Share

9. Status Baru

Aufal Abrisam Ar-Rasyid, laki-laki berusia 24 tahun itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Razan yang bekerja sebagai ASN yang ditugaskan di luar pulau dan menetap di sana. 

Sementara itu, adiknya bernama Syamil saat ini tengah menempuh pendidikan SMA kelas 12 di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur.

Aufal sendiri sebelumnya bekerja di Jakarta tepatnya di perusahaan milik keluarga Kahfi, sahabat waktu kuliah, dengan jabatan terakhir sebagai kepala divisi IT. 

Karirnya akan semakin cemerlang ketika dia menjadi salah satu kandidat dalam promosi jabatan di level manajer, jika saja tidak menuruti perintah sang ayah untuk resign dan kembali ke perusahaan keluarganya.

Kurang lebih seperti itu sedikit gambaran tentang Aufal. Kini, Azwa sedang membantu ibu mertua, kakak ipar, dan bibi membereskan meja makan usai sarapan.

“Ada di rumah mertua itu harus tau diri. Bukannya malah enak-enakan di kamar. Mentang-mentang pengantin baru,” sindir Reana, istri Razan, dengan sarkas begitu melihat Azwa datang dari ruang makan guna meletakkan berapa wadah kotor di tempat cucian piring.

Azwa tersenyum tipis sebagai tanggapan. Dia tidak buta jika kebanyakan dari keluarga besar Aufal  tidak menyukai kehadirannya, seperti kakak iparnya ini. Entah hanya perasaannya saja atau memang fakta. “Maaf, Mbak.”

“Bukan masalah yang besar, Rea. Azwa masih baru disini, jadi butuh banyak belajar,” bela Mama Erina, ibunya Aufal, sebagai penengah.

“Azwa minta maaf, Ma, nggak bantuin Mama nyiapin sarapan tadi karena kesiangan,” ucap Azwa sambil memindahkan piring bersih ke rak.

“Nggak papa, Sayang. Mama ngerti kok. Dua acara sekaligus di satu hari yang sama pastinya membuatmu sangat lelah,” balas Mama Erina dengan senyuman lembut.

Melihat itu, Reana melengos pelan. Dia mengambil wadah makanan khusus bayi yang sudah terisi. “Ma, Rea pamit ke depan. Mau ngasih sarapan buat Zairin yang lagi main sama Syamil,” pamitnya lantas berlalu dari sana.

Mama Erina menatap kepergian menantu pertamanya hingga menghilang di balik pintu dapur. “Maafin sikap Rea, ya. Sebenarnya dia baik kok. Mungkin efek kehamilan yang menyebabkan dia lebih sensitif.”

“Iya, Ma, nggak papa.”

Setelah semua pekerjaan selesai, Mama Erina mengajak Azwa berbicara berdua di ruang makan. Keduanya menduduki kursi yang tersedia. 

“Azwa, Mama tau kamu belum bisa menerima Aufal sebagai suamimu. Nggak papa, pelan-pelan, ya, Sayang. Mama sangat mengerti perasaanmu, pasti sangat berat,” ucapnya lembut sambil mengusap kepala menantunya.

Inilah yang membuat Azwa sedikit bersyukur menikah dengan Aufal, yakni mempunyai ibu mertua yang baik. Dari awal bertemu hingga detik ini, Mama Erina dengan suka cita menerimanya, selalu bersikap lembut, dan tidak memandang sebelah mata. 

Ya, seperti yang diketahui bahwa hubungan mertua dengan menantu kadang kala tidak cocok hingga menimbulkan cekcok salah satunya dikarenakan perbedaan kasta.

“Mama juga tau kalau banyak yang nggak setuju sama pernikahan ini, tapi Mama nggak peduli. Ini hidup Aufal dan yang menjalani juga Aufal, bukan mereka. Aufal udah memilihmu dan bahagianya ada bersamamu.”

“Kamu juga nggak usah merasa minder dan dengerin omongan mereka. Yang terpenting di sini Mama, Papa, dan Aufal menerimamu menjadi bagian dari keluarga ini.”

“Kami sangat menyayangimu. Itu udah cukup, nggak perlu peduliin yang lain. Kamu mengerti, Sayang?” jelas Mama Erina lembut.

Azwa mengangguk dan tersenyum manis. “Iya, Ma. Makasih udah nerima Azwa apa adanya.”

“Sama-sama, Sayang. Mama juga seneng banget kamu jadi menantu Mama.” Jeda sejenak sebelum Mama Erina melanjutkan perkataannya. “Azwa, Mama harap kehadiranmu bisa mengembalikan keharmonisan keluarga ini seperti dulu. Rumah sebesar ini Mama tempati sendirian bersama papamu. Rasanya sepi sekali.” 

“Razan udah punya kehidupan sendiri bersama keluarga kecilnya yang sangat jauh dari Mama. Syamil sedang mondok dan memilih untuk tinggal di sana sampai batas waktu yang nggak bisa ditentukan karena ditunjuk sebagai pengurus pondok.”

