Killian Ravimore
Aku tidak peduli siapa gadis yang mereka bawa kali ini.
Semuanya sama. Tidak berguna. Palsu. Menjijikan.
Namun, biarlah mereka malkukan apa yang mereka mau. Asal itu bisa mengunci moncong mereka, seperti biasa.
Namun, ada yang aneh dengan gadis itu.
Ia tidak pernah muncul di hadapanku.
Seperti ayam kecil yang khawatir dimangsa, kaki pendeknya akan berlari saat mendengar langkahku.
Pintu kamarnya akan tertutup rapat saat mobilku melewati gerbang. Ia akan menghentikan kunyahannya ketika aku membuka pintu ruang makan, gadis bodoh itu bahkan sampai berpura-pura pingsan di hadapanku.
Dan kemarin, seperti ayam yang ketakutan, ia jatuh di kantorku.
Ia aneh dan sangat bodoh.
Padahal gadis-gadis idiot sebelumnya akan menempel seperti lintah. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Meski itu artinya melemparkan diri mereka sebagai umpan anj*ng.
Namun gadis itu mati-matian menghindariku seperti penyakit.
“Pak Killian, ini informasi yang Anda minta.” Joachim menyerahkan berkas yang kuminta.
Daftar riwayat gadis yang kunikahi beberapa waktu yang lalu.
Gadis itu adalah pilihan Kakek. Entah keluarga mana yang berhasil Kakek jebak hingga rela menjual putrinya kali ini.
“Pendidikan terakhirnya hanya sampai SMP. Nona Minna pernah bersekolah sampai kelas 1 SMA, tapi berhenti. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Saat ini Nona Minna tinggal bersama ibu dan dua saudari tirinya.”
“Jadi dia dijual keluarga tirinya.”
Itu keseimpulan yang mudah ditebak.
Apakah latar belakang kehidupannya yang membuat gadis itu berbeda?
Kupikir ia akan kabur setelah hari pernikahan kami, tapi ternyata tidak. Ia juga tidak terganggu atas sikap kasar Naomi. Ia tidak menangis, tidak juga mengemis perhatian. Gadis itu seakan menganggapku tidak ada di rumah ini.
Padahal dari laporan yang kudengar, ia tampak hidup nyaman di rumahku.
“Dan soal apel itu.” Joachim kembali berbicara saat aku meletakkan berkas tentang gadis itu di atas meja taman, lalu mengambil cangkir kopi. “Windi mengatakan sepertinya Nona memang sangat menghargai makanan dan hal-hal kecil yang diberikan pelayan.”
Itu diwajarkan jika selama ini ia hidup kelaparan.
“Bagimana dengan uangnya?”
“Bu Helga sudah memberikannya kepada Nona. Tapi menurut informasi dari Bu Helga, sampai detik ini Nona belum pernah menggunakan uang yang Pak Killian berikan. Bahkan Nona belum pernah keluar mansion sejak pertama kali datang ke rumah ini.”
Itu aneh.
Biasanya, hal pertama yang dilakukan lintah-lintah idiot itu adalah mengeruk habis harta yang mereka dapatkan seakan besok adalah akhir dunia. Namun mengapa gadis itu justru sibuk menikmati keik buatan kepala koki?
Apa jangan-jangan gadis itu sedang merencanakan hal yang lebih keji tanpa sepengetahuanku?
Aku menyesap kopi sambil memandang taman yang tidak pernah kudatangi.
Sejak ia datang ke rumah ini, taman adalah tempat yang ia kunjungi setiap hari.
Dari jendela kantorku di lantai tiga, aku kerap melihatnya berjalan-jalan di sekitar taman untuk memetik buah-buahan, atau hanya sekedar menikmati bunga.
Itu aneh.
Untuk apa ia menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang tidak berguna?
“Tidak ada informasi lain tentang teman Nona Minna.” Joachim melanjutkan laporannya. “Sepertinya selama ini Nona Minna tidak pernah bergaul dengan orang lain.”
Atau tidak bisa.
Ia terkunci dan kelaparan.
Tapi itu sama sekali tidak membuatku iba. Ia tetap gadis menjijikan seperti gadis lainnya.
Aku hanya mempertahankannya sebentar, sebelum membuangnya lagi ke jalanan.
“Nona, pelan-pelan!”
