Gawat! Bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan?!
Bu Helga menghela napas dan berkata, “Membeli, bukan menyewa, Nona Minna. Gaun ini tidak boleh digunakan orang lain setelah Nona.”
Kedua mataku terbelalak lebar. “Su--sungguh?” tanyaku tak percaya.
Senyum Bu Helga sedikit terukir. “Ya, Nona, Nona bisa memilikinya kalau Nona suka.”
Air mataku benar-benar merebak tanpa diminta. Aku menatap wanita itu dengan pandangan tak percaya. “Ya! Ya! Saya suka!”
“MINNA!” teriak Ibu dan Kak Jasmine penuh amarah. Sepertinya mereka lupa tentang drama ‘keluarga bahagia’ kami.
Namun, aku tidak peduli. Satu poin untuk kemenanganku!
Aku yakin sekali saat ini Kak Jasmine sedang mati-matian menahan diri untuk tidak merebut gaun dan sepatu cantikku. Ia hanya bisa gigit jari, bahkan setelah kepala pelayan mengantarkan kami kembali ke rumah.
Sejak dulu, Kak Jasmine memang selalu ingin merebut apa pun yang kumiliki.
Dulu, saat aku masih menganggapnya sebagai kakak yang baik, aku membiarkan Kak Jasmine menggunakan semua milikku yang disukainya. Kupikir, ia akan mengembalikannya saat merasa bosan.
Namun, ternyata itu tidak pernah terjadi. Bagi Kak Jasmine, barang yang disentuhnya akan menjadi miliknya.
Lalu saat Ayah meninggal, semua milikku berubah menjadi milik Kak Jasmine, tanpa terkecuali.
Tok. Tok.
Aku sedang berada di kamarku dan tengah menatap gaun cantik itu ketika sebuah ketukan di pintu terdengar samar, sebelum akhirnya wajah sendu Lilly muncul dari balik pintu.
“Kak, boleh aku masuk?”
Harus kuakui, jika harus menggambarkan sosok malaikat yang cantik dan polos, maka dengan senang hati aku akan menggunakan Lilly sebagai perumpamaannya.
Tidak seperti Ibu dan Kak Jasmine, Lilly memang memiliki kecantikan alami yang luar biasa. Wajahnya mungil, matanya indah, bibirnya berwarna merah muda, dan ia memiliki kulit selembut sutera.
Di antara keluarga tiriku, Lilly adalah satu-satunya orang yang tidak pernah menyakitiku secara langsung seperti Kak Jasmine atau Ibu. Namun tetap saja, aku tidak bisa membuka diriku sepenuhnya di hadapan Lilly.
Aku tidak mau ia disiksa Ibu dan Kak Jasmine karena bermain bersamaku.
Setelah menarik napas cukup panjang, aku menjawab, “Ya.”
Tanpa diminta, ia duduk di atas ranjang, di sampingku. Karena memang tidak ada tempat duduk lain di kamar itu.
Kamar indahku sudah ditempati Kak Jasmine sejak ayah meninggal. Lalu mereka menempatkanku di loteng atas yang sebelumnya berfungsi sebagai gudang.
Meski cukup luas, kamar itu hanya berisi satu lemari dengan pintu yang rusak, sebuah ranjang reyot, dan satu meja yang hampir ambruk. Lampu yang terpasang juga hanya sebuah lampu bohlam berwarna kuning redup.
Saat musim panas, ruangan itu akan berubah menjadi oven yang bisa memanggangku hidup-hidup. Dan saat musim hujan, ruangan itu seperti kulkas 4 pintu yang membekukanku hingga ke tulang.
“Gaun yang cantik,” puji Lilly sambil menatap gaun yang tergantung.
Rasanya sedikit aneh melihat benda secantik itu di tengah ruangan yang buruk.
Sejujurnya, andai Lilly yang mengenakan gaun itu, mungkin akan lebih sesuai. Ia pasti akan menjelma menjadi bidadari yang luar biasa cantik.
“Apa Kakak benar-benar mau menikah?”
Aku melirik sosok cantiknya. Apa ia lupa kalau ini adalah titah dari ibunya?”
“Ya.” Aku mengangguk.
Gadis di sampingku mulai menundukkan kepala, lalu menangis perlahan. “Apa Kakak nggak bisa menolak aja?”
