Menurut Helga, ini adalah sebuah kutukan.
Hanya ada dua pilihan untuk orang-orang yang mengetahui rahasia pria itu. Mati di tangan orang-orangnya, atau terpenjara di dalam mansion, selamanya.
Dan aku memilih yang kedua.
Tentu saja, aku harus membayar konsekuensi atas pilihan yang kuambil.
Seorang pria bernama Arlo ditempatkan sebagai pengawalku sekarang. Mereka beralasan itu untuk menjagaku. Padahal aku tau, keberadaannya adalah untuk mengawasiku setiap detik.
Mereka juga berusaha membatasi komunikasiku. Meski itu hal yang sia-sia.
Karena aku bahkan tidak memiliki ponsel sama sekali. Satu-satunya kemewahan listrik yang bisa kunikmati di rumah hanyalah lampu bohlam samar. Mana mungkin Ibu dan Kak Jasmine membiarkanku memiliki benda mewah seperti ponsel.
Jadi, ketika Helga membawakan sebuah ponsel keluaran terbaru, aku tidak yakin apakah harus merasa senang atau tidak.
Aku tidak memiliki siapa pun untuk saling bertukar pe
“Tidak, Nona, saya tidak mau.” Aku tidak menyangka, satu jawaban dari Ralla bisa mematahkan hatiku dengan begitu parah. Kedua mataku mulai kabur oleh air mata. “Ke… kenapa?” tanyaku, terbata oleh sesak yang hampir mengoyak seluruh pertahananku. Senyum lemah terukir di wajah letih Ralla. “Saya baik-baik saja di rumah Ibu Nona. Nona tidak perlu membawa saya.” “Baik-baik saja?” tanyaku perih. Lalu apa artinya semua luka di tubuhnya? “Ya, Nona, saya baik-baik saja. Jadi tolong jangan pernah mengatakan akan membawa saya keluar dari rumah Ibu Nona,” ujar Ralla seraya memalingkan wajah. Menyadari pembicaraanku dengan Ralla yang tampak tidak begitu baik, Windi berjalan mendekat. “Nona bahkan sudah memiliki teman yang baru.” Ralla tersenyum lembut saat melihat Windi berdiri di sampingku. “Saya Windi, pelayan Nona Minna di mansion Ravimore, dan ini adalah Arlo, pengawal pribadi Nona Minna.” Senyum Ralla terukir semakin dalam. “Syukurlah….” Bisikkannya terdengar begitu tulus. “Saya ben
Aku tau, emosi bagi orang-orang seperti kami adalah sebuah kemewahan yang tidak boleh kami inginkan.Perasaan bahagia, perasaan cinta, bahkan perasaan sedih, kami tidak boleh memilikinya agar tetap bisa bertahan hidup.Karena rasanya, kau akan mudah sekali terluka, saat kehilangan sesuatu yang kau cintai.Padahal mungkin… itu satu-satunya harapan terakhir yang kau miliki.“Nona Minna, hujannya semakin deras.”Windi berbicara sambil terus memayungiku. Ia menatap cemas dan sedih, tapi tubuhku kaku di hadapan tubuh Ralla yang tertutup tumpukan tanah.Mungkin Ralla yang tewas dan dimakamkan di tempat itu, tapi rasanya, jiwaku ikut terkubur bersamanya. Setelah menemukan tubuh kurus Ralla yang tergantung di dalam kamar loteng, aku menangis keras seperti orang gila.Helga memelukku, saat Arlo berusaha menurunkan tubuh Ralla yang dingin. Mereka memanggil bantuan, mengupayakan apa pun untuk mengembalikan Ralla.Ambulans dan polisi datang tidak lama setelah itu.Namun tidak peduli sekeras apa
“Pak Killian saya mohon ampuni saya. Satu kali lagi, tolong beri saya satu kesempatan satu kali lagi saja! Saya akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan saya. Tapi tolong jangan hancurkan bisnis sa—hmp!”Suara pria itu menghilang di dalam kubik air yang tertampung.Saat Hugo mengangkat kepalanya lagi, ia tergagap mencari udara.“Uhuk! Uhuk!”Ia memuntahkan air penuh kotoran dari mulutnya.“Pak Killian… tolong ampuni… uhuk… saya…”Tubuh telanjangnya bersujud di lantai.“Tolong kasihani keluarga saya. Anak saya masih kecil. Dia membutuhkan saya.”Lihat si bangs*t ini. Ia membicarakan keluarganya setelah menggilir gadis-gadis panggilan yang menjijikan.Salah satu dari gadis-gadis itu bahkan masih terkapar tak berdaya di ranjang hotel dengan mulut berbusa.“Pasti akan menyenangkan melihat koran esok hari.”Aku menginjak kepalanya yang berbau seperti kotoran.“Pak Killian!!!” Pria itu berteriak histeris. “Tolong ampuni saya! Saya akan menebus segalanya. Tapi tolong jangan hancurkan b
Dingin.Seluruh tubuhku terbungkus nyeri, tapi aku tidak bisa membuka mulut untuk menyuarakannya.“Kondisi Nona Minna sudah stabil.”“Tapi mengapa Nona Minna belum juga siuman, Dokter?”Aku sudah sadar. Hanya saja, kedua mataku terasa sangat berat.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Sudah berapa lama aku tertidur? Mengapa suara Windi terdengar seputus asa itu?Kucoba mengingat kejadian yang terjadi. Namun yang tertinggal hanyalah potongan-potongan gambar samar.Malam yang dingin. Dinding-dinding mansion yang menyesakan. Jalan setapak yang dipenuhi potongan ranting runcing, dan danau tersembunyi yang indah.Pelarian kecilku membawa ke sebuah tempat tersembunyi, yang memanggilku dengan kemilau rembulan di atas permukaannya.Pekat air danau membungkus tubuhku. Semakin dalam aku melangkah, hatiku menjadi tumpul. Rasa sesak itu perlahan berayun pergi bersama embusan angin.Aku tidak ingin mati.Tapi aku ingin mengenyahkan semua perasaan menyakitkan itu.Keserakahan akan perasaan bebas itu
