“Ya. Tentu saja.”
Ralla tampak terkejut dengan jawabanku. Ia masih terdiam, bahkan saat aku melanjutkan langkahku ke kamar.
Benar. Pernikahan ini harus terjadi. Meski aku harus mengikhlaskan keluarga tiriku mendapatkan sejumlah uang dari pernikahan ini.
Akan tetapi, aku tetap tidak menyangka betapa ajaibnya uang bisa mengubah serigala kejam menjadi domba baik hati.
Saat ini kami sedang berada di toko gaun pengantin. Sekarang, di hadapan orang yang dikirimkan oleh keluarga Ravimore, mereka kembali berubah menjadi malaikat baik hati yang digambarkan sangat menyayangiku, bukan keluarga tiri yang menjadikanku pembantu di rumahku sendiri.
“Bagaimana kalau gaun ini?” tanya Ibu kepadaku dengan senyuman yang luar biasa ramah. “Modelnya sangat indah, cocok dengan kulit halus kamu, Minna.”
Rasanya, seperti mengenang kembali saat keluarga ibu tiriku datang pertama kali ke kediaman kami. Ia terlihat sangat baik. Bahkan Kak Jasmine, yang hanya lebih tua satu tahun dariku, berperan menjadi seorang kakak yang penuh perhatian.
Aku, yang baru saja menghadapi kematian ibuku, sangat terhibur dengan perhatian Ibu dan saudari-saudari tiriku. Mereka memelukku dengan penuh kasih, seakan aku adalah bagian dari mereka semua.
Aku bahkan pernah berpikir jika mereka adalah malaikat yang datang untuk melindungiku. Siapa sangka, setelah berhasil menikahi Ayah, sikap mereka mulai berubah perlahan-lahan.
Dan saat Ayah meninggal, mereka berubah sepenuhnya.
“Lihat. Cantik, bukan?” Ibu kembali berkata sembari mematut diriku di depan cermin.
Kutatap gaun yang Ibu pilih dari pantulan di cermin. Itu gaun dengan model yang sangat kuno. Mungkin model seperti itu pernah terkenal, tapi entah di beberapa puluh tahun yang lalu.
“Bagaimana kalau yang ini?” Kak Jasmine muncul dengan sebuah gaun yang sangat norak. “Ini cocok banget loh sama kepribadianmu, adikku.”
Jelas ia berniat mempermalukanku.
Aku pun bisa melihat seringaian sinisnya meski samar.
“Oh, atau yang ini!” Kak Jasmine kembali menunjukkan gaun jelek lain dengan semangat menggebu.
Satu-satunya yang tampak tak antusias di ruangan itu hanyalah Lilly. Sejak tadi, ia hanya duduk di sofa butik tanpa mengatakan apa pun. Setiap tatapan mata kami bertemu, Lilly pasti langsung memalingkan wajahnya.
Apakah ia benar-benar bersedih atas pernikahanku?
“Atau mungkin yang ini lebih cocok!” Lagi-lagi Kak Jasmine muncul dengan gaun jelek dengan warna yang lebih usang dari pada gaun yang dipilihkan Ibu. Sepertinya ia memiliki kemampuan untuk menemukan hal-hal jelek di tempat tersembunyi.
“Maaf, Nona Jasmine, tapi gaun-gaun di bagian sana sudah tidak layak digunakan,” ujar pemilik butik gaun pengantin itu dengan wajah kikuk.
“Ah, sayang sekali, padahal adik saya sangat menyukai gaun ini.”
Si sinting!
Aku berjalan mengitari butik dengan santai, berpura-pura tidak menyadari tatapan tajam Kak Jasmine. Sebentar lagi kepalaku pasti bisa berlubang kalau dia terus menatapku seperti itu.
Lalu tatapan mataku tertuju pada sebuah gaun yang sangat indah di tengah butik.
Gaun itu berwarna putih, dengan taburan permata cantik seperti bintang yang berkilauan. Meski bagian atasnya sedikit terbuka, tapi gaun ini adalah gaun terindah yang pernah kulihat.