“Satu-satunya harapan Mama cuma Aufal. Sayangnya, dia terlibat konflik dengan Papa sehingga memutuskan merantau ke Jakarta. Keluarga ini kehilangan kehangatannya selama bertahun-tahun.”

Azwa terdiam, tak tahu harus menanggapinya seperti apa. Dia hanya anggota baru di sini, takut salah ucap. Tak menyangka juga keluarga terpandang ini yang dirinya kira baik-baik saja ternyata menyimpan masalah internal.

Mama Erina beralih menggenggam tangan Azwa. “Mama sangat berharap kepadamu, Azwa. Terdengar nggak tau diri banget, ya, tapi Mama nggak tau harus berbuat apa lagi untuk membuat Aufal dan Papa kembali damai.” 

“Mungkin bersama dengan orang yang dicintainya akan membuat Aufal luluh dan mau kembali ke keluarga ini lagi. Mama minta tolong, Nak,” pintanya.

“Azwa akan usahain, Ma,” balas Azwa dengan hati ragu. Dia saja belum bisa menerima Aufal, bagaimana mungkin mampu mengembalikan keharmonisan keluarga ini?

—o0o—

Papa Wirya menutup pintu ruang kerja dan menatap sekeliling. Suasana rumah kembali sepi karena Razan dan Syamil sudah balik pada kehidupan masing-masing sejak kemarin pagi. 

Pria paruh baya itu menghela napas panjang kemudian melangkah menuju ruang tengah, di mana keluarga kecilnya sedang berkumpul.

“Azwa, Papa ingin bicara sama kamu,” kata Papa Wirya kepada menantunya.

“Nggak boleh,” sahut Aufal cepat. Dia menggenggam erat tangan sang istri dengan posesif.

“Ada hal penting yang ingin Papa sampaikan pada Azwa.”

“Tentang apa? Aufal nggak izinin. Kalau mau bicara di sini aja,” balas Aufal masih dengan nada ketus.

“Nggak bisa, Fal. Papa mau bicara empat mata sama menantu Papa. Apa salah?” Papa Wirya berbicara dengan tenang tanpa terpengaruh sedikitpun dengan sikap Aufal. Sudah biasa.

“Salah! Karena Aufal nggak mau terjadi apa-apa sama istri Aufal.”

“Kamu pikir Papa akan tega menyakiti menantu Papa?”

“Bisa aja kan? Papa aja bisa melakukan apapun sesuka hati. Nggak menutup kemungkinan kalau Papa bisa mencelakai Azwa.”

Papa Wirya menghela napas sabar. “Papa hanya ingin bicara aja. Nggak lebih.”

Mama Erina menatap lelah perdebatan suami dan putranya. Selalu seperti ini membuatnya pusing sendiri. Sedangkan Azwa hanya diam, tak tahu harus berbuat apa. Takut salah yang malah menciptakan keadaan semakin runyam.

“Fal, biarin Papa bicara dengan Azwa, ya. Mungkin emang ada hal penting yang ingin disampaikan Papa ke Azwa tanpa melibatkan kita,” ujar Mama Erina yang lagi-lagi menjadi penengah. Beliau berpindah duduk di samping kiri putranya.

“Tapi, Ma, kalau Azwa kenapa-kenapa gimana? Mama tau sendiri–”

“Iya, Mama mengerti kekhawatiranmu. Papa cuma ingin bicara aja kok. Percayalah, Papa juga nggak bakalan tega menyakiti Azwa. Izinin, ya, Nak?” Mama Erina mengusap lembut lengan Aufa.

Aufal menghembuskan napasnya. “Yaudah boleh, tapi jangan lama-lama. Lima menit aja. Habis ini kami mau ke rumah Ayah-Bunda,” jawabnya dengan berat hati.

“Tenang aja, Fal, Azwa aman sama Papa.” Papa Wirya beralih menatap Azwa. “Ayo, Nak Azwa, ikut Papa.”

Azwa menoleh ke arah Aufal seolah meminta izin. Melihat suaminya mengangguk, dia beranjak mengikuti Papa Wirya ke arah pintu samping rumah dengan perasaan was-was. 

Iya, selalu dia takut berhadapan dengan ayah mertua yang notabenenya seorang bos rentenir sejak awal bertemu apalagi sekarang ini dirinya sendirian tanpa didampingi Aufal. 

Gadis itu tak pernah lupa kejadian bagaimana ayahnya diseret paksa atas perintah Papa Wirya. Dia sangat takut hal itu akan terjadi pula padanya.

Di sisi lain, Aufal juga merasakan keresahan yang luar biasa. Berkali-kali dirinya merubah posisi duduk yang terasa tak nyaman. Rasanya dia ingin berlari dan mencegah Azwa agar tidak mengikuti ayahnya. 

Laki-laki itu dapat melihat ketakutan yang terpancar di mata bulat sang istri ketika menatapnya tadi. Dia benar-benar dibuat semakin cemas.

Lagian kenapa pula Papa Wirya meminta berbicara empat mata dengan Azwa? Hal apa yang ingin dibicarakan oleh ayahnya itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status