Memangnya aku punya pilihan? Aku harus bersyukur mereka menjualku secara utuh, bukan mengambil satu per satu organ tubuhku dan menjualnya di pasar gelap.
Lagi pula, ini bisa jadi jalan keluar terbaik untukku agar aku bisa lolos dari lubang tikus ini.
“Aku … hiks … nggak mau Kakak pergi dari rumah ini…”
Malam itu, aku hanya terdiam mendengarkan tangisannya selama beberapa waktu. Rasanya asing melihat seseorang menangis untukku. Jadi aku hanya membiarkannya seperti itu, tidak menghibur, atau memintanya pergi.
***
Tidak kusangka akhirnya aku akan menikah!
Hanya berselang dua minggu, dan sekarang aku benar-benar akan menikah!
Semuanya sempurna. Dalam waktu sesingkat itu, seluruh persiapan pernikahanku selesai tanpa celah. Memang keluarga Ravimore memiliki skala yang luar biasa.
Aku menatap sosok cantik di cermin. Rasanya seperti melihat orang lain. Aku tidak menyangka jika aku bisa berubah menjadi sosok yang sangat cantik. Semuanya sempurna. Gaun, sepatu, riasan di wajahku, bahkan perhiasan yang menghiasi tubuhku berkilau sempurna.
Tidak perlu diragukan lagi bagaimana irinya Kak Jasmine saat melihatku dengan seluruh kemewahan itu.
“Nona Minna … huhuhuhu.” Ralla tak berhenti menangis sejak kemarin. Wajahnya sudah sembab seperti bakpao yang terendam air. “Nona sangat cantik…”
“Iya, kan?” senyumku riang. “Uang memang nggak pernah menipu, Ralla.” Aku akui.
Rasanya seperti menjadi seorang putri dari negeri dongeng! Mungkin inilah perasaan Cinderella ketika akhirnya bisa menikah dengan pangeran.
Yang menjadi masalah adalah, aku belum pernah sama sekali bertemu dengan calon suamiku. Sepertinya ia lebih sibuk daripada presiden.
Namun, itu sama sekali bukan masalah untukku. Justru hal itu sangat menguntungkan. Jadi aku bisa menikmati 2 minggu kebebasanku yang berharga sebelum masuk ke jurang yang lain.
Tamu yang hadir juga tidak ada satupun yang kukenal. Semua tamu itu pilihan keluarga Ravimore dan tamu Ibu. Satu-satunya orang yang terus berada di sisiku adalah Ralla.
Dari rumor yang kudengar, calon suamiku itu adalah pria gila kerja yang sangat sibuk. Mungkin dia satu-satunya orang yang berharap bahwa harusnya ada lebih dari 24 jam sehari.
Kisah pernikahannya dengan istri-istrinya terdahulu juga tertutup rapat. Yang dapat kutemukan di kolom berita hanyalah fakta bahwa istri pertama, kedua, dan keempatnya bercerai.
Sementara istri ketiganya meninggal, entah karena apa. Beberapa orang mengatakan itu bunuh diri, tapi ada juga yang berasumsi jika itu adalah pembunuhan terselubung. Aku, adalah istri kelima pria itu.
Alasan-alasan perceraian mereka tak pernah dijelaskan oleh siapapun, tapi orang-orang meyakini ini semua pasti karena kekejamannya.
Ini membuatku sedikit sulit.
Padahal aku membutuhkan banyak informasi untuk menjadi istri yang seperti apa agar bisa terlepas dari kekejamannya.
“Kalau Nona mau kabur, atau membutuhkan orang untuk mencari racun, Nona bisa mengandalkan sa—hhmp.”
“Ssst! Berhenti bicara yang aneh-aneh, Ralla!” desisku sembari menutup mulutnya dengan tanganku. “Atau kepala kita benar-benar akan melayang nanti!”
Kalau ia bicara seperti itu di depan orang-orang Ravimore, yang ada kami akan berakhir di kuburan, bukan di pelaminan!
“Tapi Nona … Nona harus bertahan. Nona harus hidup dengan baik… huhuhuhuhu.”
Kupikir aku tidak akan menangis di hari pernikahanku, tapi ternyata saat mendengar isakan Ralla, hatiku ikut terpilin sedih.
