Halo, saya Zia. Mohon maaf, sepertinya minggu ini saya hanya bisa mengupload 2 bab karena ada keperluan di kampus. (tapi akan saya usahakan untuk menguploadnya seperti biasa). Jika tidak bisa, maka akan saya ganti 4 bab di minggu depan. Terima kasih sudah membaca. Ditunggu selalu komentar, kritik dan sarannya. Salam hangat, Zia. ^^
“Sialan. Sepertinya aku harus mendisiplinkan semua orang di rumah ini,” geram pria itu kesal. “Bagaimana mungkin mereka tidak bisa menjaga seorang anak kecil seperti ini saja?”Aku melirik dengan mata yang sembab. Apa ia harus berbicara seperti itu di depan wajahku?Namun, walau terus memaki, ia tetap duduk bersamaku di kursi taman. Membiarkanku terus menggenggam ujung lengan kemejanya tanpa berkomentar.Ia bahkan memakaikan jasnya ke bahuku dengan benar.Kedua tanganku terkepal erat. Meski kami berada sangat dekat, tapi entah mengapa kecemasan di hatiku tak kunjung terurai.Aku takut ini hanya sebuah mimpi.Dan saat terbangun, ia akan menghilang lagi.Bukankah itu sangat konyol? Bagaimana mungkin aku memiliki perasaan seperti ini kepada pria itu.“Kau juga! harusnya kau menggunakan pakaian yang lebih tebal kalau keluar rumah! Kau bisa meminta Helga menyiapkannya!” hardiknya kesal. “Sebenarnya apa yang dikerjakan pelayan kecil yang selalu ada di sampingmu itu?! Apa dia tidak bisa menj
“Nona sangat tidak sopan! Seharusnya Nona menjelaskan dengan lebih rinci!” ujar Joachim berapi-api.Aku melotot. Mana kutahu pikiran mereka akan melenceng sejauh itu hanya karena aku mengatakan kata ‘kamar’.Padahal aku hanya ingin memastikan keamanan pria itu. Aku ingat, kamarnya berisi berbagai alat kedokteran yang canggih.Tentu saja melakukan percobaan ini akan jauh lebih aman di kamar yang dipenuhi alat-alat medis, dibandingkan di ruang kerjanya.“Jangan bilang kalian ini single dari lahir?”“Ehm! Itu cukup kasar, Nona Minna.” Dokter Fabian berdeham pelan.Namun aku bisa melihat wajahnya sedikit memerah karena malu.Kutatap semua wajah di ruangan itu dengan pandangan tak percaya. Bagaimana mungkin mereka semua, orang-orang yang paling kompeten seperti ini ternyata orang yang tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun.“Saya terlalu sibuk belajar, Nona.” Dokter Fabian berdalih serius sambil memperbaiki letak kacamatanya yang tidak salah.Oke, itu sedikit masuk akal.“Sa… saya
Oke.Harus kuakui, ini memang sudah mulai berlebihan.Kecuali ketika pergi ke kamar mandi, pria itu akan terus menggenggam tanganku.Sejujurnya, ini mulai terasa menyeramkan. Ia seperti pria paruh baya yang memiliki fetish kepada tangan seorang gadis. “Ehm,” dehamku pelan. “Ini sudah malam,” kataku sambil melirik jam dinding.Rembulan juga sudah tergantung sempurna di langit gelap. Bukankah sudah waktunya semua mahluk hidup untuk memejamkan mata dan beristirahat?“Ya, aku tau.”Kalau begitu mengapa ia masih di sini? Ia bahkan membawa laptop dan lusinan pekerjaannya ke kamarku. Untung saja ia tidak membawa serta Joachim, Dokter Fabian dan dua bodyguardnya, kalau tidak mungkin kepalaku benar-benar akan meledak sekarang.Oke, biar kutambahkan penilaianku tentang pria ini.Dia benar-benar orang yang gila kerja! Setiap detik, setiap saat, ia bekerja seperti bernapas!Aku yang melihatnya saja sudah luar biasa mual. Namun bisa-bisanya pria ini tidak terlihat lelah sama sekali. Apa ia tidak
Ketika semua orang meninggalkan kamarku, seorang pelayan datang membawa dua cangkir kosong dan sebuah teko kecil berisi teh.Helga mengangguk, mengucapkan terima kasih yang tak terdengar. Ia meraih teko yang ditinggalkan pelayan itu dan menuangkan cairan bening berwarna cokelat ke dalam cangkir.“Ini teh chamomile. Teh ini baik untuk memperbaiki kualitas tidur.”Kepalaku tertunduk sambil menatap uap panas yang menguar dari dalam cangkir ke udara, tanpa sekalipun berani mengangkat wajah dan menatap sosok Helga.“Dulu.” Helga kembali berbicara sambil mengangkat cangkir tehnya. “Saya hanyalah seorang perawat ruang bersalin di salah satu rumah sakit.”Dari sela-sela bulu mata, aku melirik sosok Helga.Mata tuanya menatap malam dari balik jendela.“Itu adalah kali pertama saya melihat Pak Killian.” Senyum kecilnya mengiringi nama itu dengan penuh kasih. “Dia adalah bayi paling tampan yang pernah saya lihat.”Aku tidak bisa menyangkal.Bahkan di usianya yang ke 36 tahun, pria itu selalu ter
