“Maaf, kamu siapa?”
Amanda terperangah, matanya membulat menatap Aldo yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Sorot mata itu kosong, tidak lagi hangat seperti biasanya. Dan pertanyaan Aldo barusan benar-benar menampar Amanda dengan begitu luar biasa.
"A-aku siapa?" Amanda mengulang kalimat tanya itu dengan rasa tidak percaya. "Kamu tanya aku siapa?"
Wajah itu tampak datar. Aldo belum memalingkan wajah dari Amanda, membuat Amanda rasanya seperti dihantam batu besar dengan begitu keras. Tidak ada sorot kebohongan di mata itu! Amanda bisa lihat semuanya, dan ia benar-benar tidak mengerti.
Sebenarnya ada apa?
"Nda, kita bicarakan semuanya nanti. Kita sudah ditunggu tim dokter di rumah sakit." Redita menyentuh bahu Amanda, membuat Amanda tersentak dan menoleh menatap mama mertuanya itu.
"Ma ... jangan bilang kalau ma—“
"Papa mana, Ma?” potong Aldo tiba-tiba. “Kenapa Mama cuma jemput sendirian? Kak Edo sama Arra? Mereka kemana?"
Pertanyaan itu membungkam Amanda! Aldo menanyakan semua keluarganya, tapi kenapa kepadanya sikap Aldo begitu asing? Bahkan menanyakan siapa Amanda. Tidak ingatkah Aldo bahwa dia ini adalah istri yang bahkan sudah Aldo titipi benih dalam rahim?
"Papa nunggu kamu di rumah sakit, Al. Oleh karena itu, ayo kita cepat ke sana." Usai mengatakan itu pada putra sambungnya, Redita mempererat genggaman tangannya di lengan Amanda. Wanita itu menjelaskan, "Mama jelaskan semuanya nanti, Nda. Untuk sekarang ... lebih baik kita segera ke rumah sakit!"
Amanda tertegun, matanya memanas dengan bayangan bulir air mata yang siap luruh. Hatinya makin terasa sakit begitu sosok tegap itu melangkah pergi begitu saja dari hadapannya tanpa bicara apa-apa. Langkah itu begitu tenang dengan tas dan koper di tangan, meninggalkan Amanda dan sang ibu mertua yang masih terdiam di tempatnya.
"Ma ... sebenarnya ada apa?" tanya Amanda dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Redita menundukkan wajah, menghela napas panjang berkali-kali. Ia kembali mengangkat wajahnya dan menatap Amanda dengan mata yang sama merahnya.
"Jadi ... sebenarnya ...."
***
“Amnesia Retrograde?”
Dua kata itu kembali terngiang di telinga Amanda. Ia terduduk di kursi panjang yang ada di depan sebuah ruangan milik rumah sakit tempat papa mertuanya bekerja. Matanya masih sembab memerah, isaknya bahkan sesekali masih pecah tidak peduli Amanda tekan kuat-kuat isak itu agar tidak keluar. Di sebelahnya, buket bunga dengan foto USG janin dalam kandungnya tergeletak begitu saja.
Sebagai lulusan sekolah keperawatan, Amanda berpikir bahwa diagnosis “amensia retrograde” agaknya bukan itu diagnosa yang tepat untuk Aldo, amnesia retrograde membuat penderitanya tidak bisa mengingat kejadian di masa lalu. Di sini Aldo justru mengingat betul semua kejadian dan kenangan masa kecilnya!
"Dia hanya ingat sampai pada memori ketika aku dan papanya menikah dulu, Nda,” jelas ibu mertuanya lagi. “Ia ingat bahwa dia punya satu adik laki-laki dari aku dan papanya. Setelahnya, ia tidak ingat apapun.”
"Untuk itu mama sama papa nutupin tentang kepulangan bang Aldo?" kini Amanda paham, kenapa Redita begitu terkejut ketika Amanda mempertanyakan hal ini.
Redita menghela napas panjang, kepalanya terangguk pelan.
"Kami nggak pengen kamu syok, Nda. Rencana papamu pengen sembunyiin Aldo dan terapi ingatannya sampai pulih kembali, tapi ternyata Tuhan punya rencana lain."
Amanda tersenyum getir dengan air mata meleleh. Ternyata kedua orang tua Aldo begitu peduli pada Amanda hingga merencanakan hal tersebut. Namun, sampai kapan? Akan berapa lama?
"Kamu yang kuat ya, Nda. Ingat kamu lagi hamil. Jangan terlalu banyak pikiran. Meskipun mama tahu, ini bukan hal yang mudah dan pasti terasa sakit banget buat kamu. Tapi percaya mama, Nda ... ini tidak akan lama! Bantu doa, ya?"
Sekilas obrolannya dengan sang mama mertua kembali terlintas dalam benak. Di mana Redita kemudian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada sang suami. Bagaimana bisa dia bahkan tidak mengenali dirinya, tetapi masih ingat pada seluruh anggota keluarga yang lain.