“Gadis ini ingin mati. Aku hanya berbaik hati untuk mewujudkannya.” “Apa?! Anda pasti bercanda! Nona Minna, tolong katakan itu tidak benar!” Kutatap Helga dengan pandangan sedih. Ia adalah penolong pertamaku. Orang yang menawarkan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. “Tidak apa-apa, Helga. Aku baik-baik saja,” senyumku setulus mungkin. Meski singkat, tapi apa yang kudapatkan di rumah ini adalah hal yang paling indah yang pernah kurasakan. Kebaikan mereka, perhatian mereka, penerimaan mereka, entah bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih atas semua itu. “Nona Minna…” Aku ingin menunjukkan senyuman terbaikku untuk yang terakhir kalinya. Namun, entah mengapa air mata itu tak kunjung berhenti. “Terima kasih banyak, Helga. Seumur hidupku, inilah perlakuan terbaik yang pernah kuterima. Terima kasih banyak.” Air mata Helga meleleh bagai aliran sungai. “NONA MINNA!” Andai Remy tidak menahan tubuhnya, Helga pasti akan berlari melindungiku. Dan aku sama sekali tidak me
Tangan pria itu besar dan kasar.Ia terlihat tenang, tapi saat ujung jemariku menyentuh kulitnya yang terbuka, tangan pria itu sedingin bongkahan es.Semua mata mengekori gerangan tanganku dengan tatapan penuh waspada.Joachim bahkan tampak menahan napasnya sendiri.Waktu berjalan sangat lambat.Ketegangan yang membungkus udara membuat napasku semakin berat. Jemariku mulai gemetar di atas telapak tangannya.Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Aku menghitung di dalam hati.Dan saat hitunganku mencapai detik ke 15, aku menarik kembali tanganku.“Anda… benar-benar baik-baik saja?” Joachim berjalan mendekat dengan tatapan tak percaya.Dokter Fabian ikut membungkuk, terjaga dari ketegangannya. “Biar saya periksa kondisi Anda.” Pria berkaca mata itu langsung bergerak cepat. “Pak Killian, apa yang Anda rasakan saat ini?”Selama beberapa detik pria itu terdiam sambil menatap tangannya, lalu ia kembali menatapku.“Aku baik-baik saja.”“Semuanya normal.” Dokter Fabian bergumam pelan.Ketidak per
“Tolong pergi dari rumah ini, Nona.”Suara Helga mengalun setenang embusan angin, menyusup perlahan di antara helaian gorden yang menari.Kedua mataku menatap langit sore, sebelum menerima berkas yang Helga berikan.Ini kali kedua Helga memintaku pergi dari mansion itu.Namun kali ini, aku tidak memiliki alasan untuk memohon tetap tinggal.“Saya minta maaf, Nona. Tapi jika Nona tetap berada di sini, Pak Killian akan terus mencari Nona dan melakukan uji coba itu.”Aku tau.Itu juga membuatku takut.Bayangan bagaimana pria itu terluka hanya karena sebuah sentuhan membuatku takut setengah mati.Meski mereka begitu vokal menyuarakan bahwa sentuhanku takkan menyakitinya, tapi aku sama sekali tak bisa membiarkan ia menyentuhku lagi.Ketika tangannya terulur, aku akan menghindar. Saat ia berjalan mendekat, aku akan bergerak menjauhinya.Harus kuakui, itu adalah permainan konyol yang melelahkan.Hingga malam itu, saat kami duduk berhadapan di meja makan, aku menyerahkan formulir pendaftaran y
Haruskah aku merasa terkejut? Di antara keempat mantan istri pria itu, hanya kamar Erish Amerilliana Roshan, mantan istri ketiga pria itu yang tewas bunuh diri, yang masih tetap dibiarkan ada di dalam mansion. Bahkan tetap terawat seperti sedia kala, seakan mereka berpikir jika suatu hari nanti Erish akan kembali. Setelah mendengar kisah singkat bunga Iris di taman, aku meminta Windi mengantarku ke kamar Erish. Tentu saja itu bukan hal yang mudah. Namun akhirnya, aku berada di tempat itu sekarang. Seperti kamar-kamar lain di rumah ini, kamar Erish adalah kamar mewah bernuansa violet. Jika tidak mengetahui kabar kematian Erish, aku pasti berpikir jika kamar itu masih digunakan. Semuanya terlihat bersih, bahkan bunga yang berada di dalam vas masih begitu segar. Seseorang pasti baru menempatkannya pagi ini. “Nona Minna…” Windi memanggil cemas saat aku melangkah masuk ke dalam kamar itu. Rasanya dingin dan kosong, seakan menyimpan begitu banyak kisah yang terkunci rapat. Windi b