Dari kejauhan, aku bisa mendengar suara pelayan gadis itu yang bergerak mendekat.
Tanpa berkata, Hugo, langsung bergerak untuk mengusir mereka.
Namun tanganku terangkat. Aku ingin melihat ekspresi apa yang akan dibuat gadis itu saat kami bertemu.
“Nona Minna!”
“Cepat, Windi! Kemarin aku lihat semak blueberry di sana. Ayo kita petik!”
“Tapi pelan-pelan, Nona. Tangan Nona masih belum sembuh!”
Dasar gadis bodoh. Apa ia tidak bisa menjaga dirinya sendiri?
“Aku sudah sembuh! Ayo, Windi, cep—”
Suara nyaring gadis itu menguap seketika saat menyadari keberadaanku.
Wajahnya berubah pucat, seakan ia baru saja melihat hantu. Lalu perlahan, ia menundukkan kepala, seperti yang selalu ia lakukan di hari pernikahan kami.
“Sepertinya kamu sangat menikmati kehidupanmu di sini.”
Tubuh kurusnya semakin mengerut. “Ma… maaf, Pak Killian,” bisiknya terbata.
Seperti tikus yang terperangkap dalam jebakan.
“Sa… sa… saya… hic.”
Apa gadis itu cegukkan.
“Nona Minna!”
Tak lama, pelayan gadis itu muncul bersama Helga yang datang membawa kotak piknik.
Apa mereka mau bermain- main di rumahku sekarang?
“Astaga Pak Killian, kenapa Anda ada di sini?”
Keningku mengernyit. Apakah aku tidak boleh berkeliaran di taman rumahku sendiri?
Dengusan Helga terdengar kesal, tatapan matanya seakan mengutarakan omelan yang tidak bisa ia sampaikan dengan kata.
Itu aneh.
Apa sekarang penyihir kecil ini sudah berhasil menarik simpati orang seperti Helga?
“Ayo, Nona Minna, lebih baik kita nikmati kudapannya di dalam.”
Aku bahkan tidak tau Helga bisa berbicara seperti itu kepada seseorang.
“Nanti saya akan meminta seseorang untuk memetikkan buah blueberrynya.”
Sekali lagi, ia memberikanku tatapan tajam, sebelum menyeret gadis aneh yang sudah sepucat mayat itu dari hadapanku.
“Lho, kenapa kembali?” Gerad, kepala koki yang sudah kupekerjakan lebih dari 10 tahun di mansion, muncul dengan piring berisi makanan yang lain.
Mereka mau mengadakan pesta atau apa sebenarnya?
Helga melirik ke belakang sekilas, ke arahku yang masih menatap mereka.
Saat Gerad mengikuti arah yang ditunjukkan Helga, kami bersitatap sejenak.
Dan aku bersumpah, ini adalah kali pertama aku melihat tatapan bermusuhan dari Gerad sejak kali terakhir 10 tahun yang lalu, saat aku pertama kali bertemu dengannya di penjara.
Ia seakan siap memberikan racun pada makan malamku.
“Sepertinya mereka sedang mengadakan piknik.” Joachim berkomentar saat mereka semua menghilang dari pandanganku.
“Awasi gadis itu.”
Aku bangkit dari kursi taman.
“Kalau dia membuat masalah, segera singkirkan.”
“Ya? Apa? Tapi—”
“Tidak akan ada yang mencarinya. Habisi langsung.”