Amanda menundukkan wajah, membiarkan air matanya jatuh. Bantu doa? Tidakkah Redita tahu bahwa tanpa diminta pun Amanda selalu melantunkan doa untuk suaminya agar selalu baik-baik saja?
Tapi apa yang terjadi? Suaminya pulang dengan tubuh penuh luka dan yang lebih menyakitkan, Aldo pulang dengan sebagian ingatan yang hilang! Kemana doa-doa yang Amanda panjatkan? Kemana? Kenapa Tuhan tidak mengabulkan doanya?
Amanda mengangguk pelan tanpa mengangkat wajah. Tentu dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam kasus ini. Dan Tuhan membiarkan Aldo pulang dengan selamat, itu sudah sebuah anugrah, tidak peduli harus sesakit ini hati Amanda dengan perubahan suaminya.
“Jangan khawatir ya, Sayang ... kita doakan papa biar bisa cepet ingat lagi sama kita. Kita kuat ya, Nak?”
***
“Bagaimana kondisinya, Nung?”
Aldo menghirup udara banyak-banyak, ia masih terbaring di atas bed ruang pemeriksaan. Di mana ada papa dan mama tirinya juga yang turut memeriksa dan menemani Aldo sepanjang pemeriksaan.
Bayangan Aldo tertuju pada perempuan hamil yang ikut menjemput dirinya di bandara tadi. Siapa dia? Wajahnya begitu asing di mata Aldo. Dan jangan lupa ... dalam ingatan Aldo, ia sama sekali tidak ada berkas memori yang menjelaskan siapa sebenarnya wanita itu, apa kontribusinya dalam hidup Aldo, sama sekali tidak ada!
“Semua kondisi fisik bagus, cuma memang beberapa bekas luka saja. Apa masih sakit, Al?”
Aldo tersentak, ia menoleh dan tersenyum menatap laki-laki berkacamata dengan jas putih. Laki-laki yang tadi memperkenalkan diri sebagai Dokter Hanung.
“Sedikit, Dok. Tapi sudah tidak terlalu.” Jawab Aldo apa adanya.
“Masih ingat apa yang terjadi sampai kamu bisa seperti ini?”
Kembali pertanyaan itu dia dapatkan! Saat ia tersadar entah di mana kemarin, berulang kali pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Aldo sendiri tidak tahu, apa yang terjadi kepadanya dan kenapa ia bisa berada di sana di tengah-tengah prajurit yang bahkan tidak dia kenal.
“Izin ... saya sama sekali tidak ingat, bagaimana saya bisa ada di sana pun saya tidak ingat, Dok. Untuk apa saya di sana ... yang jelas, rasanya baru kemarin saya bahagia liat papa bisa berkeluarga lagi, saya punya adik pada akhirnya ... untuk yang lain ....”
“Bahkan kamu tidak ingat kalau kamu sudah menikah dan akan jadi seorang ayah, Al?”
Aldo membelalak, ia menatap Dokter Hanung dengan tatapan tidak percaya. Aldo memalingkan wajah menatap papa dan mamanya, dua orang itu hanya tersenyum getir dengan kepala mengangguk.
“Me-menikah? Saya udah nikah?” kembali Aldo menatap dokter Hanung, lelaki itu malah menoleh ke arah dua orang di sebelahnya, membuat sosok yang menjadi cikal bakal Aldo lahir kedua itu lantas melangkah mendekat ke arah Aldo.
“Ya ... kamu udah nikah, Al! Kamu nikahi wanita yang sangat kamu cintai sebelum kamu berangkat misi. Dan kamu tahu? Istrimu sekarang sedang hamil.”
APA?
Aldo kembali tersentak. Ia sudah menikah? Istrinya sedang hamil sekarang? Tapi siapa gadis yang dinikahi Aldo ini? Kenapa memori di otaknya tidak bisa memberinya informasi tentang ini?
Mendadak wanita hamil dengan dress kuning tadi menyita perhatian Aldo. Ia masih menatap papanya dengan tatapan tidak percaya.
“Ja-jadi ... jadi wanita tadi itu ....?”
"Awasi terus, bisa hubungi aku kalau ada apa-apa."Amanda segera menyeka air mata, ia sontak berdiri begitu langkah kaki dan obrolan itu terdengar setelah pintu ruangan terbuka. Di sana, sosok itu berdiri. Dengan wajah lelah dan bingung yang makin membuat hati Amanda teriris pedih. "Terima kasih banyak atas bantuannya, Nung." papa mertua Amanda menoleh, menatap Amanda dengan tatapan iba. "Yuk kita pulang, Nda.""Baik, Pa!" Amanda memaksakan diri tersenyum, "Terima kasih banyak Dokter atas bantuannya."Lelaki berkacamata itu tersenyum, kepalanya terangguk pelan. "Sudah merupakan tugas saya, Nda. Kamu yang sabar ya."Kembali rasanya Amanda ingin menangis. Namun ia tahan kuat-kuat air mata. Amanda hanya tersenyum simpul, matanya melirik lelaki yang bahkan wajahnya masih datar dan begitu asing. "Kalau begitu kami pamit dulu, Nung. Sekali lagi terima kasih banyak." kembali sang papa mertua bersuara, satu persatu menyalami Dokter Hanung. Aldo langsung melangkah pergi tanpa sepatah kata.
