safira pun mengungkapkan unek-unek dalam hatinya. Ia merasa sangat lelah melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, sebelum Subuh sudah bangun, membereskan rumah dan memasak. Setelah itu harus berangkat kerja dan pulangnya mencuci serta menyetrika pakaian semua orang. Terlalu berat beban pekerjaan yang dilakukan Safira. 

Akhirnya, ia meminta suaminya mencarikan asisten rumah tangga untuk membantu meringankan pekerjaan di rumah. Setidaknya ada yang membereskan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian. Biarlah ia yang memasak dan belanja. 

"Maafkan aku, Sayang, membuatmu terlalu lelah dengan semua pekerjaan di rumah. Maafkan Ibu juga yang selalu menyuruh dan tak pernah membantumu. Nanti aku carikan asisten rumah tangga untuk membantumu di rumah." 

Wajah cantik Safira dihiasi senyum yang merekah sepanjang perjalanan pulang. Setiap ia berkunjung ke rumah ibu dan bapaknya hatinya selalu senang dan tenang. Kalau saja bisa, ia lebih memilih untuk tinggal bersama ibu dan bapaknya, tetapi sebagai seorang istri harus ikut ke mana pun suami melangkah. Itulah yang selalu dibilang oleh ibunya sendiri. 

Safira sama sekali tak pernah menceritakan perlakuan buruk sang mertua. Ia takut kedua orang tuanya khawatir kepadanya.  

Tangan Safira terus memeluk tumpukan wadah berisi masakan sang ibu yang dibawakan untuknya. Ia sangat senang sekali, perutnya pun sangat kenyang menyantap hidangan di rumah ibunya tadi. Setiap ke sana Safira dan Sadam selalu dijamu dan dibawakan makanan enak. 

"Senang, ya, abis ketemu Ibu?" Lirik Sadam seraya tersenyum.

"Tentu, Mas. Sebenarnya aku masih rindu sama Ibu dan Bapak. Kapan-kapan boleh menginap di sana, ya," bujuk Safira bergelayut di lengan sang suami yang sedang mengemudi.

"Tentu saja boleh, Sayang," jawab Sadam mengecup pucuk kepala sang istri. 

Perempuan berhidung bangir itu bersorak senang. Ia akan menjadwalkan hari untuk menginap di rumah kedua orang tuanya nanti. Ibu dan bapaknya pasti sangat senang kalau ia dan Sadam menginap di sana. Semenjak menikah dengan Sadam dua tahun lalu, ia harus ikut tinggal bersama sang suami, meninggalkan kedua orang tuanya yang menjadi kesepian tanpa kehadiran dirinya di rumah karena Safira adalah anak satu-satunya.

Istri Sadam itu menghangatkan makanan yang dibawanya tadi untuk makan malam setelah ia membersihkan diri. Wangi masakan menguar di dapur rumah Mirah, menggugah selera makan setiap orang. Lalu, Safira menghidangkannya di atas meja dengan senyum terus menghiasi wajahnya. 

Wajah Safira sangat sumringah, tak hentinya ia menyunggingkan senyum. Rasanya sangat bahagia dan tenang kalau sudah bertemu dengan sang ibu dan bapak.

"Salam dari ibuku buat Ibu dan Zafar," kata Safira seraya duduk di sebelah Sadam. 

Tak ada satu pun dari kedua orang itu yang menanggapi Safira. Mirah berpura-pura menuangkan air ke dalam gelasnya sendiri sedangkan Zafar langsung mengambil nasi dan lauk dengan wajah datarnya. 

Safira menoleh ke arah Sadam yang tersenyum samar dan mengangguk pelan. Ia menyuruh istrinya untuk menuangkan air minum ke gelasnya. 

Istrinya mulai memudarkan senyum yang sedari tadi menghiasi wajah cantiknya. Hal biasa yang dirasakan Safira yaitu, tak ditanggapi oleh sang mertua dan adik iparnya. Tak masalah bagi seorang Safira tak dianggap seperti itu, bukan hal baru yang dirasakan hatinya, yang terpenting ia sudah menyampaikan salam dari sang ibu untuk mertuanya.

"Oh iya, besok aku carikan asisten rumah tangga biar kau tak terlalu repot lagi di rumah," ucap Sadam menyuapkan makanannya ke mulut.

Safira mengangguk senang, bukan ia tak bisa mengerjakan semuanya sendiri, tetapi memang tubuhnya sangat lelah setelah seharian kerja dan masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang cukup banyak juga tanpa dibantu mertuanya. 

"Apa? Asisten rumah tangga?" Mirah langsung meletakkan gelas ke meja dan tak jadi minum.

"Iya, kenapa, Bu?" tanya Sadam. 

"Kau mau cari asisten rumah tangga untuk apa?" tanya Mirah yang belum sedikit pun mencicipi makan malamnya.

"Untuk bekerja di rumah ini, membantu Safira dan Ibu," jawab Sadam santai masih terus memasukan makan malamnya yang lezat. 

"Aku tak memerlukan tenaga asisten rumah tangga, Sadam!" ketus Mirah menautkan kedua alisnya di balik kacamatanya.

"Iya, tapi kasihan Safira, Bu. Pagi-pagi ia sudah harus bangun dan menyiapkan untuk sarapan, lalu, pergi kerja dan pulangnya masih harus beres-beres, nyuci belum lagi menyetrika baju," tutur Sadam menjelaskan.

"Jadi kau yang ingin dibantu oleh asisten rumah tangga?" Pandangan Mirah beralih ke menantu yang duduk di seberangnya.

"Iya, Bu. Aku lelah mengerjakan semuanya sendiri," jawab Safira.

"Beraninya kau menjawabku!" bentak Mirah, dadanya kembang kempis.

"Bukan begitu, Bu. Kalau ada asisten rumah tangga setidaknya bisa meringankan pekerjaan di rumah," balas Safira, menatap tajam mata sang mertua. 

"Perempuan malas!" tuduh Mirah. "Kau benar-benar salah memilih istri, Sadam! Istrimu ini memang pemalas, boros, manja, tak tahu diri!" oceh Mirah yang mulai kehilangan selera makan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status