***
“Bagaimana pienya, Nona?”Aku memasukkan sesendok penuh pie apel ke dalam mulut. Rasa renyah menyatu dengan selai apel yang lembut. Rasa asam dan manisnya membaur sempurna di mulutku.Menakjubkan!“Ini super lezat, Gerad!” pujiku sungguh-sungguh. Aku tidak melebih-lebihkan. Ini memang pie terlezat yang pernah kucicipi.Wajah tua pria itu bersinar cerah seperti lampu taman di malam hari.Ia terlihat sangat terharu atas pujian yang kuberikan. Padahal, itu sama sekali tidak perlu. Seluruh makanan yang dibuat Gerad selalu memiliki rasa yang menakjubkan!“Ini juga lezat!”Aku menggigit cookie almond yang masih terasa hangat. Rasa cokelatnya yang sedikit pahit, manis dari susu, dan almond yang gurih menari bersama di mulutku.“Astaga, Gerad, ini makanan-makanan surga!” pujiku sungguh-sungguh.Sejujurnya, saat pertama kali melihat Gerad, aku hampir saja pingsan ketak
"ASTAGA, HUGO! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”Helga datang berlari di belakang tubuh Dokter Fabian.Lalu pintu ruangan itu ditutup, dikunci rapat. Seluruh tirai diturunkan, saat pistol Hugo masih menempel di kepalaku.Kalau aku mati hari ini, mustahil aroma darahnya akan tercium keluar.“HUGO! APA KAMU SUDAH GILA?!” Helga berlari ke arahku, setelah memastikan Dokter Fabian menangani pria itu.Namun, Hugo tetap tak bergeming.“Saya hanya melakukan tugas saya, Helga.”“Tapi dia Nona Minna!”“Aturan ini berlaku untuk semua orang.”Kepalaku dipenuhi suara-suara bising yang aneh.Meski ujung pistol itu masih berada di belakang kepalaku, tapi aku sama sekali tidak merasa takut.Meski hanya dalam sebuah gerakan singkat, Hugo bisa melubangi kepalaku, tapi bukan itu yang membuat jiwaku terhenyak.Pemandangan bagaimana Dokter Fabian melakukan seluruh upayanya unt
Menurut Helga, ini adalah sebuah kutukan. Hanya ada dua pilihan untuk orang-orang yang mengetahui rahasia pria itu. Mati di tangan orang-orangnya, atau terpenjara di dalam mansion, selamanya. Dan aku memilih yang kedua. Tentu saja, aku harus membayar konsekuensi atas pilihan yang kuambil. Seorang pria bernama Arlo ditempatkan sebagai pengawalku sekarang. Mereka beralasan itu untuk menjagaku. Padahal aku tau, keberadaannya adalah untuk mengawasiku setiap detik. Mereka juga berusaha membatasi komunikasiku. Meski itu hal yang sia-sia. Karena aku bahkan tidak memiliki ponsel sama sekali. Satu-satunya kemewahan listrik yang bisa kunikmati di rumah hanyalah lampu bohlam samar. Mana mungkin Ibu dan Kak Jasmine membiarkanku memiliki benda mewah seperti ponsel. Jadi, ketika Helga membawakan sebuah ponsel keluaran terbaru, aku tidak yakin apakah harus merasa senang atau tidak. Aku tidak memiliki siapa pun untuk saling bertukar pe
“Tidak, Nona, saya tidak mau.” Aku tidak menyangka, satu jawaban dari Ralla bisa mematahkan hatiku dengan begitu parah. Kedua mataku mulai kabur oleh air mata. “Ke… kenapa?” tanyaku, terbata oleh sesak yang hampir mengoyak seluruh pertahananku. Senyum lemah terukir di wajah letih Ralla. “Saya baik-baik saja di rumah Ibu Nona. Nona tidak perlu membawa saya.” “Baik-baik saja?” tanyaku perih. Lalu apa artinya semua luka di tubuhnya? “Ya, Nona, saya baik-baik saja. Jadi tolong jangan pernah mengatakan akan membawa saya keluar dari rumah Ibu Nona,” ujar Ralla seraya memalingkan wajah. Menyadari pembicaraanku dengan Ralla yang tampak tidak begitu baik, Windi berjalan mendekat. “Nona bahkan sudah memiliki teman yang baru.” Ralla tersenyum lembut saat melihat Windi berdiri di sampingku. “Saya Windi, pelayan Nona Minna di mansion Ravimore, dan ini adalah Arlo, pengawal pribadi Nona Minna.” Senyum Ralla terukir semakin dalam. “Syukurlah….” Bisikkannya terdengar begitu tulus. “Saya ben