Hari ketiga tanpa pria itu.Aku mulai terobsesi kepada benda pipih yang diberikan Helga.Hampir 24 jam aku menyimpan benda itu sedekat mungkin. Bahkan ketika aku tidur, aku membawanya ke tempat tidur. Khawatir akan melewatkan pesan atau telepon yang masuk.Tapi lihatlah, pria itu tidak pernah menghubungiku sama sekali!Dasar, br*ngsek!Mana yang katanya akan menghubungiku saat senggang?!“Ehm, Nona Minna, tolong fokus.”Teguran Emilia, salah satu tutor dari lusinan pengajar yang dipekerjakan pria itu, menghancurkan lamunanku.Aku menegakan punggung, menguatkan tekad untuk berhenti melirik ponsel yang membisu itu.Tekad yang sama, seperti yang kurapalkan 5 menit yang lalu.Emilia kembali melanjutkan pelajarannya.Ia adalah guru sejarah yang sangat pintar. Emilia mengingat semua kejadian di masa lalu seakan ia pernah hidup di masa itu.Awalnya, itu terdengar sangat menarik. Sampai aku mulai kehilangan akal sehat saat ia memintaku menghafal lusinan tanggal dan kejadian-kejadian di masa l
“Hahaha kamu tidak lihat tadi wajahnya?”Pintu tertutup di belakang punggungnya.“Berhenti, Laura, lakukan pekerjaanmu, lalu pergi.”“Wah, itu sangat kasar, Killian.”Brengsek.“Aku berubah pikiran. Ada banyak kamar kosong kan di mansion ini? Aku mau menginap di sini.”Ia duduk di sisi ranjang, saat aku mengambil beberapa berkas yang ditinggalkan Joachim di atas meja.“Laura.”“Apa? Aku juga merindukan masakan Gerad!”Omong kosong.“Dan aku juga ingin mengenal lebih dekat gadis manis yang hampir menangis tadi.”“Kalau kamu menyentuhnya sedikit saja, aku akan membunuhmu.”“Killian!” Wanita gila itu membuka matanya lebar-lebar. “Ini sangat menarik!”Jika bukan karena kemampuannya, aku pasti sudah menyingkirkannya sejak dulu.“Aku membutuhkannya!”Tak. Bolpoin di tanganku patah begitu saja.“Ahahaha. Tentu saja untuk keperluan penelitian.” Ia tertawa kikuk. Tapi binar sialan di kedua matanya tidak memudar.Wanita ini memiliki obsesi aneh yang menjijikan.“Aku akan mengirimmu kembali ke
“Buka matamu, lihat sekali lagi. Apa kamu tidak melihat sesuatu?” Bibirku mengerucut sebal, tapi tidak berani membantah. Alih-alih menatap kedua orang yang berdiri di hadapanku, aku justru menatap ikat pinggang yang mengikat kedua tanganku. “Me… mereka sama sekali tidak mirip,” jawabku terbata. Mau dilihat dari sisi mana pun, keduanya sama sekali tidak terlihat seperti saudara! “TERIMA KASIH, NONA MINNA!” Plak! Wanita cantik bernama Laura itu langsung melayangkan sebuah pukulan kencang ke punggung pria di sampingnya. “Dasar adik sialan!” desisnya dengan mulut terkatup. Pria itu menghela napas lelah melihat pertikaian keduanya. Sejak mereka masuk ke kamarku, mereka memang terlihat seperti dua ekor kucing yang siap mencakar satu sama lain. Wanita itu mengibaskan rambut indahnya. “Saya memang terlalu indah untuk disamakan dengan bajingan jelek ini, Nona Minna.” “Apa? Jelek?!” “Apa?!” tantang wanita itu tak mau kalah. “Kamu tidak pernah bercermin, hah?! Tidak lihat betapa tidak
“Ralla Juniar tewas dibunuh, Nona Minna.”Embusan angin menyapu perlahan, membawa aroma buku yang khas, mengiringi kata-kata Dokter Laura kepadaku.“Saya tidak mengerti mengapa kasus ini dinyatakan sebagai kasus bunuh diri sebelumnya.”Aku bisa mendengarnya, tapi otakku kehilangan kemampuan untuk memproses semua informasi itu.“Nona Minna?”Genggaman tangan Windi membuat kedua mataku mengerjap perlahan, mengembalikan sedikit kesadaranku yang sempat mengelana begitu jauh.“Nona Minna baik-baik saja?” tanya Windi cemas.Aku menelan ludah susah payah. Bahkan bernapas pun rasanya begitu berat saat ini. Bagaimana bisa aku merasa baik-baik saja?“Apa ini bisa dipertanggung jawabkan?”Tanpa sadar, aku meremas ujung kertas itu.“Saya akan mempertaruhkan kehormatan saya sebagai seorang dokter. Saya juga bersedia bersaksi sebagai dokter forensik yang melakukan autopsi ini. Kita bisa mulai penyelidikan atas kematiannya, Nona.”Pikiranku kosong, aku bahkan tidak bisa merasa sakit atas kabar itu.