“Ga-gaun ini–”
“Pilihan bagus, Nona Minna Rossa! Gaun ini adalah karya terbaik di butik kami. Gaun ini dibuat langsung oleh Zaruad Hazar, desainer kebanggaan kami.” Senyuman pemilik butik itu mengembang lebar sambil menjelaskan gaun di hadapanku. “Kalau Nona memilih gaun ini, Nona akan menjadi orang pertama yang mengenakannya di Indonesia.”
“Apa!?” Kak Jasmine berteriak, tampak tidak suka. “Ga… gaun itu terlalu berlebihan buatmu, Minna!”
Ia menggantungkan gaun jelek pilihannya tadi di sembarang tempat, lalu menghampiriku dengan langkah kasar. Tangannya langsung mencengkeram lenganku.
“Jangan macam-macam, bodoh! Kamu pikir kamu pantas pakai gaun semewah ini?!” desisnya di telingaku sambil terus memperhatikan kepala pelayan keluarga Ravimore. Ia pasti takut drama ‘keluarga bahagia’ kami terbongkar.
“Iya, Minna, gaun ini sepertinya terlalu mewah. Ini pasti sangat mahal.” Ibu menatap prihatin gaun itu. “Kita nggak boleh bersikap boros, ingat?” tanyanya, melembut.
Hah! Coba siapa yang bicara itu?!
Kutarik kembali tanganku yang sempat terulur pada gaun itu. Meski aku sangat menyukainya, tapi aku tidak ingin mengambil risiko pernikahan ini dibatalkan hanya karena aku salah memilih gaun.
Bagaimanapun caranya aku harus tetap menikah dan keluar dari rumah itu!
“Kalau Nona Minna menyukai gaun ini, Nona bisa mencobanya.” Wanita yang mengenalkan dirinya sebagai kepala pelayan keluarga Ravimore itu akhirnya berbicara.
“Ah, Bu Helga, ini … terlalu berlebihan untuk keluarga kami. Kami akan memilih gaun yang lain,” ujar Ibu merendah. Lalu pada penjaga toko, ia buru-buru berkata, “Tolong tunjukkan gaun yang lebih sederhana dan harganya terjangkau.”
Sekilas, aku bisa melihat ketidaksukaan pemilik butik itu atas permintaan Ibu, meski ia tidak berkomentar apa pun.
Justru, kepala pelayan keluarga Ravimore lah yang menyanggah permintaan Ibu.
“Tidak perlu, Bu Amy,” ucap Bu Helga. “Kalau Nona Minna menyukai gaun ini, Nona Minna bisa memilikinya.”
“Tapi gaun ini terlalu mahal!” teriak Kak Jasmine kesal. “Ini juga buatan desainer terkenal!”
Ya, ya. Mana mungkin ia sudi melihatku menggunakan gaun semewah itu.
“Mohon maaf, Nona Jasmine.” Bu Helga tetap bersikap hormat meskipun Kak Jasmine berteriak-teriak. “Tapi sungguh gaun seperti ini sama sekali tidak mahal bagi keluarga Ravimore.”
Kata-kata itu langsung membuat wajah Kak Jasmine merah padam.
“Lagi pula Pak Killian sudah berpesan, bahwa saya harus memenuhi seluruh keinginan Nona Minna, tanpa batasan apa pun.” Bu Helga menekankan seluruh perkataannya dengan sungguh-sunggu.
Rasanya jiwaku hampir saja melayang bersama udara. Betapa indahnya kekuatan uang.
“Ehm!” Ibu berdeham pelan, yang membuat lamunanku hancur seketika. “Maaf, Bu Helga, kami sama sekali tidak berniat menyinggung keluarga Ravimore. Tapi mungkin Minna kami juga memiliki pendapat yang lain. Selama ini saya selalu mengajari anak-anak saya untuk tidak bersikap boros. Gaun ini memang sangat luar biasa. Minna pasti merasa terpesona dengan keindahan gaun ini. Namun saya yakin, Minna juga bisa bijak dalam memilih.”