Dan sejujurnya, aku juga merasa takut. Meski kau tau bahwa api yang panas itu menyeramkan karena bisa merasakannya, tapi lautan yang dalam juga sangat menyeramkan, karena kau tidak mengetahui apapun tentangnya.
“Andai aja orang tua Nona masih ada, mungkin hal ini nggak akan pernah terjadi…”
Aku terdiam, tidak mampu mengikuti kata-katanya lagi. Karena aku sudah lelah membuat perandaian yang sama.
Karenanya, aku tidak menanggapi, dan bersiap untuk bertemu dengan calon suamiku di depan altar.
***
Di altar, akhirnya aku bisa menemukan orang yang akan menjadi suamiku. Ia membelakangi semua tamu.
Bahkan meski MC sudah mengumumkan kedatangan pengantin wanita, dia tidak berbalik sama sekali.
Jadi aku hanya bisa menatap tubuh tinggi dan punggung bidangnya dari belakang.
Saat sampai di sampingnya, tubuhku terlalu gugup. Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk bernapas saja rasanya sudah berat.
Apakah aku akan baik-baik saja? Mungkin Ralla benar, pernikahan ini harusnya tidak pernah terjadi.
Acara pernikahan itu berjalan seperti siput. Rasanya lama sekali. Padahal aku sudah hampir pingsan karena tegang.
“Sekarang silakan memakaikan cinc—”
Belum selesai pria di hadapan kami berbicara, pria di sampingku sudah menyambar cincin yang disediakan di atas baki beralaskan kain sutera di depan kami.
Namun, anehnya, ia bukan mengambil cincin untuk mempelai wanita.
Apa dia salah mengambil cincin?
Sepasang mataku membelalak saat melihat ia memasangkan cincinnya ke jari manisnya sendiri. Mulutku sedikit terbuka, lupa bahwa aku sedang dilihat banyak orang.
Astaga, gila! Yang benar saja! Dia pasti bercanda kan?!
Ralla benar. Aku pasti sudah gila karena menerima pernikahan ini. Pria ini, adalah monster tidak berperasaan! Apa dia enggan menyentuhku meski untuk sekadar memasangkan cincin!?
Untuk beberapa saat aku hanya bisa melongo tak percaya, sampai penghulu di hadapan kami berdeham berkali-kali untuk mengembalikan kesadaranku ke dunia nyata yang menyeramkan.
Akhirnya, mau tidak mau, aku memakaikan cincin ke jari manisku sendiri seperti orang bodoh. Di otakku, aku bisa membayangkan Kak Jasmine mencemooh di belakang punggungku yang sangat puas melihat adegan itu.
“Silakan kedua pengantin menci–”
Tiba-tiba pria yang baru saja menikahiku itu melenggang pergi sambil membuka jasnya.
“Siapkan mobil. Kita harus rapat setelah ini.” Pria itu berucap pada salah satu dari sekian banyak orang yang juga langsung mengikutinya.
Sementara aku, kembali mematung melihat tingkah pria itu.
Bisa-bisanya dia meninggalkan acara dan seluruh tamunya saat semuanya belum selesai!
Meninggalkan aku, pengantinnya, yang masih berada di atas altar sendirian!
Gila. Pernikahan macam apa yang akan kujalani ini?