Aku tau, emosi bagi orang-orang seperti kami adalah sebuah kemewahan yang tidak boleh kami inginkan.Perasaan bahagia, perasaan cinta, bahkan perasaan sedih, kami tidak boleh memilikinya agar tetap bisa bertahan hidup.Karena rasanya, kau akan mudah sekali terluka, saat kehilangan sesuatu yang kau cintai.Padahal mungkin… itu satu-satunya harapan terakhir yang kau miliki.“Nona Minna, hujannya semakin deras.”Windi berbicara sambil terus memayungiku. Ia menatap cemas dan sedih, tapi tubuhku kaku di hadapan tubuh Ralla yang tertutup tumpukan tanah.Mungkin Ralla yang tewas dan dimakamkan di tempat itu, tapi rasanya, jiwaku ikut terkubur bersamanya. Setelah menemukan tubuh kurus Ralla yang tergantung di dalam kamar loteng, aku menangis keras seperti orang gila.Helga memelukku, saat Arlo berusaha menurunkan tubuh Ralla yang dingin. Mereka memanggil bantuan, mengupayakan apa pun untuk mengembalikan Ralla.Ambulans dan polisi datang tidak lama setelah itu.Namun tidak peduli sekeras apa
“Pak Killian saya mohon ampuni saya. Satu kali lagi, tolong beri saya satu kesempatan satu kali lagi saja! Saya akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan saya. Tapi tolong jangan hancurkan bisnis sa—hmp!”Suara pria itu menghilang di dalam kubik air yang tertampung.Saat Hugo mengangkat kepalanya lagi, ia tergagap mencari udara.“Uhuk! Uhuk!”Ia memuntahkan air penuh kotoran dari mulutnya.“Pak Killian… tolong ampuni… uhuk… saya…”Tubuh telanjangnya bersujud di lantai.“Tolong kasihani keluarga saya. Anak saya masih kecil. Dia membutuhkan saya.”Lihat si bangs*t ini. Ia membicarakan keluarganya setelah menggilir gadis-gadis panggilan yang menjijikan.Salah satu dari gadis-gadis itu bahkan masih terkapar tak berdaya di ranjang hotel dengan mulut berbusa.“Pasti akan menyenangkan melihat koran esok hari.”Aku menginjak kepalanya yang berbau seperti kotoran.“Pak Killian!!!” Pria itu berteriak histeris. “Tolong ampuni saya! Saya akan menebus segalanya. Tapi tolong jangan hancurkan b
Dingin.Seluruh tubuhku terbungkus nyeri, tapi aku tidak bisa membuka mulut untuk menyuarakannya.“Kondisi Nona Minna sudah stabil.”“Tapi mengapa Nona Minna belum juga siuman, Dokter?”Aku sudah sadar. Hanya saja, kedua mataku terasa sangat berat.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Sudah berapa lama aku tertidur? Mengapa suara Windi terdengar seputus asa itu?Kucoba mengingat kejadian yang terjadi. Namun yang tertinggal hanyalah potongan-potongan gambar samar.Malam yang dingin. Dinding-dinding mansion yang menyesakan. Jalan setapak yang dipenuhi potongan ranting runcing, dan danau tersembunyi yang indah.Pelarian kecilku membawa ke sebuah tempat tersembunyi, yang memanggilku dengan kemilau rembulan di atas permukaannya.Pekat air danau membungkus tubuhku. Semakin dalam aku melangkah, hatiku menjadi tumpul. Rasa sesak itu perlahan berayun pergi bersama embusan angin.Aku tidak ingin mati.Tapi aku ingin mengenyahkan semua perasaan menyakitkan itu.Keserakahan akan perasaan bebas itu
“Gadis ini ingin mati. Aku hanya berbaik hati untuk mewujudkannya.” “Apa?! Anda pasti bercanda! Nona Minna, tolong katakan itu tidak benar!” Kutatap Helga dengan pandangan sedih. Ia adalah penolong pertamaku. Orang yang menawarkan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. “Tidak apa-apa, Helga. Aku baik-baik saja,” senyumku setulus mungkin. Meski singkat, tapi apa yang kudapatkan di rumah ini adalah hal yang paling indah yang pernah kurasakan. Kebaikan mereka, perhatian mereka, penerimaan mereka, entah bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih atas semua itu. “Nona Minna…” Aku ingin menunjukkan senyuman terbaikku untuk yang terakhir kalinya. Namun, entah mengapa air mata itu tak kunjung berhenti. “Terima kasih banyak, Helga. Seumur hidupku, inilah perlakuan terbaik yang pernah kuterima. Terima kasih banyak.” Air mata Helga meleleh bagai aliran sungai. “NONA MINNA!” Andai Remy tidak menahan tubuhnya, Helga pasti akan berlari melindungiku. Dan aku sama sekali tidak me