Wah! Kalau Ibu debut menjadi artis, dia pasti akan langsung mendapatkan penghargaan sejak episode pertama penayangan!
“Jadi, Nona Minna.” Pemilik butik menghela napas panjang, mencoba menengahi perdebatan itu. “Nona Minna mau memilih gaun yang ini, atau mau mencari gaun yang lain?”
Pemilik butik itu tersenyum profesional, meski mungkin sedikit kesal karena gagal menjual barang termahal di butiknya hari ini.
Aku bisa merasakan semua mata menatapku.
Lilly dengan tatapan khawatirnya, Kak Jasmine dengan tatapan penuh kemarahan dan iri dengki yang bisa melubangi kepalaku, Ibu dengan tatapan yang tak bisa kugambarkan lagi, serta Bu Helga, dengan tatapan ramah, memberikan kesempatan kepadaku untuk memutuskan.
Aku tersenyum sesamar mungkin, dengan seksama memainkan peranku sebagai Cinderella yang tertindas dan tidak berdaya di antara mereka.
“Iya. Ibu sudah mengajari kami untuk hidup sederhana dan tidak boros,” kataku pelan dengan tatapan sedih. Aku bahkan berusaha mati-matian untuk mengeluarkan air mata, mencoba menangis.
Senyum Ibu mengembang lebar. “Nah, ini baru putri kesayanganku,” ucapnya bangga, tidak peduli dengan ekspresi yang aku tampilkan.
Tapi aku belum selesai.
“Gaun ini sangat cantik dan elegan.” Aku menyentuh gaun itu dengan ujung jemariku. Rasanya bahkan lebih lembut dari pada yang kubayangkan. “Gaun ini pasti sangat berharga. Saya tahu, orang seperti saya … mana mungkin pantas memakai gaun seindah ini .…”
Kak Jasmine tersenyum sinis sambil melipat tangan di dada. Ia tampak cukup puas dengan pengakuanku.
“Nona Minna…” Pemilik butik itu menatapku iba.
“Tapi karena pernikahan ini hanya akan terjadi sekali seumur hidup, boleh kan ada sedikit pengecualian? Mungkin … ini satu-satunya kesempatan saya menggunakan gaun secantik ini.” Aku menatap Bu Helga dengan mata yang basah. “Bu Helga, apa boleh saya menyewa gaun ini?”
Senyum pemilik butik mengembang selebar Samudra.
“Minna! Apa-apaan itu?” desis Ibu marah. “Kamu–”
“Menyewa?” Bu Helga memotong omelan Ibu. Raut wajah Bu Helga tampak tidak nyaman.
Oh, tidak. Apakah ia tidak suka?
Jantungku berdetak kencang karena khawatir.
Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku seharusnya tidak memilih gaun mahal ini? Apa ini semacam tes keserakahan atau apalah itu?
Gawat! Bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan?!
***
Gawat! Bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan?! Bu Helga menghela napas dan berkata, “Membeli, bukan menyewa, Nona Minna. Gaun ini tidak boleh digunakan orang lain setelah Nona.” Kedua mataku terbelalak lebar. “Su--sungguh?” tanyaku tak percaya. Senyum Bu Helga sedikit terukir. “Ya, Nona, Nona bisa memilikinya kalau Nona suka.” Air mataku benar-benar merebak tanpa diminta. Aku menatap wanita itu dengan pandangan tak percaya. “Ya! Ya! Saya suka!” “MINNA!” teriak Ibu dan Kak Jasmine penuh amarah. Sepertinya mereka lupa tentang drama ‘keluarga bahagia’ kami. Namun, aku tidak peduli. Satu poin untuk kemenanganku! Aku yakin sekali saat ini Kak Jasmine sedang mati-matian menahan diri untuk tidak merebut gaun dan sepatu cantikku. Ia hanya bisa gigit jari, bahkan setelah kepala pelayan mengantarkan kami kembali ke rumah. Sejak dulu, Kak Jasmine memang selalu ingin merebut apa pun yang kumiliki. Dulu, saat aku masih menganggapnya sebagai kakak yang baik, aku membiarkan Kak