***
Laki-laki itu benar-benar br*ngsek! Aku yakin, kalau ada kejuaraan pria paling br*ngsek di dunia, ia pasti mendapat juara utama! Bisa-bisanya ia pergi setelah memasang cincin pada jari manisnya sendiri, meninggalkanku di hadapan para tamu yang siap memangsa! Setelah kejadian yang mengejutkan di pelaminan tadi, di tengah kekacauan yang ditinggalkan pria itu, semuanya terasa sangat ramai. Bisikkan-bisikkan sinis mulai terdengar. Tawa-tawa mencemooh, tatapan-tatapan menjatuhkan, dengusan-dengusan menjijikan, semuanya membaur menjadi satu bersama udara di dalam ballroom. Kalau gadis normal, pasti akan menangis dan meminta pembatalan pernikahan saat itu juga. Tapi tentu saja aku berbeda. Apa peduliku dengan apa yang pria itu lakukan? Justru, dengan santai aku tersenyum di depan fotografer, mengikuti arahan pose darinya. Hari ini aku sangat cantik dengan gaun pengantinku yang luar biasa menakjubkan. Untuk apa aku memikirkan ia yang pergi. Aku justru harus mengabadikan keindahan yang m
“Kak Marian, aku punya ide. Apa sebaiknya kita tukar saja pengantin untuk Kak Killian? Kak Killian juga pasti berharap mempunyai pengantin secantik anak itu.” Di belakang telingaku, Kak Jasmine terkekeh sinis. “Apa kubilang, kamu memang sampah, Minna. Kamu sama sekali nggak cocok dengan pakaian semewah ini.” Aku bersidekap, lalu balas menatap matanya. “Terus apa masalahnya? Kalau aku nggak cocok, memangnya Kakak cocok?” “Apa? Dasar sampah!” Wajah Kak Jasmine memerah marah. Aku yakin, jika bukan karena dehaman Windi, Kak Jasmine pasti langsung melayangkan tamparan kepadaku. “Lilly, Minna, Jasmine, cepat masuk!” desak Ibu, menghentikan perseteruanku dengan Kak Jasmine. “Awas saja kamu!” desis Kak Jasmine penuh dendam saat aku melenggang anggun ke ruang makan. Sebenarnya, bukan sikap Kak Jasmine yang kukhawatirkan. Namun, ekspresi aneh Lilly yang membuatku sangat tidak nyaman. *** Sudah seminggu aku tinggal di mansion itu, tapi aku masih belum bisa melupakan sikap aneh Lilly.
Sinting! Orang gila mana yang seenaknya memecat orang seperti itu?! Dasar pria tidak berperasaan! Itu kan bukan salah mereka! Sialan! Gara-gara masalah ini, aku terpaksa menemui pria itu secara langsung. Aku kan tidak mungkin diam saja ketika ada orang yang dipecat karena kelakuanku! Tapi… ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Sudah hampir 20 menit aku berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Jangankan untuk menemuinya, mengetuk pintunya saja aku tidak bernyali. Apa sebaiknya aku biakan saja mereka dipecat? Gila! Itu tidak mungkin! “Nona Minna?” “Pak Sekretaris!” pekikku kaget. Ia muncul seperti hantu. Bahkan langkah kakinya saja tidak terdengar. Wajah tampan pria muda itu tersenyum ramah. “Nona mau menemui Pak Killian?” tanyanya sambil memiringkan kepala. Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin menemui pria itu. Namun, kalau aku tidak bergerak, seluruh tukang kebun dan Windi mungkin akan benar-benar dipecat. “Nona?” Aku melirik ngeri pria yang berdiri di belakang sekretar
Killian Ravimore Aku tidak peduli siapa gadis yang mereka bawa kali ini. Semuanya sama. Tidak berguna. Palsu. Menjijikan. Namun, biarlah mereka malkukan apa yang mereka mau. Asal itu bisa mengunci moncong mereka, seperti biasa. Namun, ada yang aneh dengan gadis itu. Ia tidak pernah muncul di hadapanku. Seperti ayam kecil yang khawatir dimangsa, kaki pendeknya akan berlari saat mendengar langkahku. Pintu kamarnya akan tertutup rapat saat mobilku melewati gerbang. Ia akan menghentikan kunyahannya ketika aku membuka pintu ruang makan, gadis bodoh itu bahkan sampai berpura-pura pingsan di hadapanku. Dan kemarin, seperti ayam yang ketakutan, ia jatuh di kantorku. Ia aneh dan sangat bodoh. Padahal gadis-gadis idiot sebelumnya akan menempel seperti lintah. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Meski itu artinya melemparkan diri mereka sebagai umpan anj*ng. Namun gadis itu mati-matian menghindariku seperti penyakit. “Pak Killian, ini informasi