"Itu benar anakku?"Hening. Dunia Amanda seolah runtuh begitu kalimat itu menyapanya dengan sorot mata ragu. Wajah itu masih sama asingnya dengan yang dia lihat, dingin menyapa dan mencengkeram kuat hati Amanda dengan begitu luar biasa. Ia seperti dihantam dengan begitu keras. Tidak terlihat lagi sorot kebahagiaan sedikitpun di mata Amanda. Setitik kebahagiaan yang tadi hinggap di mata dan wajah Amanda, kini benar-benar lenyap! "Per-pertanyaan macam apa itu, Bang?" Amanda sedikit tergagap, air matanya mengambang. Tangisnya siap pecah, namun masih dia tahan sekuat tenaga. Aldo menghela napas, "Bagaimana bisa kamu hamil lima bulan? Katamu ki--""Papa, mama dan dua kakak kamu dokter, Bang! Tanyakan ke mereka kenapa bisa usia kandungan aku menyentuh angka lima sekarang." potong Amanda getir. Jadi Aldo meragukan janin dalam kandungan Amanda? "Tidak salah ka--""Aku berani bersumpah bahwa aku hanya tidur denganmu! Aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain." Kembali Amanda memotong, dad
"Mas Aldo mau dibuatin minum?"Aldo yang tengah berusaha mengumpulkan kepingan memorinya yang hilang kontan terkejut. Ia menoleh dan mendapati Mbak Tik sudah berdiri tidak jauh darinya. "Boleh, Mbak. Makasih banyak."Wanita empat puluh tahunan itu mengangguk, segera undur diri dan menghilang dari pandangan Aldo. Aldo masih menatap arah di mana wanita itu menghilang. Ia menghela napas panjang, menghembuskan perlahan-lahan ke udara lalu kembali menyandarkan tubuh ke sofa. "Sama Mbak Tik aja aku inget loh! Masa sama yang katanya istri aku bisa sama sekali nggak inget sih?"Itu yang terus Aldo herankan sejak kepulangannya ke sini. Jangan lupa tentang bagaimana Aldo sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa, ikatan batin apapun dengan Amanda. Bagaimana bisa dulu mereka menikah kalau begini? "Apa aku mungkin dibodohin, ya? Papa kasihan gitu sama aku terus dicariin jodoh?" Aldo merubah posisi duduknya, masih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum ia pergi dan kehi
"Astaga, Al! Tapi kamu masih inget sama Mama. Jadi yang dimaksud amnesia itu yang kayak gimana, Al?"Aldo menghela napas panjang, ia meraih cangkir teh miliknya. Meneguk cairan itu perlahan-lahan lalu meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. "Malah ingatan-ingatan baru Aldo yang hilang entah kemana, Ma. Begitu Aldo sadar kemarin ... Aldo bener-bener syok dan kaget. Bagaimana bisa Aldo ada di sana? Siapa orang-orang yang ada sama Aldo, Aldo sama sekali nggak kenal dan nggak tahu siapa mereka."Yuri mengangguk pelan, wajahnya nampak tegang. Dia nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Aldo, ia sibuk kembali mencoba memunguti sisa-sisa kenangan yang bisa kembali dia satukan dalam otaknya. Kenangan tentang wanita yang disebut-sebut sebagai istri Aldo. "Kamu inget sama Arra?"Aldo terkejut, ia menoleh dan menatap mamanya yang nampak tengah mengawasinya dengan tatapan menyelidik. "Ya kenal dong, Ma! Masa lupa sana Arra sih? Orang dulu PAUD-nya sama-sama. Temenan juga dari kecil. M
"Astaga!"Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda. "Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas. Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah. "Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertan
"Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Abang udah mikir sampai sana?"Sebuah pertanyaan terlontar secara spontan dari mulut Amanda sebagai tanggapan pernyataan cinta Aldo yang begitu tiba-tiba. Amanda bahkan belum menjawab pernyataan Aldo mengenai perasaan lelaki itu dan Aldo susah begitu jauh membahas tentang pernikahan? Mendapat pertanyaan macam itu, Aldo malah tertawa dengan begitu renyah. Hanya sebentar, karena didetik selanjutnya Aldo kembali menatap Amanda dengan tatapan serius dan seulas senyum manis. "Memang kenapa? Kamu pikir Abang macarin kamu cuma buat main-main aja? Abang serius!" tegas Aldo kemudian. "Ya mungkin memang kita perlu masa pendekatan dan pengenalan satu sama lain, Dek. Tapi tujuan Abang ya ke sana, nggak cuma mau ngajakin anak orang jalan rontang-runtung berdua aja."Entah bagaimana raut wajah Amanda sekarang, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas rasanya tubuh Amanda begitu ringan. Ia seperti melayang mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut itu. Sebuah kalimat paling manis yang sama seka