Laki-laki itu benar-benar br*ngsek! Aku yakin, kalau ada kejuaraan pria paling br*ngsek di dunia, ia pasti mendapat juara utama! Bisa-bisanya ia pergi setelah memasang cincin pada jari manisnya sendiri, meninggalkanku di hadapan para tamu yang siap memangsa! Setelah kejadian yang mengejutkan di pelaminan tadi, di tengah kekacauan yang ditinggalkan pria itu, semuanya terasa sangat ramai. Bisikkan-bisikkan sinis mulai terdengar. Tawa-tawa mencemooh, tatapan-tatapan menjatuhkan, dengusan-dengusan menjijikan, semuanya membaur menjadi satu bersama udara di dalam ballroom. Kalau gadis normal, pasti akan menangis dan meminta pembatalan pernikahan saat itu juga. Tapi tentu saja aku berbeda. Apa peduliku dengan apa yang pria itu lakukan? Justru, dengan santai aku tersenyum di depan fotografer, mengikuti arahan pose darinya. Hari ini aku sangat cantik dengan gaun pengantinku yang luar biasa menakjubkan. Untuk apa aku memikirkan ia yang pergi. Aku justru harus mengabadikan keindahan yang m
“Kak Marian, aku punya ide. Apa sebaiknya kita tukar saja pengantin untuk Kak Killian? Kak Killian juga pasti berharap mempunyai pengantin secantik anak itu.” Di belakang telingaku, Kak Jasmine terkekeh sinis. “Apa kubilang, kamu memang sampah, Minna. Kamu sama sekali nggak cocok dengan pakaian semewah ini.” Aku bersidekap, lalu balas menatap matanya. “Terus apa masalahnya? Kalau aku nggak cocok, memangnya Kakak cocok?” “Apa? Dasar sampah!” Wajah Kak Jasmine memerah marah. Aku yakin, jika bukan karena dehaman Windi, Kak Jasmine pasti langsung melayangkan tamparan kepadaku. “Lilly, Minna, Jasmine, cepat masuk!” desak Ibu, menghentikan perseteruanku dengan Kak Jasmine. “Awas saja kamu!” desis Kak Jasmine penuh dendam saat aku melenggang anggun ke ruang makan. Sebenarnya, bukan sikap Kak Jasmine yang kukhawatirkan. Namun, ekspresi aneh Lilly yang membuatku sangat tidak nyaman. *** Sudah seminggu aku tinggal di mansion itu, tapi aku masih belum bisa melupakan sikap aneh Lilly.
Sinting! Orang gila mana yang seenaknya memecat orang seperti itu?! Dasar pria tidak berperasaan! Itu kan bukan salah mereka! Sialan! Gara-gara masalah ini, aku terpaksa menemui pria itu secara langsung. Aku kan tidak mungkin diam saja ketika ada orang yang dipecat karena kelakuanku! Tapi… ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Sudah hampir 20 menit aku berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Jangankan untuk menemuinya, mengetuk pintunya saja aku tidak bernyali. Apa sebaiknya aku biakan saja mereka dipecat? Gila! Itu tidak mungkin! “Nona Minna?” “Pak Sekretaris!” pekikku kaget. Ia muncul seperti hantu. Bahkan langkah kakinya saja tidak terdengar. Wajah tampan pria muda itu tersenyum ramah. “Nona mau menemui Pak Killian?” tanyanya sambil memiringkan kepala. Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin menemui pria itu. Namun, kalau aku tidak bergerak, seluruh tukang kebun dan Windi mungkin akan benar-benar dipecat. “Nona?” Aku melirik ngeri pria yang berdiri di belakang sekretar