“Bagaimana pienya, Nona?”Aku memasukkan sesendok penuh pie apel ke dalam mulut. Rasa renyah menyatu dengan selai apel yang lembut. Rasa asam dan manisnya membaur sempurna di mulutku.Menakjubkan!“Ini super lezat, Gerad!” pujiku sungguh-sungguh. Aku tidak melebih-lebihkan. Ini memang pie terlezat yang pernah kucicipi.Wajah tua pria itu bersinar cerah seperti lampu taman di malam hari.Ia terlihat sangat terharu atas pujian yang kuberikan. Padahal, itu sama sekali tidak perlu. Seluruh makanan yang dibuat Gerad selalu memiliki rasa yang menakjubkan!“Ini juga lezat!”Aku menggigit cookie almond yang masih terasa hangat. Rasa cokelatnya yang sedikit pahit, manis dari susu, dan almond yang gurih menari bersama di mulutku.“Astaga, Gerad, ini makanan-makanan surga!” pujiku sungguh-sungguh.Sejujurnya, saat pertama kali melihat Gerad, aku hampir saja pingsan ketak
"ASTAGA, HUGO! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”Helga datang berlari di belakang tubuh Dokter Fabian.Lalu pintu ruangan itu ditutup, dikunci rapat. Seluruh tirai diturunkan, saat pistol Hugo masih menempel di kepalaku.Kalau aku mati hari ini, mustahil aroma darahnya akan tercium keluar.“HUGO! APA KAMU SUDAH GILA?!” Helga berlari ke arahku, setelah memastikan Dokter Fabian menangani pria itu.Namun, Hugo tetap tak bergeming.“Saya hanya melakukan tugas saya, Helga.”“Tapi dia Nona Minna!”“Aturan ini berlaku untuk semua orang.”Kepalaku dipenuhi suara-suara bising yang aneh.Meski ujung pistol itu masih berada di belakang kepalaku, tapi aku sama sekali tidak merasa takut.Meski hanya dalam sebuah gerakan singkat, Hugo bisa melubangi kepalaku, tapi bukan itu yang membuat jiwaku terhenyak.Pemandangan bagaimana Dokter Fabian melakukan seluruh upayanya unt
Menurut Helga, ini adalah sebuah kutukan. Hanya ada dua pilihan untuk orang-orang yang mengetahui rahasia pria itu. Mati di tangan orang-orangnya, atau terpenjara di dalam mansion, selamanya. Dan aku memilih yang kedua. Tentu saja, aku harus membayar konsekuensi atas pilihan yang kuambil. Seorang pria bernama Arlo ditempatkan sebagai pengawalku sekarang. Mereka beralasan itu untuk menjagaku. Padahal aku tau, keberadaannya adalah untuk mengawasiku setiap detik. Mereka juga berusaha membatasi komunikasiku. Meski itu hal yang sia-sia. Karena aku bahkan tidak memiliki ponsel sama sekali. Satu-satunya kemewahan listrik yang bisa kunikmati di rumah hanyalah lampu bohlam samar. Mana mungkin Ibu dan Kak Jasmine membiarkanku memiliki benda mewah seperti ponsel. Jadi, ketika Helga membawakan sebuah ponsel keluaran terbaru, aku tidak yakin apakah harus merasa senang atau tidak. Aku tidak memiliki siapa pun untuk saling bertukar pe
“Tidak, Nona, saya tidak mau.” Aku tidak menyangka, satu jawaban dari Ralla bisa mematahkan hatiku dengan begitu parah. Kedua mataku mulai kabur oleh air mata. “Ke… kenapa?” tanyaku, terbata oleh sesak yang hampir mengoyak seluruh pertahananku. Senyum lemah terukir di wajah letih Ralla. “Saya baik-baik saja di rumah Ibu Nona. Nona tidak perlu membawa saya.” “Baik-baik saja?” tanyaku perih. Lalu apa artinya semua luka di tubuhnya? “Ya, Nona, saya baik-baik saja. Jadi tolong jangan pernah mengatakan akan membawa saya keluar dari rumah Ibu Nona,” ujar Ralla seraya memalingkan wajah. Menyadari pembicaraanku dengan Ralla yang tampak tidak begitu baik, Windi berjalan mendekat. “Nona bahkan sudah memiliki teman yang baru.” Ralla tersenyum lembut saat melihat Windi berdiri di sampingku. “Saya Windi, pelayan Nona Minna di mansion Ravimore, dan ini adalah Arlo, pengawal pribadi Nona Minna.” Senyum Ralla terukir semakin dalam. “Syukurlah….” Bisikkannya terdengar begitu tulus. “Saya ben