Killian Ravimore Aku tidak peduli siapa gadis yang mereka bawa kali ini. Semuanya sama. Tidak berguna. Palsu. Menjijikan. Namun, biarlah mereka malkukan apa yang mereka mau. Asal itu bisa mengunci moncong mereka, seperti biasa. Namun, ada yang aneh dengan gadis itu. Ia tidak pernah muncul di hadapanku. Seperti ayam kecil yang khawatir dimangsa, kaki pendeknya akan berlari saat mendengar langkahku. Pintu kamarnya akan tertutup rapat saat mobilku melewati gerbang. Ia akan menghentikan kunyahannya ketika aku membuka pintu ruang makan, gadis bodoh itu bahkan sampai berpura-pura pingsan di hadapanku. Dan kemarin, seperti ayam yang ketakutan, ia jatuh di kantorku. Ia aneh dan sangat bodoh. Padahal gadis-gadis idiot sebelumnya akan menempel seperti lintah. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Meski itu artinya melemparkan diri mereka sebagai umpan anj*ng. Namun gadis itu mati-matian menghindariku seperti penyakit. “Pak Killian, ini informasi
“Bagaimana pienya, Nona?”Aku memasukkan sesendok penuh pie apel ke dalam mulut. Rasa renyah menyatu dengan selai apel yang lembut. Rasa asam dan manisnya membaur sempurna di mulutku.Menakjubkan!“Ini super lezat, Gerad!” pujiku sungguh-sungguh. Aku tidak melebih-lebihkan. Ini memang pie terlezat yang pernah kucicipi.Wajah tua pria itu bersinar cerah seperti lampu taman di malam hari.Ia terlihat sangat terharu atas pujian yang kuberikan. Padahal, itu sama sekali tidak perlu. Seluruh makanan yang dibuat Gerad selalu memiliki rasa yang menakjubkan!“Ini juga lezat!”Aku menggigit cookie almond yang masih terasa hangat. Rasa cokelatnya yang sedikit pahit, manis dari susu, dan almond yang gurih menari bersama di mulutku.“Astaga, Gerad, ini makanan-makanan surga!” pujiku sungguh-sungguh.Sejujurnya, saat pertama kali melihat Gerad, aku hampir saja pingsan ketak
"ASTAGA, HUGO! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”Helga datang berlari di belakang tubuh Dokter Fabian.Lalu pintu ruangan itu ditutup, dikunci rapat. Seluruh tirai diturunkan, saat pistol Hugo masih menempel di kepalaku.Kalau aku mati hari ini, mustahil aroma darahnya akan tercium keluar.“HUGO! APA KAMU SUDAH GILA?!” Helga berlari ke arahku, setelah memastikan Dokter Fabian menangani pria itu.Namun, Hugo tetap tak bergeming.“Saya hanya melakukan tugas saya, Helga.”“Tapi dia Nona Minna!”“Aturan ini berlaku untuk semua orang.”Kepalaku dipenuhi suara-suara bising yang aneh.Meski ujung pistol itu masih berada di belakang kepalaku, tapi aku sama sekali tidak merasa takut.Meski hanya dalam sebuah gerakan singkat, Hugo bisa melubangi kepalaku, tapi bukan itu yang membuat jiwaku terhenyak.Pemandangan bagaimana Dokter Fabian melakukan seluruh upayanya unt
Menurut Helga, ini adalah sebuah kutukan. Hanya ada dua pilihan untuk orang-orang yang mengetahui rahasia pria itu. Mati di tangan orang-orangnya, atau terpenjara di dalam mansion, selamanya. Dan aku memilih yang kedua. Tentu saja, aku harus membayar konsekuensi atas pilihan yang kuambil. Seorang pria bernama Arlo ditempatkan sebagai pengawalku sekarang. Mereka beralasan itu untuk menjagaku. Padahal aku tau, keberadaannya adalah untuk mengawasiku setiap detik. Mereka juga berusaha membatasi komunikasiku. Meski itu hal yang sia-sia. Karena aku bahkan tidak memiliki ponsel sama sekali. Satu-satunya kemewahan listrik yang bisa kunikmati di rumah hanyalah lampu bohlam samar. Mana mungkin Ibu dan Kak Jasmine membiarkanku memiliki benda mewah seperti ponsel. Jadi, ketika Helga membawakan sebuah ponsel keluaran terbaru, aku tidak yakin apakah harus merasa senang atau tidak. Aku tidak memiliki siapa pun untuk saling bertukar pe